You are on page 1of 30

MAKALAH PENULISAN ILMIAH

PENULISAN KARYA ILMIAH

Dosen Pembimbing : Dr.dr. Fauziah Elytha, M.Sc

Oleh
Kelompok 2 :
Roma Yuliana 1311211109
Rini Nurvia Agustin 1311211098
Khairal Hayati 1311211103
Latifah Husniati 1311211107
Elvisa Rahmi 1311211097

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas
Tahun 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan ridha-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Penulisan Karya Ilmiah” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Penulisan Ilmiah.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah Penulisan
Ilmiah yaitu Ibu Dr.dr. Fauziah Elytha, M.Sc serta semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan yang
disebabkan oleh kemampuan penulis, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif sehingga dapat menyempurnakan makalah ini.

Padang, Agustus 2016

Penulis

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB 1 : PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................2

1.3 Tujuan.................................................................................................................2

BAB 2 : PEMBAHASAN............................................................................................1
2.1 Latar Belakang Penulisan Ilmiah........................................................................1

2.2 Sikap Ilmiah Seorang Ilmuwan..........................................................................2

2.3 Kewajiban Profesional........................................................................................5

2.4 Manfaat Menulis Bagi Ilmuwan.........................................................................6

2.5 Macam-Macam Karangan Ilmiah.......................................................................7

2.6 Langkah-Langkah Penyusunan Karangan Penulisan Ilmiah............................11

BAB 3 : PENUTUP....................................................................................................25
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................25

3.2 Saran.................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................26

ii
BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam proses penulisan seorang ilmuan dihadapkan pada cara penggalian
ilmu pengetahuan melalui penelusuran pustaka. Ia akan mendalami suatu
pengetahuan yang “imajinatif” dan makin lama makin dalam masuk ke dasar “lautan
bacaan”, sehingga ibarat “ gunung es” apa yang terjadinya mungkin tampak kecil di
permukaan laut, ternyata dasarnya amat dalam dan luas.
Itulah sebabnya, di kalanga ilmuan dan sarjana, kepustakaan merupakan suatu
hal yang sangat hakiki dan tak ternilai, dan menjadi tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tidaklah dapat dibayangkan bagaimana seorang sarjana dan ilmuan hidup tanpa
tulisan-tulisan.
Sebetulnya, segala sesuatu yang diperoleh seorang penulis, bukanlah semata-
mata hasil karyanya sendiri, tetapi praktis bersumber dari hasil pengamatan dan
pengalaman. Semuanya pengalaman orang lain ditambah pengamatannya sendiri.
Semuanya ini lalu dituangkan ke atas kertas berupa karya tulis ilmiah. Banyak
antropolog yang berpendapat: “sebagaimana bahasa membedakan manusia dari
binatang, begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab”.
Mengingat tukar-menukar pengetahuan antar para ilmuan seperti ini, maka
seorang sarjana tidak diharapkan hanya menjadi anggota kelompok pemakai
(konsumen ) saja dari ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ia juga dituntut menjadi
penghasil (prosdusen) dalam bidang ini. Dengan kata lain seorang sarjana bukan
hanya bisa membaca tulisan-tulisan karya orang lain, tetapi mampu pula menulis
sendiri karangan-karangan ilmiah.
Supaya bisa menulis dan menyusun buah pikiran secara ilmiah, penulisan
haruslah mengikuti cara-cara tertentu, sehingga mampu mencapai tujuan yang
diharapkan. Cara-cara pembuatan karangan ilmiah sebetulnya hanya soal teknis dan
dapat dipelajari dengan mudah. Walaupun selama ini dikenal berbagai ketentuan dan
pedoman penulisan ilmiah yang kadang-kadang dirasakan tidak seragam, semua itu
pada hakekatnya mempunyai tujuan yang sama.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana latar belakang penulisan ilmiah ?
2. Bagaimana sikap ilmiah seorang ilmuwan ?
3. Bagaimana kewajiban profesional ?
4. Bagaimana manfaat menulis bagi ilmuwan ?
5. Bagaimana macam-macam karangan ilmiah ?
6. Bagaimana langkah-langkah penyusunan karangan/penulisan ilmiah ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetauhui latar belakang penulisan ilmiah
2. Untuk mengetauhui sikap ilmiah seorang ilmuwan
3. Untuk mengetauhui kewajiban profesional
4. Untuk mengetauhui menulis bagi ilmuwan
5. Untuk mengetauhui macam-macam karangan ilmiah
6. Untuk mengetauhui langkah-langkah penyusunan karangan/penulisan ilmiah.

2
BAB 2 : PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Penulisan Ilmiah


Orang sering mengeluh tidak mampu menulis karena tidak punya bakat
mengarang, tak punya bahan dan setumpuk alasan lain. Sebetulnya orang yang
berkecimpung dalam dunia profesi apapun, termasuk dunia kedoktan gigi, pasti
punya sesuatu untuk ditulis. Salah satu masalah yang mungkin menjadi hambatan
hanyalah ketidaktahuan bagaimana memilih bagian-bagian yang menonjol dari
sekian banyak bahan informasi maupun pengalaman yang dimiliki.
Seorang sarjana hendaknya menyadari betul betapa tak ternilainya suatu
kepustakaan bagi dirinya, bagi penelitian yang akan atau sedang dilakukan, maupun
bagi pengembangan diri serta perkembangan profesi yang digelutinya. Hal ini
berlaku pula di dunia kedokteran gigi. Memang, menulis belum tentu mudah bagi
setiap orang, namun bila kita menyadri tugas-tugas kita sebagi anggota kelompok
profesi, tidak layaklah kita mencari-cari alsan karena ingin menghindari tugas.
Pengetahuan yang kita miliki bisa sangat bermanfaat untuk sesama dokter
gigi, bila pengetahuan ini dipublikasikan. Namun, bila kita menyimpangnya untuk
diri sendiri saja, pengetahuan ini tidak bermanfaat bagi siapa pun, karena tak seorang
pun yang tahu, hal ini akan menjadi lebih buruk lagi bila pengetahuan yang kita
miliki itu sebetulnya tidak benar. Dan lebih celaka lagi karena kita sama sekali tidak
mengetahui adanya kesalahan ini.
Seorang sarjana sebagai ilmuan harus mampu menjadi penulis karya ilmiah,
sejalan dengan kemandirian dan sikap ilmiah yang harus dimilikinya. Mandiri, dalam
arti bahwa ia dapat menghasilkan sendiri hal-hal baru, sebagia hasil pengamatan,
pengalaman maupun penelitiannya sendiri. Tanpa semua ini, tak mungkinlah seorang
mahasiswa atau bahkan sarjana sekalipun, mampu menulis karya ilmiah.
Dalam menuangkan pengalaman dan pengamatan seseorang menjadi karya
tulis ilmiah, ada hal-hal yang perlu di perhatikan.
Pertama, sesuatu yang ditulis atau diuraiakan itu tidaklah mungkin dapat
dipahami tanpa keragu-raguan dan tanpa terjadi salah tafsir. Kedua, berbeda dengan
karya-karya sastra, penulisan karangan ilmiah harus mengikuti kaidah-kaidah yang

3
lazim berlaku. Itulah sebabnya sistematika penulisan karya ilmiah ini perlu dipahan
dan dikuasai.
2.2 Sikap Ilmiah Seorang Ilmuwan
Sejauh ini dikenal tujuh hal yang menyangkut sikap ilmiah ilmuwan, yang
sering kali dilupakan dan diabaikan oleh sebagian sarjana, termasuk mereka yang
sudah mencapai strata pendidikan lebih tinggi, bahkan yang tetinggi sekalipun.
Pertama, ‘sikap ingin tahu’. Seorang yang bersikap ilmiah selalu bertanya-
tanya tentang berbagai hal yang dihadapinya. Ia selalu tertarik tidak saja kepada hal-
hal yang lama, tetapi terutama pada hal-hal yang baru. Walaupun hal-hal lama telah
dibahas oleh para ahli sebelumnya, mungkin saja untuk pengembangannya masih
dibutuhkan pemikiran lebih lanjut. Sebaliknya, hal-hal yang baru perlu ditelaah
sehingga bila perlu dapat dibuat suatu kesimpulan baru.
Kedua, ‘sikap kritis’. Orang yang bersikap ktitis tidak puas dengan jawaban
tunggal. Ia akan selalu berusaha mencari hal-hal yang ada dibalik suatu gejala,
bahkan yang melatarbelakangi fakta yang dihadapinya. Sikap ingin tahu ini
merupakan motivasi kuat dan positif untuk belajar. Rasa ingin tahu semacam ini
menyebabkan seseorang mencari informasi sebanyak mungkin, sebelum ia
menetapkan pendapat yang akan dikemukannya. Ia selalu berhati-hati sebelum
melakukan suatu tindakan.
Ketiga ‘sikap terbuka’. Artinya, selalu bersedia mendengar keterangan dan
argumentasi orang lain, walaupun berbeda dalam pendirian. Orang dengan sikap
seperti ini tidak menutup mata terhadap adanya kemungkinan pendapat lain. Itulah
sebabnya ia tidak emosional dalam menghadapi kritik, sangkalan bahkan celaan
terhadap pendapat yang dikemukakannya.
Keempat, ‘sikap obyektif’. Seorang sarjana yang memiliki sikap obyektif
akan mampu mengesampingkan sikap prasangka pribadi (apriori) ataupun
kecenderungan yang tidak beralasan terhadap orang lain. Jadi ia selalu berfikir
positif. Dengan demikian ia mampu menyatakan sesuatu apa adanya, serta dapat
melihat sesuatu secara nyata dan aktual. Orang yang bersikap obyektif tidak dikuasai
oleh pikiran atau perasaannya sendiri maupun prasangka terhadap orang lain.
Kelima, ‘rela menghargai karya orang lain’. Berjiwa besar untuk
mengahargai karya orang lain, tanpa merasa dirinya kecil, merupakan sikap ilmiah
yang amat penting. Kecongcakan biasanya menyebabkan orang yang tak mampu
bersikap obyektif. Kalau ia berhasil membuat karya ilmiah, biasanya tulisan nya

4
bernada sombong, memerintah ataupun menggurui. Seorang yang berjiwa ilmiah
pantang mengakui karya orang lain sebagai karya orisinal yang berasal dari dirinya.
Ia rela dan senang hati akan mengakui dan menyampaikan ucapan terima kasih atas
gagasan atau karya orang lain yang ia kutip atau bantuan dalam bentuk apa pun yang
telah diterimanya.
Keenam, ‘berani mempertahankan kebenaran’. Sikap ilmiah membuat
orang berani mengatakan kebenaran dan bila perlu sekaligus mempertahankannya.
Kebenaran yang dibelanya ini mungkin berupa tulisan atau hasil penelitiannya
sendiri, mungkin pula hasil penemuan karya orang lain. Dengan memiliki keberanian
mengemukakan kebenaran, cara berpikir dan sikapnya dalam melakukan penulisan
menjadi konsisten.
Ketujuh, ‘mempunyai pandangan jauh ke depan’. Orang yang punya
pandangan jauh ke depan, selalu tanggap dengan perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahua dan teknologi. Karena sikap ini, ia selalu haus untuk membaca dan
mengetahui lebih banyak. Akhinya, ia akan menganggap bahwa membaca dan
menulis sebagai suatu kebutuhan, serta menulis karya ilmiah sebagai suatu kewajiban
profesional.
Dalam kaitan dengan Sikap Ilmiah Imuwan tadi, menarik untuk mencatat apa
yang dikemukakan Martone sebagai : The Value of ‘ I don’t Know’ ( Nilai dari
Pernyataan “Saya Tidak Tahu’). Ia menggambarkan bahwa dalam masa tumbuh
kembangnya, seorang anak balita ( bawah usia lima tahun) memiliki rasa ingin tahu
yang amat besar. Hal ini disebabkan oleh karena anak ini merasa “ Saya belum atau
tidak tahu apa-apa, “ sehingga ia selalu bertanya tentang segala sesuatu yang dilihat
dan ingin diketahuinya. Setelah ia meningkat besar dan menjadi remaja atau rang
dewasa muda, mulailah rasa ingin tahunya berangsur-angsur menyusut. Pada usia
seperti ini, mulailah timbul perasaan “ Saya mulai banyak tahu” dan dengan
demikian keinginannya untuk bertanya jadi berkurang. Makin ia dewasa, menjadi
sarjana, magister, bahkan mungkin doktor dan profesor, tidak mustahil persaan ‘
segala tahu’nya makin menggumpal. Ia menjadi sombong karena merasa dirinya
serba dan segala tahu. Sebagai akibat yang lebih parah biasanya orang seperti ini
kurang suka menerima pendapat orang lain, karena merasa dirinya paling benar.
Tentu saja sikap seperti ini bukan sikap yang terpuji dan tidaklah patut dimiliki
seorang sarjana dari lapisan pendidikan dan bidang ilmu manapun juga. Inilah yang

5
sering terjadi bila seorang sarjana tidak memiliki dan menjiwai Sikap Ilmiah
Ilmuwan.
Perlu diingat suatu hal yang sering disebut sebagai ciri-ciri seorang
cendikiawan. Seperti dimaklumi, ilmuwan kerap disebut cendikiawan, yang berarti
seorang yang memiliki sifat cendikia atau intelijen; dan berarti tajam pikiran dalam
memahami masalah serta cakap mencari jalan keluarnya. Cendekiawan adalah orang
yang mampu berpikir dengan tajam untuk memamahi masalah dan menyumbangkan
jalan keluar dari masalah itu bagi kebaikan orang banyak.
Jadi jelas, kaum cendikiawan atau intelejensia bukan hanya mereka yang
bergelar sarjana atau berkedudukan tinggi. Tanpa memandang kedudukannya, siapa
pun dapat memiliki sifat cendekia. Namun daam praktenya, cendekiawan memang
berarti orang yang terpelajar atau pandai.
Pengertian terpelajar sendiri juga perlu diluruskan. Banyak mahasiswa dan
sarjana yang baru lulus mengira bahwa ciri orang pandai adalah berbicara secara
rumit dan sulit. Mereka mengira bahwa ciri makalah yang ilmiah adalah adanya
istilah-istilah yang hebat dan bila perlu berbau asing. Padahal, ciri sebuah pemikiran
yang pada satu pihak didukung oleh penalaran yang mendasar, namun pada lain
pihak tetap terbuka untuk diperbaiki atau diubah lagi.
Sesungguhnya ciri utama cendekiawan adalah kejernihan pemikirannya dan
yang lebih penting lagi manfaat pemikiran itu bagi kepentingan umum. Seorang
cendikiawan tidak hanya pandai berpikir untuk kepentingan dirinya atau kepentingan
golongannya sendiri, tetapi untuk kepentingan semua golongan yang ada. Jika
seandainya ada masalah yang menyangkut pertikaian antara dua pihak, maka ciri
pola pikir cendekiawan adalah sumbangan pemikirannya yang membawa kebaikan
dan mendamaikan kedua pihak.
Dalam istilah lebih populer, ciri pemikiran cendekiawan adalah inklusif (asal
katanya adalah to include = mengikutsertakan, merangkul, memasukkan) sebagai
lawan kata dari eksklusif ( yang berasal dari kata to exclude = menyisihkan,
menyingkirkan, mengeluarkan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ciri
pemikiran cendekiawan ini adalah kontributif ( dari to contribute = menyumbang
manfaat) bagi semua pihak. Cendekiawan yang bersifat eksklusif dan deskriminatif
sebetulnya menyangkal hakekat dirinya sendiri sebagai cendekiawan.

6
2.3 Kewajiban Profesional
Sebetulnya ada sesuatu yang lebih dari sekedar keuntungan pribadi dalam hal
karang-mengarang, yaitu pemenuhan kewajiban profesional kita sebagai seorang
ilmuwan, khususnya sarjana kedokteran gigi.
Sering dikemukakan bahwa salah satu ciri khas dunia profesi adalah
kepustakaan atau literaturnya. Sebagai seorang profesional, kita mempunyai
kewajiban membagi pengetahuan serta pengalaman kita kepada sesama teman
profesi. Dalam segi informasi ini, tidak sepatutnya kita mempunyai rahasia profesi.
Apapun yang kita ketahui, sepantasnya pula diketahui oleh sejawat lain. Zaman
dimana dikenal adanya ‘cara kerja dan bahan ajaib’ yang perlu dirahasiakan
dianggap sudah berlalu.
Setelah mampu menguasai ilmu,apa lagi bila sudah mampu meneliti, seorang
ilmuwan harus menulis. Pengetahuan yang dikuasainya itu haruslah dikomunikasikan
kepada orang lain. Tanpa ditulis komunikasi ini tak akan terjadi, dan pengetahuan
tadi tidak akan berkembang karena tidak diketahui apa lagi dipahami oleh
masyarakat luas.
Ilmu pengetahuan dari dunia Timur sebetulnya tidak kalah mutunya dari
dunia Barat, namun mengapa yang berasal dari Barat jadi lebih menonjol? Sebab,
para ahli dunia Timur lebih enggan serta kurang banyak menulis dan
menyebarluaskan ilmunya. Orang Timur biasanya lebih dikenal sebagai penutur yang
baik, dan bukan penulis. Setelah orang Barat datang mempelajari ilmu-ilmu dari
Timur, maka pengetahuan tentang Yoga, Akupunktur dsb. Jadi lebih memasyarakat.
Hal ini disebabkan karena setelah mempelajari dan menguasai ilmu ini, mereka
segera menulis karangan, bahkan buku-buku. Dengan cara ini, ilmu yang tadinya
tertutup dan diketahui secara tradisional, kini dapat dipelajari orang dari mana pun ia
berasal.
Dalam dunia perguruan tinggi Barat dikenal ungkapan “Publish or Perish”,
yang artinya kurang lebih : “ barang siapa yang tidak menulis akan mati atau
tercerabut dari dunia perguruan tinggi”. Jadi, seorang ilmuwan hendaknya selalu
menulis : “Scientist must write”.

7
2.4 Manfaat Menulis Bagi Ilmuwan
Seorang ilmuan dituntut mampu mengutarakan pikiran, pendapat, dan
gagasan dalam bentuk tulisan. Menulis banyak sekali manfaatnya bagi seorang
ilmuwan, sebagaimana tampak dalam hal-hal berikut ini:
1. Ia akan terlatih mengembangkan keterampilan membaca secara efektif, sebab
sebelum menulis, ia harus membaca dahulu berbagai kepustakaan yang cukup
banyak dan mendalam.
2. Ia akan terlatih meramu hasil bacaan dari berbagai sumber tadi dan akhirnya
mampu menyajikan fakta lebih jelas, informative serta sistematis untuk
menyajikan ke tingkat pemikiran yang lebih matang.
3. Ia akan memahami berbagai kegiatan penggalian dan penelusuran pustaka,
mulai dari memakai katalog hingga menggunakan computer.
4. Ia akan mampu berlatih menyusun hasil pemikiran dan penelitiannya menurut
cara-cara yang lazim digunakan kalangan ilmuwan. Walaupun kita tidak
mempunyai latar belakang dasar-dasar penelitia, tidaklah ada alasan mengapa
kita tidak melaporkan pengalaman pribadi yang kita lakukan. Pengungkapan
pengalaman seperti ini mungkin dapat membantu memecahkan masalah
utama yang dihadapi orang lain, karena tulisan ini dibaca oleh banyak orang.
5. Ia akan lebih mampu melihat kesalahan dirinya sendiri sebelum kesalahan ini
dilihat orang lain, karena prinsip penulisan ilmiah adalah “Writing is
Rewriting” – menulis adalah menulis ulang”. Mengapa demikian? Untuk
bisa menuangkan pendapat, pemikiran dan pengetahuan keatas kertas,
seseorang haruslah memikirkan dahulu setiap tindakannya secara logis.
Dalam proses inilah, biasanya kita menyadari adanya kesalahan, yang
sebelumnya mungkin tidak terlihat. Kita dapa kembali ke ‘jalan yang benar’
bila ternyata benar-benar terdapat kesalahan dalam pemikiran, pengamatan
maupun cara kita bekerja. Patut pula diingat bahwa dengan menuangkan
pemikiran kita keatas kertas, maka kita dapat melihat ‘ada atau tidaknya
kesalahan sendiri’ sebelum karangannya dikirim atau diterbitkan. Pada saat
mengulang baca hasil karya ilmiah, biasanya bisa terlihat adanya kesalahan,
kekuranga maupun kelebihan pada naskah ini.
6. Ia akan meningkatkan pengetahuan dan memperluas cakrawala pandangan
masyarakat awam maupun sesama ilmuwan, karena telah mengemukakan
sesuatu mungkin belum diketahui masyarakat luas. Dilain pihak, pasti si
penulis juga dapat menolong dirinya sendiri untuk memahami masalah dan
pemecahannya dengan lebih baik. Ia akan membuka peluang dialog imajinatif

8
dengan sesame ilmuawan pada saat menyusun karangannya, maupun dialog
nyata setelah makalahnya dipublikasikan.
7. Ia akan memperoleh kepuasan batin maupun intelektual karena sudah
memenuhi kewajiban profesionalnya.
Karya tulis ilmiah berfungsi :
1. Sebagai alat untuk mengkomunikasikan secara tertulis ide-ide baru hasil
suatu kajian kepustakaan, penyelidikan atau pemikiran dari seseorang.
2. Sebagai alat untuk melaporkan secara tertulis tentang pengalaman ilmiah baik
pengalaman teoritis maupun pengalaman praktis.
3. Sebagai alat untuk mengkomuniksikan secara tertulis tentang pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi
4. Sebagai alat untuk mendesiminasikan secara tertulis suatu inovasi atau
penemuan-penemuan baru.
5. Sebagai alat dokumentasi ilmiah dalam bentuk tulis yang dapat dijadikan
sumber informasi.

2.5 Macam-Macam Karangan Ilmiah


Salah satu dasar penggolongan karangan dibuat oleh Jones (1960), yang
membagi karangan menjadi karangan ilmiah dan karangan non-ilmiah, berdasarkan
fakta yang disajikan dalam karangan itu, yaitu fakta umum dan fakta pribadi.
Penggolongan bisa pula dilakukan berdasarkan metodologi penulisannya, menjadi
karangan ilmiah dan karangan tidak ilmiah. Bila karangan menyajikan fakta umum
maupun pribadi, namun disajikan tidak dengan metoda yag baik dan benar, maka
disebut sebagai karangan tidak ilmiah.
Ciri-ciri Karangan Ilmiah:
a. Menyajikan fakta obyektif secara sistematis
b. Pernyataannya cermat, tepat, tulus dan benar, serta tidak memuat terkaan.
c. Penulisannya tidak mengejar keuntungan pribadi.
d. Penyusunannya dilaksanakan secara sistematis, konseptual dan prosedural.
e. Tidak memuat pandangan-pandangan tanpa dukungan fakta.
f. Tidak emotif menonjolkan perasaan.
g. Tidak bersifat argumentatif, tetapi kesimpulannya terbentuk atas dasar fakta.
Ciri –ciri Karangan Non-ilmiah:
a. Penyajiannya lebih bersifat subyektif.
b. Mengandung usulan dengan efek dan kesimpulan yang diharapkan penulis.
c. Bersifat persuasif, sesuai dengan keyakinan penulis yang mengajak pembaca
untuk merubah pendapat.
d. Pandangan yang dikemukakan penulis tidak didukung fakta umum.

9
e. Motivasinya lebih mementingakan diri sendiri, karena itu isinya bisa
melebih-lebihkan sesuatu.
f. Kesimpulan penulis lebih bersifat argumentatif, sehingga kurang atau tidak
membiarkan fakta berbicara sendiri.
Suatu karya ilmiah harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu :
1) Akurat (accurate), artinya hal-hal yang dikemukakan memberikan gambaran
apa adanya tanpa memutarbalikkan fakta. Informasi yang disampaikan
didasarkan pada data yang terkumpul dengan berbagai cara dan telah teruji
kebenarannya.
2) Jelas (clear), artinya isi karya ilmiah dapat dengan mudah dipahami dan
dimengerti oleh pembaca. Untuk itu penulis dituntut mampu mengungkapkan
idenya dengan bahasa yang baik dan lugas tanpa membingungkan pembaca
dalam memahaminya, agar tidak menimbulkan salah tafsir terhadap isi tulisan
yang bersangkutan.
3) Ringkas, singkat (concise), artinya bahwa isi karya ilmiah itu langsung
mengena permasalahan, tanpa memperpanjang pembahasan sehingga
semakin mengaburkan ide pokoknya. Hal ini dapat ditempuh dengan
penggunaan kata-kata, kalimat-kalimat, dan alinea yang efektif dan tersaji
dalam alinea yang utuh. Dengan demikian pembaca akan mudah memahami
ide yang tertuang dalam setiap alinea, dan pada gilirannya dengan mudah
pula memahami isi karya ilmiah itu secara keseluruhan.
4) Konvensional (conventional), yaitu berdasarkan kesepakatan atau adat yang
berlaku. Kesepakatan atau konvensional yang dimaksud adalah konvensional
dalam penggunaan bahasa, ejaan, kata, frase, kalimat dan dalam hal tata tulis.
Konvensional dalam penggunaan bahasa misalnya, cara menuliskan unsure
serapan, huruf besar, kata ulang, dan sebagainya, sedangkan konvensional
dalam hal tata tulis misalnya, cara menyusun sistematika, bibliografi, kutipan,
dan sebagainya.
5) Padu atau utuh (appropriate), artinya isi karya ilmiah hendaknya dapat
menjalin materi, tujuan, dan pembaca secara utuh dalam suatu wacana.
Seorang penulis dituntut mampu mengorganisasi materi, bentuk, dan cara
mengekspresikan gagasannya yang bersatu dalam suatu wacana informasi
yang tepat dan serasi tentang materi yang ditulisnya dengan
mempertimbangkan kepada siapa tulisan itu ditujukan.
Secara ringkas, karangan atau tulisan ilmiah adalah karya tulis yang disusun
berdasarkan tulisan, pernyataan atau gagasan orang lain, baik yang telah, belum atau

10
bahkan tidak dipublikasikan sama sekali. Jadi pada hakekatnya penulis menyusun
kembali hal-hal yang telah dikemukakan orang lain, ditambah pengalamannya dan
dalam gaya bahasanya sendiri. Dengan demikian tulisan ini merupakan suatu uraian
yang didukung informasi yang telah diuji kebenarannya daan kemudian disajikan
dengan cara yang lazim dan benar, sesuai dengan metoda yang berlaku.
Dengan demikian, pada dasarnya karangan ilmiah mengemukakan fakta dan
sebagian lagi memuat pendapat, anggapan atau dugaan di samping kesimpulan dan
rekomendasi serta saran. Semua informasi ini perlu diberi tempat/kedudukan yang
jelas, tidak dicampuradukkan. Hal ini berarti, boleh saja menulis perpaduan antara
pendapat berbagai ahli atau keterangan-keterangan lanyya, tetapi harus selalu dijaga
jangan sampai keterangan – keterangan itu dijadikan satu begitu saja.
Dari berbagai kepustakaan ternyata dijumpai bermacam-macam cara
penggolongan jenis karangan ilmiah. pEnggolongan ini didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti terlihat pada uraian di bawah ini.
Ditinjau dari cara penulisannya, kita melihat adanya Karangan Ilmiah Murni,
yang biasanya ditujukan untuk konsumsi kalangan profesi atau cendekiawan.
Sebaliknya, Karangan Ilmiah Populer ditujukan untuk masyarakat umum, dengan
tujuan membangkitkan motivasi terhadap suatau pemecahan masalah.
Ditinjau dari sumber utama yang digunakan sebagai dasar penulisannya, kita
mengenal Laporan Kasus, Laporan Penelitian serta Studi Kepustakaan. Berdasarkan
Bentuk Karangannya, dikeal adanya Makalah (= paper), skripsi, Tesis dan Disertasi.
Karena masing-masing jenis karangan tadi akan dibahas dalam pembicaraan
khusus,pada kesempatan ini hanya akan diberikan ilustrasi singkat saja.

Berikut macam-macam karangan ilmiah :


1) Makalah (paper)
Makalah adalah segala bentuk karangan ilmiah tertulis, baik sebagai hasil
pembahasan buku maupun sebagai hasil karangan tentang suatu pokok
persoalan. Kita mengenal berbagai bentuk makalah berikut ini, sebagaimana
biasanya dijumpai dalam jurnal/majalah ilmiah.
2) Studi Kepustakaan (penelaaahan teoritis)
Penelaahan gagasan berbagai ahli mengenai suatu masalah untuk
diperbandingkan. Kemudian ditarik kesimpulan menurut pandangan penulis.
3) Tinjauan Historik (historical review)

11
Disini dilakukan pencatatan cermat berdasrkan urutan perkembangan dari
masalah yang ditinjau. Dibuat sesingkat mungkin, tetapi lengkap dan
didukung dengan acuan yang memadai.
4) Deskripsi prosedur teknis praktis
Penggambaran suatu teknik dengan cara-cara teratur dan mudah dimengerti,
secara langkah demi langkah. Selain menyatakan tujuan daari penggunanaan
cara teknis ini, penggambaran ini juga memuat ringkasan tentang keuntungan
dan kerugiannya. Walaupun memberikan kemungkinan sejawat lain untuk
menilai, cara ini hendaknya jangan memberi suatu jaminan tentang
efektivitasnya
5) Laporan Kasus
Uraian ini oleh penulisannya dimaksudkan sebagai laporan tentang suatu
hasil pengamatan/tindakan pemecahan masalah yang belum banyak diketahui
orang. Percobaannya cukup dilakukan pada satu atau beberapa kasus saja.
6) Laporan Penelitian
Suatu laporan tentag penelitian yang telah diselesaikan oleh penulis. Berbeda
dengan laporan kasus, di sini masalahnya diambil dari sekelompok anggota
masyarakat. Petcobaannya sendiri dilakukan dengan mengikuti suatu
metodologi yang terarah dan rinci.
7) Skripsi
Suatu karya tulis singkat yang didasari oleh penelitian berupa bahan-bahan
bacan atau observasi lapangan. Pembuatan karya tulis ini biasnya merupakn
salah satu persyaratan wajib guna menyelesaikan suatu jenjang pendidikan
tertentu, biasanya Program D-3 atau Strara Satu.
8) Tesis
Karya tulis ini hampir sama dengan skripsi, tetapi lebih mendalam dan
merupakan laporan suatu penelitian yang dilakukan dengan seksama sertaa
menurut metodologi penelitian. Tesis biasannya merupakan karya tulis akhir
Program Strata Dua/ Magister Spesialis Satu.
9) Disertasi
Istilah yang digunaan untuk karangan ilmiah yaang dibuat dalam mencapai
gelar tertinggi di sebuah universitas, yaitu Program Strara Tiga/Doktor.
Biasanya ada ketentuan –ketentuan khusus daari universitas yang
bersangkutan tentang persyaratan yang berhubungan dengan prosedur ilmiah
dan bentuk disertasinya.

12
2.6 Langkah-Langkah Penyusunan Karangan Penulisan Ilmiah
1) Cara pemilihan dan pengungkapan masalah
Memilih masalah apa yang akan dikemukakan dalam suatu karangan ilmiah
tidak jarang menjadi kesulitan, terutama bagi penulis pemula. Karena itu,
menginventarisasi beberapa masalah sehingga diperoleh suatu daftar, biasanya
akan membantu penulis memilih masalah mana yang sebetulnya dan akhirnya
akan diungkapkan. Melalui daftar masalah, barulah kita teliti kembali masalah
tadi satu per satu, dan hal ini dapat dibantu dengan panduan pertanyaan-
pertanyaan berikut:
1. Apakah masalah ini berguna dan cukup penting untuk dipersoalkan?
Masalah yang tidak perlu dipersoalkan lagi, sama sekali tak bermanfaat
dibicarakan lebih lanjut.
2. Apakah membahas masalah ini akan menghasilkan sesuatu yang baru?
Suatu persoalan, betapapun menariknya untuk dibahas, bila tidak
menghasilknan suatu pemecahan masalah yang konkrit tidak ada gunanya
dikemukakan dalam bentuk makalah ilmiah.
3. Apakah masalah yang akan ditulis itu menarik perhatian dan minat si
penulis? Suatu soal yang tidak menarik perhatin dan nimat si penulis,
akan menyulitkan pembahasan secara tuntas. Hendaknya selalu diingat,
bila seseorang harus menulis sesuatu yang bagi dirinya sendiri saja sudah
tidak menarik, proses penulisannya juga pasti akan tersendat-sendat.
4. Apakah masalah yang akan dibahas ini cukup terbatas, artinya tidak
terlalu lebar, dan tak pula terlalu sempit? Menulis suatu topik yang besar
atau lebar akan membuat karangan jadi panjang sekali, untuk mencapai
pembahasan yang mendalam. Bila pembahasannya dangkal untuk
masalah yang begitu besar, tentu tidak diharapkan datang dari suatu karya
ilmiah. Pembahasan karangan ilmiah haruslah terarah dan mendalam.
5. Apakah untuk pembahasan ini cukup tersedia data, sehingga
memungkinkan pelaksanaan tindakan pemecahan masalahnya?
Pembahasan suatu topik ilmiah perlu dukungan data dan kepustakaan
yang cukup memadai. Tanpa ini, pembahasan akan menjadi terbatas dan
tidak mustahil jadi dangkal.
6. Apakah masalah ini dapat dipecahkan dengan fasilitas yang ada dan
kemampuan diri penulis? Memecahkan masalah dengan dukungan
fasilitas dan kemampuan yang minim, tak akan mencapai hasil yang
memuaskan.

13
Suatu contoh sederhana dapat dikemukakan, bila seseorang ingin menulis
tentang ”Amalgam”. Perkembangan ilmu, teknologi, dan bahan kedokteran gigi
sudah demikian maju dan pesat. Bila judul yang dipilih adalah “Amalgam”, dan
karangannya sudah selesai, mungkin para pembaca mengharap dapat membaca
karangan yang membahas segala aspek yang berkaitan dengan amalgam. Dalam
hal ini, bahasannya meliputi sifat fisis, kimiawi, karakteristik lainnya, Macam-
macam Amalgam dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya serta
mungkin banyak hal lain kagi. Akhirnya karangan yang semula dimaksudkan
berupa karya ilmiah biasa saja, akan menjadi suatu buku tebal yang mirip buku
ajar.
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah, kadang-kadang pembahasan jadi
sedikit berubah dari rencana uraian semula. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya
temuan-temuan yang lebih baik, menarik dan penting, sehingga terasa sayang
bila tidak diungkapkan. Dengan masuknya temuan-temuan yang tak terduga
sebelumnya ini, mungkinsaja jalan atau alur pembahasan jadi berubah. Kejadian
seperti ini dengan sendirinya dapat mengubah isi karangan, sehingga judul yang
semula sudah di tetapkan, dirasa perlu untuk diubah lagi, supaya lebih sesuai dan
mengena dengan isi karangan secara keseluruhan.
Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dapat diibaratkan dengan seseorang
yang ingin melakukan perjalanan, umpamanya dari Jakarta ke Bandung lewat
Puncak. Karena suatu sebab, pada saat tiba di Bogor, rute perjalanannya di ubah
menjadi lewat Sukabumi dan Cianjur. Jadi tidak lagi melalui Puncak. Dalam
contoh seperti ini, tentu saja ‘ Judul perjalanan’ tidak lagi “Jakarta ke Bandung
melalui Puncak”, melainkan Jakarta- Bandung lewat Sukabumi dan Cianjur’.
Hal serupa dapat terjadi pada penyusunan karya ilmiah. Perubahan judul perlu
dilakukan karena selanjutnyan”isi pembahasan” tidak lagi tentang “Puncak”,
tetapi jadi mengenai “Sukabumi dan Cianjur”.
2) Memperoleh sumber informasi
Kita dapat menulis sesuatu, bila ada persoalan yang patut ditulis. Untuk itu
diperlukan adanya sumber informasi, secara ringkas dapat dikatakan ada empat
sumber informasi yang dapat kita manfaatkan.
1. Pengalaman atau pengamatan pribadi.
2. Pengalaman orang lain. Pengalaman orang lain ini dapat berupa publikasi
dalam bentuk media cetak, seperti buku, artikel dalam majalah, brosur
dan lain-lain.

14
3. Publikasi bukan berupa media cetal. Termasuk kedalam kelompok ini
adalah kuliah, ceramah, seminar dan sebagainya.
4. Suatu bentu lain pengungkapan pengalaman seseorang, seperti
wawancara atau diskusi yang tidak dipublikasikan dapat pula
dimanfaatkan sebagi sumber informasi. Jenis ini sering disebut sebagai
komunikasi pribadi (personal communication).
Cara terbaik untuk menggali sumber informasi ini tentu saja dengan
menempuh semua kemungkinan yang ada.
3) Gaya dan cara penulisan yang efektif
Tujuan pembuatan karangan ilmiah adalah melaporkan informasi,
pemikiran dan pengalaman secara ringkas, jelas dan tegas. Dengan kreatifitas
pengarangnya, karangan ini tetap dapat dibuat menarik dan menyegarkan tanpa
mengorbankan nilai-nilai ilmiah yang memang harus diutamakan. Karena itu
karangan-karangan ilmiah tidak perlu menjadi bacaan yang menjemukan semata-
mata oleh karena bentuknya yang sangat formal dan sebab isinya yang bersifat
ilmiah.
Mengingat hal tersebut diatas, seorang penulis hendaknya mampu
menyusun karangan sedemikian rupa sehingga karyanya itu dibaca oleh banyak
orang. Artikel yang diterbitkan tetapi tidak dibaca orang sama sekali tidak
bermanfaat, kecuali barangkali untuk ‘ego isi penulis’ sendiri. Biasanya gaya
bahasa yang jelas lebih efektif daripada kata-kata mulut yang disusun dalam
kalimat yang kompleks.
Dalam aspek gaya dan cara penulisan yang efektif ini, Flesch
mengingatkan dua hal penting yaitu Readability (= ketedasan, keterbacaa) dan
Ambiguity (-=ketaksaan, kemaknaan lebih dari satu).
Aspek ketadasan dapat dilihat dari tabel Flesch berikut ini:
No KATA/KALIMAT DRJ.KETEDASAN
1. </=8 Sangat mudah
2. 11 Mudah
3. 14 Agak mudah
4. 17 Baku
5. 21 Agak Sulit
6. 25 Sulit
7. 29/> Sangat sulit

15
Contoh ketadasan dapat terlihat pada kalimat berikut ini, yang
merupakan kalimat beranak bercucu (‘”bahkan bercicit”):
Penjuluran lidah dapat juga disebabkan oleh karena pemberian susu
dengan botol dimana dot digunakan terlalu panjang dan ujung dot menyentuh
sampai ke tenggorokannya maka untuk mencegahnya anak meletakkan lidahnya
pada langit-langit, tetapi hal ini berlangsung lama dan anak menemui kesulitan
makan anak meletakkan ujung lidahnya di depan untuk menahan dot di antara
gum pad dan lindah dan anak menelan dengan ini dan akan menetap sampai
anak menjadi besar.
Jelas sekali kalimat seperti ini sulit dicerna dan perlu “nafas panjang”
untuk membacanya. Satu kalimat ini sebetulny lebih tepat dijadikan sebuah
alinea. Marilah kita bandingkan dengan kalimat perubahan berikut ini:
Penjuluran lidah dapat juga disebabkan oleh karena pemberian susu
dengan botol yang dotnya digunakan terlalu panjang. Karena panjangnya,
ujung dot ini menyentuh tenggorokan, sehingga untuk menghindarinya si anak
meletakkan lidahnya pada langit-langit.
Bila hal ini berlangsung lama, tentu saja si anak akan menemui
kesulitan; sebagai gantinya sekarang ia meletakkan ujung lidahnya di depan
untuk menahan dot di antara gum pad dan lidahnya, dengan cara inilah ia
membiasakan dirinya menelan; suatu kebiasaan yang akan menetap sampai ia
menjadi besar.
Dengan menguraikan kalimat yang sangat panjang tadi menjadi beberapa
kalimat yang lebih pendek, maka pembaca jadi lebih mudah mengerti pesan
yang ingin disampaikan.
Dari aspek ketaksaan dapat dijumpai contoh-contoh di bawah ini.
1. Istri dokter yang nakal.
Dengan nada pengucapan tertentu, kalimat ini bisa berarti “yang nakal”
itu adalah “isteri dokter’, tetapi dengan cara pengucapan lain, bisa pula
berarti “yang nakal” adalah “dokter”nya.
2. Orang dewasa ini kurang memiliki jiwa gotong royong.
Serupa dengan contoh 1m disini yang “kurang memiliki jiwa gotong
royong” adalah “orang dewasa ini” (bukan orang dewasa yang lain),
namun bisa pula diartikan bahwa “dewasa ini” orang kurang memiliki
jiwa gotong royong.
3. Seorang proa 27 tahun, selama 3 tahun ini mempunyai suatu massa pada
sisi kiri lehernya yang tumbuh secara lambat.
Kalimar 3 bisa diartikan bawa “sis kiri leher” pasien tadi yang tumbuh
secara lambat (yang kanan tidak tumbuh lambat).

16
Mungkin yang dimaksud oleh si penulis sebetulnya “ massa pada sisi
kiri lehernya yang tumbuh lambat”, sehingga bila demikian, kalimat ini
seharusnya di tulis sebagai berikut:
Seorang pria 27 tahun, selama 3 tahu ini mempunyai suatu massa yang
tumbuh secara lambat pada sisi kiri lehernya.
Hal-hal tersebut diatas perlu mendapat perhatian seksama dalam
penulisan karangan, karena berbeda dengan bahasa lisan yang mempunyai lebih
banyak keleluesan, bahsa tulisan lebih mengandalkan komunikasi semata-mata
kepada ketertiban pengaturan tata bahasa yang benar, termasuk ejaan dan tanda
baca yang dipakai secara tepat.
Sebagai contoh keleluasaan bahasa lisan, ambillah kata “Keluar”. Kata
tunggal yang demikian sederhana ini bisa berbeda-beda maknanya bila
disampaikan dalam bentuk lisan, tergantung pada cara dan situasi orang
mengucapkannya, lagu suara pengucapannya, lawan bicara dan tempat
pembicaraan berlangsung. Pengucapan kata tadi bisa berarti:
1. Jawaban atas pertanyaan seseorang, yang menanyakan apakah si A
berada di tempat.
2. Dengan suasana dan lawan bicara lain, pengucapan kata tadi dapat pula
berarti perintah seseorang kepada lawan bicaranya supaya si lawan bicara
itu keluar dari ruangan.
3. Sebaliknya, pada saat lain, pengucapan kata ini dapat juga berarti
pengungkapan rasa heran atau tidak percaya seorang penanya atas
jawaban yang menyatajan bahwa orang yang dicarinya sedang keluar.
Dalam bahasa tulisan nada dan cara bicara pada bahasa lisan seperti ini
menjadi sirna, karena itu bahasa tulisan membutuhkan sarana lain untuk
menutupi kekurangan ini, antara lain dengan tanda-tanda baca yang lengkap dan
tepat.
Suatu karangan tidak perlu panjang supaya dapat dikatakan baik.
Membaca artikel panjang menghabiskan waktu lebih lama, padahal waktu
tersebut mungkin amat berharga bagi para pembacanya. Karena itu amat
bijaksana bila pengarang menganalisis siapa pembacanya sehingga ia bisa lebih
mengarahkan pembuatan artikelnya. Cara terbaik untuk mencapai hal ini adalah
meyakinkan bahwa bahan yang kita sajikan sudah diolah dengan baik. Bagian
demi bagian tulisan hendaknya jelas dan bersambungan dengan rangkaian yang

17
runtut dan logis. Ulasan dalam tiap bagian artikel itu sendiri ‘mengalir’ dengan
mulus.
Dalam penulisan ilmiah, Boucher yang pernah menjadi Editor in Chief
Journal of Prosthetic Dentistry selama 25 tahun, juga mengingatkan perlunya
pengembangan ‘free Speech’. Pemanfaatan ‘kebebasan bicara’ ini amat penting
bagi perkembangan ilmu. Sebagi pengimbang kebebasan ini, seoranf pengarang
hendaknya bicara secara benar, jujur dan akurat. Akurasi informasi yang
disampaikan penting artinya, karena adanya kekurangcermatan sedikit saja akan
menyebabkan turunya keabsahan karangan tadi.
Lengkapnya suatu artikel akan ampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin timbul. Selai benar, tulisan juga hendaknya ringkas. Ringkas
disini tidak berarti harus pendek, tetapi memuat data yang tak lebih dan
pulakurang daripada yang dibutuhkan untuk menyampaikan pesan yang kita
bawa.
Mengenai panjang pendeknya karangan ilmiah, tidak dijumpai adanya
ketentuan yang bersifat umum. Hal ini terutama bergantung pada jenis persoalan
serta intensitas pembahasannya.
Sekedar gambaran, ternyata bahwa sebuah makalah yang diketik dengan
jarak dua spasi, umumnya ditulis sebanyak 5-15 halaman kertas ukuran folio (20
x 34 cm atau 8 x 13,5 inci). Untuk suatu laporan penelitian, tentu bisa lebih
panjang lagi. Pengetikan dengan jarak 2 spasi sebanyak 35 baris tulisan per
halaman kertas folio dalam bahasa Indonesia, dapat memuat kurang lebih 350
buah kata.

4) Alur Penyusunan Karya Tulis Ilmiah


Dalam penyusunan karya tulis ilmiah bentuk apapun,hendaknya dianut
suatu hakekat dimana “penulis merasakan adanya masalah yang perlu
dikemukakan , serta dicari dan dijelaskan/dikemukakan
pemecahannya”.Dengan demikian, bila pada awal tulisan para pembaca
merasakan adanya masalah, maka pada akhir karangan mereka sudah
memperoleh sajian bagaimana pemecahan masalah ini dilaksanakan.
Sebuah tulian barulah dapat dirasakan sifat ilmiahnya, apa bila
mengandung kebenaran secara obyektif, karena didukung informasi yang sudah
teruji kebenarannya, dengan data pengamatan yang tidak subyektif. Selain itu,

18
karangan ini juga disajikan secara mendalam, berkat penalaran dan analisis yang
obyektif pula.Suatu karangan tidak akan terasa ilmiah lagi, bila isinya hanya
mengemukakan teori dan fakta mengenai ilmu pengetahuan yang sudah lama
diketahui umum berulang kali ditulis. Dalam ikatan ini Flesch mengemukakan
ungkapan yang menyatakan bahwa buku buku ilmiah itu berisi suatu jawaban
final atas suatau masalah, sebetulnya tidak benar. Sebab, ilmu pengetahuan
selalu berkembang dan mengoreksi dirinya sendiri, apa yang diabungkan sebagai
kebenaran yang bersifat ajaran (gospel) tidaklah dapaat disebut ilmiah.
Lebih lanjut menurut Connant (cit Flesch), per definisi, ilmu pengetahuan
adalah suatu rangkaian konsep yang salng berkaitan dan pola konseptual yang
telah berkemang sebagai hasil eksperimentasi serta observasi, dan mampu
berbuah bagi eksperimentasi dan observasi yang akan dilakukan kemudian.
Prinsip ini hendaknya dipegang teguh sebelum seseorang memulai menulis
karya ilmiah. Tanpa pegangan seperti ini, dikuatirkan karya ilmiah yang disusun
dengan jerih payah penulisannya, tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Setelah timbul minat untuk menulis, biasanya orang akan berusaha
mencari topik atau tema masalah yang akan dikemukakan dalam karya tulisnya.
Selain kejelian mengangkat suatu tema menjadi tulisan, ia juga harus punya
bekal. Bekal ini akan diperoleh, bila calon penulis selalu berusaha menelusuri
khasanah kepustakaan yang begitu beragam dan luas. Begitu beragam dan luas
khasanah ini, sehingga mereka yang senang menggelutinya akan merasa tambah
haus dan tertarik untuk makin mendalam masalah-masalah tersebut.
Karena ittulah, dikenal suatu ungkapan sejak berabad lalu bahwa “makin
banyak kita tahu, makin tahu pula kita, bahwa kita tidak banyak
tahu”(socrates). Ungkapan filosofis ini juga dengan gamblang mengajarkan
kepada semua ilmuwan untuk tetap rendah hati. Senada dengan ungkapan ini,
bangsa Indonesia sebetulnya juga memiliki ungkapan yang tidak kalah
filosofisnya, tetapi kadang-kadang diabaikan para sarjana yaitu: “seperti layak-
nya ilmu padi, hendaknya makin berisi makin merunduk.”
Dalam penlisan karya ilmiah ada suatu kiat yang berbunyi: “think-plan-
write-revise”. Dua tahap pertama, yaitu berpikir dan merencanakan merupakan
langkah awal yang penting dalam setiap proses penulisan. Dengan rencana yang
telah dipersiapkan dengan matamg, suatu tulisan akan dapat dikerjakan dengan
baik.

19
Dari kiat yang dikemukakan pada bagian ini, yaitu “think-plan-write-
revise”, tampak jelas bahwa tulisan yang sudah disusun selalu membutuhkan
peninjauan kembali (revisi). Hanya dengan cara inilah, sebuah karya ilmiah
dapat disempurnakan.
Di dalam pengajaran menulis, dikenal sejumlah pendekatan. Satu
pendekatan yang terbukti memudahkan siswa dalam belajar menulis adalah
pendekatan proses (Sutama, dkk. 1998). Pendekatan proses memiliki asumsi
bahwa sebuah tulisan tidak dihasilkan dengan sekali menulis langsung jadi,
tetapi dihasilkan melalui suatu proses kognitif yang kompleks (Hull, 1989), dan
terdiri atas beberapa tahap, yaitu: penentuan topik tulisan, penggalian materi
tulisan, penulisan draf awal, revisi draf awal, dan penulisan draf akhir.
Akhadiah, dkk. (1988:2) mengatakan bahwa kegiatan menulis itu
merupakan suatu proses. Artinya kegiatan menulis itu dilakukan dalam beberapa
tahap, yaitu tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi. Tahap
prapenulisan merupakan tahap perencanaan atau persiapan yang pada dasarnya
meliputi menentukan topik atau masalah tulisan, mengumpulkan bahan tulisan,
dan menyusun kerangka karangan. Tahap penulisan pada intinya berupa
pengembangan kerangka karangan menjadi karangan yang utuh dengan
membahas setiap ide pokok yang ada pada kerangka karangan. Selanjutnya,
revisi tidak hanya dilakukan terhadap aspek isi dan sistematika tulisan, tetapi
juga gramatika dan ejaan. Revisi tidak hanya dilakukan oleh penulis/siswa
terhadap tulisannya sendiri, tetapi juga dapat dilakukan oleh guru dan siswa
yang lain.
Dari kedua pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sebagai sebuah
proses, menulis terdiri atas beberapa langkah/tahap. Pada garis besarnya
tahapantahapan itu meliputi tahap persiapan atau tahap prapenulisan, tahap
penulisan draf awal, tahap revisi, dan tahap penulisan draf akhir. Dalam
kaitannya dengan kegiatan menulis artikel ilmiah tentu tahapantahapan tersebut
juga dapat dilalui oleh guru. Pada tahap persiapan atau tahap prapenulisan, guru
berusaha memburu topik tulisan yang layak untuk diangkat sebagai karya ilmiah.
Berdasarkan topik itu, guru mencoba menyusun kerangka karangan Pada tahap
penulisan draf awal, guru berusaha mengembangkan kerangka karangan yang
telah disusunnya menjdi sebuah artikel. Pada tahap revisi, guru melakukan
perbaikan terhadap karangannya baik dari segi isi, sistematika, maupun dari segi

20
bahasa. Pada tahap penulisan draf akhir, guru menyusun kembali karangannya
berdasarkan revisi tadi.
Dalam penulisan karya ilmiah, ada beberapa langkah yang harus dilakukan
seorang pustakawan, yaitu
1. Menjadikan Kode Etik sebagai Dasar Penulisan Karya Ilmiah
Dalam penulisan karya ilmiah harus memperhatikan kode etik yang
merupakan seperangkat norma yang perlu diperhatikan dalam penulisan karya
ilmiah. Norma ini berkaitan dengan pengutipan dan perujukan, perijinan terhadap
bahan yang digunakan, dan penyebutan sumber data atau informan. Penulis harus
secara jujur menyebutkan rujukan terhadap bahan atau pikiran yang diambil dari
sumber lain. Pemakaian bahan atau pikiran dari suatu sumber atau orang lain yang
tidak disertai dengan rujukan dapat diidentikan dengan pencurian. Penulisan karya
ilmiah harus menghindarkan diri dari tindak kecurangan yang lazim disebut plagiat.
Plagiat merupakan tindak kecurangan yang berupa pengambilan tulisan atau
pemikiran orang lain yang diaku sebagai hasil tulisan atau hasil pemikirannya
sendiri. Dalam penulisan karya ilmiah, rujuk merujuk dan kutip mengutip merupakan
kegiatan yang tidak dapat dihindari. Kegiatan ini amat dianjurkan, karena perujukan
dan pengutipan akan membantu perkembangan ilmu.
Dalam menggunakan bahan dari suatu sumber (misalnya instrumen, bagan,
gambar, dan tabel), penulis wajib meminta ijin kepada pemilik bahan tersebut secara
tertulis. Jika pemilik bahan tidak dapat dijangkau, penulis harus menyebutkan
sumbernya dengan menjelaskan apakah bahan tersebut diambil secara utuh, diambil
sebagian, dimodifikasi atau dikembangkan

2. Memilih Topik
Semua tulisan baik ilmiah maupun yang bukan ilmiah diawali dengan suatu
topik. Topik merupakan titik tolak suatu karangan atau dapat juga disebut sebagai
subyek suatu karangan. Berdasarkan topik inilah penulis dpat menentukan judul dan
komponen-komponen yang akan ditulis sebagai karya ilmiah. Topik dari suatu karya
ilmiah mengarah pada suatu disiplin ilmu tertentu yang tentu saja diminati oleh
penulisnya. Oleh karena itu sebelum menentukan topik, perlu memperhatikan
petunjuk-petunjuk praktis, yaitu : (a) topik itu ada dalam jangkauan, (b) untuk topik
itu tersedia bahan (data) yang cukup untuk dibahas, (c) topik itu cukup penting untuk
diselidiki, (d) topik cukup menarik minat untuk diselidiki dan dibahas.
Untuk dapat menentukan suatu topik yang tepat dalam suatu karya ilmiah,
hendaknya digunakan pendekatan dan kriteria sebagai berikut :
a. Pendekatan Pemilihan Topik

21
Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan sebagai strategi untuk
menentukan topik, yaitu (1) topik yang berorientasi pada masalah, (2) topik
yang berorientasi pada proses, dan (3) topik yang berorientasi pada
ekspediensi (kelayakan kondisi given).
1) Pemilihan topik berorientasi pada masalah
Pendekatan ini biasanya didasarkan pada pertimbangan kecermatan
mengajukan pertanyaan terhadap masalah-masalah yang diminati.
Penentuan topik diawali dengan masalah yang spesifik, dan kemudian
dikonfirmasikan dengan telaah kepustakaan untuk mempertimbangkan
signifikansinya dengan bidang studi.
2) Pemilihan topik berorientasi pada proses
Pendekatan ini biasanya didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu :
(a) telah tersedia instrumen pengukuran yang spesifik, (b) adanya
perlakuan yang menarik, dan (c) adanya kemampuan strategi analisis
untuk memilih masalah dimana suatu proses dapat diaplikasikan
3) Pemilihan topik berorientasi pada ekspediensi
Pendekatan ini biasanya didasarkan pada kondisi given (kondisi yang
sudah ada) yang meliputi : (a) keberadaan data dan adviser (pembimbing),
(b) berkaitan dengan bidang pekerjaan atau minat yang ditekuni, dan (c)
kepentingan kepentingan lain dari penulis.
b. Kriteria Pemilihan Topik
Topik yang dipilih untuk dijadikan karya ilmiah seharusnya memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1) Topik itu layak untuk dibahas
Topik yang layak untuk dibahas (diteliti) seharusnya memenuhi kriteria :
(a) topik tidak terlalu sempit dan juga tidak terlalu luas (jelas batas-
batasnya), (b) topik cukup berarti dalam memberikan kontribusi keilmuan
baik secara teoritis maupun praktis, dan (c) topik cukup unik, dengan
memperhatikan tingkat keasliannya (originality) dan up to date (tidak
kadaluarsa)
2) Topik itu sesuai dengan kompetensi penulis
Topik yang sesuai kompetensi penulisnya biasanya harus memenuhi
kriteria : (a) sesuai minat penulisnya, (b) sesuai dengan latar belakang
keilmuan (bidang studi) penulis, dan (c) sesuai kemampuan dan
pengalaman yang dimiliki penulis.

3. Menelusuri dan Mengkaji Bahan Pustaka


Kegiatan penelurusan kajian pustaka merupakan pencarian bahan-bahan
kepustakaan atau sumber yang akan dijadikan sebagai rujukan dalam membahas dan

22
menyusun karya tulis ilmiah. Kajian pustaka ini dapat dilakukan sebelum
menentukan topik, setelah menentukan topik dan selama membahas topik yang telah
ditetapkan. Tujuan kajian pustaka sebelum menentukan topik dimaksudkan untuk
mencari, mengidentifikasi, menguji dan akhirnya menetapkan inspirasi ide dari
stuatu topik, sehingga kecermatan membacanya dalam tahapan ini tidak dituntut
terlalu tinggi. Sedangkan kajian pustaka sesudah menentukan dan selama membahas
suatu topik bertujuan untuk mengkonfirmasikan topik yang telah dipilih dengan teori
dan hasil-hasil penelitian yang ada sebagai dasar untuk menentukan tingkat
signifikasnsinya dan kerangka berpikir dalam pembahasan suatu topik.
Sumber pustaka sebagai dasar rujukan dapat digolongkan menjadi sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan deskripsi langsung dari
suatu kejadian atau peristiwa oleh seseorang yang benar-benar mengamati atau
menyaksikan peristiwa- peristiwa tersebut. Sedangkan sumber sekunder adalah setiap
publiasi yang titulis oleh pengarang yang bukan merupakan hasil pengamatan
langsung dari peristiwa yang dilukiskan. Sumber-sumber sekunder ini juga sangat
bermanfaat karena merupakan intisari dari pengetahuan yang diperoleh dari berbagai
sumber primer.
Sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam penulisan karya ilmiah
antara lain : buku, hasil-hasil penelitian (laporan penelitian, disertasi, tesis, skripsi),
terbitan berseri (jurnal, majalah, buletin), dokumen-dokumen resmi (data statistik,
makalah, surat surat resmi), sumber-sumber non cetak (film, monograf, program
radio/TV).

4. Menyusun Sistematika atau Organisasi Penulisan


Sistematika atau organisasi penulisan karangan ilmiah secara umum terdiri
dari tiga bagian, yaitu :
a) Bagian permulaan
- Bagian permulaan suatu karangan ilmiah secara lengkap terdiri dari :
- Halaman judul
- Sambutan terima kasih kepada penulis
- Ucapan terima kasih atau kata pengantar penulis
- Daftar isi
- Daftar Tabel
- Daftar Gambar
- Daftar Tanda-tanda lain

b) Bagian Teks
 Sub bagian Pendahuluan (the opening), yang secara umum sub bagian ini
menyangkut tiga bagian pokok, yaitu :

23
- Latar belakang dan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini
- Identifikasi dan definisi mengenai pokok bahasan,
- Rumusan masalah dan tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan
 Sub Bagian Pembahasan
Sub bagian ini merupakan pengembangan secara logis komponen-
komponen atau pokok-pokok pikiran yang dibahas dalam tulisan,
termasuk berbagai isu di seputar tema gagasan dengan acuan berbagai
sumber atau bahan pustaka. Setiap pengembangan pokok pikiran
hendaknya dituangkan berdasarkan teori-teori baik yang mendukung atau
sejalan maupun bila perlu yang merupakan perdebatan dari teori yang
digunakan. Setiap pembahasan hendaknya diikuti dengan pandangan
penulis dengan cara melakukan “ push-pull debate “ di sekitar tema
gagasan. Pengembangan dilakukan dengan memberikan klarisikasi dan
penjelasan-penjelasan atau karangan tentang gagasan. Pengembangan
topik-topik utama ke bagian-bagian yang lebih luas atau sub- sub topik
tersebut dimaksudkan untuk memperjelas hubungan implisit (tersirat)
antar sub dalam topik utama. Penekanan uraian sub-sub topik lebih
menunjukkan keterhubungan antar sub dalam membentuk satu kesatuan
bahasan (topik utama), sehingga tidak menimbulkan kesan adanya sub-
sub yang terlepas-lepas dari topik utama., Contoh : “ Hubungan antara
Strategi Pembelajaran Pendidikan Pemakai dan Tingkat Pemahaman
Mahasiswa terhadap Perpustakaan “
Pengembangan menjadi sub-sub topiknya sebagai berikut :
A. Strategi pembelajaran pendidikan pemakai
1. Strategi pembelajaran pendidikan pemakai dengan metode diskusi
1.1.Macam-macam diskusi
1.2.Kelebihan dan kelemahan metode diskusi
(1) Kelebihan metode diskusi
(2) Kelemahan metode diskusi

2. Strategi pembelajaran pendidikan pemakai dengan metode


ceramah
2.1. Kelebihan metode ceramah
2.2. Kelemahan metode ceramah
B. Tingkat pemahaman mahasiswa terhadap perpustakaan
1. Tingkat pemahaman
2. Tingkat pemahaman mahasiswa terhadap perpustakaan
C. Hubungan antara Strategi Pembelajaran Pendidikan Pemakai
dan Tingkat
Pemahaman Mahasiswa terhadap Perpustakaan

24
1. Hubungan antaraa strategi pembelajaran pendidikan pemakai
dengan metode diskusi dan tingkat pemahaman mahasiswa
terhadap perpustrakaan
2. Hubungan antara strategi pembelajaran pendidikan pemakai
dengan metode ceramah dan tingkat pemahaman mahasiswa
terhadap perpustakaan
 Sub Bagian Penutup
Sub bagian penutup ini dikemukakan dua hal pokok, yaitu :
- Ringkasan, berisikan inti temuan di sekitar gagasan yang telah
dibahas dan dikaji berdasarkan acuan teoori yang diambil dari
berbagai sumber/pustaka
- Kesimpulan, merupakan hasil akhir yang disepakati dalam
pembahasan dari berbagai kajian dengan inferensi yang jelas
mengenai keterpakaian gagasan.

c) Bagian Akhir
Bagian akhir dari suatu karangan ilmiah terdiri dari dua sub bagian, yaitu :
- Sub Bagian Daftar Pustaka
- Sub Bagian Lampiran

BAB 3 : PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penulisan ilmiah sangat penting dilakukan oleh seorang sarjana untuk
penelitian yang akan atau sedang dilakukan, maupun bagi pengembangan diri serta
perkembangan profesi yang digelutinya.
Ada beberapa sikap ilmiah yang harus dimiliki seorang ilmuwan yaitu sikap
ingin tahu, sikap kritis, sikap terbuka, rela menghargai karya orang lain, berani
mempertahankan kebenaran dan mempunyai pandangan jauh ke depan. Kemudian
kewajiban profesional yang harus dimiliki seorang sarjana atau ilmuwan adalah
membagi pengetahuan serta pengalamannya kepada sesama teman profesi.

25
Manfaat menulis bagi ilmuwan adalah mereka terlatih mengembangkan
keterampilan membaca secara efektif, terlatih meramu hasil bacaan dari berbagai
sumber tadi dan akhirnya mampu menyajikan fakta lebih jelas, mampu berlatih
menyusun hasil pemikiran dan penelitiannya, meningkatkan pengetahuan dan
memperluas cakrawala pandangan, dan sampai memperoleh kepuasan batin maupun
intelektual karena sudah memenuhi kewajiban profesionalnya.
Ada beberapa macam karangan ilmiah, ada yang berdasarkan metodologi
penulisannya, cara dan sumber penulisannya. Namun secara umum macam-macam
karangan ilmiah yaitu makalah, studi kepustakaan, tinjauan historik, deskripsi
prosedur teknis praktis, laporan kasus, laporan penelitian, skripsi, tesis dan disertasi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan karangan ilmiah yaitu
cara pemilihan dan pengungkapan masalah, memperoleh sumber informasi, gaya dan
cara penulisan yang efektif dan alur penyusunan karya tulis ilmiah.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada sarjana maupun ilmuwan
dapat menulis sendiri karangan-karangan ilmiah dengan mengikuti cara-cara tertentu,
sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, dkk. 2000. Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah Buku Ajar
Untuk Mahasiswa. EGC Kedokteran.

Akhdiah, dkk. 1998. Menulis I. Jakarta : Depdikbud.

Mustiningsih. 2001. Teknik Penulisan Karya Ilmiah. Malang : Fakultas Ilmu


Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Mustiningsih. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang : Universitas Negeri


Malang.

26
Soekijat. 1991. Dasar-dasar dan kegunaan Penulisan Ilmiah. Majalah Ilomiah
Trisakti No.05/Th.I/10/1991. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.

Ulfiatin, Nurul. 1999. Penulisan Karya Ilmiah. Malang : Universitas Negeri Malang.

27

You might also like