Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Nama Kelompok:
FAKULTAS HUKUM
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, tidak ada cabang hukum Internasional
yang lebih banyak mengalami perubahan secara mendalam dan revolusioner, selain
daripada hukum laut. Hukum laut telah mengalami perubahan-perubahan yang
mendalam sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan sumber kekayaan
mineral yang terkandung di dasar laut itu sendiri, merupakan penghubung bangsa-bangsa
dari segala sektor kegiatan manusia, dan kekayaan sumber hayati serta karena 70% dari
permukaan bumi terdiri dari laut1
Kini hukum laut tidak hanya mengatur atau mengurus kegiatan-kegiatan negara-
negara di atas permukaan laut saja, tetapi telah mengatur dan mengurus kegiatan-
kegiatan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya. Oleh
karena keinginan negara-negara untuk penggunaan kekayaan-kekayaan laut itu, maka
negara-negara berusaha keras untuk membuat hukum laut yang mengatur atau mengurus
permasalahan mengenai kedaulatan atau kekuasaan negara-negara pantai terhadap laut,
dan sampai sejauh mana negara-negara pantai dapat mengambil kekayaan-kekayaan
yang tersedia di dasar laut dan laut di atasnya, serta untuk mengatur eksploitasi daerah-
daerah dasar laut yang telah dinyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.
Puncak dari berbagai perundingan mengenai masalah kelautan adalah
diadakannya Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United
Nations Conference on the Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Dalam konperensi ini telah ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup
hampir seluruh permasalahan di bidang kelautan. Perjanjian internasional ini dikenal
dengan nama Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the
Law of the Sea/UNCLOS). Konvensi ini merupakan perkembangan paling penting dalam
kesuluruhan ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan bebas.
Pemerintah Indonesia sudah sejak lama turut aktif dalam berbagai perundingan
mengenai terbentuknya berbagai perjanjian internasional di bidang kelautan dikarenakan
Indonesia merupakan negara kepuluan yang memiliki wilayah perairan terbesar di dunia
dan dua pertiga dari wilayahnya merupakan wilayah perairan. Secara geografis Indonesia
1 Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi II, (Bandung: PT. Alumni,
2005, hlm. 304)
merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari
laut territorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi
eksklusif 2.7 juta km2. Disamping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau
dan garis pantai sepanjang 95.181 km. 2
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama
diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957
lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja
dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep “Negara Kepulauan” untuk
dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) III,
sehingga dalam The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),
1982; dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi itu menyatukan
wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara
kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar
pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal
itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan
UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.3
Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang
memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.
Walaupun telah membuat peta garis batas, timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita
tergopoh-gopoh membuat Peraturan Pemerintah No 38/2002, yang memuat titik-titik
dasar termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Sayang, PP itu harus direvisi
karena International Court of Justice (ICJ) memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia.
Kini timbul masalah perebutan daerah cadangan minyak Ambalat dan AmbalatTimur
(demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia). Kedua
Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok itu kepada perusahaan berbeda. Indonesia
telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi
izin dari Malaysia. Maka terjadi dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara
bertetangga (overlapping claim areas).4
Klaim tumpang tindih (overlapping claim areas) dari dua atau lebih negara pada
dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan.
Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki wilayah laut sejauh 12
2 Perumusuan Kebijakan Sumber Daya Maritim, (http://www.dekin.kkp.go.id/yopi/index.php, diakses pada tanggal 25 sep 2018)
3 Melda Kamil Ariadno, Ambalat Miliki Siapa?, (http://www.topix.com/forum/world/indonesia, diakses pada tanggal 12 April 2011). Melda
Kamil Ariadno, Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) FHUI,
4 Melda Kamil Ariadno, Ambalat Milik Siapa?, (http://www.topix.com/forum/world/indonesia, diakses pada tanggal 25 sep 2018).
mil dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur
dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jaraknya bisa sejauh 350 mil laut
jika bisa dibuktikan adanya natural prolongation(kepanjangan alamiah) dari daratan
negara pantai itu. Ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim te-ritori lautnya
sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut. Indonesia sebenarnya sudah berulang kali
mengajak Malaysia duduk di meja perundingan mengenai batas landas kontinen, namun
tak ada respons positif.5
Permasalahan batas bagi negara yang bertetangga semestinya harus dilihat dari
kacamata kerjasama antar negara, terlebih lagi bagi Indonesia; perbatasan itu harus
dilihat sebagai pengikat kerja sama dan menjadikannnya sebagai beranda depan bangsa.
Dengan dasar filosofi seperti itu, maka sesungguhnya pengembangan wilayah perbatasan
harus dilihat dari semangat kerja sama kedua negara.
Selama ini terdapat upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk
mengembalikan jiwa kebaharian dalam pembangunan kelautan di Indonesia. Indonesia
dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, mendeklarasikan Wawasan Nusantara pada
tanggal 13 Desember tahun 1957 yang dikenal dengan “Deklarasi Djoeanda” yang
memandang laut merupakan satu keutuhan wilayah dengan darat, ini merupakan titik
awal kebangkitan bangsa bahari setelah kemerdekaan Indonesia. Hal ini kemudian
diundangkan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1960 dan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962.
5 Soegito, Mempertahankan Ambalat dari NKRI, (http://els.bappenas.go.id/upload/other, diakses pada tanggal 25 sep 2018).
B. Rumusan Masalah
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka membawa konsekuensi logis
bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus dilaksanakan berupa hak-hak dan
kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan Indonesia berdasarkan hukum
internasional. Kini UNCLOS 1982 telah berjalan selama 25 tahun, tentu sebagai Negara
Kepulauan sudah saatnya melakukan evaluasi kebijakan tentang apa saja yang telah
dilaksanakan dan belum dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat seperti yang telah
dicantumkan dalam UNCLOS 1982. Oleh karena itu, kami sebagai penulis makalah ini
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep wawasan nusantara dalam Konvensi Hukum Laut Internasional
(UNCLOS) 1982?
2. Bagaimana implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982
Untuk Kepentingan Nasional Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis konsep wawasan nusantara dalam Konvensi Hukum Laut Internasional
(UNCLOS) 1982.
2. Menganalisis implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982
untuk kepentingan Nasional Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep
wawasan nusantara dalam KHL 1982, dan implementasi KHL 1982 untuk
kepentingan Nasiona Indonesia.
2. Secara praktis, diharapkan penulisan makalah ini dapat memberikan sumbangan
terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dan dihadapi oleh Negara
Indonesia sebagai negara kepuluan.
E. Metode Penulisan
Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metode
studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka tentang hukum
laut internasional. Selain itu, tim penulis juga memperoleh data dari internet
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi X (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 353)
7 Negara kepuluan didefenisikan suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepuluan yang dapat mencakup pulau-pulau lain.
J.G. Starke, Op. cit.
8 Mutatis mutandis berasal dari bahasa Latin yang artinya kurang lebih adalah "perubahan yang penting telah
dilakukan". http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada tanggal 25 sep 2018.
BAB III
PEMBAHASAN
9 Sekarang yang berlaku adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2004-2009
Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara kepulauan
(archipelagic states) sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya
Konvensi Hukum Laut 1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46 yang berbunyi sebagai
berikut :
1. “archipelagic State” means a State constituted wholly by one or more archipelagos
and may include other islands;
2. “archipelago” means a group of islands, including parts of islands, interconnecting
waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands,
waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and
political entity, or which historically have been regarded as such.
Negara kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti suatu gugusan
pulau termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud ilmiah yang
hubungannya satu sama lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud
alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki
atau yang secara histories dianggap sebagai demikian.
Pengakuan internasional terhadap Konsepsi Wawasan Nusantara melalui
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, memang
merupakan kulminasi perjuangan Indonesia yang gigih dan terus menerus selama 25
tahun semenjak Deklarasi Djuanda 1957. Namun, dalam perjuangan yang panjang
tersebut dan sebagai anggota masyarakat internasional, hasil yang telah dicapai juga
merupakan kompromi antara kepentingan negara-negara maritim besar dan
negara0negara kepulauan. Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan internasional
tentang garis pangkal lurus kepulauan yang merupakan suatu konsepsi baru dalam
hukum laut internasional walaupun derajat kedaulatan negara pantai atas perairan
kepulauan sebagai hasil dari kompromi tersebut tidak setinggi pada perairan pedalaman
sesuai Deklarasi Djuanda.
Pada hakikatnya lintas damai kendaraan air asing dalam perairan pedalaman
berdasarakan Deklarasi Djuanda adalah hak yang diberikan Indonesia karena menurut
hukum laut internasional hak tersebut tidak ada dalam perairan pedalaman. Sedangkan
menurut konvensi selain hak lintas damai ditentukan pula hak alur kepulauan.
Sehubungan dengan itu, untuk melindungi kepentingan Indonesia selanjutnya
dengan adanya hak lintas alur laut kepulauan di perairan Indonesia maka perlu dibuat
legislasi yang mengatur secara ketat penggunaan hak lintas ini sehingga maksud dan
tujuan seperti yang dimaksud oleh Deklarasi Djuanda tetap dapat dipertahankan.
10 Selengkapnya di http://id.wikisource.org/wiki
10 Laut : Tiongkok Selatan P. Sebetul No. 421
04°42′25″N 107°54′20″E Titik Dasar No. TD.030A 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.030A WGS'84
Jarak TD.030A-TD.030B = 8.18 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
11 Laut : Tiongkok Selatan P. Sekatung No. 421
04°47′38″N 108°00′39″E Titik Dasar No. TD.030B 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.030A WGS'84
Between TD.030B-TD.030D
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
12 Laut : Tiongkok Selatan P. Sekatung No. 421
04°47′45″N 108°01′19″E Titik Dasar No. TD.030D 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.030 WGS'84
Jarak TD.030D-TD.031 = 52.58 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
13 Laut : Tiongkok Selatan P. Senua No. 421
04°00′48″N 108°25′04″E Titik Dasar No. TD.031 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.031 WGS'84
Jarak TD.031-TD.032 = 66.03 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
14 Laut : Natuna P. Subi Kecil No. 420
03°01′51″N 108°54′52″E Titik Dasar No. TD.032 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.032 WGS'84
Jarak TD.032-TD.033 = 27.67 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
15 Laut : Natuna P. Kepala No. 420
02°38′43″N 109°10′04″E Titik Dasar No. TD.033 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.033 WGS'84
Jarak TD.033-TD.035 = 44.10 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
16 Laut : Natuna Tg. Datu No. 420
02°05′10″N 109°38′43″E Titik Dasar No. TD.035 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.035 WGS'84
Antara TD.035 -TD.036C
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
17 Laut : Sulawesi P. Sebatik No. 489 dan 59
04°10′10″N 117°54′29″E Titik Dasar No. TD.036 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.036 WGS'84
Jarak TD.036-TD.036A = 1.27 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
18 Laut : Sulawesi P. Sebatik No. 489 dan 59
04°09′58″N 117°55′44″E Titik Dasar No. TD.036A 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.036 WGS'84
Jarak TD.036A-TD.036B = 0.82 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
19 Laut : Sulawesi P. Sebatik No. 489 dan 59
04°09′34″N 117°56′27″E Titik Dasar No. TD.036B 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.036 WGS'84
Jarak TD.036B-TD.037 = 12.22 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
20 Laut : Sulawesi Karang Unarang No. 489 dan 59
04°00′38″N 118°04′58″E Titik Dasar No. TD.037 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.036 WGS'84
Jarak TD.037-TD.039 = 110.27M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
21 Laut : Sulawesi P. Maratua No. 488
02°15′12″N 118°38′41″E Titik Dasar No. TD.039 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.039 WGS'84
Jarak TD.039-TD.040 = 36.95 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
22 Laut : Sulawesi P. Sambit No. 488
01°46′53″N 119°02′26″E Titik Dasar No. TD.040 1 : 200.000
Pilar Pendekat No. TR.040 WGS'84
Jarak TD.040-TD.043 = 84.61 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
6. Landas Kontinen
Indonesia mempunyak hak eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumber daya
alam di landas kontinen sebagaimana diatur oleh Pasal 77 Konvensi Hukum Laut
1982, tetapi di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan
batas terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi
Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang
selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex) II Konvensi Hukum Laut 1982.
Penentapan batas-batas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil
tersebut wajib disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di
dalamnya memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta
lainnya. Indonesia juga harus melakukan negosiasi penetapan batas-batas landas
kontinen dengan negara tetangga dan jangan sampai terulang kasus Sipadan-Ligitan
yang semula tentang perundingan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dan
Malaysia tersebut.
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang
Landas Kontinen yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 yang sudah
barang tentu sudah tidak relevan lagi, Landas kontinen menurut Pasal Undang-
Undang No. 1 Tahun 1973 tersebut adalah sampai kedalaman 200 meter yang berarti
tidak sesuai dengan Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982. Oleh karena itu, Undang-
Undang No. 1 Tahun 1973 harus diamandemen dengan sesuai dengan materi muatan
Konvensi Hukum Laut 1982, dan mengumumkan dan mendepositkan batas landas
kontinen tersebut pada sekjen PBB pada tahun 2009.
7. Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia
Negara pantai dengan memperhatikan keselamatan pelayaran dapat
mewajibkan kapal asing melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial
dengan menggunakanalur laut (sea lanes) dan skema pemisah lalu lintas (traffic
separation schemes) sebagaimana diatur oleh Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982.
Demikian juga pelayaran dengan menggunakan hak lintas transit karena ketentuan
Pasal 41 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur alur laut dan skema pemisah
lintas transit, yaitu bahwa negara-negara yang berbatasan dengan selat (states
bordering straits) dapat menentukan alur laut (sea lanes) dan skema pemisah
pelayaran di selat-selat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintas transit yang
aman sesuai dengan peraturan internasional yang dibuat oleh organisasiinternasional
yang berkompeten, yaitu dalam hal ini IMO (Internattional Maritime Organizations).
Indonesia telah memilki UU No. 6 Tahun 1996 yang juga berisikan ketentuan
penetapan lintas alur laut kepulaun seperti yang terdapat dalam Pasal 18 dan 19.
Pada tahun 1996 Indonesia telah mengusulkan kepada IMO penetapan tiga ALKI
beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia.12
Menurut kesepakatan dengan IMO, ALKI-ALKI itu akan mulai berlaku
minimum enam bulan sejak diundangkannnya oleh Indonesia. Pemerintah
mengeluarkan PP No. 37 Tahun 2002 tentang 3 alur laut kepulauan di perairan
kepulauan Indonesia.
12 Lihat buku Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi II (Bandung:
PT. Alumni, 2005, hlm. 398
Kawasan yang berada di luar jurisdiksi nasional dan berada di bawah
pengelolaan Badan Otorita Dasar Laut Internasional atau ISBA itu mempunyaistatus
common heritage of mankind, yaitu semua kekayaan di Kawasan adalah warisan
bersama umat manusia. Oleh karena itu tidak ada kewajiban khusus yang dimiliki
oleh setiap Negara termasuk Indonesia. Kewajiban Indonesia adalah berpartisipasi
dalam eksplorasi dan eksploitasi bekerja sama dengan Negara, organisasi
internasional, atau perusahaan dalam negeri atau asing.
Indonesia seharusnya konsentrasi menjaga dan memanfaatkan kekayaan
sumber daya alam di laut baik hayati maupun nonhayati yang berada di bawah
kedaulatan dan jurisdiksi Indonesia, seperti di perairan kepulauan, laut territorial,
zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Pemerintah Indonesia harus aktif
mengikuti sidang ISBA yang dilakukan setiap tahun, untuk mengikuti
perkembangan-perkembangan mengenai potensi pertambangan di dasar laut.
KESIMPULAN
1. Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia ikut dalam
merumuskan materi dari UNCLOS 1982. Ketentuan tentang negara kepulauan
mempunyai hubungan substansial dengan Deklarasi Djoeanda yang dicetuskan pada
tahun 1957.
2. Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara kepulauan (archipelagic
states) sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya Konvensi Hukum Laut
1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46. Negara kepulauan adalah suatu Negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan
lain-lain wujud ilmiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat, sehingga
pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,
ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang secara histories dianggap sebagai demikian.
3. Sebagai negara yang menandatangani dan kemudian telah meratifikasinya menjadi
bagian dari tataran hukum nasionalnya, maka Indonesia tentunya harus taat azas dengan
berbagai ketentuan hukum laut internasional dari UNCLOS 1982, termasuk tentang hak
dan kewajiban.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Kusumaatmadja, Mochtar., Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1978
Kusumaatmadja, Mochtar., Perlindungan Dan Pelestarian Lingkungan Laut, Sinar Grafika
dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, Jakarta, 1992.
Mauna, Boer., HUKUM INTERNASIONAL: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, Edisi X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional, Edisi I, Unsri, Palembang, 2011
Tulisan:
Salam, Abdul Alim., Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvesni Hukum Laut
Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia,
Jakarta, 2008.
Website:
http://www.dekin.kkp.go.id/yopi/index.php, diakses pada tanggal 12 April 2011
http://www.topix.com/forum/world/indonesia, diakses pada tanggal 12 April 2011
http://els.bappenas.go.id/upload/other, diakses pada tanggal 12 April 2011
http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada tanggal 14 April 2011
Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia