You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia/pasangan tentunya ingin mempunyai anak yang sempurna baik

secara fisik maupun psikis. Namun dalam kenyatanya masih banyak kira jumpai bayi

dilahirkan dengan keadaan cacat bawaan/kelainan kongenital. Suatu kenyataan saat ini

bahwa harapan kelangsungan hidup anak-anak Indonesia masih rendah sehingga masih

banyak anak terlahir di negeri ini dalam situasi yang tidak menguntungkan karena

berbagai sebab seperti penyakit infeksi, penyakit bawaan (kelainan kongenital),

malnutrisi, berat badan lahir rendah dan lainlain sehingga kualitas hidup mereka dimasa

depan akan rendah (IDAI, 2008). Walaupun begitu, mortalitas anak di beberapa negara

mulai menurun karena suksesnya imunisasi, kontrol diare, infeksi saluran pernapasan

akut, dan perbaikan pelayanan yang terfokus pada Layanan Kesehatan Primer. Sebagai

konsekuensi, kelainan kongenital mengambil proporsi yang lebih besar dalam mortalitas

anak (World Bank dalam WHO, 2013)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan kelainan kongenital?

1.2.2 Apa sajakah faktor-faktor yang memengaruhi kelainan kongenital?

1.2.3 Apa sajakah jenis-jenis kelainan kongenital?

1.2.4 Apakah yang dimaksud dengan kelainan keturunan?

1.2.5 Apa sajakah faktor-faktor yang memengaruhi kelainan keturunan?

1.2.6 Apa sajakah jenis-jenis kelainan keturunan?


1.3Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas mengenai kelainan

kongenital dan keturunan, sehingga dapat menambah wawasan tentang kelainan

kongenital.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi kelainan kongenital

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir

yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik (Effendi, 2006).

Menurut International Classification of Diseases revisi kesepuluh (ICD10), kelainan

kongenital meliputi malformasi kongenital, deformasi, dan abnormalitas kromosom

dengan pengecualian kelainan metabolisme sejak lahir. Pengertian yang lebih luas dari

defek lahir yang dinyatakan oleh The March of Dimes (MOD) yaitu meliputi abnormalitas

struktur dan fungsi termasuk metabolisme, yang muncul saat lahir.

2.2 Embriogenesis

Embriogenesis normal merupakan proses yang sangat kompleks. Perkembangan

prenatal terdiri atas tiga tahap, yaitu:

1. Tahap implantasi (implantation stage), dimulai pada saat fertilisasi atau

pembelahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.

2. Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu ke empat sampai minggu ke

tujuh kehamilan:

a) Terjadi diferensiasi jaringan dan pembentukan organ definitif.


b) Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan menutupnya tabung

saraf (neural tube), dan fleksi dari segmen anterior membentuk bagian-

bagian otak.

c) Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi melalui

sistem vaskular yang baru terbentuk meskipun struktur jantung belum

terbentuk sempurna.

d) Terlihat primordial dan struktur wajah, ekstremitas dan organ dalam.

3. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir. Pada tahap

ini diferensiasi seluruh organ telah sempurna, bertambah dalam ukuran;

pertumbuhan progresif struktur skeletal, muskulus dan terutama otak.

Perkembangan embrio awal meliputi beberapa fenomena yang berbeda:

a) Sel-sel membentuk berbagai jaringan, organ dan struktur tubuh

b) Proliferasi sel sederhana terjadi dengan kecepatan yang berbeda

pada berbagai bagian tubuh, baik sebelum maupun sesudah diferensiasi

menjadi jaringan spesifik.

c) Beberapa tipe sel seperti melanosit, mengalami migrasi ke sekitarnya

sampai akhirnya sampai ke lokasi yang jauh dari tempat semula.

d) Kematian sel yang terprogram, merupakan faktor penting dalam

pembentukan beberapa struktur, seperti pada pemisahan jari tangan.


e) Penyatuan (fusi) antara jaringan yang berdekatan juga merupakan

mekanisme penting dalam pembentukan beberapa struktur seperti bibir

atas dan jantung.

Seluruh proses perkembangan normal terjadi dengan urutan yang spesifik, khas

untuk setiap jaringan atau struktur dan waktunya mungkin sangat singkat. Oleh sebab

itu meskipun terjadinya perlambatan proses diferensiasi sangat singkat, dapat

menyebabkan pembentukan yang abnormal tidak hanya pada struktur tertentu, tetapi

juga pada berbagai jaringan sekitarnya.

Sekali sebuah struktur sudah selesai terbentuk pada titik tertentu, maka proses

itu tidak dapat mundur kembali meskipun struktur tersebut dapat saja mengalami

penyimpangan, dirusak atau dihancurkan oleh tekanan mekanik atau infeksi (Effendi,

2006).

2.3 Embriogenesis Abnormal

Kegagalan atau ketidak sempurnaan dalam proses embriogenesis dapat

menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan yang

timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme

perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Penyimpangan pada tahap implantasi

dapat merusak embrio dan menyebabkan abortus spontan. Diperkirakan 15% dari

seluruh konsepsi akan berakhir pada periode ini.

Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi

struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas sampai ukuran daun telinga

yang kecil. Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi sel menjadi jaringan yang
matang mungkin akan menyebabkan lesi hamartoma lokal seperti hemangioma atau

kelainan yang lebih luas dari suatu organ. Kelainan induksi sel dapat menyebabkan

beberapa kelainan seperti atresia bilier, sedangkan penyimpangan imigrasi sel dapat

menyebabkan kelainan seperti pigmentasi kulit.

Proses “kematian sel” yang tidak adekuat dapat menyebabkan kelainan, antara

lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi jaringan yang tidak sempurna akan menyebabkan

celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat teratogen dapat mengganggu perkembangan,

tetapi efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada saat aktivitas teratogen berlangsung

selama tahap embrio (Effendi, 2006).

2.4 Etiologi

Kelainan Kongenital Penyebab kelainan kongenital dibagi atas 4 katergori yaitu;

genetik, lingkungan, multifaktorial, dan tidak diketahui. Pada awalnya, sebanyak 50-60%

dari semua kelainan kongenital dianggap etiologinya tidak diketahui, tetapi dengan

semakin majunya ilmu genetik, etiologi dari beberapa sindrom telah dapat diidentifikasi.

Berdasarkan data terbaru, genetik dianggap menjadi penyebab kelainan kongenital

sebanyak 10-30%, faktor lingkungan 5-10%, pewarisan sifat multifaktorial 20-35% dan

tidak diketahui 30-45% dari kasus (Kumar P, Burton BK, 2008).

2.4.1 Genetik

Faktor genetik berperan dalam sebagian besar malformasi kongenital

dengan penyebab yang diketahui, dan berperan penting pada gangguan

pewarisan sifat yang multifaktorial (multifactorial inheritance). Abnormalitas

kromosom yang menyebabkan kelainan kongenital dapat berupa numerikal atau


struktural. Contoh dari abnormalitas kromosom numerikal yaitu Down

Syndrome (Trisomi 21), dan Turner Syndrome (monosomi 45 XO). Contoh dari

abnormalitas kromosom struktural seperti translokasi, delesi, mikrodelesi,

duplikasi, atau inversi (Kumar P, Burton BK, 2008).

2.4.2 Lingkungan

Faktor lingkungan juga berperan penting dalam etiopatogenesis

kelainan kongenital. Paparan ibu oleh agen lingkungan dapat mengganggu

proses pertumbuhan normal dan menghasilkan kelainan kongenital mayor dan

minor. Agen-agen yang berpotensi menginduksi anomali struktur anatomi janin

disebut sebagai teratogen. Belum ada mekanisme yang jelas masing-masing

teratogen dalam menyebabkan anomali. Risiko memiliki kelainan kongenital

setelah terpapar agen teratogen tergantung kondisi alam dan dosis dari agen

tersebut, waktu dan lama durasi paparan, adanya paparan yang bersamaan, dan

gen yang rentan dari embrio. Interaksi antara gen dan faktor lingkungan

berperan pada kebanyakan kelainan kongenital yang berhubungan dengan

paparan teratogen (Kumar P, Burton BK, 2008).

2.4.3 Multifaktorial

Gangguan multifaktorial timbul sebagai hasil interaksi dari faktor genetik

dan lingkungan. Kelainan kongenital ini termasuk bibir sumbing (cleft lip dan

cleft palate), spina bifida, dan paling banyak gangguan pada anak dan dewasa

seperti asma, aterosklerosis, diabetes, dan kanker. (Levy PA dan Marion RW,

2015).
2.5 Klasifikasi Kelainan Kongenital

2.5.1 Klasifikasi berdasarkan tahap perkembangan

Kelainan kongenital dapat dibagi mejadi tiga kategori berdasarkan tahap

perkembangan dimana gangguan terjadi.

1) Malformasi

Malformasi adalah defek morfologi dari suatu organ, bagian dari organ,

atau suatu regio tubuh akibat proses berkembangan intrinsik yang abnormal.

Paling sering sebagai hasil dari gangguan embriogenesis dan biasanya terjadi

pada usia gestasi minggu ke delapan dengan pengecualian otak, genitalia dan

gigi. Karena malformasi terjadi pada tahap awal perkembangan janin, maka

struktur yang terkena dapat memiliki konfigurasi mulai dari absennya struktur

secara komplit, sampai pembentukan yang tidak komplit. Contoh dari

malformasi kategori ini termasuk agenesis renal dan neural tube defect.

Malformasi disebabkan oleh faktor genetik, pengaruh lingkungan, atau

kombinasi keduanya (Kumar P, Burton BK, 2008).

2) Disrupsi

Defek struktur juga dapat disebabkan oleh destruksi pada jaringan yang

semula berkembang normal. Berbeda dengan deformasi yang hanya disebabkan

oleh tekanan mekanis , pada disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia,

perdarahan atau perlekatan. Kelainan akibat disrupsi biasanya mengenai

beberapa jaringan yang berbeda. Penyebab terseing adalah robeknya selaput

amnion pada kehamilan muda sehingga tali amnion dapat mengikat erat janin,
memotong kuadran bawah fetus, menembus kulit, muskulus, tulang dan

jaringan lunak (Effendi, 2006).

3) Deformasi

Deformasi didefinisikan sebagai bentuk, kondisi, atau posisi abnormal

bagian tubuh yang disebabkan oleh gaya mekanik sesudah pembentukan normal

terjadi (Effendi, 2006). Anomali ini timbul setelah organogenesis dan paling

sering melibatkan jaringan muskuloskeletal. Penyebab utama deformasi adalah

abnormalitas struktural dari uterus seperti fibroid, uterus bicornis, kehamilan

kembar, dan oligohidramnion. Deformasi dapat reversibel setelah kelahiran

tergantung durasi dan luasnya deformasi sebelum kelahiran.

Dengan demikian deformasi dan disrupsi mempengaruhi perkembangan

struktur yang normal tanpa adanya abnormalitas intrinsik jaringan. Anomali seperti ini

tidak memiliki dasar genetik, tidak pula berhubungan dengan defisit kognitif, dan risiko

rekurennya rendah (Kumar P, Burton BK, 2008).

2.5.2 Klasifikasi berdarkan perubahan histologis

Beberapa anomali tertentu memiliki perubahan yang jelas berdasarkan

perkembangan sel dan jaringannya yang dapat diidentifikasi melalui analisis histologis

dan presentasi klinis. Dengan adanya hal ini, dapat dijelaskan patogenesis dari beberapa

kelainan kongenital.

1) Aplasia

Aplasia menandakan absennya proliferasi sel yang berakhir pada

absennya organ atau morfologi tertentu seperti agenesis renal.


2) Hipoplasia

Hal ini merujuk pada insufisiensi atau berkurangnya proliferasi sel yang

menghasilkan organ yang undergrowth, seperti pulmonary hypoplasia.

3) Hiperplasia

Hiperplasia adalah proliferasi sel yang eksesif dan overgrowth dari organ

atau morfologi tertentu. Kata hipoplasia ataupun hiperplasia digunakan

pada sel normal yang kurang berproliferasi (undergrowth) atau

berproliferasi berlebih (overgrowth). Perubahan proliferasi sel normal akan

mengakibatkan displasia. (Kumar P, Burton BK, 2008).

4) Displasia

Displasia merujuk pada abnormalnya organisasi sel atau histogenesis

pada suatu tipe jaringan spesifik di seluruh tubuh seperti Sindrom Marfan,

congenital ectodermal dysplasia, dan skeletal dysplasia.

2.5.3 Kelainan kongenital berdasarkan klinis

1) Kelainan tunggal (single defect system)

Defek ini mendasari grup paling besar kelainan kongenital yang ditandai

oleh terlibatnya satu sistem organ atau hanya satu regio tubuh seperti bibir

sumbing (cleft lip/palate) dan kelainan jantung bawaan. Anomali ini biasanya

memiliki etiologi multifaktorial. (Kumar P dan Burton BK, 2008)

2) Sindrom malformasi multipel (multiple malformation syndrome)


Istilah “syndrome” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “berjalan

bersama”. Pada pengertian yang lebih sempit, sindrom bukanlah suatu

diagnosis, tetapi hanya sebuah label yang tepat (Effendi, 2006). Kata sindrom

digunakan jika suatu kombinasi kelainan kongenital timbul berulang pada pola

yang sama dan biasanya etiologinya umum, riwayat alami sama, dan adanya

risiko rekuren yang diketahui. (Kumar P dan Burton BK, 2008). Apabila penyebab

dari suatu sindrom diketahui, sebaiknya dinyatakan dengan nama yang lebih

pasti, seperti “Hurler syndrome” menjadi “Mucopolysaccharidosis type I”.

Sindrom biasanya dikenal setelah laporan oleh beberapa penulis tentang

berbagai kasus yang mempunyai banyak persamaan. Sampai tahun 1992 dikenal

lebih dari 1.000 sindrom dan hampir 100 diantaranya merupakan kelainan

kongenital kromosom. Sedangkan 50% kelainan kongenital multipel belum

dapat digolongkan ke dalam sindrom tertentu. (Effendi, 2006)

3) Asosiasi (association)

Asosiasi adalah kombinasi kelainan kongenital yang sering terjadi

bersama-sama. Istilah asosiasi untuk menekankan kurangnya keseragaman

dalam gejala klinik antara satu kasus dengan kasus yang lain. Sebagai contoh

“Asosiasi VACTERL” (vertebral anomalies, anal atresia, cardiac malformation,

tracheoesophageal fistula, renal anomalies, limbs defects). Sebagian besar anak

dengan diagnosis ini tidak mempunyai keseluruhan anomali tersebut, tetapi

lebih sering mempunyai variasi dari kelainan di atas. (Effendi, 2006)

4) Sekuensial (sequential)
Sekuensial adalah suatu pola dari kelainan multiple dimana kelainan

utamanya diketahui. Sebagai contoh, pada “Potter Sequence” kelainan

utamanya adalah aplasia ginjal. Tidak adanya produksi urin mengakibatkan

jumlah cairan amnion setelah kehamilan pertengahan akan berkurang dan

menyebabkan tekanan intrauterine dan akan menimbulkan deformitas seperti

tungkai bengkok dan kontraktur pada sendi serta menekan wajah (Potter

Facies). Oligoamnion juga berefek pada pematangan paru sehingga pematangan

paru terhambat. Oleh sebab itu bayi baru lahir dengan “Potter Sequence”

biasanya lebih banyak meninggal karena distress respirasi dibandingkan karena

gagal ginjal. Sebagian besar kelainan sekuensial tidak diketahui penyebabnya,

kemungkinan disebabkan oleh multifaktorial (Effendi, 2006).

5) Kompleks (Complexes)

Istilah ini menggambarkan adanya pengaruh berbahaya yang mengenai

bagian utama dari suatu regio perkembangan embrio, yang mengakibatkan

kelainan pada berbagai struktur berdekatan yang mungkin sangat berbeda asal

embriologinya tetapi mempunyai letak yang sama pada titik tertentu saat

perkembangan embrio. Beberapa kompleks disebabkan oleh kelainan vaskuler.

Penyimpangan pembentukan pembuluh darah pada saat embriogenesis awal,

dapat menyebabkan kelainan pembentukan struktur yang diperdarahi oleh

pembuluh darah tersebut. Sebagai contoh, absennya sebuah arteri secara total

dapat menyebabkan tidak terbentuknya sebagian atau seluruh tungkai yang

sedang berkembang. Penyimpangan arteri pada masa embrio mungkin akan

mengakibatkan hipoplasia dari tulang dan otot yang diperdarahinya. Contoh dari
kompleks, termasuk hemifacial microsomia, sacral agenesis, sirenomelia, Poland

Anomaly, dan Moebius Syndrome (Effendi, 2006).

2.5.4 Kelainan kongenital berdasarkan berat ringannya

1) Malformasi mayor

Malformasi mayor adalah abnormalitas anatomi yang cukup berat yang

dapat mengurangi angka harapan hidup atau berkompromi dengan fungsi

normal seperti neural tube defect, agenesis renal, dan lain-lain (Kumar P dan

Burton BK, 2008). Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan

medis segera demi mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya.

(Effendi, 2006).

2) Malformasi minor

Malformasi minor adalah berubahan struktural yang tidak

membutuhkan pengobatan, atau dapat diobati dengan mudah. Malformasi

minor paling sering mengenai daerah yang kompleks, seperti wajah dan

ekstremitas bagian distal. Malformasi minor relatif sering dan insidensnya cukup

tinggi pada bayi-bayi prematur dan bayi-bayi dengan retardasi pertumbuhan

dalam janin (intrauterine growth retadration) (Kumar P dan Burton BK, 2008).

Contoh malformasi ini yaitu Single transverse palmar creases, low set ears,

hypertelorism. (Levy PA dan Marion RW, 2015).


2.6 Faktor risiko kelainan kongenital

2.6.1 Faktor bayi

a) Usia gestasi Dalam beberapa studi ditunjukkan bahwa bayi-bayi preterm (37

minggu), dan perbedaannya secara statistik signifikan (Marwah A, 2016).

b) Jenis kelamin Dalam beberapa studi, insidens kelainan kongenital pada bayi

laki-laki lebih besar dari pada bayi perempuan, namun perbedaan ini secara

statistik tidak signifikan. (Gandhi MK, dkk., 2016. Marwah A, 2016).

c) Berat bayi lahir Dalam beberapa studi dikatakan bahwa insidens kelainan

kongenital pada bayi dengan berat bayi lahir rendah (2,5 kg. Namun perbedaan

ini secara statistik tidak signifikan (Gandhi MK, dkk., 2016. Marwah A, 2016).

2.6.2 Faktor ibu

a) Usia ibu

Ibu dengan usia muda banyak ditemukan di negara industri dan

menghabiskan biaya sosioekonomi yang cukup tinggi karena kehamilan usia

muda rentan mengalami efek yang berlawanan seperti retardasi pertumbuhan

dalam janin, bayi berat lahir rendah, dan persalinan yang preterm (Chandra dkk.,

2002; Khashan dkk., 2010). Dalam studi retrospektif di Amerika, terdapat

hubungan yang sangat kuat antara ibu usia muda, 13 sampai 19 tahun dengan

defek lahir tertentu, seperti malformasi sistem saraf pusat, traktur

gastrointestinal, dan sistem muskuloskeletal. (Chen dkk., 2007). Beberapa studi

menyatakan bahwa efek kehamilan yang tidak diinginkan pada ibu usia muda

terjadi berhubungan dengan pola hidup (life style), latar belakang genetik, status
ekonomi yang rendah, rendahnya asuransi kesehatan dan prenatal care,

termasuk suplementasi dengan asam folat yang mengandung multivitamin.

(Loane dkk., 2009; Reichman and Pagnini, 1997; Nilsen dkk., 2006; Raatikainen

dkk., 2006; Wahn and; Nissen, 2008).

Ibu hamil dengan usia tua dihubungkan dengan masalah fertilitas,

kelahiran multipel, dan abnormalitas kromosom, walaupun demikian lebih

banyak wanita mengalami persalinan yang lama (American Society for

Reproductive Medicine, 2003; Tough dkk., 2007). Terdapat 14,9% angka

kelahiran hidup oleh ibu dengan usia 35 tahun ke atas. (National Center for

Health Statistics, 2010). Dikatakan bahwa usia ibu hamil yang lebih tua

berhubungan dengan defek kromosom seperti trisomi 13, 18 dan 21 (Hagen et

al., 2011). Besarnya risiko usia tua ibu hamil bagi terjadinya defek spesifik non

kromosom masih belum jelas. (Gill SK. Dkk. 2012)

b) Hubungan keluarga orang tua (Consanguineous parents)

Istilah consanguinuinity digunakan untuk menggambarkan mereka yang

menikah yang memiliki setidaknya satu nenek moyang yang sama. Perkawinan

dengan hubungan keluarga dalam genetika populasi berangkat dari perkawinan

yang tidak acak dengan pasangan yang lebih mirip secara genetik dibandingkan

mereka yang kawin secara acak dalam populasi. Keturunan dari consanguineous

parents mungkin berisiko tinggi terhadap kelainan gentik karena ekspresi mutasi

gen resesif autosomal yang diwarisi dari nenek moyang yang sama. Semakin

dekat hubungan biologis antara orang tua, semakin besar kemungkinan bahwa

keturunan mereka akan mewarisi salinan identik dari satu atau lebih gen resesif
yang merugikan. Sebagai contoh, sepupu pertama diprediksi akan berbagi 12,5

% gen mereka. Jadi, secara rata-rata keturunan mereka akan homozigot (atau

lebih tepatnya autozigot) pada 6,25% lokus gen (yaitu mereka akan menerima

salinan gen yang identik dari setiap orang tua di tempat-tempat ini dalam

genom mereka) (Robin LB, 2002).

2.6.3 Faktor Lingkungan

Paparan ibu oleh agen lingkungan dapat mengganggu proses

pertumbuhan normal. Risiko memiliki kelainan kongenital setelah terpapar agen

teratogen tergantung kondisi alam dan dosis dari agen tersebut, waktu dan lama

durasi paparan, adanya paparan yang bersamaan, dan gen yang rentan dari

embrio.

1) Merokok (aktif dan pasif)

Merokok selama kehamilan menyebabkan paparan zat-zat

seperti nikotin dan karbon monoksida yang dikaitkan dengan sejumlah

komplikasi serius selama kehamilan (Rogers JM, 2009). Peningkatan

kejadian aborsi spontan, kelahiran prematur, abrupsio plasenta, growth

restriction, ruptur membran prematur, keguguran, dan kelahiran mati

adalah beberapa akibat dari paparan asap tembakau dan meningkatkan

morbiditas dan mortilitas perinatal (Adgent MA, 2006. Glinianaia SV

dkk., 2004. Nabet C dkk., 2005) Mekanisme biologis bagaimana asap

tembakau mempengaruhi perkembangan janin telah diperiksa dalam

penelitian terhadap manusia dan laboratorium yang ekstensif, yang

menunjukkan bahwa banyak dari 7000 bahan kimia dapat melewati

penghalang plasenta dan memiliki efek berbahaya langsung pada bayi


yang belum lahir. (BMA, 2004; Quinton et al., 2008; Talbot, 2008;

Rogers, 2009) Di England dan Wales, 3759 bayi lahir dengan kelainan

kongenital non kromosom pada tahun 2008; lima defek yang paling

sering yaitu pada sistem kardiovaskular (27%), ekstremitas (22%), sistem

urinarius (17%), sistem genitalia (11%) dan celah orofasial (11%) (ONS,

2010).

2) Obat-obatan

Obat-obatan termasuk agen teratogen apabila dikonsumsi

selama kehamilan. Dikatakan bahwa fenitoin (hidantoin) dengan

periode kritis trimester 1, dapat mengakibatkan malformasi hiplasia

falang distal, hidung pesek, pangkal hidung datar dan lebar, ptosis, bibir

sumbing dan langitlangit sumbing, retardasi mental, kemudian akan

mempunyai risiko tinggi terhadap keganasan terutama neuroblastoma.

Talidomid pada periode kritis 34-50 hari HPHT (hari pertama haid

terakhir) dapat menyebabkan malformasi berupa fokomelia, penyakit

jantung bawaan, stenosis ani, atresia meatus akustikus eksterna. Jika

terpapar warfarin pada 6-9 minggu, mengakibatkan anomali struktur

pada 30%, setelah 16 minggu mungkin hanya mengakibatkan retardasi

mental. Klorokuin dapat mengakibatkan ketulian, kekeruhan kornea,

dan korioretinitis. Litium dapat mengakibatkan kelainan jantung

bawaan. Natrium valproat dapat mengakibatkan neural tube defect,

hipospadia, mikrosomia, hidung kecil, jari tangan panjang dan kurus,

keterlambatan perkembangan (Connor JM, Smith MAF, 1997)


Penggunaan ACE-inhibitor (ACEI) untuk mengobati tekanan

darah tinggi juga dikatakan menyebabkan defek lahir. Penggunaan ACEI

menjadi kontraindikasi pada kehamilan trimester dua dan trimester

ketiga. Paparan ACEI terhadap janin dikatakan berhubungan dengan

fetopati, yaitu suatu keadaan yang terdiri atas oligohidramnion,

retardasi pertumbuhan dalam janin, hipokalvaria, displasia renal, anuria,

gagal ginjal, dan kematian (Briggs GG, 2002. Tabacova S, dkk., 2003)

Kebalikannya, penggunaan ACEI pada trimester pertama kehamilan

belum dihubungkan dengan efek buruk pada kelahiran. Efek pada janin

dikatakan sebagai konsekuensi langsung dari anuria dan

oligohidramnion yang dihasilkan oleh ACEI yang mengganggu fungsi

ginjal janin (Tabacova S, dkk., 2003. Martin RA, dkk., 1992. Bhatt-MV,

Deluga KS, 1993). Karena produksi urin merupakan proses yang

bertahap yang berkembang pada kehamilan yang lanjut, (Moore KL,

Persaud TVN, 1998) maka ginjal janin yang masih berkembang belum

sensitif terhadap ACEI sebelum trimester kedua kehamilan (Cooper WO,

dkk., 2006)

Penyalahgunaan obat-obatan juga ternyata berdampak negatif

bagi janin. Seperti ganja (marijuana) dimana zat aktifnya berupa 8,9-

tetrahidrokanabinol, yang larut lemak, dapat melewati plasenta dengan

mudah dan dapat bertahan pada janin selama 30 hari. Retardasi

pertumbuhan dan malformasi dilaporkan terjadi setelah penggunaan

ganja selama kehamilan khususnya pada trimester 1. (Idanpaan HJ, dkk.,

1969, Klausner HA dan Dingell JV, 1973. Robinson LL, dkk., 1989).
Penggunaan Lysergic acid diethlamide (LSD) pada ibu hamil dilaporkan

melahirkan anak dengan anomali. Anomali tersebut beragam, berupa

defek pada ekstremitas, mata, saraf pusat, dan artrogryposis (Zellweger

H, dkk., 1967) Kokain pada janin dimetabolisme dengan lambat karena

janin memiliki aktifitas kolinesterase plasma yang rendah (Cregler LL dan

Mark H, 1986). Kokain memblok reuptake neurotransmitter di presinaps

pada saraf terminal, yang menghasilkan peningkatan level norepinefrin

dan dopamin (Hodach RJ, dkk., 1975). Sehinga dapat mengubah

availabilitas dan pemakaian kalsium, dan menurunkan aliran darah dari

uterus ke plasenta (Little BB, 1989). Komplikasinya berupa abrupsio

plasenta, hemoragik otak, IUGR, defek ekstremitas dan atresia usus.

Selain itu dapat meningkatkan kejadian prematuritas, mikrosefal, dan

kematian bayi tiba-tiba (Volpe JJ, 1992).

3) Obat tradisional (herbal dan jamu), minuman energi, dan kopi

Obat-obatan tradisional khususnya obat herbal sangat banyak

dikonsumsi di negara berkembang. Ada alasan terntentu mengapa

beberapa komunitas di negara berkembang tertarik dengan penggunaan

obat herbal. Di negara berkembang keamanan dan efektifitas beberapa

herbal dikatakan cukup baik. Beberapa herbal yang telah diteliti dengan

baik yaitu bawang putih (Allium sativum), jahe (Zingiber officinale),

ginko biloba (Ginko biloba), dan ginseng (Panax ginseng) (Tiran D, 2003).

Dalam suatu studi dikatakan bahwa masyarakat menggunakan obat-

obatan herbal digunakan atas indikasi tertentu seperti untuk


memfasilitasi persalinan, menurunkan nyeri otot dan tubuh, mendukung

kesehatan fisik bayi dan intelegensianya, dan untuk tujuan aborsi

(Rahman AA, dkk., 2008). Penggunaan obat herbal pada kehamilan

trimester pertama dikatakan dapat mengakibatkan malformasi

kongenital (Noordalilati MN, dkk., 2004), sedangkan penggunaan pada

kehamilan trimester dua atau ketiga dapat mengakibatkan fetotoksik

seperti IUGR (Sulaiman SA, dkk., 2001), distres janin (Mabina MH, dkk.,

1997), hipoksia janin (Varga CA dan Veale DJH, 1997), dan kematian

dalam rahim (Azriani AR, dkk., 2008).

Minuman energi dikatakakan memiliki risiko yang tinggi

terhadap kesehatan. Kopi dan minuman energi mengandung kafein.

Kopi lebih banyak dikonsumsi dalam kondisi masih panas, dan diminum

perlahan. Telah jelas dibuktikan bahwa kafein memiliki efek samping

terhadap kesehatan. Pada remaja kafein dapat meningkatkan tekanan

darah dan gangguan tidur. Pada wanita hamil, konsumsi kafein yang

tinggi dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, dan bayi dengan kecil

masa kehamilan. (Aria AM, O’Brien MC, 2011) Pada suatu studi juga

dikatakan bahwa konsumsi kafein menyebabkan defek lahir, seperti

microtia, atresia esofagus, kraniosinostosis, hernia diafragmatika,

omfalokel dan gastroskisis. (Browne ML dkk., 2011)

4) Tempat tinggal

Terdapat dampak potensial pada kesehatan reproduksi dari

paparan kontaminan di tempat-tempat dengan limbah yang berbahaya,


dimana produk yang paling banyak ditemukan adalah residu pelarut,

pestisida, dan logam.

Ibu hamil yang tinggal di daerah persawaan atau di daerah

perkebunan akan lebih mudah terpapar oleh zat-zat agrikultural

termasuk pestisida. Dikatakan bahwa wanita yang terpapar pestisida

enam kali lebih berisiko melahirkan bayi dengan defek lahir

dibandingkan mereka yang tidak terpapar (Heeren GA, dkk., 2003)

Telah dianalisis lokasi geografis (daerah berisiko) dengan

kemungkinan hubungan faktor lingkungan (kontaminasi bahan kimia)

dengan kejadian kelainan kongenital. Daerah diklasifikasikan menurut

pencemaran lingkungan rata-rata (udara, biota, minyak, air, dan

kontaminan kimia tertentu). Risiko relatif besar ditemukan untuk

kasuskasus yang berada di daerah berisiko tersebut. Kemungkinan

terjadinya malformasi pada daerah ini lebih besar, dengan fokus khusus

zat kimia seperti sianida dan senyawa anorganik lainnya. (Croen dkk.

1997)

5) Penggunaan kosmetik

Dalam dekade terakhir ditunjukkan bahwa masalah reproduksi

dan perkembangan menjadi lebih sering, sebagai contoh data dari

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) ditunjukkan bahwa

masalah diantara tahun 1970 dan 1993 yaitu masalah reproduksi laki-

laki termasuk undescended testis dan hipospadia. Zat-zat dari


lingkungan dengan kuat diduga sebagai faktor yang berkontribusi.

Dilaporkan bahwa produk kosmetik seperti makeup, shampoo, skin

lotion, nail polish dan produk perawatan lainnya mengandung bahan-

bahan kimia yang data keamanannya kurang. Terlebih lagi beberapa zat

kimia tersebut telah diuji dalam studi yang dilakukan pada binatang

yang menghasilkan defek lahir pada genitalia jantan, penurunan jumah

sperma, dan outcome kehamilan yang buruk. Tidak ada evidence

definitif yang berefek sama pada manusia, tetapi paparan yang luas,

khususnya phthalates telah dibuktikan. Phthalates ini terdiri dari plastik,

yang banyak terdapat pada produk kecantikan. (Barett JR, 2005).

Selain itu kosmetik pemutih juga mengandung merkuri dan

hidrokuinon. Merkuri adalah logam yang toksik, namun sangat berguna

pada preparat kosmetik pemutih untuk menekan produksi melanin pada

kulit (Bourgeosis dkk., 1986). Dikatakan bahwa merkuri dapat

mempengaruhi fertilitas wanita dan mengakibatkan defek lahir.

Beberapa studi telah membuktikan efek samping merkuri yang didapat

memalui paparan konsumsi ikan dan amalgam gigi. Namun belum ada

data tentang pengaruh pemakaian kosmetik pemutih jangka panjang

terhadap efek samping kehamilan dan atau outcome kehamilan.

Sebelum ada data yang tersedia, wanita harus dianjurkan untuk tidak

menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung merkuri selama

kehamilan. (Al-Saleh, Iman. 2016). Hidrokuinon juga banyak terdapat

pada kosmetik pemutih. Hidrokuinon merupakan inhibitor yang kuat

terhadap produksi melanin (Yoshimura dkk., 2001). Pada sebuah studi


tunggal ditunjukkan bahwa penggunaan hidrokuinon selama kehamilan

tidak meningkatkan efek samping, namun sampel wanita hamil pada

penelitian tersebut kecil. (Mahe A dkk., 2007). Namun karena

pertimbangan absorbsinya, paparan terhadap agen ini harus tetap

diminimalisir terutama pada wanita yang sedang hamil sampai ada studi

yang membuktikan keamanannya (Pina Bozzo dkk., 2011)

6) Hewan peliharaan

Beberapa hewan peliharaan ternyata mengandung berbagai

jenis bakteri maupun parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada ibu

hamil dan janinnya. Salah satu infeksi tersebut yaitu toxoplasmosis yang

disebabkan oleh toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii merupakan

parasit protozoa yang paling banyak menyebabkan penyakit. Parasit ini

banyak ditemukan pada anjing (50%), kelinci (50%), dan kucing (70%)

(Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM, 2000). Toxoplasmosis adalah

komponen penting dari infeksi Toxoplasma, Others (Syphilis, Parvovirus

B19, Varicella Zoster, Hepatitis B Virus), Cytomegalovirus, dan Herpes

Virus (TORCH), suatu grup infeksi yang jika menyerang selama

kehamilan dapat menyebabkan infeksi kongenital, dan defek pada janin,

bahkan keguguran (Singh S, 2003)


2.7 Jenis Kelainan Kongenital Menurut International Statistical Classification of

Disease and Relates Helath Problems 10th Revision (ICD-10)

Berikut adalah tabel klasifikasi kelainan kongenital berdasarkan sistem menurut


ICD-10.

Tabel 2.1 Klasifikasi Jenis Kelainan Kongenital Berdasarkan ICD 10

2.8 Penilaian (assesment) Bayi dengan Kelainan Kongenital

Tujuan utama penilaian bayi dengan anomali kongenital yaitu untuk

menegakkan diagnosis, identifikasi terkait abnormalitas, mengembangkan rencana

perawatan dan penilaian prognosis penyakit, dan jika memungkinkan agar orang

tua dapat diberikan informasi yang akurat mengenai kesehatan dan perkembangan

masa depan anak mereka. Dan dengan konseling genetik, sangat penting untuk
perencanaan keluarga kedepannya. Komponen penting dari penilaian (assesment)

ini yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

1. Anamnesis

Paparan ibu terhadap obat-obatan yang diresepkan atas indikasi medis, obat-

obatan ilegal (terlarang), alkohol, harus dieksplorasi. Usia orang tua mungkin

penting. Ibu dengan usia lebih tua bisa meningkatkan kecurigaan terhadapat

anomali kromosom. Jika usia ibu merupakan salah satu faktor risiko, penting untuk

dilakukan tes genetik yang dilakukan pada masa prenatal dengan amniosentesis

atau menggunakan sampel vilus korion. Pada masa kehamilan yang berisiko penting

dilakukan skrining serum ibu untuk tes genetik seperti pada peningkatan risiko

anomali kromosom atau neural tube defect. Oligohidramnion dan polihidramnion

juga meningkatkan risiko kelainan kongenital. Dikatakan bahwa oligohidramnion

berhubungan dengan kejadian deformasi janin dan malformasi traktus urinarius.

Sedangkan polihidramnion dikatakan berhubungan dengan defisit neurologis

dengan gangguan menelan atau dengan malformasi gastrointestinal.

Riwayat keluarga juga sangat penting dalam mengevaluasi bayi dengan kelainan

kongenital. Perhatian tidak hanya ditujukan pada keluarga dengan riwayat kelainan

kongenital, namun juga riwayat kehilangan kehamilan sebelumnya yang bisa

menandakan kemungkinan kelainan kromosom, dan orangtua dengan

consanguineous marriage (pernikahan dengan hubungan keluarga) dapat

menimbulkan gangguan resesif autosomal (Kumar P dan Burton BK, 2008). Riwayat

penyakit ibu dan kondisi bayi dalam kandungan juga penting untuk dievaluasi

(Effendi, 2006).
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik mulai dari pengukuran sampai mencari anomali baik

defek mayor maupun minor. Biasanya bila ditemukan dua kelainan minor, 10%

disertai dengan kelainan mayor. Sedangkan bila ditemukan tiga kelainan minor,

85% disertai dengan kelainan mayor (Aylshwomh, 1992)

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan sitogenik (analisis kromosom), analisis DNA, ultrasonografi

organ dalam, ekokardiografi, radiografi, serta serologi TORCH. Pemeriksaan yang

teliti terhadap pemeriksaan fisis dan riwayat ibu serta keluarga kemudian ditunjang

dengan melakuakan pemotretan terhadap bayi dengan kelaian kongenital adalah

merupakan hal yang sangat penting dibanding dengan pemeriksaan penunjang

laboratorium untuk diagnosis kelainan kongenital saat lahir (Aylshwomh, 1992).

2.9 Pencegahan Kelainan Kongenital

2.9.1 Pencegahan primer

Pencegahan primer kelainan genotip memerlukan tindakan sebelum konsepsi.

Diagnosis prenatal dengan terminasi kehamilan selektif (pencegahan sekunder)

mengubah angka kejadian suatu kelainan. Apabila usaha pencegahan gagal diperlukan

suatu tindakan pengobatan.

a) Pencegahan primer kelainan genetik


Kelainan kromososm disebabkan oleh kerusakan kromosom. Pada

pencegahan diperlukan peningkatan pengetahuan tentang proses tersebut.

Semua kelainan gen tunggal disebabkan oleh mutasi. Masih diperlukan berbagai

penelitian untuk mencari penyebab kelainan ini.kelainan yang disebabkan oleh

karena multifaktor mempunyai peranan yang paling besar dalam pencegahan

primer. Tujuan disini adalah agar orang yang mempunyai risiko untuk

mempunyai kelainan genotip dapat mencegah penyakit dengan menghindari

faktor lingkungan. Sebagai contoh, suplementasi asam folat pada periode sekitar

konsepsi dapat menurunkan 74% angka kejadian neural tube defect.

b) Pencegahan Sekunder kelainan genetik

Pencegahan sekunder termasuk di dalamnya semua aspek uji prenatal

dan terminasi selektif.

1) Kelainan kromosom

Semula skrining hanya pada ibu berusia 35 tahun keatas dan

pada golongan risiko tinggi. Apabila semua ibu pada usia tersebut

menjalani amniosentesis, maka angka kejadian kelainan kromosom akan

turun sekitar 30%. Skrining dengan uji biokimia untuk menentukan

kehamilan risiko tinggi, dalam kombinasi dengan umur ibu, sangat

meningkatkan efektifitas program pencegahan pranatal.

2) Kelainan gen tunggal


Dilakukan diagnosis pranatal dengan analisis DNA biokimia,

ultrasonografi, dan berbagai teknik lainnya. Problem pada golongan ini

sebagian besar penderita orang pertama dalam keluarga yang terkena,

oleh sebab itu ditawarkan diagnosis pranatal pada kehamilan

berikutnya.

2.10 Penatalaksanaan Kelainan Kongenital

Penatalaksanaan dapat berupa tindakan bedah dan farmakologi. Kelainan

kongenital yang dapat diobati dengan penanganan bedah seperti bibir dan langit-langit

sumbing, kelainan jantung bawaan, stenosis pilorus, polikistik ginjal dan lain-lain. Terapi

farmakologik misalnya pada Sindrom Turner dengan terapi sulih hormon berupa hormon

sex dan growth hormon. (Effendi, 2006)


DAFTAR PUSTAKA

Agha MM dkk. Determinants of survival in children with congenital abnormalities: a

long-term population-based cohort study. Birth defects research Part A, Clinical

and molecular teratology 2006;76:46-54.

Al-Saleh, Iman. Potential health consequences of applying mercury-containing

skinlightening creams during pregnancy and lactation periods. Int J Hyg Environ

Health. 2016; 219(4-5): 468–474.

American Society for Reproductive Medicine (ASRM). Age and fertility: a guide for

patients. 2003.

Aria AM, O’Brien MC. The “High” Risk of Energy Drinks. JAMA. 2011; 305(6): 600–601

Barret JR. Chemical exposure: the ugly side of beauty products. Environmental

Health Perspectives. 2005; 113 (1): 23-27

Bhalerao A, Garg A. Pattern of Congenital Anomalies at Birth. International Journal of

Obstetrics and Gynaecology Research (IJOGR) Vol. 3 (2016) No.7, pp. 420- 426.

Bhatt-Mehta V, Deluga KS. Fetal exposure to lisinopril: neonatal manifestations and

management. Pharmacotherapy 1993;13:515-8.

Bourgeosis M, Dooms Goossens A, Knockaert D, Sprenger D, Vsan Boven M, Van

tittelboom T. Mercury intoxication after topical application of a metallic mercury

ointment. Dermatologica. 1986; 172:48–51


Briggs GG. Drug effects on the fetus and breast-fed infant. Clin Obstet Gynecol

2002;45:6-21.

British Medical Association (BMA). Smoking and Reproductive Life: The Impact of

Smoking on Sexual, Reproductive and Child Health. London: BMA, 2004.

Browne ML, Hoyt AT, Feldkamp ML, et al. Maternal caffeine intake and risk of

selected birth defects in the National Birth Defects Prevention Study. Birth

Defects Res A Clin Mol Teratol. 2011;91(2):93-101

Chandra PC, Schiavello HJ, Ravi B, et al. Pregnancy outcomes in urban teenagers. Int

J Gynaecol Obstet. 2002; 79:117–122.

Chen XK, Wen SW, Fleming N, et al. Teenage pregnancy and congenital anomalies:

which system is vulnerable? Hum Reprod. 2007; 22:1730–1735.

Chopra S, Arora U, Aggarwal A. Prevalence of IgM Antibodies to Toxoplasma,

Rubella, and Cytomegalov virus Infection During Preganancy. JK Science. OktDes

2004; 6(4);190-192

Christianson A, Howson CP, Modell B, dkk. March of dimes global report on birth

defects: the hidden toll of dying and disabled children. New York: March of

Dimes Birth Defects Foundation, White Plains, 2006.

Cooper WO, Ray WA, Griffin MR. Prenatal prescription of macrolide antibiotics and

infantile hypertrophic pyloric stenosis. Obstet Gynecol 2002;100:101-6.


Cregler LL, Mark H. Medical complications of cocaine abuse. NEJM 1986;315:1495-

1500.

Croen LA, Shaw GM, Sanbonmatsu L, dkk. Maternal residential proximity to

hazardous waste sites and risk for selected congenital malformations.

Epidemiology. 1997; 8:347-354.

Departemen Kesehatan. Hari kelainan bawaan sedunia cegah bayi lahir cacat dengan

pola hidup sehat. 2016, (Diakses 08 Mei 2017) Dari URL :

http://www.depkes.go.id/article/print/16030300001/3-maret-hari-

kelainanbawaan-sedunia-cegah-bayi-lahir-cacat-dengan-pola-hidup-sehat-.html

Departemen Kesehatan. Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia.

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2014.

Effendi SH, Indrasanto E. Kelainan kongenital (cacat bawaan) dalam Buku ajar

neonatologi IDAI. Edisi 1. Jakarta: 2008.

Ekwunife OH, Okoli CC, Ugwu JO, dkk. Congenital anomalies: Prospective study of

pattern and associated risk factors in infants presenting to a tertiary hospital in

Anambra State, South-east Nigeria. Niger J Paediatr 2017; 44 (2):76 – 80

El Koumi MA, dkk. Pattern of congenital anomalies in newborn: a hospital-based

study. Pediatric Reports 2013; volume 5:e5:20-23

Gandhi MK, Chaudari UR, Thakor N. A study on incidence of congenital anomalies in

new borns and their association with fetal factors: a prospective study. Int J Res

Med Sci. 2016; 4(4): 1200-1203


Geschwind SA, Stolwijk JA, Bracken M, dkk. Risk of congenital malformations

associated with proximity to hazardous waste sites. Am J Epidemiol. Juni

1992;135(11):1197-207

Gill SK, Broussard C, Devine O, dkk. Association between Maternal Age and Birth

Defects of Unknown Etiology - United States, 1997–2007. Birth Defects Res A

Clin Mol Teratol. 2012; 94(12): 1010–1018

Glinianaia SV, Rankin J, Bell R, Pless-Mulloli T, Howel D. Particulate air pollution and

fetal health: a systematic review of the epidemiologic evidence. Epidemiology.

2004;15(1):36-45

Hagen A, Entezami M, Gasiorek–Wiens A, et al. The impact of first trimester

screening and early fetal anomaly scan on invasive testing rates in women with

advanced maternal age. Ultraschall Med. 2011; 32:302–306.

Heeren GA, Tyler J, Mandeya A. Agricultural chemical exposures and birth defects in

the Eastern Cape Province, South Africa A case – control study. Environmental

Health: A Global Access Science Source. 2003, 2:11

Hodach RJ, Hodach AE, Fallon JE, Folts JD, Bruyere HJ, Gilbert EF. The role of beta-

adrenergic activity in the production of cardiac and aortic arch anomalies in the

chick embryo. Teratology 1975;12:33-45.

IDAI. Deklarasi Surabaya. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak-XIV. Surabaya: 2008

Idanpaan-Heikkila J, Fritchie GE, Englert LF, Ho BT, McIsaac WM. Placental transfer of

tritiated-1-tetrahydrocannabinol. NEJM 1969;281:330.


International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 10th

Revision. Congenital malformations, deformations and chromosomal

abnormalities (Q00-Q99). 2014. (Diakses 20 Mei 2017). Dari URL:

http://www.icd10data.com/ICD10CM/Codes/Q00-Q99

Khashan AS, Baker PN, Kenny LC. Preterm birth and reduced birth-weight in first and

second teenage pregnancies: a register-based cohort study. BMC Pregnancy

Childbirth. 2010; 10:36.

Klausner HA, Dingell JV. The metabolism and excretion of delta-9-

tetrahydocannabinol in the rat. Life Sci 1971;10:49-59.

Kokate P, Bang R. Study of congenital malformation in tertiary care centre, Mumbai,

Maharashtra, India. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2017 Jan;6(1):89-

93

Kumar P, Burton BK. Congenital Malformation. Evidence based evaluation and

management. McGraw Hill Medical: 2008. Levy PA, Marion RW. Human genetics

and dysmorphology dalam Nelson Essentials of Pediatric. Edisi 7. Elsevier: 2015.

Little BB. Cocaine abuse during pregnancy: maternal and fetal implications. Obstet

Gynecol 1989;73:157-160.

Loane M, Dolk H, Morris JK, EUROCAT Working Group. Maternal age-specific risk of

non-chromosomal anomalies. BJOG. 2009; 116:1111–1119.


Mabina, M.H., Pitsoe, S.B., Moodley, J. The effect of traditional herbal medicines on

pregnancy outcome. The King Edward viii Hospital experience South African

Medical Journal 1997; 87(8): 1008-1010.

Mahé A, Perret JL, Ly F, Fall F, Rault JP, Dumont A. The cosmetic use of skinlightening

products during pregnancy in Dakar, Senegal: a common and potentially

hazardous practice. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2007;101(2):183– 7.

Martin RA, Jones KL, Mendoza A, Barr M Jr, Benirschke K. Effect of ACE inhibition on

the fetal kidney: decreased renal blood flow. Teratology 1992;46:317-21. 104

Marwah A. Profile of gross congenital malformations among live newborns and its

associated risk factors from a tertiary care rural teaching institute. Asian Journal

of Biomedical and Pharmaceutical Sciences. 2015; 6 (55): 16-18.

Mashuda F, Zuechner A, Chalya PL, dkk. Pattern and factors associated with

congenital anomalies among young infants admitted at Bugando medical centre,

Mwanza, Tanzania. BMC Research Notes 2014, 7:195

Moore KL, Persaud TVN. The developing human: clinically oriented embryology. 5th

ed. Philadelphia: W.B. Saunders,1993.

Nabet C, Ancel PY, Burguet A, Kaminski M. Smoking during pregnancy and preterm

birth according to obstetric history: French national perinatal surveys. Paediatr

Perinat Epidemiol. 2005;19(2):88-96.

National Center for Health Statistics. Births: Preliminary Data for 2009. 2010.

National Vital Statistics Report.


Nilsen RM, Vollset SE, Gjessing HK, dkk. Patterns and predictors of folic acid

supplement use among pregnant women: the Norwegian Mother and Child

Cohort Study. Am J Clin Nutr. 2006; 84:1134–1141.

Noordalilati, M.N., Sulaiman, S.A., Sembulingam, K. and Afifi, S.A.B. Evaluation of the

teratogenicity study of standardized extract of Andrographis Paniculata in Rats.

Seminar on Medicinal & Aromatic Plants. Forest Research Institute Malaysia

(FRIM) 2004; 45.

Office for National Statistics (ONS). The Information Centre. Statistics on smoking:

England 2006. Office for National Statistics, 2006.

http://www.ic.nhs.uk/pubs/smokingeng2006/report/file.

Patel KG, Chaudhary C. Study of congenital malformations in newborns: a hospital

based prospective study. Int J Contemp Pediatr. 2017 Jul;4(4):1409-1413

Pina Bozzo, Angela Chua-Gocheco, MD, and Adrienne Einarson, RN. Safety of skin

products during pregnancy. Can Fam Physician. 2011; 57(6): 665-667.

Qadir M, Amir S, Bano S. Prevalence and associated risk factor of congenital

anomalies at tertiary care hospital. PJMHS. 2017; Vol 11(3): 942-945

Raatikainen K, Heiskanen N, Verkasalo PK, Heinonen S. Good outcome of teenage

pregnancies in high-quality maternity care. Eur J Public Health. 2006; 16:157–

161
Rahman AA, Sulaiman SA, Ahmad Z, dkk. Prevalence and pattern of use of herbal

medicines during pregnancy in Tumpat district, Kelantan. Malaysian Journal of

Medical Sciences. 2008; 15 (3): 40-48.

Reichman NE, Pagnini DL. Maternal age and birth outcomes: data from New Jersey.

Fam Plann Perspect. 1997; 29:268–272.

Robin LB, Arno GM, Alan B, Louanne H, Stefanie U, Debra LD, et al. Genetic

counseling and screening of consanguineous couples and their offspring:

recommendations of the national society of genetic counselors. J Genet Couns

2002;11(2):97–119.

Robison LL, Buckley JD, Daigle AE, Wells R, Benjamin D, Arthur DC, Hammond GD.

Maternal drug use and risk of childhood nonlymphoblastic leukemia 106 among

offspring: an epidemiologic investigation implicating marijuana. Cancer

1989;63:1904-1911.

Rogers JM. Tobacco and pregnancy. Reprod Toxicol 2009;28:152–160.

Rosano A dkk. Infant mortality and congenital anomalies from 1950 to 1994: an

international perspective. Journal of epidemiology and community health

2000;54:660-6.

Singh A, Sinha S. Risk factor of congenital malformations in North India: A Case

Control Study. Journal of Postgradusate Medicine, Education and Research,

Januari-Maret 2016;50(1):22-27
Singh S. Mother-to-child transmission and diagnosis of Toxoplasma gondii infection

during pregnancy. Indian J Med Miscrobiol. 2003; 21:69-76.

Sulaiman, S.A., Mohsin, S.S.J. and Chatterjee, A. An indigenous herbal formulation

and its contraceptive profile in rat. Biomed Res 2001; 12(1): 65-69.

Tabacova S, Little R, Tsong Y, Vega A, Kimmel CA. Adverse pregnancy outcomes

associated with maternal enalapril antihypertensive treatment.

Pharmacoepidemiol Drug Saf. 2003;12:633-46.

Talbot P. In vitro assessment of reproductive toxicity of tobacco smoke and its

constituents. Birth Defects Res C Embryo Today 2008;84:61–72. Tenter AM,

Heckeroth AR, Weiss LM. Toxoplasma gondii: from animals to humans. Int J

Parasitol. 2000;30:1217–1258.

Tiran, D. The use of herbs by pregnant and childbearing women: a risk-benefit

assessment. Complementary Therapies in Nursing and Midwifery 2003; 9 (4):

176-181.

Tough S, Benzies K, Fraser–Lee N, Newburn–Cook C. Factors influencing childbearing

decisions and knowledge of perinatal risks among Canadian men and women.

Matern Child Health J. 2007; 11:189–198.

Varga, C.A. and Veale, D.J.H. Isihlambezo: utilization patterns and potential health

effects of pregnancyrelated traditional herbal medicine. Soc Sci Med 1997; 44:

911-924.
Volpe JJ. Mechanisms of disease: effect of cocaine use on the fetus. NEJM

1992;327:399-407.

Wahn EH, Nissen E. Sociodemographic background, lifestyle and psychosocial

conditions of Swedish teenage mothers and their perception of health and social

support during pregnancy and childbirth. Scand J Public Health. 2008; 36: 415–

423

Wills V, Abraham J, Sreedevi NS. Congenital anomalies: the spectrum Of distribution

and associated maternal risk factors in a tertiary teaching hospital. Int J Reprod

Contracept Obstet Gynecol. 2017 Apr;6(4):1555-1560.

World Health Organization. Birth defect in South-East Asia a public health challenge.

Situation analysis. India: 2013. World Health Organization. Congenital

Anomalies. 2016. (Diakses 08 Mei 2017) Dari URL:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs370/en/

Yoshimura K, Tsukamoto K, Okazaki M, Virador VM, Lei TC, Suzuki Y, Uchida G,

Kitano Y, Harii K. Effects of all-trans retinoic acid on melanogenesis in pigmented

skin equivalents and monolayer culture of melanocytes. J Dermatol Sci. 2001;

27:68–75

Zellweger H, McDonald IS, Abbo G. Is lysergic-acid-diethylamide a teratogen? Lancet

1967;2:1066-1068.

You might also like