Professional Documents
Culture Documents
JOURNAL READING
Oleh :
Pembimbing :
drg. Leni Rokhma Dewi, SP.PM
Praktikum Putaran I
Semester Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019
i
PENDAHULUAN
2
2
gastrointestinal. Lesi mulut pada manifestasi penyakit Crohn, umumnya tampak
setelah penyakit intestinal memasuki tahap lanjut, meski demikian dilaporkan
dapat terjadi kapan saja selama perjalanan penyakit intestinal berlangsung, bahkan
dapat muncul beberapa tahun, mendahului gejala intestinal. Insidensi keterlibatan
mukosa mulut pada penyakit Crohn dilaporkan sebesar 0,5 hingga 20% dan lesi
mulut sebagai tanda awal ditemukan pada 60% penderita. Lokasi penyakit Crohn
pada rongga mulut meliputi vestibulum, bibir, gingiva, dan mukosa pipi, dengan
lesi berupa edema, ulkus, dan lesi papular polipoid hiperplastik yang memberikan
gambaran area fokal hiperplasi. Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak
seperti batu bulat (cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal
pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap CD adalah
penyakit pada ileum dan ceccum (40%), pada usus halus (30%) dan terbatas pada
kolon (25%). Rectal sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi.
Tanda dan gejala penyakit Crohn meliputi kram perut, nyeri perut,
konstipasi, diare, melena, pendarahan rektal, muntah, hilangnya nafsu makan,
lelah, keringat di malam hari, pertumbuhan terhambat, dan penurunan berat
badan. Beberapa penderita mengeluhkan adanya demam, nyeri sendi, dan masalah
okuler serta mukokutan. Meskipun jarang, dapat pula mengenai area perifer
seperti mukosa mulut dan rektum.
Penyakit crohn (Crohn’s Disease) dapat melibatkan bagian manapun pada
saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola
penyakit yaitu penyakit inflamasi, striktur, dan fistula. Komplikasi anorektal
seperti fistula dan abses sering terjadi. CD dapat melibatkan bagian saluran
pencernaan yang lebih proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan
duodenum (Longo dkk, 2013). Letak penyakit menentukan manifestasi klinik
yang timbul. Letaknya dibagi menjadi : (Longo dkk, 2013, Sowjanya, 2016).
1. Ileocolitis
Riwayat kronik episode ulangan nyeri kuadran kanan bawah dan diare.
Terkadang gejala awal mirip dengan apendisitis akut dengan nyeri pada kuadran
kanan bawah, teraba massa, demam dan leukositosis. Nyeri biasanya seperti kolik
3
3
sebelum defekasi dan reda ketika defekasi. Demam derajat rendah, bila tinggi
mungkin bentuk abses intraabdominal. Kehilangan berat badan akibat diare,
anoreksia, dan sulit makan. Disuria akibat pembesaran massa inflamasi yang
menekan ureter atau kandung kemih.
2. Jejunoileitis
Penyakit inflamasi yang luas terkait dengan hilangnya permukaan absorpsi
dan digesti, menyebabkan malabsorpsi dan steatorrhea. Defisiensi nutrisi
menyebabkan buruknya intake dan kehilangan protein dan nutrisi lain.
Malabsorpsi intestinal dapat menyebabkan anemia, hipoalbuminemia,
hipocalcemia, hipomagnesemia, koagulopati, dan hiperoksaluria. Defisiensi
vitamin D dan hipokalsemia (fraktur vertebrae), defisiensi niasin (pellagra),
defisiensi vitamin B12 (anemia megaloblastik dan gangguan neurologis).
4. Penyakit gastrodudenal
Gejala berupa penyakit saluran cerna bagian atas seperti mual, muntah dan
nyeri epigastrium.
4
4
Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun datang bersama ibunya untuk mengobati
gingiva yang sakit dan berdarah. Ibu pasien melaporkan bahwa perubahan gingiva
dimulai tujuh bulan yang lalu dan onset tidak terkait dengan kejadian utama yang
dapat diidentifikasi, termasuk trauma mekanis, termal, dan kimia; perubahan pola
makan; penggunaan produk kesehatan gigi yang baru; atau paparan produk atau
makanan yang mengandung kayu manis. Dia juga membantah riwayat demam,
malaise, dan gejala gangguan pencernaan. Pasien telah berobat ke dokter anak,
dua minggu sebelumnya dan menjalani pemeriksaan darah lengkap (CBC), panel
metabolik, dan hasilnya tidak menunjukkan kelainan. Profilaksis gigi yang
menyeluruh juga telah dilakukan satu minggu sebelumnya tanpa adanya perbaikan
signifikan pada gingiva pasien.
5
5
Gambar 1: eritema mukosa yang tipis pada gingiva kanan anterior kanan.
6
6
Gambar 3 : Pembengkakan nodular papilla interdental antara insisivus sentral dan
lateral permanen dan kaninus primer permanen kanan. Sebuah ulserasi margin
gingiva bebas antara gigi seri terlihat. Ulserasi linier dengan margin hiperplastik
yang melibatkan mukosa alveolar.
Pasien diberikan resep untuk steroid topikal ringan dan diinstruksikan untuk
berkumur dan meludah empat kali sehari selama 14 hari. Dia juga dirujuk ke
dokter anak untuk evaluasi tambahan untuk menyingkirkan penyakit Crohn dan
kondisi sistemik lain yang terkait dengan peradangan granulomatosa, termasuk
sarkoidosis. Pasien kembali tiga minggu kemudian unuk kontrol, evaluasi dan
menunjukkan pengurangan yang cukup pada eritema gingival maksila dan
pembengkakan gingiva mandibula. Ibu pasien juga melaporkan berkurangnya rasa
sakit dan pendarahan saat menyikat gigi. Pasien disarankan untuk melakukan
evaluasi diagnostik untuk mengurangi penyebab sistemik peradangan
granulomatosa. Setelah dilakukan evaluasi oleh dokter anak, dia dirujuk ke
gastroenterolog pediatrik untuk konsultasi. Pasien kemudian menjalani
pemeriksaan endoskopi dan biopsi pada peradangan akut pada mukosa usus.
Diagnosis awal penyakit Crohn dibuat. Pasien diberikan mesalamine, anti-
inflamasi aminos alicylate, dan azathioprine (imunosupresan). Setelah satu tahun
ibu pasien melaporkan lewat telepon bahwa keadaan anaknya membaik setelah
7
7
diberi obat-obatan. Dia menyatakan bahwa lesi mulut anaknya telah benar-benar
teratasi dan pasien saat ini telah bebas dari gejala intraoral dan GI.
8
8
PEMBAHASAN
9
9
disregulasi sistem kekebalan tubuh. Mekanisme imunologi yang terlibat dalam
CD termasuk gangguan sistem kekebalan tubuh bawaan, yang mengarah ke
lingkungan proinflamasi berkelanjutan di usus (Mays, dkk, 2012); aktivasi
berlebihan dan diferensiasi dari subset sel T terhadap antigen mukosa (Brand,
2009, Ahern, 2009); dan sekresi sitokin yang menyimpang (Saruta dkk, 2007,
Barnes dan Powrie, 2009). Khususnya, sitokin IFN-γ tampaknya memainkan
peran kunci dalam menjaga lingkungan peradangan di usus (Boirivant dan Cossu,
2012). Temuan tersebut mungkin menjadi dasar dalam pengembangan terapi CD
yang lebih bertarget (Boirivant dan Cossu, 2012).
CD memiliki angka kejadian yang dilaporkan 3,1 hingga 14,6 kasus per
100.000 orang-tahun di Amerika Utara dan menunjukkan distribusi usia, puncak
pertama terjadi pada awal masa dewasa dan puncak kedua pada usia 50 hingga 70
tahun (Boirivant dan Cossu, 2012). Lokasi keterlibatan paling sering pada ileum,
katup ileocecal, dan sekum (Rendi, 2004). Namun, setiap wilayah saluran GI
dapat terpengaruh, termasuk daerah lain dari usus kecil dan besar serta saluran
pencernaan atas dan rongga mulut (Boirivant dan Cossu, 2012). Gejala klinis CD
dapat bervariasi dari satu pasien dengan pasien lain dan tergantung terutama pada
lokasi dan keadaan lesi, keparahan penyakit dan aktivitas, dan keterlibatan
ekstraintestinal. Gejala yang paling umum termasuk nyeri pada daerah kanan
bawah, diare tidak berdarah lebih dari enam bulan , dan penurunan berat badan
disertai dengan demam ringan, malaise, dan kelelahan (Boirivant dan Cossu,
2012, Rendi, 2004). Gejala ini diyakini mewakili pertanda penyakit, terutama
pada anak-anak (Boirivant dan Cossu, 2012). Selain gejala-gejala yang disebutkan
di atas, pasien anak mungkin mengalami demam yang tidak diketahui asalnya,
10
10
artralgia, penurunan pertumbuhan, dan kegagalan untuk berkembang (Rendi,
2004). Temuan laboratorium sering tidak spesifik tetapi mungkin menunjukkan
bukti malabsorpsi GI (misalnya, albumin rendah, kalsium, folat, besi, dan jumlah
sel darah merah), peningkatan laju endap darah (LED), peningkatan jumlah
trombosit, anemia, dan peningkatan reaktan fase akut seperti protein C-reaktif
(Kornbluth dan Sachar, 2004., Chamouard dkk, 2006., Goh dan O’Morain., 2003).
Tanda khas dari sebagian besar gangguan yang dimediasi kekebalan, CD
merupakan gangguan yang kronis dan lamban yang ditandai dengan periode
relaps dan remisi. Namun, sifat kronis dari peradangan pada akhirnya
mempengaruhi terjadinya komplikasi lokal seperti striktur, fistula, abses intra-
abdominal, dan obstruksi usus (Rendi, 2004., Kalmar, 2000). Komplikasi ini
sering mengganggu fungsi usus jangka panjang dan mungkin memerlukan koreksi
pembedahan (Boirivant dan Cossu, 2012). Kekambuhan CD setelah operasi
adalah hal yang umum dan disebabkan oleh sejumlah faktor seperti riwayat
penetrasi penyakit, usia pasien yang masih muda, penyakit ileocolonic, dan
merokok (Langholz, 2010., Papay dkk, 2010). Terakhir, pasien CD beresiko untuk
mengalami displasia atau adenocarcinoma pada usus kecil atau mukosa
kolorektal. Pengawasan kolonoskopi secara berkala merupakan aspek penting dari
manajemen penyakit ini (Rendi, 2004, Eaden dan Mayberry, 2002., Canavan dkk,
2006).
11
11
Tabel 1: Manifestasi oral dari Chrohn’s disease
12
12
deteksi CD oral dapat menjadi tantangan, terutama jika lesi halus atau pasien
berada pada tahap awal penyakit. Temuan oral lainnya yang dapat dilihat
termasuk ulserasi aphthous, angular cheilitis, stomatitis, glossitis, dan dermatitis
perioral (Boirivant dan Cossu, 2012). Namun, ini dianggap tidak spesifik untuk
CD karena belum dapat mewakili manifestasi utama penyakit atau hanya terjadi
akibat defisiensi nutrisi yang disebabkan oleh malabsorpsi usus, pembatasan diet,
atau obat (Boirivant dan Cossu, 2012, Hussey dkk, 2011). CD oral sering terjadi
pada pasien usia muda dan paling sering terlihat pada remaja dan dewasa muda.
Harty dkk melaporkan adanya peradangan granulomatosa pada 100% biopsi yang
dilakukan dalam penelitian mereka, terutama pada anak-anak.
Diagnosis diferensial klinis untuk CD oral pada pasien pediatri luas dan
mencakup berbagai kondisi yang dapat muncul dengan pembengkakan mukosa
mulut, massa, dan / atau ulserasi sebagai berikut:
13
13
defisiensi nutrisi, sindrom MAGIC (i.e., ulser pada mulut dan
genital dengan peradangan pada kartilago),
sindrom PFAPA (i.e., demam secara berkala, aphthous stomatitis,
faringitis dan adenitis serviks),
sindrom behcet’s,
Infeksi Virus
Infeksi herpes simplex,
Infeksi varicella zoster,
Infeksi enterovirus (misalnya; hand-foot-mouth
disease and herpangina).
Traumatik Ulcer
Chemical atau thermal burns
Pemphigus vulgaris
Mucous membrane pemphigoid
Erythema multiforme.
14
14
Diagnosa banding dapat ditetapkan sebelum pemeriksaan histologis
termasuk idiopathic orofacial granulomatosis; sindrom ini terlihat dari
pembengkakan multiple pada mukosa seperti neurofibromatosis, multiple
endocrine neoplasia (MEN) 2B / III, dan multiple hamartoma syndrome (Cowden
disease); ulserasi aphthous yang berkaitan/tidak berkaitan dari penyakit sistemik;
dan penyakit vesiculo-erosive lainnya dari berbagai macam etiologi. Diagnosa
banding dari hasil histologis peradangan oral pada pasien yang lebih muda dapat
dikategorikan secara luas ke dalam gangguan lokal/etiologi sistemik. Pengaruh
lokal dari peradangan granulomatous seperti reaksi alergi pada benda asing
(misalnya; granulomatous gingivitis), reaksi alergi terhadap kayu manis dan
benzoat; dan idiopatik orofacial granulomatosis, keadaan sistemik. Diagnosa yang
tidak terlibat oleh adanya peradangan granulomatous misalnya Crohn’s disease,
sarcoidosis, infeksi mycobacterial, infeksi jamur, dan tertiary syphilis. Pada
akhirnya, diagnose dari Crohn’s disease memiliki kaitan antara masa lalu klinis
pasien dan ditemukan pada psikologis, radiografi, endoskopi, laboratorium, dan
pemeriksaan mikroskopis.
Penatalaksanaan CD tergantung pada lokasi penyakit dan aktivitas serta
timbulnya komplikasinya (Boirivant, 2012). Golongan obat utama yang
digunakan dalam pengobatan CD termasuk agen anti-inflamasi (aminosalicylates)
dan steroid, imunosupresan atau imunomodulator (thiopurines dan methotrexate)
dan agen biologis (infliximab). Protokol standar “stepup” untuk menggunakan
obat kortikosteroid untuk pasien dengan mild-moderate CD yang bekerja pada
bagian ileum (Travis dkk. 2006) dan kombinasi kortikosteroid oral dan
imunosupresan untuk pasien dengan penyakit usus kecil sedang sampai berat dan
penyakit kambuhan atau steroid-refrakter (Travis dkk. 2006., Prefontaine dkk.
2010). Agen biologis direkomendasikan untuk pasien yang tidak merespon atau
tidak dapat mentoleransi terapi standar dan pasien dengan kontraindikasi obat-
obatan jantung (Boirivant, 2012). Pembedahan secara klinis tidak dianjurkan
karena dianggap tidak kuratif terkait dengan sejumlah komplikasi fungsional dan
kekambuhan penyakit (Boirivant, 2012).. Baru-baru ini, ada pergeseran dalam
15
15
pemberian agen biologis seperti infliximab pada pasien dengan CD yang baru
didiagnosis, yang disebut pendekatan "top-down" (D’Haens dkk. 2008).
Pada pasien anak-anak memerlukan managemen yang lebih komplek
karena dampak potensi dari obat-obatan CD dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan. Seluruh tujuan pengobatan CD pada anak untuk mencapai
kontrol terbaik dari penyakit dengan yang paling sedikit efek samping negatifnya,
untuk memperhatikan nutrisi untuk pertumbuhan anak, dan untuk mendapatkan
energi dari nutrisi untuk kegiatan sehari-hari seperti bersekolah (Grossman, 2015).
Meskipun tidak ada protokol standar, sebagian besar dokter mengikuti pendekatan
step-up pemberian aminosalicylate, antibiotik, dan terapi nutrisi, diikuti dengan
penambahan kortikosteroid, imunomodulator, dan terapi biologis yang dianggap
perlu. Seperti dengan CD dewasa, ada bukti awal untuk mendukung penelitian
yang diperlukan sebelum implementasi secara luas (Grossman, 2015). Pemberian
nutrisi eksklusif, juga dikenal sebagai tablet nutrisi, adalah pilihan terapi lain
pada anak-anak dengan CD (Akobeng, 2008). Sedangkan, nyeri yang
berhubungan dengan CD oral pada pasien anak dapat dikelola dengan steroid
topikal, sistemik, atau suntik dengan atau tanpa menggunakan agen imunosupresif
seperti azathioprine. Namun, lesi oral biasanya merespon dengan baik terhadap
pengobatan sistemik pada CD usus (Fatahzadeh, 2009).
16
16
DAFTAR PUSTAKA
17
17
E. Prefontaine, J. K. Macdonald, and L. R. Sutherland, “Azathioprine or 6
mercaptopurine for induction of remission in Crohn’s disease,”
Cochrane Database of Systematic Reviews, no.4, Article ID CD000545,
2009.
E. V. Loftus Jr., “Clinical epidemiology of inflammatory bowel disease:
incidence, prevalence, and environmental influences,”
Gastroenterology, vol. 126, no. 6, pp. 1504–1517, 2004.
E.F.Stange, S. P. L. Travis,S.Vermeire et al., “European evidence based
consensus on the diagnosis and management of Crohn’s disease:
definitions and diagnosis,” Gut, vol. 55, no. 1, 2006.
E.F.Stange, S. P. L. Travis,S.Vermeire et al., “Europeanevidence based consensus
on the diagnosis and management of Crohn’s disease: definitions and
diagnosis,” Gut, vol. 55, no. 1, 2006.
G. D’Haens, F. Baert, G. van Assche et al., “Early combined immunosuppression
or conventional management in patients with newly diagnosed Crohn’s
disease: an open randomized trial,” The Lancet, vol. 371, no. 9613, pp.
660–667, 2008.
J. A. Eaden and J. F. Mayberry, “Guidelines for screening and surveillance of
asymptomatic colorectal cancer in patients with inflammatory bowel
disease,” Gut, vol. 51, supplement 5, pp. v10–v12, 2002.
J. Goh and C. A. O’Morain, “Review article: nutrition and adult inflammatory
bowel disease,” Alimentary Pharmacology and Therapeutics, vol. 17,
no. 3, pp. 307–320, 2003.
J. H.Cho and C. T.Weaver, “Thegenetics of inflammatory bowel disease,”
Gastroenterology, vol. 133, no. 4, pp. 1327–1339, 2007.
J.W.Mays, M. Sarmadi, andN.M.Moutsopoulos, “Oralmanifestations of systemic
autoimmune and inflammatory diseases: diagnosis and clinical
management,” The Journal of Evidence- Based Dental Practice, vol.
12, no. 3, supplement, pp. 265–282, 2012.
Longo DL., Fauci AS. 2013. Horrisson: gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta:
EGC.
18
18
M. Boirivant and A. Cossu, “Inflammatory bowel disease,” Oral Diseases, vol.
18, no. 1, pp. 1–15, 2012.
M. Fatahzadeh, “Inflammatory bowel disease,” Oral Surgery, Oral Medicine,
Oral Pathology, Oral Radiology and Endodontology, vol. 108, no. 5,
pp. e1–e10, 2009.
M. Rendi, “Crohn disease pathology,” 2014, http://emedicine.
medscape.com/article/1986158-overview.
P. Chamouard, Z. Richert, N. Meyer, G. Rahmi, and R. Baumann, “Diagnostic
value of C-reactive protein for predicting activity level of Crohn’s
disease,” Clinical Gastroenterology and Hepatology, vol. 4, no. 7, pp.
882–887, 2006.
P. Papay,W. Reinisch, E.Ho et al., “The impact of thiopurines on the risk of
surgical recurrence in patients with Crohn’s disease after first intestinal
surgery,” The American Journal of Gastroenterology, vol. 105, no. 5,
pp. 1158–1164, 2010.
S. Brand, “Crohn’s disease: Th1, Th17 or both? The change of a paradigm: new
immunological and genetic insights implicate Th17 cells in the
pathogenesis of Crohn’s disease,” Gut, vol. 58, no. 8, pp. 1152–1167,
2009.
S. Harty, P. Fleming, M. Rowland et al., “A prospective study of the oral
manifestations of Crohn’s disease,” Clinical Gastroenterology and
Hepatology, vol. 3, no. 9, pp. 886–891, 2005.
S. Pittock, B. Drumm, P. Fleming et al., “The oral cavity in Crohn’s disease,” The
Journal of Pediatrics, vol. 138, no. 5, pp. 767–771, 2001.
Sowjanya PK,. Reseach and reviews: Journal of medical and health sciences
chrohn’s disease: An overview.2016. 5(3): 1-8.
19
19