You are on page 1of 23

GCG DAN STAKEHOLDER

ETIKA BISNIS

MANAJEMEN C

DISUSUN OLEH:

HAMDA ERDEAN (10090315128)

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PRODI MANAJEMEN
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kita sering mendengar banyak perusahaan yang terpuruk karena tata


pemerintahan sebuah perusahaan tersebut tidak baik sehingga banyak fraud atau
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi, sehingga terjadinya krisis
ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, yang mengakibatkan tidak ada investor
yang mau membeli saham perusahaan tersebut. artinya,bisa dikatakan jika perusahaan
tersebut tidak menerapkan Corporate Governance dengan baik. Oleh karena itu,
undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di
berbagai negara. Good Corporate Governance dimaksudkan agar tata kelola
perusahaan baik sehingga bisa meminimalisir praktek-prakter kecurangan.

Istilah ‘Stakeholders’ atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok


atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan
hidup organisasi. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemangku
kepentingan adalah seluruh pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang
menjadi fokus kajian atau perhatian. Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang
yang mempunyai sesuatu yang dapat iaperoleh at au akan kehilangan akibat dari sebuah
proses perencanaan atau proyek. Dalam banyak siklus, mereka disebut sebagai
kelompok kepentingan, dan mereka bisa mempunyai posisi yang kuat dalam
menentukan hasil suatu proses politik. Seringkali akan sangat bermanfaat bagi proyek
penelitian untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan kepedulian
berbagai pemangku kepentingan, terutama jika proyek diracang bertujuan
mempengaruhi kebijakan.
BAB II

PEMBAHASAN

1.Latar belakang munculnya GCG

Good Corporate Governance atau dikenal dengan nama Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak semata-mata karena adanya
kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatar belakangi oleh maraknya
skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002)
mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang
relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan
tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara,
sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi penyimpangan perilaku yang
dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena
perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku
bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu
sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan
pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata
kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.

Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu
negara, dan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat
adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana
mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti
yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan
runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia; disamping juga menyebabkan
krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis
tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan Sarbanes-Oxley Act tahun 2002; undang-
undang dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola
perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, undang-undang ini
menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara.

Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat


dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para
pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi yang mencakup :

1. hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan perlindungannya,


2. peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders)
lainnya,
3. pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu,
4. transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan,
5. tanggungjawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri,
kepada para pemegang saham dan pihak lain yang berkepentingan.

2. Pengertian GCG

Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama kali dikenalkan oleh


Cadbury Committee di Inggris tahun 1922 yang menggunakan istilah dimaksud dalam
laporannya yang dikenal dengan Cadbury Report (dalam sukrisno Agoes, 2006).
Berikut disajikan beberapa definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber,
diantaranya:

1. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)

FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi definisi Cadbury


Committee of United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan,
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain
suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.

2. Sukrisno Agoes (2006)


Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur
hubungan peran dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan pemangku
kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu
proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan
penilaian kinerjanya.

3. Organization for Economics Cooperation and Development (OECD) (dalam


Tjager dkk, 2004)

The structure through which shareholders, directors, managers, set of the board
objectives of the company, the means of attaining those objectives and monitoring
performance. [Suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur,
manager, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan
digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.

4. Wahyudi Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006)

Mekanisme adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan antara


manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-
kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini
dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan (prosedur) dan sistem insentif sebagai
kerangka kerja (framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, serta pemantauan atas kinerja yang
dihasilkan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pada intinya konsep GCG mengandung


pengertian yang berintikan 4 point, yaitu:

1.Wadah

Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan).

2. Model
Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, serta
nilai-nilai yang meladasi praktik bisnis yang sehat.

3.Tujuan

a. Meningkatkan kinerja organisasi,

b. Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan,

c. Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam


pengelolaan organisasi,

d. Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan.

4.Mekanisme

Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang, dan tanggung


jawab :

a. Dalam arti sempit

Antar pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris dan direksi.

b. Dalam arti luas

Antar seluruh pemangku kepentingan.

3. Prinsip GCG

Good Corporate Governance merupakan gabungan prinsip-prinsip dasar dalam


membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama agar tercapai rasa kebersamaan,
keadilan, optimasi dan harmonisasi hubungan sehingga dapat menuju kepada tingkat
perkembangan yang penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha.

Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Vision
Pengembangan suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada
adanya visi & strategi yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari seluruh
anggota dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya
semua pihak akan merasa memiliki dan tanggungjawab dalam kemajuan organisasi
atau usahanya.

2. Participation

Dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan suatu


organisasi atau badan usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak terkait dan
relevan melalui sistem yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan
penyampaian pendapat.

3. Equality

Suatu badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan member dan
menyediakan peluang yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi
peningkatan kesejahteraan melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.

4. Professional

Dalam bahasa sehari-hari professional diartikan “One who engaged in alearned


vocation (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan)”. Dalam konteks ini
professional lebih dikaitkan dengan peningkatan kapasitas kompetensi dan juga moral
sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat.

5. Supervision

Meningkatkan usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usaha atau


organisasi sehingga tujuan bersama dapat dicapai secara optimal, efektif dan efisien,
serta untuk meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang mungkin
timbul.

6. Effective & Efficient


Effective berarti “do the things right”, lebih berorientasi pada hasil, sedangkan
efficient berarti “do the right things”, lebih berorientasi pada proses. Apapun yang
direncanakan dan dijalankan oleh suatu organisasi atau badan usaha harus bersifat
efektif dan efisien.

7. Transparant

Dalam konteks good governance, transparency lebih diartikan membangun


kepercayaan yang saling menguntungkan antara pemerintah atau pengelola dengan
masyarakat atau anggotanya melalui ketersediaan informasi yang mudah diakses,
lengkap dan up to date.

8. Accountability/Accountable

Dalam konteks pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam


meningkatkan tanggungjawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam
menjawab kepentingan publik atau anggota.

9. Fairness

Dalam konteks good governance maka fairness lebih diartikan sebagai aturan
hukum harus ditegakan secara adil dan tidak memihak bagi apapun, untuk siapapun
dan oleh pihak manapun.

10. Honest

Policy, strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau badan
usaha harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidak-jujuran pada akhirnya
akan selalu terbongkar dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan sedang
dibangun. Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan long term partnership.

11. Responsibility & Social Responsibility

Institusi dan proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak terkait harus
dijalankan dalam kerangka waktu yang jelas dan sistematis. Sebagai warga suatu
organisasi, badan usaha dan/atau masyarakat, semua pihak terkait mempunyai
tanggungjawab masing-masing dalam menjalankan tugasnya dan juga harus memberi
pertanggungjawaban kepada publik, sehingga di dalam suatu tatanan atau komunitas
dapat terjadi saling mempercayai, membantu, membangun dan mengingatkan agar
terjalin hubungan yang harmonis dan sinergis.

Sedangkan lebih sempit lagi, menurut OECD, prinsip dasar GCG yang dikembangkan
adalah

a. perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness),

b. transparansi,

c.akuntabilitas, dan

d.responsibilitas

Disamping itu, dalam kaitannya dengan tata kelola BUMN, Menteri Negara
BUMN juga mengeluarkan keputusan KEP-117/M-MBU/2002 tentang prinsip GCG,
diantaranya:

1. Kewajaran

Prinsip agar para pegelola memperlakukan pemangku kepentingan secara adil


dan setara, baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, dan
pemodal) maupun sekunder (pemerintah, masyarakat, dan pihak lain). Prinsip inilah
yang memunculkan konsep pengedepanan kepentingan atas stakeholders dan bukan
hanya shareholders.

2. Transparansi

Kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam


proses keputusan dan penyampaian informasi. Lebih dalam bahwa, informasi yang
disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku
kepentingan, tidak boleh ada hal-hal tertentu yang dirahasiakan, disembunyikan,
ditutup-tutupi, maupun ditunda-tunda pengungkapannya.

3. Akuntabilitas

Kewajiban bagi para pengelola untuk membina sistem akuntansi yang efektif
untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya (reliable) dan berkualitas.

4. Responsibilitas

Kewajiban para pengelola untuk memberikan pertanggungjawaban atas semua


tindakan dalam pengelolaan perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai
wujud kepercayaan dan wewenang yang telah diberikan.

Pertanggungjawaban ini setidaknya mencakup dimensi :

a. Ekonomi

Diwujudkan dalam bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi pemangku


kepentingan,

b. Hukum

Diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum dan peraturan-peraturan


yang berlaku ,

c. Moral

Diwujudkan dalam bentuk pertanggungjawaban tersebut dapat dirasakansecara


menyeluruh dan adil bagi semua pemangku kepentingan,

d. Sosial

Diwujudkan dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai


wujud kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam di
lingkungan perusahaan,
e. Spiritual

Diwujudkan dalam bentuk sejauh mana tindakan manajemen telah mampu


mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang diyakininya.

f. Kemandirian

Suatu keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan


bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, bebas dari tekanan serta
pengaruh dari pihak manapun yang bertentangan dengan perundangan yang berlaku
dan prinsip pengelolaan yang sehat.

Kebutuhan tata kelola etis tidak hanya baik bagi bisnis perusahaan. Perubahan-
perubahan terkini pada regulasi pemerintahan merubah ekspektasi secara signifikan.
Dalam era meningkatkan pengawasan, dimana perilaku tidak etis dapat mempengaruhi
pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan, sangat dibutuhkan sistem tata kelola
perusahaan yang menyediakan aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan
shareholders, direktur, dan eksekutif.

Direktur harus cermat dalam mengatur risiko bisnis dan etika perusahaannya.
Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan dengan efektif dalam
perusahaan. Hal ini membutuhkan pengembangan code of conduct, dan cara yang
paling fundamental dalam menciptakan pemahaman mengenai perilaku yang tepat,
memperkuat perilaku tersebut, dan meyakinkan bahwa nilai yang mendasarinya
dilekatkan pada strategi dan operasi perusahaan. Konflik kepentingan dalam
perusahaan, kekerasan seksual, dan topik–topik serupa perlu diatasi segera dengan
pengawasan yang memadai untuk menjaga agar budaya perusahaan sejalan dengan
ekspektasi saat ini.

Peristiwa Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom mengubah fokus akuntan


profesional terhadap perannya sebagai orang yang dipercaya oleh publik. Reputasi dan
eksistensi profesi akuntan di masa depan telah menurun di mata publik, sehingga
perbaikan serta kesuksesannya kembali tergantung pada perubahan yang akan
dilakukan.

Profesi akuntan harus mengembangkan pertimbangan, nilai, dan sifat karakter


yang mencakup kepentingan publik, dimana pertimbangan tersebut inheren dengan
munculnya akuntabilitas berorientasi stakeholder dan kerangka tata kelola (governance
framework). Standar code of conduct yang baru muncul untuk menuntun profesi
akuntan serta memastikan bahwa self-interest, bias, dan kesalahpahaman tidak
menutupi independensinya.

Globalisasi mulai mempengaruhi perkembangan aturan dan harmonisasi


standar akuntan profesional, dan hal ini akan terus berkelanjutan. Sama seperti
mekanisme tata kelola untuk korporasi yang menghasilkan batasan dan yurisdiksi
domestik, stakeholders di seluruh dunia akan lebih mengutamakan dalam menentukan
standar kinerja bagi profesi akuntan. Pekerjaan mereka akan melayani pasar modal dan
korporasi global, dan kesuksesannya membutuhkan respek dari karyawan dan partner
yang lebih banyak dibandingkan dahulu. Dengan kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki, akan menarik apabila akuntan profesional dapat menggunakan kesempatan
yang menunjukkan perannya yang lebih luas.

4 Manfaat GCG

Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan


kepercayaan terhadap investor dan institusi terkait di pasar modal. Menurut Tjager dkk
(2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa mengapa penerapan
GCG itu bermanfaat, yaitu:

1. Berdasarka survey yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukkan
bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-
perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya
krisis financial dan krisis berkepanjangan di Asia denngan lemahnya tata kelola
perusahaan.

3. Internasionalisasi pasar – termasuk liberalisasi pasar financial dan pasar modal


menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.

4. Kalau GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis system ini dapat menjadi
dasar bagi beberkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis
yang kini telah banyak berubah.

5.Secara teoris, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Menurut Mas Ahmad Daniri (2005;14) jika perusahaan menerapkan


mekanisme penerapan Good Corporate Governance (GCG) secara konsisten dan
efektif maka akan dapat memberikan manfaat antara lain:

6. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung oleh pemegang
saham akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.

7. Mengurangi biaya modal (Cost of Capital).

8. Meningkatkan nilai saham perusahaan di mata publik dalam jangka panjang.

9.Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan terhadap


keberadaan perusahaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.

5. Pengertian dari Stakeholders

Stakeholders dapat diartikan sebagai segenap pihak yang terkait dengan isu dan
permasalahan yang sedang diangkat. Misalnya bila mana isu perikanan, maka
stakeholder dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan isu perikanan, seperti
nelayan, masyarakat pesisir, pemilik kapal, anak buah kapal, pedagang ikan, pengolah
ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak swasta di bidang perikanan, dan
sebagainya. Stakeholder dalam hal ini dapat juga dinamakan pemangku kepentingan.
Pengertian stakeholders atau Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini
telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks,
misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam,
sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas
istilah stakeholders ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi
keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas
pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.

Dalam buku Cultivating Peace, Ramizes mengidentifikasi berbagai pendapat


mengenai stakekholder ini. Beberapa defenisi yang penting dikemukakan seperti
Freeman (1984) yang mendefenisikan stakeholders sebagai kelompok atau individu
yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Sedangkan Biset (1998) secara singkat mendefenisikan stekeholders merupakan orang
dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder ini sering
diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagimana dikemukakan Freeman (1984),
yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap issu, Grimble and
Wellard (1996), dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka.

6.Macam – macam Stakeholder

Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu


issu, stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu stakeholder
primer, sekunder dan stakeholder kunci.

1. Stakeholder Utama (Primer)

Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan


secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus
ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.

Contohnya :
Masyarakat dan tokoh masyarakat, masyarakat yang terkait dengan proyek,
yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena
dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari proyek
ini. Sedangkan tokoh masyarakat adalah anggota masyarakat yang oleh masyarakat
ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat. Di
sisi lain, stakeholders utama adalah juga pihak manajer Publik yakni lembaga/badan
publik yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan.

2. Stakeholder Pendukung (Sekunder)

Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki


kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek,
tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara
dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah.

Yang termasuk dalam stakeholders pendukung (sekunder) :

a. Lembaga(Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung


jawab langsung.

b. Lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan
secara langsung dalam pengambilan keputusan.

c. Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang
bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki concern
(termasuk organisasi massa yang terkait).

d. Perguruan Tinggi yakni kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam
pengambilan keputusan pemerintah serta Pengusaha (Badan usaha) yang terkait
sehingga mereka juga masuk dalam kelompok stakeholder pendukung.

e. Pengusaha (Badan usaha) yang terkait.

3. Stakeholder Kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara
legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah
unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Stakeholder kunci untuk suatu
keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten.

Yang termasuk dalam stakeholder kunci yaitu :

1. Pemerintah Kabupaten

2. DPR Kabupaten

3. Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.

7. Hubungan Antara Perusahaan Dan Pemangku Kepentingan

Sifat dari hubungan perusahaan dengan stakeholders mengalami perubahan


dinamis seiring berjalannya waktu. Beberapa pakar mengamati terjadinya pergeseran
bentuk dari yang semula tidak aktif (inactive), menjadi reaktif (reactive), kemudian
berubah lagi menjadi proaktif (proactive) dan akhirnya menjadi interaktif (interactive).

7.1 Pola Hubungan Stakeholders

Penjelasan mengenai pola hubungan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Hubungan tidak aktif (inactive); perusahaan meyakini bahwa mereka dapat membuat
keputusan secara sepihak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pihak lain.

2. Hubungan yang reaktif (reactive); perusahaan cenderung bersifat mempertahankan


diri (defensif), dan hanya bertindak ketika dipaksa untuk melakukannya.

3.Hubungan yang proaktif (proactive); perusahaan cenderung berusaha untuk


mengantisipasi kepentingan-kepentingan para stakeholders. Biasanya perusahaan
memiliki departemen khusus yang berfungsi untuk mengidentifikasi isu-isu yang
menjadi perhatian para pemangku kepentingan utama. Namun, perhatian mereka dan
para stakeholder dipandang sebagai suatu permasalahan yang perlu dikelola, bukan
dipandang sebagai suatu sumber keunggulan kompetitif.

4. Hubungan yang interaktif (interactive); perusahaan menggunakan pendekatan bahwa


perusahaan harus memiliki hubungan berkelanjutan yang saling menghormati, terbuka,
dan saling percaya dengan para pemangku kepentingannya. Dengan demikian,
perusahaan menganggap bahwa suatu hubungan yang positif dengan para pemangku
kepentingan adalah sumber nilai dan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.

Hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingan diharapkan bersifat


interaktif. Dengan demikian, diharapkan interaksi ini dapat membantu perusahaan
mempelajari ekspektasi masyarakat, memperoleh keahlian dari luar perusahaan,
mengembangkan solusi kreatif, dan memenangkan dukungan pemangku kepentingan
untuk menerapkan berbagai solusi tersebut. Menurut Tunggal (2009:63) perlunya
respon terhadap para pemangku kepentingan pada era sekarang ini dipertajam dengan
meningkatnya globalisasi perusahaan dan dengan munculnya teknologi-teknologi yang
mampu memfasilitasi komunikasi cepat pada skala dunia. Suatu perusahaan dapat
membuat sebuah pemetaan mengenai tipe pemangku kepentingan yang sedang
dihadapi dengan menempatkan dimensi potensi dan dimensi kerja sama untuk
menentukan strategi untuk menghadapi para pemangku kepentingan tersebut.

8. Contoh Kasus Stakeholders

Pada dekade 80an, perumusan kebijakan yang terjadi di Indonesia bersifat


sangat elitis Agenda kebijakan lebih didasarkan pada kepentingan pemerintah bukan
Negara sebagai suatu keseluruhan dengan komponen swasta maupun masyarakat.

Pemerintah memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah kebijakan yang


diambil. Keterlibatan stakeholder lain seperti swasta maupun masyarakat sangat
dibatasi. Swasta sebagai pemilik modal dilibatkan karena memiliki akses terhadap
peluang untuk investasi bagi berkembangnya industri. Sedangkan masyarakat yang
diwakili oleh lembaga perwakilan (DPR) kurang berperan bahkan cenderung sebagai
‘stempel’ atas kebijakan yang diputuskan pemerintah.

Kebijakan yang ditetapkan seharusnya memperhatikan opini publik yang


tampak dari media massa (agenda media) maupun agenda publik. Media massa
memiliki peran penting dalam menyuarakan kepentingan masyarakat dalam bentuk
opini. Semakin banyak opini tentang sebuah kebijakan yang diliput oleh media berarti
semakin tinggi kebutuhan masyarakat atas kebijakan tersebut.

Dengan demikian setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah, didalamnya


terdapat agenda kebijakan, agenda publik (opini) maupun agenda media Kasus
Yamdena maupun Porsea merupakan contoh nyata tentang kebijakan yang elitis.
Keterlibatan pemerintah sebagai stakeholder sangat kuat bahkan menjadi penentu
pengambilan keputusan atas sebuah kebijakan.

Pemerintah berhak mengeluarkan ijin operasi perusahaan dalam bentuk hak


pengusahaan hutan yang kemudian ‘diamini’ oleh unit pemerintahan dibawahnya tanpa
bisa menolak. Meskipun pada kasus Porsea keterlibatan beberapa menteri terhadap
agenda kebijakan cukup intensif -bahkan tarik ulur sehingga pendirian PT. IIU harus
didasarkan pada persyaratan yang ketat- hal tersebut justru menunjukkan bahwa peran
pemerintah sangat besar dalam keputusan akhir sebuah kebijakan. Sedangkan
masyarakat baik di Yamdena maupun Porsea sebagai pihak yang akan merasakan
langsung kebijakan tersebut tidak mengerti bahkan tidak tahu arah dan tujuan dari
kebijakan pendirian perusahaan tersebut.

Hal yang menarik dalam tarik ulur keterlibatan para menteri adalah munculnya
aspek-aspek baik politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan berkelanjutan.
Didahului oleh keinginan politik dari Presiden Suharto untuk melakukan studi banding
terhadap kelayakan pendirian pulp dan rayon. Polemik berkembang setelah
pertimbangan pembangunan berkelanjutan (menghindari penurunan bahkan perusakan
lingkungan), sosial budaya (pemukiman, infrastruktur belum memenuhi syarat, dan
prostitusi), maupun ekonomi (pemerintah tetap mendapat pajak penghasilan dan
retribusi) yang diungkapkan oleh Menteri KLH Emil Salim dan Menteri Perindustrian.

Setelah melakukan negosiasi akhir pertimbangan yang bernuansa ekonomi


(meningkatkan pendapat pemerintah pusat dan daerah, kualitas kehidupan sosial
ekonomi masyarakat setempat terangkat karena ada lapangan kerja sehingga
mengurangi pengangguran/multiplier effect) lebih utama menjadi dasar pengambilan
keputusan kebijakan pendirian PT. IIU.

Dari penjelasan diatas tampak jelas bahwa agenda kebijakan lebih dominan
dalam pengambilan keputusan. Meskipun persyaratan analisis mengenai dampak
lingkungan diwajibkan (Yamdena) bahkan klausul-klausul tertentu mengisyaratkan
keberpihakan kepada masyarakat (Porsea) tapi itu adalah usulan yang disampaikan
oleh menteri (pemerintah). Sedangkan masyarakat lokal tidak tahu menahu.
Pemerintah seharusnya memperhatikan agenda publik yang berkembang pada
masyarakat lokal.

9. Identifikasi Pemangku Kepentingan

Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang yang mempunyai sesuatu


yang dapat ia peroleh atau akan kehilangan akibat dari sebuah proses perencanaan atau
proyek. Dalam banyak siklus, mereka disebut sebagai kelompok kepentingan, dan
mereka bisa mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan hasil suatu proses politik.
Seringkali akan sangat bermanfaat bagi proyek penelitian untuk mengidentifikasi dan
menganalisa kebutuhan dan kepedulian berbagai pemangku kepentingan, terutama bila
proyek-proyek ini bertujuan mempengaruhi kebijakan.

Dalam menjembatani penelitian dan kebijakan, Analisis Pemangku


Kepentingan dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua pihak yang terlibat dalam
melakukan penelitian, mereka yang membuat atau melaksanakan kebijakan, dan
berbagai pihak perantara diantara kedua pihak tersebut. Sangat membantu dalam
menentukan cara untuk menarik perhatian pemangku kepentingan agar dampak
penelitian terhadap kebijakan dapat dimaksimalkan.

Selanjutnya Analisis Pemangku Kepentingan juga dapat digunakan dalam


penelitian ketika hasilnya sudah dapat diperoleh dan tim peneliti ingin menggunakan
bukti-bukti dari hasil penelitiannya untuk mendapat dampak kebijakan. Kemudian juga
dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempertimbangkan siapa yang perlu
mengetahui tentang hasil penelitian, apa posisi dan minat mereka dan bagaimana
penelitian seharusnya dipaparkan dan dikemas agar menarik. Dengan cara ini analisis
ini menjadi instrumen yang penting untuk memperkirakan berbagai kelompok
kepentingan diseputar isu kebijakan atau dalam perdebatan, dan kemampuan kelompok
untuk mempengaruhi hasil akhir. Langkah pertama adalah menjelaskan tujuan
penelitian atau perubahan kebijakan yang sedang dibahas (Problem tree analysis atau
Objective analysis mungkin dapat membantu untuk melakukan ini). Berikutnya, kenali
semua pemangku kepentingan atau kelompok kepentingan yang terkait dengan tujuan,
proyek, masalah atau isu.

Kelompok kecil terdiri dari enam hingga delapan orang, dengan perspektif yang
bervariasi terhadap masalah yang dibahas, akan cukup memadai untuk menbentuk sesi
brainstorming yang baik. Pemangku kepentingan bisa terdiri dari organisasi,
kelompok, departemen, struktur, jaringan atau individu, tetapi daftar ini perlu sedikit
panjang untuk memastikan bahwa tak ada pihak yang tertinggal. Langkah pertama
adalah menjelaskan tujuan penelitian atau perubahan kebijakan yang sedang dibahas
(Problem tree analysis atau Objective analysis mungkin dapat membantu untuk
melakukan ini). Berikutnya, kenali semua pemangku kepentingan atau kelompok
kepentingan yang terkait dengan tujuan, proyek, masalah atau isu. Kelompok kecil
terdiri dari enam hingga delapan orang, dengan perspektif yang bervariasi terhadap
masalah yang dibahas, akan cukup memadai untuk menbentuk sesi brainstorming yang
baik.
10. Kepentingan dan kekuasaaan pemangku kepentingan (interest and power
stakeholders)

Pemangku kepentingan bisa terdiri dari organisasi, kelompok, departemen,


struktur, jaringan atau individu, tetapi daftar ini perlu sedikit panjang untuk
memastikan bahwa tak ada pihak yang tertinggal. Tabel berikut ini dapat membantu
menata sesi brainstorming, atau memberikan struktur untuk umpan balik dalam plenary
jika Anda melakukannya dalam kelompok-kelompok.

1. Interest Stakeholders

“Kepentingan” menunjukkan sejauh mana mereka kemungkinan besar akan


terpengaruh oleh proyek penelitian atau perubahan kebijakan, dan seberapa besar
kepentingan atau kepedulian mereka terhadap atau tentang proyek penelitian atau
perubahan kebijakan.

Pada suatu kegiatan usaha kepentingan stakeholder dalam hal ini biasanya
seorang pemimpin tentu saja memiliki keinginan sebagai pemegang kekuasaan dan
yang akan memutuskan suatu keputusan penting perusahaan maka tentu saja
kepentingan itu dapat diwujudkan dalam keuntungan atau laba yang didapatkan.

2. Power Stakeholders

“Kekuasaan” mengukur pengaruh yang mereka miliki atas proyek atau


kebijakan, atau seberapa jauh mereka dapat mendukung tercapainya atau menghambat
perubahan yang diinginkan.

Kekuatan sebagai seorang penguasa dalam suatu perusahaan adalah apa yang
menjadi aturannya maka itu yang akan dijalankan oleh manajement
BAB III

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate


Governance adalah sistem dan struktur untuk mengelola perusahaandengan tujuan
meningkatkan nilai pemegang saham (stakeholders value) serta mengalokasi berbagai
pihak yang berkepentingan dengan perusahaan seperti kreditor, suplier, asosiasi usaha,
konsumen, pekerja, pemerintah dan masyarakat luas.

Good Corporate Governance (GCG) merupakan tata kelola perusahaan yang


memiliki agenda yang lebih luas lagi dimasa yang akan datang. Fokus dari akuntabilitas
perusahaan yang semula masih terkonsentrasi atau berorientasi pada para pemegang
saham (stockholder), sekarang menjadi lebih luas dan untuk tata kelola perusahaan juga
harus memperhatikan kepentingan stakeholder.

Pada umumnya Stakholder biasanya di artikan sebagai orang yang akan


mengambil peran aktif dalam eksekusi sistem mutu atau orang yang akan merasakan
dampak signifkan dari penggunanya. Stakeholder ini biasanya berupa orang yang
memiliki sebuah proses,orang yang kegiatannya mempengaruhi sebuah proses,atau
orang yang harus berinteraksi dengan sebuah atau sekumpulan proses.

Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang yang mempunyai sesuatu


yang dapat ia peroleh atau akan kehilangan akibat dari sebuah proses perencanaan atau
proyek. Dalam banyak siklus, mereka disebut sebagai kelompok kepentingan, dan
mereka bisa mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan hasil suatu proses politik.
Seringkali akan sangat bermanfaat bagi proyek penelitian untuk mengidentifikasi dan
menganalisa kebutuhan dan kepedulian berbagai pemangku kepentingan, terutama bila
proyek-proyek ini bertujuan mempengaruhi kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA

1.Adrian Sutedi, Good Corporate Governance, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001).

2.Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2003. mengelola kredit berbasis Good Coorporate


governance. Yogyakarta: balairung & Co

3.Prof. Gudama. 2014. Teori Organisasi. Yogyakarta: BPFE

You might also like