You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia dan Negara tropis lainnya, morbiditas varisela masih tinggi terutama
pada masa anak dan dewasa muda (pubertas). Varisela tidak menyebabkan kematian.
Sejaklama sudah disepakati bahwa varisela dapat sembuh sendiri. Namun varisela termasuk
penyakit yang kontagius (menular) dan penularannya terjadi secara cepat melalui airborn
infection, terutama pada orang serumah dan pada orang dengan immunokompremais. Jika
terkena pada orang immunokompremain (misalnya, HIV) dan kelompok tertentu (ibu
hamil, neonatus) biasanya gejala lebih berat dan mudah mengalami komplikasi. Berbagai
jenis obat antivirus berguna untuk menghambat replikasi virus varisela-zoster, misalnya
asiklovir, valasiklovir, famsiklovir, dan foskarnet. Obat antivirus bermanfaat bila diberikan
dalam waktu 24 jam setelah muncul erupsi kulit. Imunisasi vaksin varisela di Indonesia
tidak termasuk imunisasi yang diharuskan1,3.
Varisela merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varisela Zoster.
Virus Varisela Zoster merupakan virus DNA yang mirip dengan virus Herpes Simpleks.
Pada hakekatnya varisela memberikan gambaran penyakit yang berat dan peradangan yang
lebih jelas disbanding dengan penyakit herpes simpleks. Virus tersebut dapat pula
menyebabkan herpes zoster. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang
berbeda.3,4 Varisela pada umumnya menyerang anak, sedangkan herpes zoster atau shingles
merupakan suatu reaktivasi infeksi endogen pada periode laten VZV umumnya menyerang
orang dewasa atau anak yang menderita defisiensi imun5. Virus Varisela Zoster dapat
menyebabkan 2 jenis, yaitu infeksi primer dan sekunder. Varisela (chicken pox) merupakan
suatu bentuk infeksi primer virus Varisela Zoster yang pertama kali pada individu yang
berkontak langsung dengan virus tersebut sedangkan infeksi sekunder/rekuren (karena
persistensi virus) disebut Herpes Zoster/shingles3. Virus Varisela Zoster masuk kedalam
tubuh dan menyebabkan terjadinya infeksi primer, setelah ada kontak dengan virus tersebut
akan terjadi varisela. Kemudian setelah penderita varisela (infeksi primer) sembuh,

1
mungkin virus itu tetap ada dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) pada dasar
akar ganglia dan nervus spinalis. Virus tersebut dapat menjadi aktif kembali dalam tubuh
individu dan menyebabkan terjadinya Herpes Zoster4.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Varisela (cacar air, chiken pox) adalah infeksi akut primer oleh virus varisela zoster
yang menyerang kulit dan mukosa, manifestasi klinis didahului gejala konsitusi,
kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh1,2.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Varicela tersebar kosmopolit (di seluruh dunia), dapat mengenai semua golongan
umur, termasuk neonates (varisela kongenital) tetapi tersering menyerang terutama
anak-anak, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Transmisi penyakit ini
berlangsung secara aerogen.Varisela sangat mudah menular terutama melalui kontak
langsung, droplet atau aerosol dari lesi vesikuler di kulit ataupun melalui saluran nafas,
dan jarang melalui kontak tidak langsung. Masa penularannya, pasien dapat
menularkan penyakit selama 24-48 jam sebelum lesi kulit timbul sampai semua lesi
timbul krusta/keropeng, biasanya kurang lebih 6-7 hari dihitung dari timbulnya gejala
erupsi di kulit2.

2.3 ETIOLOGI
Varisela disebabkan oleh virus varisela zoster. Penamaan virus ini memberi
pengertian bahwa infeksi primer virus ini meyebabkan penyakit varisela, sedangkan
reaktivasi menyebabkan herpes zoster. Virus varisela zoster termasuk kelompok virus
herpes dengan ukuran diameter kira-kira 140–200 nm.1,2,6 Varisela-Zooster virus
diklasifikasikan sebagai herpes virus alfa karena kesamaannya dengan prototipe
kelompok ini yaitu virus herpes simpleks. Varisela Zoster Virus dapat pula
menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang
berbeda. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu
varisela dikatakan infeksi akut primer, kemudian setelah penderita varisela tersebut

3
sembuh, mungkin virus itu tetap ada di akar ganglia dorsal dalam bentuk laten (tanpa
ada manifestasi klinis) dan kemudian VZV diaktivasi oleh trauma sehingga
menyebabkan Herpes Zoster4,5,6.

Varisela Zoster Virus dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah
penderita varisela sehingga mudah dibiakkan dalam media yang terdiri dari fibroblast
paru embrio manusia4.

Gambar 1. Struktur partikel virus varisela-zooster3

2.4 PATOFISIOLOGI
Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas bagian atas dan
orofaring (percikan ludah, sputum). Multiplikasi virus di tempat tersebut diikuti oleh
penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer).
Varisela Zoster Virus dimusnahkan/ dimakan oleh sel-sel sistem retikuloendotelial, di
sini terjadi replikasi virus lebih banyak lagi (pada masa inkubasi). Selama masa
inkubasi infeksi virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon
yang timbul (imunitas nonspesifik).2,5,6
Pada sebagian besar individu replikasi virus lebih menonjol atau lebih dominan
dibandingkan imunitas tubuhnya yang belum berkembang, sehingga dalam waktu dua
minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak. Hal
ini menyebabkan panas dan malaise, serta virus menyebar ke seluruh tubuh lewat
aliran darah, terutama ke kulit dan membrane mukosa. Lesi kulit muncul berturut-

4
berturut, yang menunjukkan telah memasuki siklus viremia, yang pada penderita yang
normal dihentikan setelah sekitar 3 hari oleh imunitas humoral dan imunitas seluler
virus varisela. Virus beredar di leukosit mononuklear, terutama pada limfosit. Bahkan
pada varisela yang tidak disertai komplikasi, hasil viremia sekunder menunjukkan
adanya subklinis infeksi pada banyak organ selain kulit2. Reaktivasi pada keadaan
tubuh yang lemah sebagian idiopatik tanpa diketahui penyebabnya, sebagian
simptomatik (defisiensi imun melalui penyakit system imun, neoplasia, supresi imun).3

2.5 GEJALA KLINIS


Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Masa inkubasi dapat
lebih lama pada pasien dengan defisiensi imun dan pada pasien yang telah menerima
pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi terhadap
varisela1 . Perjalanan penyakit dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium prodromal dan
stadium erupsi. Stadium prodromal yaitu 24 jam sebelum kelainan kulit timbul,
terdapat gejala seperti demam, malaise, kadang-kadang terdapat kelainan
scarlatinaform atau morbiliform. Stadium erupsi dimulai dengan terjadinya papul
merah, kecil, yang berubah menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai
dasar eritematous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan cekungan ditengah
(unumbilicated).4
Gejala klinis mulai gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi,
malaise dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul
eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel
ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi keruh
(pustul) dalam waktu 24 jam dan kemudian pecah menjadi krusta. Biasanya vesikel
menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh. Sementara proses ini berlangsung,
dalam 3-4 hari erupsi tersebar disertai perasaan gatal. Timbul lagi vesikel-vesikel yang
baru di sekitar vesikula yang lama, sehingga menimbulkan gambaran polimorfi.
Stadium erupsi yang seperti ini disebut sebagai stadium erupsi bergelombang.1,2,4

5
Gambar 2. Gambaran ruam pada infeksi virus varisela zoster3
Penyebaran terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal ke
muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran
napas bagian atas.Jika terdapat infeksi sekunder terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional. Penyakit ini biasanya disertai gatal1.Pada anak kecil jarang terdapat
gejala prodromal. Sementara pada anak yang lebih besar dan dewasa, munculnya
erupsi kulit didahului gejala prodromal. Ruam yang seringkali didahului oleh demam
selama 2-3 hari, kedinginan, malaise, anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung, dan
pada beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk kering3,4.
Gambaran dari lesi varisela berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang dari 12
jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang berkembang menjadi papul,
vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari variela berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk
elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya
superfisial dan berdinding tipis, dan dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak
terlihat seperti “embun di atas daun mawar”. Cairan vesikel cepat menjadi keruh
karena masuknya sel radang, sehingga mengubah vesikel menjadi pustul. Lesi
kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah sehingga menyebabkan umbilikasi
dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu, meninggalkan
bekas bekas cekung kemerahan yang akan berangsur menghilang. Apabila terjadi
superinfeksi dari bakteri maka dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah

6
menyembuh dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap selama
beberapa minggu/bulan2,3.
Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea, saluran
cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah sehingga
seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm. Demam biasanya
berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya demam sesuai dengan
beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC, tetapi pada keadaan yang berat dengan
jumlah lesi banyak dapat mencapai 40,5oC. Demam yang berkepanjangan atau yang
kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi
lainnya. Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama
stadium vesikuler. Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang timbul beberapa hari
menjelang kelahiran dapat menyebabkan varisela kongenital pada neonatus1,2,3.
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran histopatologi yaitu vesikula terdapat dalam epidermis, terbentuk akibat
‘degenerasi balon’, sangat sukar dibedakan dari kelainan pada herpes zoster dan herpes
simpleks. Lesi pada varisela dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel epitel
yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik2,4.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan cara membuat
sediaan hapus yang diwarnai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari kerokan dari
dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas object glass, dan
difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-
eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon. Hasilnya akan didapati sel datia
berinti banyak.1,3,4

2.7 DIAGNOSIS
Varisela biasanya mudah didiagnosa berdasarkan gambaran klinis yaitu penampilan
dan perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila ada riwayat

7
terpapar varisela 2-3 minggu sebelumnya. Varisela khas ditandai dengan erupsi
papulovesikuler setelah fase prodromal ringan atau bahkan tanpa fase prodromal,
dengan disertai panas dan gejala konstitusi ringan. Gambaran lesi bergelombang,
polimorfi dengan penyebaran sentrifugal. Sering ditemukan lesi pada membrane
mukosa. Penularannya berlangsung cepat2.
Diagnosis laboratorik sama seperti pada herpes zoster yaitu dengan pemeriksaan
sediaan hapus secara Tzanck (deteksi sel raksasa dengan banyak nucleus/inti),
pemeriksaan mikroskop electron cairan vesikel (deteksi virus secara langsung) dan
material biopsi (kultur), dan tes serologik (meningkatnya titer)2,3.

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Varisela dapat dibedakan dengan beberapa kelainan kulit, antara lain harus
dibedakan dengan variola. Pada variola, penyakit lebih berat, memberi gambaran lesi
monomorf, dan penyebarannya sentripetal dimulai dari bagian akral tubuh, yakni
telapak tangan dan telapak kaki, baru ke badan1,2.
Bedakan juga dengan herpes zoster. Pada herpes zoster lesi monomorf, nyeri,
biasanya unilateral. Pada herpes zoster juga sama-sama biasanya didahului oleh fase
prodromal, setelah fase prodromal sering disertai dengan rasa nyeri, perubahan pada
kulit terjadi pada setengah bagian badan (unilateral) dan berbentuk garis berkaitan
dengan daerah dermatom dengan lesi yang berupa gelembung-gelembung kecil yang
berkelompok di atas dasar eritematosa. Dapat terjadi perkembangan yang berat yang
meliputi keterlibatan mata (Zoster trigeminus I), mukosa mulut (Zoster trigeminus II,
III), telinga bagian dalam (Zoster oticus). Herpes zoster pada penderita insufisiensi
imun atau tumor, terapi resisten dengan bahaya terjadi efek generalisasi pada kulit dan
manifestasi ekstrakutan3.
Dermatitis herpetiform : biasanya simetris terdiri dari papula vesikuler yang
eritematosus, serta ada riwayat penyakit kronis, dan sembuh dengan meninggalkan
pigmentasi.

8
Impetigo : lesi impetigo yang pertama adalah vesikel yang cepat menjadi pustula
dan krusta. Distribusi lesi impetigo terletak dimana saja. Impetigo tidak menyerang
mukosa mulut.
Skabies : pada skabies terdapat papula yang sangat gatal. Lokasi biasanya antara
jari-jari kaki. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Sarcoptes Scabiei.
2.9 PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap varisela. Pengobatan bersifat simptomatik
dengan antipiretik dan analgesik. Untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan
antihistamin oral atau sedative. Topikal diberikan bedak yang ditambah zat anti gatal
(mentol, kamfora) seperti bedak salisilat 1-2% atau lotion kalamin untuk mencegah
pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa gatal. Jika timbul infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula diberikan
obat-obat antivirus. VZIG (varisela zoster immunoglobuline) dapat mencegah atau
meringankan varisela, diberikan intramuscular dalam 4 hari setelah terpajan. Yang
penting pada penyakit virus, umumnya adalah istirahat / tirah baring. 1,2,4
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Pada anak
normal varisela biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri. Pengobatan topikal dapat
diberikan. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan kompres dingin, atau lotion
kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang mengandung kortikosteroid dan
salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan. Kadang diperlukan antipiretik,
tetapi pemberian golongan salisilat sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan
dengan terjadinya sindroma Reye. Mandi rendam dengan air hangat dapat mencegah
infeksi sekunder bakterial2,3,4.
Anti virus pada anak dengan pengobatan dini varisela dengan pemberian
asiklovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten berusia 2-12
tahun dengan dosis 4 x 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam,
dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan plasebo. Tetapi apabila pengobatan
dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini

9
disebabkan karena varisela merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan
manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan
asiklovir secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak menjadi
masalah, dan kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang menguntungkan (dalam
24 jam setelah timbul ruam), dan ada kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan
sehingga orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat antivirus dapat
diberikan. Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini varisela dengan pemberian
asiklovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru dan menurunkan timbulnya ruam, demam,
dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan plasebo3,4,5.
Secara acak, pemberian plasebo dan asiklovir oral yang terkontrol pada orang
dewasa muda yang sehat dengan varisela menunjukkan bahwa pengobatan dini
(dalam waktu 24 jam setelah timbulnya ruam) dengan asiklovir oral (5x800 mg
selama 7 hari) secara signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru, mengurangi
luasnya lesi yang terbentuk, dan menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian,
pengobatan rutin dari varisela pada orang dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun
tidak diuji, ada kemungkinan bahwa famsiklovir, yang diberikan dengan dosis 200
mg per oral setiap 8 jam, atau valasiklovir dengan dosis 1000 mg per oral setiap 8
jam mudah dan tepat sebagai pengganti asiklovir pada remaja normal dan dewasa3,4,5.
Banyak dokter tidak meresepkan asiklovir untuk varisela selama kehamilan
karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui. Sementara dokter
lain merekomendasikan pemberian asiklovir secara oral untuk infeksi pada
trisemester ketiga ketika organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada
peningkatan terjadinya resiko pneumonia varisela, dan ketika infeksi dapat menyebar
ke bayi yang baru lahir. Pemberian asiklovir intravena sering dipertimbangkan untuk
wanita hamil dengan varisela yang disertai dengan penyakit sistemik. Percobaan
terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa imunokompeten dengan pneumonia
varisela menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 36 jam dari rumah sakit)
dengan asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam) dapat mengurangi demam dan

10
takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi serius lainnya dari varisela pada
orang yang imunokompeten, seperti ensefalitis, meningoensephalitis, myelitis, dan
komplikasi okular, sebaiknya diobati dengan asiklovir intravena3,4,5.
Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan varisela
menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena menurunkan insiden
komplikasi yang mengancam kehidupan viseral ketika pengobatan dimulai dalam
waktu 72 jam dari mulai timbulnya ruam. Asiklovir intravena menjadi standar
perawatan untuk varisela pada pasien yang disertai dengan imunodefisiensi
substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan famsiklovir atau valasiklovir
mungkin cukup untuk pasien dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh, tetapi
tidak ada uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti. Pada penyakit berat
atau wanita hamil dapat diberikan asiklovir IV 10mg/kgBB tiap 8 jam selama 7
hari3,4,5.

2.10 PENCEGAHAN
Pencegahan dengan melakukan vaksinasi. Vaksin dapat diberikan aktif ataupun
pasif. Aktif dilakukan dengan memberikan vaksin varisela berasal dari galur yang
telah dilemahkan (live attenuated). Pasif dilakukan dengan memberikan zoster imuno
globulin (ZIG) dari zoster imun plasma (ZIP).4Vaksin pasif dengan memberikan ZIG.
ZIG ialah suatu globulin-gama dengan titer antibodi yang tinggi dan yang didapatkan
dari penderita yang telah sembuh dari infeksi herpes zoster. Pemberian ZIG sebanyak
5ml dalam 72 jam setelah kontak dengan penderita varisela dapat mencegah penyakit
ini pada anak sehat, tapi pada anak dengan defisiensi imunologis, leukemia atau
penyakit keganasan lainnya, pemberian ZIG tidak menyebabkan pencegahan yang
sempurna. Lagi pula diperlukan ZIG dengan titer yang tinggi dan dalam jumlah yang
lebih besar.4

11
2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi lebih sering
terjadi pada orang dewasa, berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonephritis,
karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan darah
(beberapa macam purpura).1,2Pneumonia varisela hanya terdapat sebanyak 0,8% pada
anak, biasanya disebabkan oleh infeksi sekunder dan dapat sembuh sempurna.
Pneumonia varisela jarang didapatkan pada anak dengan system imunologis normal,
sedangkan pada anak dengan defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak
jarang ditemukan.4
Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan
berlangsung lebih lama, ruam varisela lebih luas, dan komplikasi lebih sering terjadi.
Pneumonia varisela primer merupakan komplikasi tersering pada orang dewasa. Pada
beberapa pasien gejalanya asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat berkembang
mengenai sistem pernafasan dimana gejalanya dapat lebih parah seperti batuk,
dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritis, sianosis, dan batuk darah
yang biasanya timbul dalam 1-6 hari sesudah timbulnya ruam. Juga mungkin
didapatkan komplikasi pada susunan saraf seperti ensefalitis, ataksia, nistagmus,
tremor, myelitis transversa akut, kelumpuhan saraf muka, neuromielitis optika atau
penyakit Devic dengan kebutaan sementara, sindroma hipotalamus yang disertai
dengan obesitas dan panas badan yang berulang-ulang. Penderita varisela dengan
komplikasi ensefalitis setelah sembuh dapat meninggalkan gejala sisa seperti kejang,
retardasi mental dan kelainan tingkah laku.4
Komplikasi susunan saraf pusat pada varisela terjadi kurang dari 1 diantara 1000
kasus. Varisela berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati akut disertai
degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah timbulnya ruam.
Dulu, dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye berhubungan dengan varisela,
khususnya pada penderita yang diterapi dengan aspirin saat demam, dengan
mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih umum terjadi daripada kelainan
neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih jarang lagi terjadi yaitu pada 1 diantara

12
33.000 kasus, tetapi merupakan penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan
kelainan neurologi yang menetap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan
ensephalitis tetap jelas, dimana pada banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen,
VZV antibodi, dan VZV DNA pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga
menyebabkan infeksi secara langsung pada sistem saraf pusat2,3,4.
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis, gastritis dan
lesi ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis Henoch-Schonlein, neuritis,
keratitis, dan iritis. Patogenesa dari komplikasi ini belum diketahui, tetapi infeksi
VZV melalui parenkim secara langsung dan endovascular, atau vasculitis yang
disebabkan oleh VZV antigen-antibodi kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada
kebanyakan kasus2,5.

2.12 PROGNOSIS
Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi prognosis yang
baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit.1,2

13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. TR
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Melayu
Pekerjaan : Mahasiswa
Status Perkawinan : Belum menikah
Tanggal Pemeriksaan : 08 Desember 2017

3.2 Anamnesis (autoanamnesis)


Keluhan Utama :
Bintil-bintil kemerahan berisi cairan di wajah, dada, punggung, dan kedua
tangan sejak 3 hari ini
Keluhan Tambahan
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan berusia 20 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD
Siak dengan keluhan timbul bintil-bintil kemerahan berisi cairan diwajah, dada,
punggung, dan kedua tangan yang dirasakan gatal sejak 3 hari ini. Pasien juga
mengeluhkan demam 3 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Belum pernah mengalami keluhan yang sama
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama juga dialami keluarga pasien
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya

14
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
Tekanan darah : Tidak Diperiksa
Nadi : Tidak Diperiksa
Nafas : Tidak Diperiksa
Suhu : Tidak Diperiksa
Pemeriksaan Thorak : Tidak Diperiksa
Pemeriksaan Abdomen : Tidak Diperiksa

Kelainan Selaput/Mukosa : Tidak Ada Kelainan


Kelainan Mata : Tidak Ada Kelainan
Kelainan Kuku : Tidak Ada Kelainan
Kelainan Rambut : Tidak Ada Kelainan
Kelainan KGB : Tidak Ada Kelainan

Status dermatologis
Tampak vesikel eritema, multiple, berbentuk bulat, dengan ukuran miliar dan
penyebaran regional pada region facialis, thorakalis anterior et posterior, dan
brachialis

.
Gambar 1. Regio Thorakalis posterior

15
3.4 Pemeriksaan Penunjang : Tes Tzanck tidak dilakukan

3.5 Resume :

Pasien perempuan berusia 20 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Siak
dengan keluhan timbul bintil-bintil kemerahan berisi cairan diwajah, dada,
punggung, dan kedua tangan yang dirasakan gatal sejak 3 hari ini. Pasien juga
mengeluhkan demam 3 hari yang lalu. Pasien belum pernah mengalami keluhan
yang sama sebelumnya dan pada anggota keluarga ada yang mengalami hal yang
serupa seperti pasien. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Status
dermatologis pasien tampak vesikel eritema, multiple, berbentuk bulat, dengan
ukuran miliar dan penyebaran regional pada region facialis, thorakalis anterior et
posterior, dan brachialis.
3.5 Diagnosis Banding :
1. Varisela
2. Variola
3. Herpes Zoster
4. Impetigo Bulosa

16
5. Impetigo Krustosa

3.6 Diagnosis Kerja : Varisela

3.7 Penatalaksanaan :
Non medikamentosa
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya yang disebabkan oleh virus,
dan dapat menular melalui udara
- Menjelaskan kepada pasien untuk memakai masker
- Menjelaskan kepada keluarga dan pasien untuk tidak kontak langsung antara
pasien dengan orang yang sehat
- Menjelaskan kepada pasien untuk patuh terhadap pengobatan
Medikamentosa
- Topikal : Salicyl Talk 2x sehari pada lesi yang belum pecah
(dioleskan pada permukaan kulit)
- Sistemik : Tablet asiklovir 5x800 mg/hari
Tablet paracetamol 3x 500 mg/hari
Tablet cetirizin 2x10 mg/hari

3.8 Prognosis :
- Quo Ad Sanationam : Bonam
- Quo Ad Vitam : Bonam
- Quo Ad Fungsionam : Bonam
- Quo Ad Kosmetikum : Bonam

17
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Pasien perempuan berusia 20 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Siak
dengan keluhan timbul bintil-bintil kemerahan berisi cairan diwajah, dada, punggung,
dan kedua tangan yang dirasakan gatal sejak 3 hari ini. Pasien juga mengeluhkan
demam 3 hari yang lalu. Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya dan pada anggota keluarga ada yang mengalami hal yang serupa seperti
pasien. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Status dermatologis pasien tampak
vesikel eritema, multiple, berbentuk bulat, dengan ukuran miliar dan penyebaran
regional pada region facialis, thorakalis anterior et posterior, dan brachialis. Pasien
didiagnosis dengan varisela berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pengobatan yang telah diberikan kepada pasien berupa tablet asiklovir 5x800 mg/hari,
tablet parasetamol 3x 500 mg, tablet cetirizin 1x10 mg, krim gentamisin 2x/hari
Varisela merupakan infeksi akut primer oleh virus varisela zoster yang menyerang
kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama
berlokasi di bagian sentral tubuh. Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah
paparan, dengan kisaran 10 sampai 21 hari. Biasanya diawali dengan gejala prodromal,
yakni demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, dan nyeri kepala, kemudian disusul
dengan timbulnya papula eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi
vesikel. Dimana vesikel akan berkembang menjadi, pustul, dan kemudian menjadi
krusta. Penyebarannya terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ektremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut,
dan saluran nafas bagian atas.
Untuk membantu diagnosa dapat dilakukan percobaan Tzanck yang diambil dari
kerokan dasar vesikel dan didapatkan sel datia yang berinti banyak. Untuk pengobatan
dapat diberikan antivirus, dimana dosis oral yang diberikan pada anak yaitu
4x20mg/kgBB selama lima hari. Sementara dosis yang diberikan pada orang dewasa
5x800 mg selama tujuh hari.Disamping itu dapat pula diberikan antipiretik, dan

18
analgesik, serta bedak yang ditambah zat anti gatal untuk mencegah pecahnya vesikel
secara dini, dan mengurangi rasa gatal. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksin
varisela yang berasal dari galur yang dilemahkan.Diberikan pada anak umur 12 bulan
atau lebih, dan diberikan vaksin ulangan 4-6 tahun kemudian.Sementara pada anak
yang berusia 12 tahun dosis ulangan diberikan 4-8 minggu setelah dosis pertama.
Pemberian vaksin ini dilakukan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah, S dan Handoko, R.P. 2016. Varisela (Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin). Edisi Ketujuh, Cetakan Ketiga. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
2. Papadopoulos, A.J. 2017. Chikenpox . https://emedicine.medscape.com/article/1131785-
overview (Diakses pada 20 Desember 2017)
3. Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. Varisela. In: Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine; seventh edition, vol 1 and 2. 2008. P.1885-1895.
4. Siregar RS. Varisela. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit; edisi 2. Jakarta:
EGC; 2004. H. 88-84
5. Hassan Rusepno, Alatas Husein. Varisela (cacar air,”chicken pox”). Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, jilid 2. Jakarta: INFOMEDIKA; 2007. P.637-640.
6. Harahap Marwali. Varisela. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.
H.94-96.

20

You might also like