You are on page 1of 14

Hamzah Masuk Islam

Saat Hamzah dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma masuk Islam, posisi kaum
muslimin di Makkah bertambah kuat. Namun upaya kaum musyrikin untuk menghentikan
dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah kendor. Melalui paman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, kaum musyrikin meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghentikan dakwahnya. Namun upaya ini pun gagal. Akibatnya, penindasan terhadap kaum
muslimin semakin menjadi-jadi.

Abu Jahl semakin hebat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin.
Suatu kali dia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia pun mencaci-maki
dan menyakiti beliau. Namun tindakannya itu tidak digubris oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan beliau tidak berbicara sepatah kata pun kepadanya. Ternyata ada salah seorang
maula (bekas budak) dari ‘Abdullah bin Jud’an mendengar hal ini. Dia pun sengaja menyingkir
ke tempat pertemuan Quraisy di dekat Ka’bah dan duduk bersama mereka. Tak lama kemudian
datanglah Hamzah bin ‘Abdul Muththalib sambil menenteng panahnya. Agaknya dia baru
pulang berburu.

Biasanya jika Hamzah pulang berburu tidak langsung ke rumah keluarganya, namun melakukan
thawaf di Ka’bah (lebih dulu). Dia termasuk pemuda bangsawan Quraisy dan berwatak keras.
Ketika dia melewati maula tersebut dan waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
pulang ke rumahnya, dia (maula tersebut) berkata, “Hai Abu ‘Imarah (maksudnya Hamzah,
red.), seandainya kau melihat apa yang dilakukan Abul Hakam bin Hisyam (maksudnya Abu
Jahl, red.) terhadap keponakanmu, yang dia lihat duduk di sini kemudian dia menyakitinya,
mencaci-maki, dan mencercanya. Kemudian dia pergi dan Muhammad sama sekali tidak
berbicara dengannya sepatah kata pun.”

Mendengar keterangan ini, Hamzah tidak dapat menahan marahnya, yang


Allah subhanahu wa ta’ala memang menghendaki kemuliaan baginya. Hamzah segera
keluar dan tidak menyapa siapa pun. Padahal setiap dia melewati tempat pertemuan itu
dia senantiasa berbincang-bincang dengan orang yang ada di sana. Sekarang dia
keluar sengaja mencari Abu Jahl untuk memberi pelajaran keras kepadanya.
Ketika Hamzah memasuki masjid dan melihat Abu Jahl duduk dengan beberapa orang,
dia sengaja mendekatinya. Setelah dekat dengan Abu Jahl, Hamzah segera memukul
kepala Abu Jahal dengan busur panah yang ada di tangannya hingga berdarah dan
berkata, “Kau berani mencaci-makinya? Aku di atas agamanya. Aku pun mengucapkan
apa yang diucapkannya. Coba balas, kalau kau berani!”

Beberapa orang yang ada di dekat Abu Jahl dari Bani Makhzum segera berdiri
mengepung Hamzah karena ingin membela Abu Jahl. Tapi Abu Jahl berkata,
“Tinggalkan Abu ‘Imarah (Hamzah), aku—demi Allah—benar-benar sudah mencaci-
maki keponakannya dengan umpatan yang sangat buruk.”

Sejak itu, keislaman Hamzah mulai berkembang sempurna. Orang-orang kafir Quraisy
mulai menyadari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah kuat dan
mempunyai pembela. Mereka pun mulai mengurangi penindasan terhadap beliau dan
para sahabatnya.
Sebagian ahli sejarah menceritakan setelah mengucapkan kata-katanya di depan Abu
Jahl itu, Hamzah sempat menyesal dan bingung, kemudian dia berdoa kepada
Allah subhanahu wa ta’ala di sisi Ka’bah. Akhirnya setelah merasa lega dia segera
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Beliau
pun mendoakan agar Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkan Hamzah dalam
keyakinannya.
‘Umar Masuk Islam
Dikisahkan dari riwayat Khabbab radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mendoakan ‘Umar agar masuk Islam. Beliau berkata, “Ya Allah,
muliakanlah Islam dengan ‘Umar bin al-Khaththab atau ‘Amru bin Hisyam.”[1]
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sebuah rumah di
dekat bukit ash-Shafa. ‘Umar pun segera berangkat ke sana. Bertepatan pula di rumah
itu ada Hamzah, Thalhah, dan beberapa orang lain. Hamzah berkata, “Ini ‘Umar datang.
Kalau Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan baginya, maka dia selamat.
Kalau tidak, membunuhnya sangat mudah bagi kita.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berada di dalam, kemudian beliau diberitahu lalu keluar.
Begitu ‘Umar masuk, Hamzah segera mencengkeram pakaian dan pedang ‘Umar
sambil berkata, “Apakah engkau belum juga mau berhenti, hai ‘Umar sampai
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kehinaan bagimu sebagaimana yang dialami
oleh al-Walid bin al-Mughirah?!”
Umar segera berkata, “Aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan engkau
(Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Ibnu Ishaq mengatakan, “Setelah ‘Umar masuk Islam, para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa mendapat pertolongan. Begitu juga
halnya ketika Hamzah masuk Islam.”
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kami tidak pernah mampu shalat di sisi
Ka’bah hingga ‘Umar masuk Islam.”
Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, “Kami senantiasa merasa terhormat sejak
‘Umar masuk Islam.”

Melihat dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah kokoh,


mereka (orang-orang musyrikin) pun sekali lagi menemui Abu Thalib agar dia
membujuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “Hai Abu Thalib.
Sesungguhnya engkau telah berusia cukup matang, memiliki kedudukan dan
kemuliaan. Kami pernah memintamu agar menghentikan anak saudaramu tapi ternyata
tidak engkau lakukan. Demi Allah, kami tidak bisa bersabar lagi melihat dia mencaci-
maki nenek moyang kami, membodoh-bodohi pemuka kami dan mencela sesembahan
kami, hingga engkau menahannya dari kami atau engkau dan dia kami hadapi sampai
salah satu dari kita binasa.” (Atau sebagaimana dikatakan mereka)
Hal ini sangat memberatkan Abu Thalib, yang dia harus berpisah dan bermusuhan
dengan kaumnya. Dia pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
“Wahai anak saudaraku, kaummu menemuiku serta mengatakan ini dan itu. Sekarang
tinggallah engkau dan aku saja. Janganlah kau bebani aku dengan sesuatu yang tidak
sanggup aku memikulnya.”
Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangka barangkali pamannya telah
melihat sesuatu. Mungkin dia sudah merasa tidak sanggup membela beliau dan akan
menyerahkannya ke tangan Quraisy. Disebutkan dalam riwayat lain yang sahih,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Kalian melihat matahari itu?” Mereka
menjawab, ”Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Saya tidak lebih
mampu untuk meninggalkan itu (dakwah) dari kalian, kemudian kalian terbakar dengan
percikan darinya.”[2]
Kemudian beliau berpaling dan menangis, lalu berdiri. Ketika beliau beranjak pergi, Abu
Thalib memanggilnya, “Menghadaplah kemari, wahai anak saudaraku. Menghadaplah!”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menghadap kepada pamannya.
Abu Thalib bekata, “Menghadaplah dan katakanlah apa pun yang engkau sukai. Demi
Allah, aku tidak akan menyerahkan engkau kepada siapa pun selama-lamanya.”

Melihat bahwa Abu Thalib juga tidak mampu menghentikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka pun bertambah sengit memusuhi kaum muslimin. Setiap
kabilah menangkap orang dari pihak mereka yang masuk Islam untuk disiksa.
Ramlah bintu Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi
Manaf bin Qushay al-Qurasyiyyah al-Umawiyyah (Ummu Habibah radhiallahu ‘anha)

Dia bernama Ramlah bintu Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdi Syams
bin ‘Abdi Manaf bin Qushay al-Qurasyiyyah al-Umawiyyah yang berkunyah dengan
Ummu Habibah radhiallahu ‘anha. Dia lahir tujuh belas tahun sebelum kenabian. Ibunya
bernama Shafiyyah bintu Abil ‘Ash bin Umayyah bin ‘Abdi Syams.
Bersama suaminya, ‘Ubaidullah bin Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mur al-Asadi dari Bani Asad
bin Khuzaimah, Ummu Habibah menyongsong seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, meninggalkan segala kesyirikan yang digeluti kaumnya.
Betapa Abu Sufyan dengan segenap kekuatan, berusaha agar putri dan menantunya
kembali pada agamanya dan agama nenek moyangnya. Namun tak sedikit pun
membuahkan hasil. Keimanan yang menancap dalam hati Ummu Habibah radhiallahu
‘anha terlalu kuat untuk dicabut oleh kekuatan Abu Sufyan, serta terlalu kokoh untuk
digoncang dengan kemurkaannya.
Ketika kaum Quraisy mengetahui bahwa Abu Sufyan murka terhadap putri dan
menantunya, mereka pun semakin berani terhadap keduanya. Mulailah mereka
melancarkan penindasan kepada Ummu Habibah dan keluarganya, hingga mereka tak
kuasa lagi hidup di negeri Makkah.

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan izin kepada kaum muslimin
untuk hijrah ke Habasyah, Ummu Habibah bintu Abi Sufyan radhiallahu ‘anha bersama
suaminya, dengan putrinya yang masih kecil, Habibah, masuk dalam barisan orang-
orang yang berhijrah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, membawa agama mereka,
melarikan iman mereka menuju naungan Najasyi, penguasa Habasyah.
Abu Sufyan dan para pemimpin Quraisy yang lain pun kesulitan untuk mengambil
kembali kaum muslimin, sementara kaum muslimin menghirup udara kebebasan di
negeri Habasyah. Maka mereka mengutus para duta untuk menghasut Najasyi, serta
memintanya untuk menyerahkan kaum muslimin kepada mereka. Mereka pun
mengatakan bahwa kaum muslimin mencela al-Masih ‘Isa dan ibunya, Maryam.

Najasyi mengirim utusan untuk menemui tokoh-tokoh kaum muslimin yang berhijrah itu,
serta bertanya tentang hakikat agama mereka. Juga tentang apa yang mereka katakan
tentang Isa bin Maryam dan ibunya, serta meminta mereka untuk menyebutkan sesuatu
dari Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi mereka.
Ketika para sahabat mengabarkan kepada Najasyi tentang hakikat Islam dan
membacakan di hadapannya sebagian ayat Al-Qur’an, menangislah Najasyi hingga
basah jenggotnya oleh air mata. Lalu dia berkata, “Sesungguhnya apa yang diturunkan
kepada Nabi kalian Muhammad dan apa yang dibawa oleh ‘Isa bin Maryam keluar dari
satu misykah.[1]”
Kemudian dia pun menyatakan keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta’alasemata,
tiada sekutu bagi-Nya, dan pembenarannya terhadap kenabian Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pun dia mengumumkan perlindungannya terhadap siapa pun yang
berhijrah ke negerinya dari kalangan muslimin.
Ummu Habibah menyangka, akan datang hari-hari yang cerah setelah lama
kemuraman berlangsung, dan perjalanan yang sedemikian berat di jalan yang terjal
telah menyampaikannya pada nuansa keamanan. Sementara dia tidak pernah
mengetahui, takdir apa yang masih tersembunyi baginya.

Suatu malam, ketika Ummu Habibah telah merebahkan diri di pembaringan, dia
bermimpi melihat suaminya, ‘Ubaidullah bin Jahsy, diterpa gelombang lautan yang
dahsyat dalam kegelapan yang teramat pekat. Dia dalam keadaan yang sangat
mengenaskan.

Ummu Habibah radhiallahu ‘anha terjaga dari tidurnya dalam keadaan takut dan
goncang. Esok harinya, mimpinya menjadi sebuah kenyataan. Hari itu, ‘Ubaidullah bin
Jahsy murtad dan memeluk agama Nasrani. Dia pun mulai mengunjungi tempat minum-
minum dan menenggak khamr.
‘Ubaidullah bin Jahsy mengajukan dua pilihan yang sama pahitnya kepada istrinya,
mengikutinya memeluk agama Nasrani atau diceraikan.
Ummu Habibah radhiallahu ‘anha mendapati dirinya berada di antara tiga persimpangan
jalan. Pertama, dia sambut ajakan suaminya untuk masuk agama Nasrani yang berarti
dia keluar dari agamanya dan menyandang kehinaan di dunia dan di akhirat. Ini adalah
jalan yang sama sekali tak ingin ditempuhnya walaupun dagingnya disisir dari tulangnya
dengan sisir besi! Kedua, dia kembali ke rumah ayahnya di Makkah, sementara
ayahnya masih tetap dalam kesyirikannya, hingga dia nanti harus hidup dalam keadaan
terjajah agamanya. Ketiga, dia bertahan di negeri Habasyah dalam keadaan sendiri,
terusir, tak memiliki keluarga, kampung halaman, dan tanpa siapa pun yang akan
melindunginya.
Maka dia memilih jalan yang mengandung ridha Allah ‘azza wa jalla. Dia memilih
berpisah dengan suaminya dan bertekad untuk tetap tinggal di Habasyah hingga nanti
Allah subhanahu wa ta’ala datangkan kelapangan dari sisi-Nya. Ternyata ‘Ubaidullah bin
Jahsy meninggal tak selang lama setelah memeluk agama Nasrani.
Tak lama penantian Ummu Habibah radhiallahu ‘anha. Suatu ketika, dia dikejutkan oleh
kedatangan budak perempuan Najasyi yang bernama Abrahah. Dia menyambut
dengan santun dan berseri-seri, memberikan izin untuk masuk menemuinya. Kepada
Ummu Habibah, Abrahah menyampaikan, “Sesungguhnya Raja menyampaikan salam
penghormatan kepadamu dan mengatakan kepadamu bahwa Muhammad Rasulullah
telah meminang dirimu. Beliau mengirimkan sepucuk surat kepada Raja agar menjadi
wakil untuk melaksanakan akad nikah beliau denganmu. Maka tunjuklah seseorang
yang engkau inginkan untuk menikahkanmu.”
Ummu Habibah radhiallahu ‘anha serasa dilambungkan oleh kegembiraannya. Serta-
merta ditanggalkannya sepasang gelang perak yang dikenakannya dan diberikan
kepada Abrahah. Andaikan dia memiliki seluruh perbendaharaan dunia, ingin dia
berikan pula saat itu. Dia berkata, “Aku serahkan urusanku ini kepada Khalid bin Sa’id
bin al-‘Ash. Dia adalah orang yang paling dekat kekerabatannya denganku.”
Pada tahun ketujuh setelah hijrah, dalam istana Najasyi, berkumpul seluruh sahabat
yang tinggal di Habasyah, dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, Khalid bin Sa’id bin al-
‘Ash bin Umayyah, ‘Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi, dan yang lainnya radhiallah
‘anhum, untuk menyaksikan terselenggaranya akad nikah Ummu Habibah bintu Abi
Sufyan radhiallahu ‘anha dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seusai memuji dan menyanjung Allah subhanahu wa ta’ala serta bertasyahhud[2],
Najasyi mengatakan kepada para hadirin, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menulis surat kepadaku untuk menikahkan beliau dengan Ummu
Habibah bintu Abi Sufyan. Maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan mahar
kepada Ummu Habibah dari beliau sebesar empat ratus dinar emas.” Kemudian
dikeluarkannya dinar-dinar itu di hadapan Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhu.
Khalid pun berkata, “Aku penuhi permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan
aku nikahkan beliau dengan Ummu Habibah bintu Abi Sufyan.”
Kemudian Najasyi menghidangkan makanan bagi para hadirin dalam pernikahan itu.
Saat Ummu Habibah radhiallahu ‘anha menerima mahar itu, diberikannya lima puluh
dinar kepada Abrahah. Namun Abrahah menolaknya. “Sesungguhnya Raja
menetapkan demikian kepadaku,” katanya. Dia pun mengembalikan sepasang gelang
yang diberikan Ummu Habibah dulu. Keesokan harinya, Abrahah datang
membawa ‘ud[3], waras[4], ‘anbar, dan zubad[5]. Kemudian Ummu Habibah radhiallahu
‘anhabersiap untuk dibawa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.
Kecintaan Ummu Habibah radhiallahu ‘anha terhadap Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi segalanya. Tatkala terjadi pengkhianatan
kaum musyrikin terhadap Perjanjian Hudaibiyah, Abu Sufyan datang ke Madinah,
bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperpanjang
perdamaian dengan kaum muslimin. Akan tetapi, beliau menolaknya.
Abu Sufyan beranjak dari hadapan beliau dan datang di kediaman putrinya, Ummu
Habibah. Ketika dia hendak duduk di hamparan tempat duduk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Ummu Habibah menjauhkannya. Abu Sufyan pun marah, “Wahai
putriku, engkau lebih menyukai tempat duduk itu daripada aku, ataukah lebih
menyukaiku?”
Ummu Habibah menjawab, “Akan tetapi, ini tempat duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sementara engkau adalah seorang musyrik yang najis.”
Abu Sufyan pun berujar, “Putriku, engkau benar-benar telah ditimpa kejelekan setelah
berpisah denganku!”

Semasa hidupnya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha menyebarkan riwayat dari


suaminya yang mulia. Betapa banyak yang telah mengambil ilmu darinya. Ummu
Habibah pun mendapatkan kedudukan yang terhormat dan mulia di sisi kaum muslimin,
terutama pada masa pemerintahan saudaranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu
‘anhuma, hingga tiba saat dia kembali ke haribaan Rabbnya pada tahun 44 H.
Ummu Habibah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumayyah bintu Khayyat
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu ‘Imran)

Keimanan terhadap agama Muhammad n menjanjikan segala kebahagiaan baginya. Janji


yang takkan pernah diselisihi. Hingga dia pun rela menanggung segenap kepedihan siksa
dunia yang menuntutnya keluar dari kebenaran yang digenggamnya. Dia lalui segalanya
sampai akhir hayatnya.
Dia adalah seorang wanita yang memiliki kemuliaan, Sumayyah bintu Khayyath x. Dia
seorang sahaya wanita milik Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah bin Abdillah bin ‘Umar bin
Makhzum. Tuannya kemudian menikahkan dirinya dengan seorang sekutu Bani
Makhzum, bernama Yasir bin ‘Amir bin Malik.
Yasir sendiri bukanlah penduduk asli Makkah. Dia berasal dari Yaman. Awalnya, dia
datang ke Makkah bersama dua orang saudaranya, Al-Harits dan Malik, dalam rangka
mencari saudara laki-lakinya. Kemudian pulanglah Al-Harits dan Malik ke negeri
Yaman, sementara Yasir menetap di Makkah. Di kota ini, dia kemudian bersekutu
dengan Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah.
Kepada Yasir dan Sumayyah, Allah I anugerahi mereka seorang anak laki-laki bernama
‘Ammar. ‘Ammar sendiri kemudian dimerdekakan Abu Hudzaifah.1 Namun Yasir dan
putranya itu tetap bersama Abu Hudzaifah hingga Abu Hudzaifah meninggal.
Sampai suatu ketika Allah I datangkan cahaya Islam di negeri Makkah. ‘Ammar yang
mula-mula menyambut dakwah Rasulullah n. Saat kembali ke hadapan ibu dan
ayahnya, ‘Ammar begitu ingin agar mereka berdua juga masuk Islam. Dia pun
mengajak ibu dan ayahnya untuk beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
n. Allah I pun membukakan pintu hati mereka berdua untuk menerima seruan itu,
hingga berislamlah keluarga Yasir.
Saat itu, orang-orang yang menampakkan keislamannya dapat dihitung dengan jari.
Mereka adalah Rasulullah n, Abu Bakr, ‘Ammar, Yasir, Sumayyah, Shuhaib, Bilal, dan
Al-Miqdad. Rasulullah n mendapat perlindungan dari paman beliau, Abu Thalib bin
‘Abdil Muththalib, sementara Abu Bakr dilindungi oleh kaumnya. Selebihnya ditahan
oleh kaumnya yang musyrik. Mereka disiksa dengan siksaan yang hebat, diberi pakaian
dari besi, lalu dibiarkan terbakar panas terik matahari padang pasir. Mereka benar-
benar merasakan siksaan yang dahsyat dari kaum musyrikin yang menghendaki
mereka keluar dari agama Muhammad n. Keluarga Yasir disiksa oleh Bani Makhzum,
kabilah Abu Hudzaifah di Bath-ha`.
Ketika itu, Rasulullah n berjalan di Bath-ha` bersama ‘Utsman bin ‘Affan z sembari
menggamit tangan ‘Utsman. Tatkala melewati keluarga Yasir, Yasir pun berkata kepada
Rasulullah n: “Wahai Rasulullah, sepanjang waktu demikian keadaannya.”
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat yang dijanjikan bagi kalian
adalah surga,” jawab beliau n.
Di puncak beratnya siksaan itu, tatkala malam mulai tiba, Abu Jahl mendatangi
Summayyah, lalu mencaci makinya dengan cercaan yang kotor. Dia ambil sebilah
tombak, kemudian ditusukkannya ke kemaluan Sumayyah hingga meninggal.
Tertumpahlah darah seorang wanita yang bertahan dalam keimanannya di tengah
siksaan yang sedemikian beratnya. Dia telah meraih syahadah. Dialah syahidah
pertama dalam Islam.
Sumayyah bintu Khayyath, semoga Allah I meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 ‘Ammar adalah maula Abu Hudzaifah karena ibunya, Sumayyah, adalah hamba
sahaya milik Abu Hudzaifah.
Ummu Sulaim bintu Milhan
Sejak iman merasuk dalam kalbunya, kemuliaan selalu menjadi miliknya. Bukan
gemerlap permata mahar yang dipilihnya, melainkan semata keislaman suaminya.
Kesabaran, keberanian, kecintaannya kepada Rasul-Nya, tidaklah menambah pada
dirinya kecuali taburan keharuman kisah hidupnya. Siapa yang tak merasa bahagia
dengan janji mulia untuk meraih surga?
Lebih dikenal dengan sebutan Ummu Sulaim. Dia adalah ar-Rumaisha’ bintu Milhan bin
Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin an-Najjar.
Ibunya bernama Mulaikah bintu Malik bin ‘Ady bin Zaid Manat bin ‘Ady bin ‘Amr bin
Malik bin an-Najjar.

Semasa jahiliah, dia disunting oleh Malik bin an-Nadhar bin Dhamdham bin Zaid bin
Haram bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin an-Najjar. Lahir dari pernikahan
mereka seorang yang kelak menjadi orang yang mulia, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
Cahaya Islam merebak di bumi Madinah. Bersama kaumnya, Ummu Sulaim radhiallahu
‘anhamenyatakan ketundukannya. Saat itu, Malik bin an-Nadhar tengah bepergian.
Ketika pulang, Malik mengetahui bahwa istrinya telah meninggalkan agama nenek
moyangnya. “Apa engkau telah keluar dari agamamu?” tanya Malik pada istrinya.
“Aku tidak keluar dari agama, tetapi aku telah beriman.”

Namun, Malik bin An-Nadhar tetap pada pendiriannya, di atas agama nenek
moyangnya.

Ummu Sulaim pun menuntun putranya, Anas, “Katakanlah La ilaha illallah. Katakan
pula, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”
Anas pun melakukannya. Mendengar istrinya menyuruh sang anak bersyahadat, Malik
bin an-Nadhar berang, “Jangan engkau rusak anakku !”

Dalam kemarahannya, Malik bin An-Nadhar pergi meninggalkan istri dan anaknya ke
Syam. Namun, dia bertemu dengan musuh di perjalanan hingga mengantarkan pada
kematiannya.

Mendengar berita kematiannya, Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha mengatakan, “Tidak


mengapa. Sungguh, aku tidak akan menyapih anakku sampai dia sendiri yang
meninggalkan buah dadaku. Sungguh, aku tidak akan menikah sampai anakku besar.”
Waktu terus bergulir. Putra Ummu Sulaim pun telah tumbuh besar. Suatu ketika,
datanglah Abu Thalhah yang kala itu masih musyrik untuk meminang Ummu Sulaim.

Ummu Sulaim menjawab pinangan itu, “Tidak layak bagiku menikah dengan seorang
musyrik. Tidakkah engkau tahu, wahai Abu Thalhah, sembahan-sembahan kalian itu
hanyalah kayu yang dipahat oleh budak keluarga Fulan? Andai kalian sulut dengan api,
pasti akan terbakar!”
Abu Thalhah pulang. Namun, ucapan Ummu Sulaim begitu membekas dalam hatinya.
Di lain waktu, dia datang kembali sembari mengatakan, “Apa yang kautawarkan padaku
telah kuterima.”

Ummu Sulaim segera memanggil anaknya, “Wahai Anas, bangkitlah! Nikahkanlah Abu
Thalhah!”

Menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah. Tak ada mahar bagi Ummu Sulaim
selain keislaman Abu Thalhah. Allah ‘azza wa jalla menganugerahkan pada pasangan
ini seorang putra, Abu ‘Umair namanya.
Suatu saat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang berkunjung. Beliau melihat
Abu ‘Umair berwajah muram. “Mengapa kulihat Abu ‘Umair murung?” tanya beliau.
“Burung kecil yang biasa dijadikannya mainan mati,” jawab Ummu Sulaim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala Abu ‘Umair sambil menyapa,
“Wahai Abu ‘Umair, mengapa burung kecilmu?”
Abu Thalhah sangat menyayangi putranya. Suatu ketika, Abu ‘Umair sakit. Ketika Abu
Thalhah pergi ke masjid, Abu ‘Umair meninggal.

Dengan sepenuh ketabahan, sang ibu, Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha, segera
memandikan, mengafani dan mengurus jenazahnya. Dia pun berpesan pada
keluarganya, “Jangan ada seorang pun di antara kalian yang menyampaikan hal ini
pada Abu Thalhah sampai aku sendiri yang menyampaikannya.”
Ummu Sulaim pun mempersiapkan segalanya. Dihidangkannya makan malam
sebagaimana biasa. Dia pun berdandan secantik-cantiknya dan mengenakan
wewangiannya.

Ketika datang, Abu Thalhah bertanya, “Bagaimana keadaan anakku?”

“Dia sekarang lebih tenang,” jawab Ummu Sulaim.

Abu Thalhah pun menikmati makan malamnya. Setelah itu, melihat kecantikan istrinya,
Abu Thalhah ingin mendatangi Ummu Sulaim.

Di akhir malam, Ummu Sulaim berkata, “Bagaimana pandanganmu tentang keluarga


Fulan yang meminjam suatu barang; ketika pemiliknya datang meminta, dia merasa
berat untuk memberikannya.”

“Mereka tidak berbuat adil,” jawab Abu Thalhah.

Ummu Sulaim pun melanjutkan, “Sesungguhnya anakmu adalah pinjaman dari Allah,
dan kini Pemiliknya telah mengambilnya.”

Abu Thalhah pun ber-istirja’ (berucap Innalillahi wa inna ilaihi raji’un) mendengarnya.
Keesokan harinya, Abu Thalhah mengadukan peristiwa yang dialaminya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Semoga Allah memberkahi
malam kalian berdua.”
Setelah itu, Ummu Sulaim mengandung. Beratnya masa mengandung tidak
menyurutkan semangat dan kecintaan Ummu Sulaim kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saat pecah perang Hunain, Ummu Sulaim turut bersama suaminya
untuk memberi minum dan merawat luka dengan membawa pisau besar yang terselip
di pinggangnya.
Abu Thalhah berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ini
Ummu Sulaim membawa pisau besar.”
Ummu Sulaim pun menyahut, “Wahai Rasulullah, aku membawa pisau ini, bila salah
seorang musyrikin mendekatiku, aku akan merobek perutnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, “Wahai Ummu


Sulaim, sesungguhnya Allah telah mencukupi dan memberikan kebaikan.”
Hari terus berlalu. Tatkala lahir bayinya, Ummu Sulaim berpesan kepada Anas,
“Antarkan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta kurma ini. Nanti
beliau yang mentahniknya dan memberinya nama.”
Anas radhiallahu ‘anhu melaksanakan pesan ibunya. Dia bawa adiknya ke hadapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Siapa ini, wahai Anas?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, ini adikku. Ibuku menyuruhku untuk membawanya kepadamu,” kata
Anas.

Beliau pun mengambil bayi itu, kemudian meminta kurma yang dibawa Anas. Beliau
mengunyah kurma itu, lalu meludahkannya ke mulut sang bayi. Bayi kecil itu pun
mengecap merasakan manisnya kurma, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tertawa, “Kesukaan Anshar adalah kurma.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama ‘Abdullah. Dari ‘Abdullah ini
kelak lahir anak-anak yang semuanya menjadi ulama.
Seorang ibu yang begitu mendambakan kemuliaan bagi putra-putranya. Suatu kali,
Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha membawa putranya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ke
hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Wahai Rasulullah,” kata Ummu
Sulaim, “Ini anakku Anas, kubawa dia padamu agar dia membantumu. Doakanlah dia.”
Tak ketinggalan satu kebaikan dunia dan akhirat dimohonkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambagi Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Kemudian
beliau berdoa, “Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya, serta berikanlah barakah
padanya.”
Dengan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu, Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu menjadi seorang yang berlimpah harta dan banyak keturunannya.
Tak kurang kisah kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu
Sulaim radhiallahu ‘anha begitu menginginkan barakah. Suatu waktu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur siang di rumah Ummu Sulaim. Ummu
Sulaim membentangkan tikar bagi beliau. Saat tidur, beliau berkeringat. Ummu Sulaim
memasukkan keringat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu harum dalam
botol wewangiannya.
Di lain waktu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Ummu Sulaim.
Ketika itu, tergantung girbah berisi air di rumah Ummu Sulaim. Beliau pun meminum air
dari mulut girbah itu. Seusai beliau minum, Ummu Sulaim bangkit mengambil girbah itu
lalu mematahkan mulut girbah dan menyimpannya.
Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha, tak semata di dunia kemuliaan dimilikinya. Melalui lisan
Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia dapatkan janji jannah (surga).
Untaian kisah kehidupan Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha diwarnai keindahan cintanya
kepada Rabbnya, serta pada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga akhir
kehidupannya pada masa pemerintahan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Tak habis pelajaran kan dapat terbaca.
Ummu Sulaim bintu Milhan, semoga Allah meridhainya….

Wallahu a’lamu bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran

You might also like