You are on page 1of 42

Laporan kasus

ATRIAL FIBRILASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior

Pada Bagian/SMF Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Disusun Oleh:

Muhammad Rusdi

Pembimbing:

BAGIAN/SMF JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Atrial fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik
sehari-hari. Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun
mendatang. (1) Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohort yang
melibatkan 5209 subjek penelitian yang sehat menunjukkan bahwa dalam periode 20
tahun, angka kejadian AF adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.
Sementara itu data dari studi observasional (MONICA: multinational monitoring of
trend and determinant in cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2.
Selain itu, berdasarkan estimasi WHO (world health organization) terjadinya
peningkatan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yang signifikan yaitu dari
7,74% menjadi 28,68% sehingga akan meningkat kejadian AF secara signifikan juga.
(2)
Atrial Fibrilasi menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas seperti
stroke, gagal jantung dan penurunan kualitas hidup. Pasien dengan AF memiliki risiko
stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien
tanpa FA. Stroke merupakan salah satu komplikasi AF yang paling dikhawatirkan,
karena stroke yang diakibatkan oleh AF mempunyai risiko kekambuhan yang lebih
tinggi. Selain itu, stroke akibat AF ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya
perawatan 1,5 kali lipat. (3)
Atrial Fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti
hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus,
obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit
ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung
simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV
dapat terjadi pada 30% pasien AF, namun sebaliknya AF dapat terjadi pada 30-40%
pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri.
Atrial Fibrilasi dapat menyebabkan gagal jantung melalui mekanisme peningkatan
tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi
neurohormonal yang kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti

1
yang terjadi pada pasien penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-
15 % pada defek septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit
jantung koroner meskipun keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner
masih belum jelas. (4)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Irama Jantung


Fungsi jantung normal tergantung kepada aliran impuls listrik melalui jantung
yang berjalan secara terkoordinasi. Irama jantung yang abnormal dikatakan sebagai
aritmia atau disritmia. Presentasi klinis dari aritmia beragam mencakup palpitasi ringan
sampai dengan gejala berat dari low cardiac output dan kematian. Oleh karena itu
pemahaman terhadap aritmia jantung sangat penting bagi praktisi klinis sehari-hari. (5)
Dikatakan irama jantung normal adalah bila laju jantung 60-100x/m, impuls
listrik berasal dari nodus SA dan impuls berjalan dalam jalur konduksi normal dengan
kecepatan yang normal. Irama jantung yang lambat abnormal dikatakan sebagai
bradikardia atau bradiaritmia. Sementara irama cepat dikatakan takikardia atau
takiaritmia. Takikardia dikatakan sebagai supraventricular takikardia bila mencakup
atrium dan AV nodal. Gangguan irama jantung dapat dihasilkan dari perubahan
pembentukan impuls, konduksi impuls, ataupun keduanya. (6)

Gambar 2.1 Aritmia Akibat Perubahan dari Pembentukan dan/atau Konduksi


Impuls. (6)

Perubahan pembentukan impuls dapat terjadi akibat peningkatan automatisasi


dan triggered activity. Automatisasi adalah kemampuan sel untuk mendepolarisasikan
sel itu sendiri hingga threshold voltage dalam sifat yang ritmis dan berulang sehingga

3
potensial aksi spontan terbentuk. Walaupun sel atrium dan ventrikel tidak memiliki
kemampuan tersebut dalam kondisi normal, beberapa sel dalam sistem konduksi khusus
memiliki automatisasi alami dan sehingga dinamakan sebagai pacemaker cells. Sistem
konduksi tersebut meliputi nodus sinoatrial (SA), nodus atrioventricular (AV) dan
sistem konduksi ventrikel yang terdiri dari bundle of His, bundle branches dan serabut
Purkinje. Pada keadaan patologis, sel jantung diluar sistem konduksi menjadi dapat
memiliki kemampuan automatisasi tersebut. Berikut adalah kurva yang menunjukkan
terjadinya potensial aksi pada sel pacemaker. (7)

Gambar 2.2 Potensial Aksi dari Sel Pacemaker. (6)

Peningkatan automatisasi pada nodus SA salah satunya dapat diakibatkan oleh


rangsangan epinefrin melalui reseptor beta adrenergik. Rangsangan tersebut
mengakibatkan ion kalsium lebih banyak yang masuk ke dalam sel sehingga threshold
menjadi lebih cepat tercapai. Hal ini juga menyebabkan nous SA mencetuskan impuls
lebih banyak dari normal. Sementara, penurunan automatisasi dapat diakibatkan oleh
rangsang kolinergik yang ditunjukan pada gambar berikut. (2)

4
Gambar 2.3 Efek Stimulasi β-adrenergik dan Kolinergik pada Pergerakan Ion
Kalsium dalam Sel Miokard. (8)

Perubahan pembentukan impuls lainnya adalah triggered activity. Pada kondisi


tertentu potensial aksi dapat mencetuskan depolarisasi abnormal yang menyebabkan
peningkatan laju jantung atau rapid aritmia. Proses tersebut dapat terjadi ketika
potensial aksi pertama menuju ketidakseimbangan ion pada membran sel yang dikenal
sebagai aafter depolarizations. Ada dua tipe after depolarization yaitu early after
depolarization (EAD) yang muncul pada fase repolarisasi dan delayed after
depolarization (DAD) yang muncul seketika setelah peristiwa repolarisasi berakhir.
Salah satu yang dapat mencetuskan after depolarization adalah pada kasus iskemia
jantung. Iskemia yang terjadi pada sel ventrikel dapat menyebabkan membran sel
tercederai sehingga menyebabkan penumpukan sel kation kalsium intraselular dan
menyebabkan membran sel tidak dapat mengalami resting state. Selain dari perubahan

5
pembentukan impuls, faktor lain yang mempergaruhi takiaritmia adalah perubahan
konduksi impuls yang meliputi peristiwa reentry. Pada irama reentry impuls listrik
bersirkulasi berulang-ulang kali pada jalur reentry dan kembali mendepolarisasi area
jantung tersebut. (8,9)

Gambar 2.4 Early After Depolarization dan Delayed After Depolarization. (8)

Gambar 2.5 Mekanisme Reentry. (6)

Gambar 1.5 di atas menjelaskan bahwa jika konduksi yang melalui jalur
retrograde bersifat lambat maka impuls akan mencapai point x setelah jalur α
recovered. Pada kondisi tersebut impuls dapat mengeksitasi kembali jalur α dan
lingkaran reentry terbentuk. Pada kondisi normal impuls yang melewati lintasan multipe
α dan β akan saling menetralkan. Bila terdapat unidirectional block impuls tidak akan
melewati lintasan β dari arah anterograde tapi bisa melewati lintasan α dari arah
retrograde dengan kecepatan yang lebih rendah akibatnya lintasan α telah
menyelesaikan repolarisasinya sehingga impuls dari lintasan β dapat melalui lintasan α
yang disebut dengan sirkuit reentry. Selain reentry, perubahan konduksi impuls dapat

6
berupa conduction block. Conduction block pada sistem konduksi meliputi nosud AV
atau sistem His-Purkinje menyebabkan hantaran impuls normal dari nodus SA ke
daerah distal tidak normal. (6) Pada makalah ini hanya dibahas mengenai Atrial
Fibrillasi yang merupakan salah satu gangguan irama jantung cepat yang disebabkan
oleh peningkatan automatisitas dan/atau peristiwa reentry. Gangguan irama jantung
lainnya tidak dibahas dalam makalah ini.

2.2 Pembahasan Atrial Fibrillasi


2.2.1 Definisi
Atrial fibrillasi takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi atrium
yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada
elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang
digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan
durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel
yang juga ireguler, dan seringkali cepat. (2)
Sedangkan menurut AHA (American Heasrt Association) atrial fibrillasi adalah
supraventrikular aritmia yang ditandai dengan tidak terkontrolnya aktivasi atrium diikuti
dengan menurunnya aktivitas mekanik atrial. Pada EKG dapat terlihat gelombang P
normal menghilang dan digantikan oleh gelombang fibrilasi yang bervariasi ukuran,
bentuk, dan waktu munculnya serta berhubungan dengan respon ventrikel ireguler
apabila konduksi AV intak. Peningkatan frekuensi denyut jantung pada AF sebesar
350-650 x/menit, sehingga menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa
darah jantung. (10)

Gambar 2.6 Gambaran Elektrokardiogram Atrial Fibrilasi. (6)

7
Ciri-ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut: (11)
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler,
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-
kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan
EKG, paling sering pada sadapan V1,
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.

2.2.2 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi
dan durasinya, yaitu: (10)
1. AF yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama
kali datang dengan manifestasi klinis AF, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala yang muncul,
2. AF paroksismal adalah AF yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari,
3. AF persisten adalah AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
AF yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik,
4. AF persisten lama (long standing persistent) adalah AF yang bertahan hingga ≥1
tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan,
5. AF permanen merupakan AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila
strategi kendali irama masih digunakan maka AF masuk ke kategori AF
persisten lama.

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-ciri
dari pasien:
1. AF sorangan (lone): AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung
seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun,
2. AF non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral,

8
3. AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut AF
valvular.

Gambar 2.7 Klasifikasi dan Definisi Atrial Fibrilasi. (10)

Respon ventrikel terhadap AF, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi dari
NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau
tiadanya jaras konduksi tambahan dan reaksi obat. Berdasarkan kecepatan laju respon
ventrikel (interval RR) maka AF dapat dibedakan menjadi: (12)
1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit,
2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60 -100x/menit,
3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit.

9
A

C
Gambar 2.8 Rekaman Elektrokardiogram dengan Respon Ventrikel Normal (A),
Respon Ventrikel Cepat (B) dan Respon Ventrikel Lambat (C). (2)

2.2.3 Epidemiologi
Studi dari The Global Burden of Disease (GBD) memperkirakan jumlah
penderita AF di seluruh dunia sebanyak 0,5% yang merefleksikan sebanyak 33,5 juta
individu. (13) Penderita terbanyak adalah ras Kaukasian yang tersebar di Eropa dan

10
Amerika Utara. Dari studi tersebut risiko AF meningkat 2% pada populasi dewasa dan
sekitar 10% pada kelompok usia > 80 tahun. Populasi AF terus bertambah terutama di
Eropa seiring waktu yang didapatkan dari studi Firminham dan studi Copenhagen City,
namun perubahan tersebut tidak terjadi pada jenis kelamin wanita. Di Amerika Serikat
terdapat 6 juta individu yang menderita AF pada tahun 2010 bertambah menjadi 12 juta
individu pada tahun 2030, sedangkan di Eropa dari 8 juta individu akan bertambah
menjadi 18 juta individu pada tahun 2060. (14,15)
Data AF dari wilayah Asia Pasifik secara umum tidak memiliki dasar literatur
yang kuat. Sangat diperlukan studi statistik AF lebih lanjut pada wilayah ini karena
wilayah tersebut memiliki sebab yang kompleks dan heterogen dalam mencetuskan AF
pada individunya. Negara-negara di wilayah tersebut terdiri dari negara dengan
pendapatan yang beragam yang membuat perbedaan sebaran usia populasi dan faktor
risiko AF yang beragam. (16) Secara garis besar prevalensi AF di Asia sebesar 1% yaitu
sekitar setengah junlah dari prevalensi AF yang dilaporkan oleh negara-negara barat,
meskipun demikian biaya medis AF yang dikeluarkan di Asia jauh lebih besar karena
sifat AF di Asia Pasifik yang terus meningkat seiring pertambahan usia. Berdasarkan
laporan rasio prevalensi dari United Nations medium variant projected population pada
tahun 2050 di Asia terdapat 49 juta individu laki-laki dan 23 juta individu wanita yang
akan menderita AF sehingga menjadi 12 kali lebih banyak dari penderita AF di Amerika
Serikat pada tahun yang sama. (17)

2.2.4 Faktor Risiko


Penyakit dan risiko klasik kardiovaskuler merupakan faktor risiko utama dalam
meningkatkan insidensi AF. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik
meningkatkan kejadian AF seperti pertambahan usia, hipertensi arterial, penyakit
jangtung kongestif termasuk gagal jantung atau menurunnya fungsi sistolik ventrikel
kiri, infark miokard, penyakit katup jantung, kardiomiopati, miokarditis dan diabetes
mellitus. (18)
Secara teori keadaan lain yang berasosiasi dengan timbulnya AF antara lain
seperti hipertiroid subklinis, emboli pulmonal, obesitas, penyakit gingal kronik,
osbtructive sleep apnea, alkoholik berat dan latihan beban berat. AF juga terkadang
muncul setelah dilakukan operasi bedah jantung. Selain itu AF juga bisa muncul dari
takiaritmia supreventikuler lainnya seperti pada sindrom Wolff Parkinson White (WPW)

11
yang cepat menyebabkan kolaps haemodinamik secara mendadak sehingga terjadi
konduksi pada jalur aksesoria. (5)

2.2.5 Peran Genetik pada AF


Peran genetik terhadap AF secara alami telah diketahui sejak 6 dekade yang lalu,
pada tahun 1997 Brugada, dkk melaporkan adanya penurunan AF pada suatu keluarga
(Mendelian). Penelitian tersebut mendeskripsikan lokus yang meregulasi AF meskipun
gen kausatif dari lokus tersebut belum diketahui secara pasti. Mutasi multipel ditemukan
pada kanal kalium dan natrium, protein gap junction dan jalur molekul pada penderita
AF. Penelitian AF berbasis genetik terus dilakukan seperti The application of genome-
wide association studies (GWAS) berhasil mengidentifikasi sebanyak 14 lokus gen
yang menyebabkan potensial terjadinya aritmia seperti lokus 1 pada kromososm 4q25
pada gen PITX2. Gen tersebut berperan penting dalam formasi listik di septum atrial,
jalur konduksi dan nodus SA. Meskipun demikian penelitian lebih baru menegaskan
bahwa kontribusi faktor genetik pada AF hanya bersifat minimal sehingga perlu
dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan mendalam. (8,19)

2.2.6 Patofisiologi
Teori yang melandasi terjadinya AF mencakup proses peningkatan automatisitas
pada satu atau beberapa foci yang terdepolarisasi cepat dan reentry yang melibatkan
satu atau beberapa sirkuit. Foci yang tercetus secara cepat dan terlokasi pada satu atau
lebih tempat pada vena pulmonalis superior dapat menimbulkan AF pada pasien
tertentu. Foci juga bisa terdapat pada atrium kanan dan jarang sekali pada vena cava
superior atau sinus coronarius. Ablasi pada foci tersebut dapat menjadi tindakan kuratif
pada beberapa pasien. (8)
Proses yang abnormal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam hal
mencakup kelainan struktural maupun elektrikal (fungsional), seperti yang digambarkan
dalam bagan tersebut dibawah. Kelainan struktural dapat diakibatkan oleh proses
fibrosis (atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada atrial myocard (pada amyloidosis,
sarcoidosis, atau hemochromatosis), dilatasi atrium, dan hipertrofi atrium. Sementara
itu kelainan fungsional salah satunya adalah akibat dari peningkatan automatisitas
ataupun kondisi dimana aliran kation pada sel jantung abnormal. (20)

12
AV nodal merupakan suatu faktor yang dapat membatasi konduksi selama AF.
AV nodal terlokasi pada anterior dari trigonum Koch yang dikelilingi oleh sel
transisional. Terdapat dua jalur impuls dari atrium ke AV nodal yaitu dari posterior
melalui crista terminalis dan dari anterior melalui septum interatrial. Pada suatu kasus
bisa jadi terdapat jalur aksesori (contohnya pada sindroma WPW) yang merupakan
serabut otot yang menghubungkan atrium dan ventrikel dan mempunyai kapasitas untuk
konduksi cepat. Konduksi melalui jalur aksesori selama AF berlangsung dapat
menyebabkan very rapid ventricular response dan dapat berakibat fatal. Obat-obatan
seperti digitalis, calcium channel antagonist dan beta-blocker umumnya diberikan
untuk memperlambat konduksi pada AV nodal selama AF, namun tidak menghentikan
aliran impuls yang melalui jalur aksesori sehingga dapat meningkatkan konduksi dan
menyebabkan hipotensi ataupun cardiac arrest. (10,5)

Gambar 2.9 Mekanisme Terjadinya AF. AF: Atrial Fibrilasi; Ca++: Ion Kalsium dan
RAAS: Renin Angiotensin Aldosterone System. (10)
Pada AF ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi fungsi hemodinamik yaitu:
hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron, respon ventrikular yang irregular dan

13
nadi yang sangat cepat. Respon ventrikular yang cepat dapat menurunkan output,
sehingga dapat terjadi hipotensi dan kongesti pulmo. Hilangnya aktivitas mekanik atrial
yang sinkron dapat menyebabkan darah menjadi stasis di atrium, sehingga
meningkatkan risiko trombus yang merupakan penyebab penting dari kejadian stroke.
Trombus yang terkait dengan AF seringkali berasal dari left atrial appendage (LAA).
Namun karena patofisiologi dari tromboembolisme pada pasien AF belum dapat
dijelaskan secara pasti maka mekanisme yang menghubungkan faktor risiko stroke
iskemik pada AF juga belum dapat secara lengkap dijabarkan. Oleh karena itu fokus
tatalaksana pada AF adalah pada tiga aspek, yaitu: (1) ventricular rate control, (2)
mengembalikan ke irama sinus dan (3) penilaian kebutuhan antikoagulan untuk
mencegah tromboembolisme. (6)

Gambar 2.10 Trigonum Koch. (6)

2.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis dan Manifestasi klinis
Presentasi klinis dari AF tidak selalu simptomatik bisa jadi asimptomatik,
walaupun pada satu pasien yang sama. Gejala bervariasi dari ventricular rate, status
fungsional jantung, durasi AF maupun persepsi individual pasien. Disritmia dapat
terjadi pada pertama kali dengan komplikasi emboli ataupun eksaserbasi dari gagal
jantung. Seringkali pasien dijumpai datang dengan keluhan palpitasi, nyeri dada, sesak

14
napas, kelelahan/fatigue ataupun lightheadedness. Sinkop merupakan komplikasi yang
sangat jarang namun serius yang umumnya mengindikasikan disfungsi sinus nodal,
valvular aortic stenosis, HCM, cerebrovascular disease atau adanya jalur aksesori pada
nodus AV. (21)
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang
dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan seperti: (22)
1. Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi
gejala,
2. Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tiduralkohol). Peran
kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif,
3. Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal),
4. Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya,
5. Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya,
6. Riwayat prosedur ablasi AF secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan
(dengan kateter),
7. Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi AF (misalnya hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).

b. Pemeriksaan Fisik (22)


1) Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen
sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamikdan kendali laju yang adekuat
pada AF. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar
110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia
atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.
2) Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis
mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas
penyakit jantung koroner.

15
3) Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya AF (misalnya PPOK,
asma).
4) Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA.
Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi
penyakit jantung katup ataukardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau
adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan
peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan
adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi
yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.
5) Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang
dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
6) Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
7) Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien AF. Peningkatan refleks dapat ditemukan
pada hipertiroidisme.

c. Elektrokardiogram
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya
mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas,
digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak yang diikuti oleh kompleks QRS
yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain: (2)

16
1) Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit,
2) Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus
interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman),
3) Preeksitasi,
4) Hipertrofi ventrikel kiri,
5) Blok berkas cabang, dan
6) Tanda infark akut/lama.
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari
pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.

d. Laboratorium dan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari penyakit yang tersembunyi,
terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi menunjukkan bahwa elevasi
ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan kejadian
kardiakyang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain: (23,24)
1) Darah lengkap (anemia, infeksi),
2) Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal),
3) Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA),
4) Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi
dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada
pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali dengan
cepat setelah restorasi irama sinus,
5) D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru),
6) Fungsi tiroid (tirotoksikosis),
7) Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas), dan
8) Uji toksikologi atau level etanol.

17
e. Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat ditemukan
bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya
emboli paru, pneumonia). (2)

f. Uji Latih atau Uji Berjalan Enam-menit


Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan 6-
menit). Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia
kelas 1C dan dapat digunakan juga untuk mereproduksi AF yang dicetuskan oleh
aktivitas fisik. (12)
g. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi
trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah modalitas terpilih
untuk tujuan ini. Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk: (2)
1) Evaluasi penyakit jantung katup,
2) Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding,
3) Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel,
4) Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal), dan
5) Evaluasi penyakit perikardial.
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :
1) Trombus atrium kiri (terutama di AAK), dan
2) Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda).

h. Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin diperlukan
untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti CT scan atau MRI
seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila direncanakan ablasi AF.
Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta anatomis dari atrium kiri dan
VP. (2)

18
i. Monitor Holter atau Event Recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis
AF paroksismal, dimana pada saat presentasi, AF tidak terekam pada EKG. Selain itu,
alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau
kendali irama. (25)

2.2.7 Manajemen Terapi


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa fokus tatalaksana pada AF
adalah pada ventricular rate control, mengembalikan ke irama sinus dan penilaian
kebutuhan antikoagulan untuk mencegah tromboembolisme. (6)
a. Mengembalikan ke Irama Sinus
Alasan yang mendasari kepentingan untuk mengembalikan dan menjaga irama
sinus pada pasien AF adalah untuk meredakan gejala, mencegah embolisme, dan
sebagai upaya pencegahan kardiomiopati. Kardioversi sering dilakukan untuk
mengembalikan irama sinus pada pasien persistent AF. Kebutuhan akan kardioversi bisa
jadi immediate, yaitu ketika aritmia tersebut merupakan faktor utama penyebab gagal
jantung akut, hipotensi, atau perburukan angina pectoris pada pasien CAD. Meskipun
begitu, tindakan cardioversi memiliki risiko tromboembolisme kecuali antikoagulasi
profilaksis telah diberikan secara inisial sebelum prosedur dan risiko paling tinggi
terjadinya tromboembolisme adalah pada aritmia >48 jam. (6)
Kardioversi dapat dicapai dengan pemberian obat-obatan ataupun electrical
shock. Pemberian obat-obatan umumnya dilakukan sebelum electrical cardioversion
menjadi prosedur standar. Perkembangan obat-obat baru telah meningkatkan popularitas
pharmacological cardioversion, walaupun ada beberapa kerugiannya seperti risiko
terjadinya drug-induced torsade de pointes ventricular tachycardia atau aritmia serius
lainnya. Pharmacological cardioversion masih kurang efektif bila dibandingkan dengan
electrical cardioversion, namun pada electrical cardioversion diperlukan sedasi atau
anestesia. Risiko tromboembolisme atau stroke pada kedua metode kardioversi tersebut
tidak berbeda bermakna sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan adalah sama
untuk keduanya. (26)
Pharmacological cardioversion paling efektif diberikan pada 7 hari setelah
onset AF. Kebanyakan pasien mengalami paroksismal AF, dan sebagian besar
mengalami spontaneous cardioversion dalam 24 – 48 jam. Namun hal tersebut kecil

19
kemungkinan terjadi pada AF yang telah berlangsung lebih dari 7 hari. Dosis, rute, dan
kecepatan pemberian obat antiaritmia mempengaruhi efikasi. Kardioversi secara
farmakologis meliputi pemberian antiaritmia kelas IA, IC, atau III. (27)
Obat antiaritmia merupakan salah satu golongan obat yang berbahaya karena
potensial efek sampingnya yang serius. Dengan demikian pemahaman menyeluruh
mengenai mekanisme aksi, indikasi dan toksisitas sangat penting.Obat antiaritmia
terbagi menjadi 4 kelompok besar berdasarkan mekanisme aksinya, yaitu: (28)
1. Kelas I: menghambat kanal sodium cepat yang bertanggung jawab pada fase 0
depolarisasi. Class I dibagi menjadi 3 subtipe berdasarkan derajat kemampuan
memblokade kanal sodium dan efeknya terhadap durasi potensial aksi,
2. Kelas II: beta-adrenergic receptor antagonist (beta-blocker),
3. Kelas III : menghambat kanal potassium yang bertanggungjawab pada fase
repolarisasi, sehingga memperpanjang potensial aksi dengan sedikit efek pada
peningkatan fase 0 depolarisasi, dan
4. Kelas IV : menghambat L-type kanal kalsium.

Gambar 2.11 Klasifikasi Obat Antiaritmia. (6)

20
Terlepas dari penggolongan antiaritmia tersebut, tujuan utama pemberiannya
adalah untuk menghentikan mekanisme takiaritmia, yaitu peningkatan automatisitas,
reentry, dan triggered activity. Pada kasus aritmia akibat peningkatan automatisitas,
terapi ditujukan untuk menurunkan slope dari fase 4 diastolic depolarization dan/atau
memperpanjang masa refrakter. (29)
Obat antiaritmia yang menginhibisi irama reentrant dengan mekanisme yang
berbeda. Terbentuknya reentrant adalah bila pada salah satu area jantung terdapat
unidirectional block atau slow conduction. Irama reentrant dapat bertahan bila lamanya
waktu yang dibutuhkan impuls untuk propogasi mengelilingi sirkuit melebihi masa
refrakternya. Jika impuls yang kembali ke area miokardium yang telah terdepolarisasi
sebelumnya namun belum mencapai masa recover, maka jaringan tersebut tidak akan
terstimulasi kembali, sirkuit tidak akan terbentuk. Oleh karena itu, strategi untuk
menghentikan reentry adalah dengan memperpanjang masa refrakter miokard. Selain
dari itu, untuk menghentikan reentry bisa juga dengan mengganggu propagasi impuls
pada jalur lambat sirkuit reentry, yaitu dengan memblokade kanal sodium yang
bertanggung jawab untuk fase 0 depolarisasi. Dengan demikian blokade tersebut
menghentikan konduksi impuls pada aliran balik jalur lambat dan memutuskan aliran
sirkuit reentry. (6,29)

Gambar 2.12 Mekanisme Agen Antiaritmia dalam Inhibisi Reentry. (6)

21
Eliminasi tipe ketiga dari takiaritmia, triggered activity, adalah dengan menekan
early dan delayed afterdepolarization. Agen antiaritmia yang ideal adalah yang dapat
menekan foci ektopik dan menghambat sirkuit reentrant tanpa mempengaruhi jalur
konduksi normal. Namun yang disayangkan adalah ketika konsentrasi obat antiaritmia
melebihi rentang terapeutiknya yang sempit, bahkan aktivitas listrik normal dapat
tersupresi. Beberapa obat antiaritmia memang memiliki potensi untuk memicu
gangguan irama (dinamakan efek proaritmik). Contohnya adalah, ketika obat antiaritmia
memperpanjang potensial aksi dan menginduksi early after depolarization,
menghasilkan triggered-type aritmia, seperti torsade de pointes. Drug induced
proaritmia seringkali muncul pada pasien dengan disfungsi LV atau pada pasien dengan
pemanjangan interval QT (suatu tanda bahwa potensial aksi sudah prolonged
sebelumnya). (2,8)
Electrical cardioversion meliputi pemberian electrical shock yang tersinkronasi
dengan aktivitas intrinsik jantung sehingga stimulasi listrik tidak terjadi pada fase
vulnerable dari siklus jantung. Keberhasilan Kardioversi pada AF bergantung pada
penyakit jantung yang mendasari dan densitas arus listrik yang diberikan. Densitas arus
listrik tersebut tergantung kepada voltase defibrillator, output waveform, ukuran dan
posisi electrode paddles serta impedansi transtorakal. Kebutuhan energi lebih rendah
dan tingkat keberhasilan lebih tinggi pada posisi paddle anterior-posterior (sternum dan
skapular kiri), dibandingkan dengan anterior-lateral (apeks ventricular dan
infrklavikular kanan). (8,10)
Kardioversi dilakukan pada pasien yang dipuasakan dan dalam pemberian
anestesia jangka pendek yang adekuat. Inisial shock 100 J seringkali terlalu rendah dan
inisial energi 200 J atau lebih direkomendasikan untuk electrical cardioversion pada
pasien AF. Energi yang lebih kecil juga dapat diberikan pada arus listrik dengan
biphasic waveform dibandingkan dengan monophasic waveform. Irama sinus dapat
dikembalikan dengan direct-current cardioversion, namun tingkat relaps tinggi kecuali
obat antiaritmia diberikan bersamaan. Risiko electrical cardioversion adalah kejadian
emboli dan aritmia. (10)

22
Gambar 2.13 Agen Antiaritmia untuk Mempertahankan Irama Sinus. (10)

23
b. Ventricular Rate Control
Alternatif untuk menjaga irama sinus pada pasien dengan paroksismal atau
persisten AF adalah dengan mengontrol laju ventrikel. Laju ventrikel umumnya
dianggap terkontrol bila ventricular response antara 60 hingga 80 x/m saat istirahat dan
90 hingga 115 x/m saat exercise. Terapi dengan kronotropik negatif didasari oleh tujuan
depresi konduksi melalui nodus AV. Sinus bradikardia dan heart block dapat muncul
pada pasien usia tua, sebagai efek yang tidak diinginkan dari terapi farmakologis
dengan beta-blocker, digitalis, ataupun CCB. Pada pasien bradikardia dengan gejala
diperlukan permanent pacing. Nodus AV ablasi dan implantasi permanent pacemaker
sangat efektif untuk memperbaiki gejala pada apasien AF dengan gejala terkait rapid
ventricular rate yang tidak dapat dikendalikan dengan obat antiaritmia ataupun agen
kronotropik negatif. (5,30)

Gambar 2.14 Terapi Frmakologis untuk Rate Control pada AF. (10)

24
c. Pencegahan Tromboembolisme
Faktor risiko independen terjadinya tromboembolisme pada nonvalvular AF
termasuk gagal jantung, hipertensi, usia tua dan diabetes mellitus. Pada pemeriksaan
penunjang transthoracic echocardiography (TTE) kita dapat menghitung diameter
atrium kiri (LA) serta menilai adanya disfungsi ventrikel kiri (LV) sebagai prediktor
dari kejadian iskemia. Pemeriksaan transesophageal echocardiography (TEE) lebih
sensitif dan spesifik untuk mendeteksi thrombus pada LA dan LAA dibandingkan
dengan TTE. Adanya thrombus pada LA/LAA merupakan kontraindikasi dari tindakan
elective cardioversion pada AF. Tidak terdeteksinya thrombus tidak menjamin tidak
terjadinya thromboembolisme setelah cardioversi jika pasien tidak diberikan terapi
antikoagulan. (31)
Target dari pemberian antikoagulan mempertimbangkan keseimbangan dari
pencegahan stroke iskemik dan menghindari komplikasi perdarahan. Sangat penting
untuk memberikan antikoagulan dgn target adekuasi terendah untuk meminimalisasi
risiko perdarahan, terutama pada pasien usia tua pada AF. Proteksi maksimum untuk
stroke iskemia pada AF dapat dicapai pada international normalized ratio (INR) 2
sampai 3. Pasien dengan nonvalvular AF, direkomendasikan untuk dilakukan penilaian
CHA2DS2-VASc score, seperti pada tabel di bawah. (8)
Pada pasien nonvalvular AF dengan riwayat stroke, transient ischemic attack
(TIA), atau skor CHA2DS2-VASc ≥ 2, pemberian oral antikoagulan direkomendasikan,
dengan pilihannya adalah warfarin (INR 2 hingga 3) (Level of Evidence: A). Pada
pasien yang diberikan warfarin, INR harus dipantau setiap minggu selama inisiasi terapi
antitrombotik dan minimal setiap bulan jika INR terpantau stabil. Pada pasien
nonvalvular AF dengan INR tak terkontrol walaupun dengan pemberian warfarin,
direkomendasikan untuk pemberian direct thrombin atau factor Xa inhibitor
(dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban) dengan evaluasi fungsi ginjal sebelumnya dan
dilakukan evaluasi ulang berikutnya. Pada pasien nonvalvular AF dengan skor
CHA2DS2-VASc ≥ 2 dan terdapat end-stage chronic kidney disease (CKD) (creatinine
clearance <15mL/min) atau dalam pengobatan dengan hemodialisa warfarin tetap
diberikan sebagai oral antikoagulan (INR 2 hingga 3). (10)

25
Gambar 2.15 Penilaian Faktor Risiko Terjadinya Stroke pada AF. (6)

Gambar 2.16 Pilihan dan Dosis Antikogulan pada Non Vulvular AF. (10)

26
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny.I.S.A
Usia : 58 tahun
Tanggal Lahir : 30 Desember 1959
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Biruen
No. CM : 1-17-68-34
Tanggal Masuk : 03 Juli 2018
Tanggal Pemeriksaan : Juli 2018

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Jantung berdebar-debar sejak 2 bulan SMRS
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan RS Telaga Bunda Bireuen datang dengan keluhan berdebar-debar
sejak 2 bulan SMRS yang dirasakan semakin memberat intesitasnya dengan
puncaknya sekitar 4 hari SMRS. Selain itu pasien juga merasakan sesak napas
yang memberat saat aktivitas berat dan tidur terlentang, sesak telah dirasakan
sejak 1 bulan SMRS secara kontinus. Keluhan sesak membaik jika pasien tidur
disangga bantal di punggung. Sesak tidak dipengaruhi oleh suhu dan debu.
Badan bengkak-bengkak tidak dikeluhkan, BAK dan BAB dalam batas normal.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes mellitus, alergi dan asma disangkal.
Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, terkontrol sejak 3 tahun yang lalu.
Riwayat penyakit jantung sejak 3 tahun yang lalu.
Riwayat diabetes mellitus terkontrol sejak 4 tahun yang lalu.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Diabetes mellitus, hipertensi, riwayat penyakit jantung, alergi dan asma disangkal
ada di keluarga pasien.

27
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : Baik
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Laju Nadi : 162 x/menit, irreguler
Pernapasan : 26 x/menit
SuhuTubuh : 36.70 C
3.3.2 Pemeriksaan Fisik
1. Kepala dan leher: anemis (-/-), dan sklera (-/-), Pembesaran KGB (-/-)
2. Paru: simetris, stem fremitus kanan=stem fremitus kiri, sonor pada kedua
lapangan paru, vesikuler (+/+), ronki (+/+) di 1/3 lapang bawah paru dan
wheezing (-/-).
3. Jantung: bunyi jantung I > bunyi jantung II, regular, murmur tidak ada.
4. Abdomen: distensi (-), defense muscular (-), nyeri tekan (+), nyeri lepas (-),
Peristaltik usus (+).
5. Ekstremitas: edema (-/-), pucat (-/-)
6. Genetalia dan anus: tidak dilakukan pemeriksaan.

3.3.3 Pemeriksaan Penunjang


1. EKG Saat Pasien Masuk

Gambar 3.1 EKG Pasien Pada Tanggal 03 Juli 2018.

28
2. EKG Serial Pasien

Gambar 3.2. EKG Serial Pasien.

29
3. Laboratorium 03 Juli 2018

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal

Darah Rutin

Hb 16,4 gr/dl 12-15 gr/dl

Ht 49 % 37-47 %

Leukosit 9200 /mm3 4.500-10.500/mm3

Eritrosit 5,9 x 106 /µL 4,2-5,4 jt/ µL

Trombosit 180.000 / mm3 150.000-450.000/mm3

MCV 82 fL 80-100 fL

MCH 28 pg 27-31 pg

MCHC 34 % 32-36 %

RDW 12,8 % 11,5-14,5 %

MPV 10,6 fL 7,2-11,1 fL

Hitung Jenis

Eosinofil 1% 0-6 %

Basofil 0% 0-2 %

Netrofil Batang 0% 2-6%

Netrofil segmen 61 % 50-70 %

Limfosit 27% 20-40 %

Monosit 11 % 2-8 %

Elektrolit

30
Natrium (Na) 147 mmol/L 132-146 mmol/L

Kalium (K) 3,1 mmol/L 3,7-5,4 mmol/L

Klorida (Cl) 104 mmol/L 98-106 mmol/L

Diabetes

Glukosa darah sewaktu 205 mg/dl <200 mg/dl

Ginjal- Hipertensi

Ureum 11 mg/dl 13-43 mg/dl

Kreatinin 0,63 mg/dl 0,51-0,95 mg/dl

4. Laboratorium 04 Juli 2018

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal

Lemak darah

Kolestrol total 158 mg/dL < 200 mg/dL

Kolestrol HDL 34 mg/dL > 60 mg/dL

Kolestrol LDL 95 mg/dL < 150 mg/dL

Trigliserida 95 mg/dL < 150 mg/dL

Diabetes

Glukosa darah puasa 171 mg/dl 60 – 110 mg/dl

Ginjal- Hipertensi

Ureum 12 mg/dl 13-43 mg/dl

Kreatinin 0,62 mg/dl 0,51-0,95 mg/dl

31
Asam urat 9,8 mg/dl 2,6 – 6,0 mg/dl

3.4 Diagnosis
a. Atrial fibrilasi RVR
b. CHF Fc NYHA II – III ec
1) CAD
2) HHD
3) DCM
c. DM tipe II normoweight

3.5 Rencana Terapi


Non farmakologi : 1. Posisi Semifauler
2. O2 2-4 L/i
3. Diet DM 1300 Kkal/hari
Farmakologi : 1. Inj. Digoksin 1 ampul ekstra lalu di EKG 6 jam kemudian
2. Mikardis 1 x80 mg
3. Xarelto 1 x 20 mg
4. Spironolakton 1 x 25 mg
5. Simvastatin 1 x 20 mg
Monitoring : 1. EKG serial
2. Tanda – tanda vital
3. Kadar glukosa darah
Edukasi : 1. Diet DM
2. Istirahat
Planning : 1. Foto thoraks PA
2. Ekokardografi
3.Pemeriksaan profil lipid dan gula darah puasa

32
BAB III
PEMBAHASAN

Ny. I.S.A, 58 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 03 Juli 2018, datang dengan
keluhan berdebar-debar sejak 2 bulan SMRS yang dirasakan semakin memberat
intesitasnya dengan puncaknya sekitar 4 hari SMRS.
Berdasarkan anamnesis keluhan pasien berupa palpitasi persisten yang telah
dirasakan selama 2 bulan, palpitasi adalah suatu keadaan yang dideskripsikan dengan
perasaan meningkatnya detak jantung oleh penderitanya. (32) Etiologi tersering
palpitasi tanpa gejala penyerta lainnya adalah aritmia dan ansietas yaitu sekitar 74% dari
kasus palpitasi. Meskipun demikian dalam praktik sehari-hari palpitasi jarang berdiri
sendiri dan muncul bersamaan dengan banyak gejal-gejala lainnya seperti sinkop atau
sesak napas, sinkop tdan pre-sinkop erbukti bisa membedakan etiologi palpitasi berupa
etiologi aritmia atau non aritmia sebelum dilakukannya pemeriksaan standar berupa
elektrokardiografi. (33) Setelah dilakukan pemeriksaan tanda vital didapatkan nadi 162
x/menit, irreguler. Pada kasus takiaritmia dengan pulsus defisit sering terjadi pada
takikardia atrial khususnya atrial fibrilasi. (32)

Gambar 3.1 Tipe, Karakteristik dan Etiologi Palpitasi. (33)

Meskipun banyak studi penelitian mengenai epidemiologi AF yang


menyebutkan bahwa laki-laki lebih berisiko terkena AF 1,5 kali dibandingkan wanita.
Studi Firmingham menyebutkan bahwa perempuan hanya memiliki insidensi AF
sebnayak 1.6/1000 individu dibandingkan dengan laki-laki sebnayak 3.8/1000 individu,
terutama pada wilayah Eropa dan Asia, meskipun insidensi, prepalensi dan risiko AF
sepanjang hidupnya lebih tinggi pada laki-laki, angka absolut kesakitan AF lebih tinggi

33
pada wanita karena angka harapan hidup yang lebih tinggi pada wanita sehingga gejala
awal timbul pada usia yang tua, gejala yang timbul timbul lebih nyata dan berat
daripada gejala AF pada laki-laki. Keadaan tersebut membuat wanita dengan AF lebih
sering dirawat secara intensif dibandingkan dengan laki-laki. (34) Peningkatan usia
terbukti berbanding lurus dengan peningkatan insidensi AF pada beberapa studi yang
telah dilakukan seperti Andrande, dkk menyebutkan bahwa AF meningkat sebesar 1-4%
pada usia > 60 tahun dan 6-15% pada usia > 80 tahun. (35)
Pasien juga merasakan sesak napas yang memberat saat aktivitas berat dan tidur
terlentang, sesak telah dirasakan sejak 1 bulan SMRS secara kontinus. Keluhan sesak
membaik jika pasien tidur disangga bantal di punggung. Kemudian dilakukan
pemeriksaan fisik ronki (+/+) di 1/3 lapang bawah paru. Pasien mengeluhkan dyspnea
on exertion dan orthopnea, tipe dispnea dengan adanya ronki pada bagian basal paru
tersebut khas pada congestive heart failure (CHF) yang dapat didiagnosis banding
dengan emboli paru namun dispnea emboli paru khas nyeri dada plueritik dan terkadang
diiringi dengan batuk dengan intensitas yang kuat. Selaian itu dyspnea on exertion juga
bisa muncul pada pasien coronary artery disease (CAD) dan penyakit paru obastruktif
kronik (PPOK), pada CAD pasien lebih mengeluhkan nyeri dada diikuti sesak napas
setelah melalukan aktivitas berat dan gejala CAD yang lebih ringan dibandingkan
dengan CHF. PPOK sulit dibedakan dari gejala klinis dyspnea on exertion dengan CHF,
pada PPOK pasien juga mengeluhkan orthopnea, nyeri dada, batuk dengan intensitas
yang berat dan cemas, riwayat merokok dalam jangka waktu yang lama merupakan
faktor risiko utama PPOK. (36)
Pada pemeriksaan elektrokardigrafi didapatkan HR 162x/menit, AF, LAD, LVH
dan iskemia anteroseptal. Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA
dan biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P
yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak yang diikuti oleh
kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA
antara lain: (1) laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi
160-170x/menit; (2) dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)
setelah siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman); (3) preeksitasi; (4)
hipertrofi ventrikel kiri; (5) blok berkas cabang, dan (6) tanda infark akut/lama. (2)

34
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hiperglikemia yang didasarkan pada
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu 205 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa
171 mg/dl. Pada pasien juga dijumpai dislipidemia dengan kadar HDL sebesar 34
mg/dL. Sehingga pasien sebelum telah menderita CHF, hipertensi, CAD dan diabetes
tipe II normoweight. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik meningkatkan
kejadian AF seperti pertambahan usia, hipertensi arterial, penyakit jangtung kongestif
termasuk gagal jantung atau menurunnya fungsi sistolik ventrikel kiri, infark miokard,
penyakit katup jantung, kardiomiopati, miokarditis dan diabetes mellitus. (18) Secara
teori keadaan lain yang berasosiasi dengan timbulnya AF antara lain seperti hipertiroid
subklinis, emboli pulmonal, obesitas, penyakit gingal kronik, osbtructive sleep apnea,
alkoholik berat dan latihan beban berat. (5)
Atrial Fibrilasi dapat disebabkan oleh berbagai macam hal mencakup kelainan
struktural maupun elektrikal. Kelainan struktural dapat diakibatkan oleh proses fibrosis
(atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada atrial myocard (pada amyloidosis,
sarcoidosis, atau hemochromatosis), dilatasi atrium, dan hipertrofi atrium. (20) Keadaan
tersebut meningkatan automatisitas pada satu atau beberapa foci yang terdepolarisasi
cepat dan reentry yang melibatkan satu atau beberapa sirkuit. Foci yang tercetus secara
cepat dan terlokasi pada satu atau lebih tempat pada vena pulmonalis superior dapat
menimbulkan AF pada pasien tertentu. Foci juga bisa terdapat pada atrium kanan dan
jarang sekali pada vena cava superior atau sinus coronarius. (8)
Penatalaksanaan pasien ini secara umum adalah dengan pemberian injeksi
digoksin 1 ampul, digoksin merupakan antiaritmia dengan mekanisme menurunkan laju
kontrol detak jantung secara konotropik negatif sehingga diharapkan laju ventrikel di
nodus AV bisa menjadi 60-80 x/menit saat istirahat; Mikardis 1 x 80 mg, mikardis
merupakan antihipertensi golongan penyekat ACE yang berisiskan telmisartan.
Bertujuan untuk meregulasi tekanan darah agar tetap sesuai target sesuai dengan JNC 8
target tekanan darah pasien hipertensi dengan penyakit jantung adalah < 150/90 mmHg
dan golongan tersebut dipilih sebagai antihipertensi pada pasien dengan hipertrofi
ventrikel dan aterosklerosis; Xarelto 1 x 20 mg berisikan rivaroxaban yang merupaka
antikoagulan golongan inhibitor faktor Xa, golongan obat ini diberikan pada pasien AF
nonvalvular dengan evaluasi fungsi ginjal normal sebelum diberikan pada pasien.
Tujuan dari terapi ini mencegah terjadinya stoke tromboembolus pada pasien AF

35
dengan indikasi dari skor CHA2DS2-VASc ≥ 2 atau adanya riwayat TIA; Spironolakton 1 x
25 mg merupakan diuretik hemat kalium yang diberikan untuk menurunkan beban
jantung dan juga diindikasikan pada pemberian digoksin pada pasien aritmia untuk
mencegah terjadinya deplesi kalium; Simvastatin 1 x 20 mg diberikan sebagai terapi
dislipidemia yang diderita oleh pasien. (6,8,10,30)

36
BAB V
KESIMPULAN

Atrial fibrilasi adalah takiaritmia atrial yang ditandai dengan tidak terkontrolnya
aktivasi atrium dengan konsekuensi gangguan fungsi mekanis atrium. Klasifikasi dari
atrial fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF deteksi pertama, paroksismal AF,
persisten AF dan kronik/permanen AF.
Mekanisme AF terdiri dari proses yaitu peningkatan automatisitas dan reentry.
Mekanisme ini sangat berhubungan dengan bentuk klinis AF, lokasi pencetus, dan
kelainan fungsional, struktur, dan otonom yang mendasari progresivitas AF.
Terjadinya AF menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung yaitu hilangnya
koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidak teraturan respon ventrikel dan
ketidakteraturan denyut jantung serta komplikasi tromboemboli yang berhubungan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Diagnosis AF ditegakkan dari klinis dan EKG. Sasaran utama pada
penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama jantung, menurunkan
peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya komplikasi
tromboembolisme.

37
DAFTAR PUSTAKA
1. European Heart Rhythm A, , European Association for Cardio-Thoracic S, , Camm
A. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the
Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
European heart journal. 2013; 31(23).

2. PERKI. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium Yuniadi Y, editor. Jakarta: Centra
Communications; 2014.

3. Camm A, Lip G, De Caterina R. focused update of the ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation--developed with the special contribution of the
European Heart Rhythm Association. Europace. 2012; 14(13).

4. Issa Z. Atrial Fibrillation. In Miller J, Zipes D. Clinical arrhythmology and


electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart disease. New York: Saunders
ltd; 2012.

5. Goralnick E, Bontempo LJ. Atrial Fibrillation. Emerg Med Clin N Am. 2015; 33(5).

6. Lilly L. Pathophysiology of Heart Disease – A Collaborative Project of Medical


Students and Faculty Philadelphia: Lippincott & Wilkins; 2011.

7. Reich C, Oesterlein T, Rottmann M, Seemann G. Classification of cardiac excitation


patterns during atrial fibrillation. Current Directions in Biomedical. 2016; 2(1).

8. Khaji A, Kowey PR. Update onatrial fibrillation. Trends in Cardiovascular


Medicine. 2016; 6(7).

9. Bosch NA, Cimini JB, Walkey AJ. Contemporary Reviews in Critical Care
Medicine: Atrial Fibrillation in the Intensive Care Uni. CHEST. 2018; 1(1).

10. The American Heart Association , The American College of Cardiology Foundation
, The Heart Rhythm Society. 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management
of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the Heart Rhythm Society. Circulation. 2014; 130(20).

11. European Heart Rhythm A , European Association for Cardio-Thoracic S , Camm


A. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the
Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology.
Cardiology. 2012; 12(136).

38
12. Wann L, Curtis A, January C. 2011 ACCF/AHA/HRS focused update on the
management of patients with atrial fibrillation (Updating the 2006 Guideline): a
report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Journal of the American College of
Cardiology. 2011; 57(42).

13. Chugh S, Havmoeller R, Narayanan K. Worldwide epidemiology of atrial


fibrillation: a global burden of disease 2010 study. Circulation. 2014; 129(8).

14. Friberg J, Scharling H, Gadsboll N, Jensen G. Incidence and prevalence of atrial


fibrillation and associated mortality among Medicare beneficiaries, 1993-2007. Circ
Cardiovasc Qual Outcomes. 2012; 85(9).

15. Benjamin E, Blaha M, Chiuve S. Heart Disease and Stroke Statistics-2017 Update:
A Report From the American Heart Association. Circulation. 2017; 135(14).

16. Rodriguez C, Soliman E, Alonso A. Atrial fibrillation incidence and risk factors in
relation to race-ethnicity and the population attributable fraction of atrial fibrillation
risk factors: the Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis. Ann Epidemiol. 2015;
25(71).

17. Gou Y, Tian Y, Wang H. Prevalence, incidence, and lifetime risk of atrial
fibrillation in China: new insights into the global burden of atrial fibrillation. Chest.
2015; 147(10).

18. Shotan A, Garty M, Blondhien D, Meisel S. Atrial fibrillation andlong-


termprognosis in patients hospitalized for heart failure: results from heart failure
surve yin Israel (HFSIS). Eur Heart J. 2010; 31(30).

19. Magani J, Rienstra M, Lin H, Sinner M, Lubitz S. Atrial fibrillation: current


knowledge and future directions in epidemiology and genomics. Circulation. 2011;
124(9).

20. Mandapati R, Skanes A, Chen J. Stable microreentrant sources as a mechanism of


atrial fibrillation in the isolated sheep heart. Circulation. 2001; 101(19).

21. Heart Rhythm Society..; 2013 [cited 2018 July Thusday. Available from:
https://www.hrsonline.org/News/Atrial-Fibrillation-AFib-Awareness.

22. Rosenthal , Rottman N. [Atrial Fibrillation Clinical Presentation].; 2017 [cited 2018
July Thursday. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/151066-
clinical.

39
23. van den Bos E, Constantinescu A, van Domburg R, Akin S, Jordaens L, Kofflard M.
Minor elevations in troponin I are associated with mortality and adverse cardiac
events in patients with atrial fibrillation. European heart journal. 2011; 32(6).

24. Wozakowska-Kaplon B. Effect of sinus rhythm restoration on plasma brain


natriuretic peptide in patients with atrial fibrillation. The American journal of
cardiology. 2005; 93(15).

25. Kowey P, Yannicelli D, Amsterdam E. Effectiveness of oral propafenone for the


prevention of atrial fibrillation after coronary artery bypass grafting. The American
journal of cardiology. 2005; 32(6).

26. Moukabary , Gonzalez D. Management of Atrial Fibrillation. Med Clin N Am.


2015; 99(7).

27. Hohnloser S, Kuck K, Lilienthal J. Rhythm or rate control in atrial fibrillation–


pharmacological intervention in atrial fibrillation (PIAF): a randomised trial. Lancet.
2001; 3(65).

28. Piccini JP, Fauchier. Atrial fi brillation: Rhythm control in atrial fi brillation. The
Lancet. 2016; 388(1).

29. Nuotio I, Hartikainen J. Time to cardioversion for acute atrial fibrillation. JAMA.
2014; 312(64).

30. Roy D, Talajic M, Nattel S. Rhythm control versus rate control for atrial fibrillation
and heart failure. N Engl J Med. 2009; 358(2).

31. Abhishek J, Asirvatham SJ. Atrial Fibrillation. Clinical Electrophysiology. 2016;


4(2).

32. Tayal U, Dancy. Palpitations. Medicine. 2013; 41(2).

33. Giada , Raviele. Clinical Approach to Patients with Palpitations. Card


Electrophysiol Clin. 2018; 10(387).

34. Andrade G, Deyell W, Lee YK. Sex-Differences in Atrial Fibrillation. Canadian


Journal of Cardiology. 2017; 1(1).

35. Khairy P, ANdrade J, Dobrev D. The clinical profile and pathophysiology of atrial
fibrillation: relationships among clinical features, epidemiology, and mechanisms.
Circ Res. 2014; 114(14).

40
36. Cadwallader KL. Dyspnea on Exertion (Congestive Heart Failure). In Rakel.
Essential Family Medicine. Boston: Elsevier Ltd; 2006. p. 300-14.

41

You might also like