You are on page 1of 64

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN UMUR 64 TAHUN DENGAN


KELUHAN SESAK NAFAS

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


di RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh :
Hanif Agung Prabowo
H2A014030P

Pembimbing :
dr. Prahastya, M.Sc., Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD


TUGUREJO SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN
NAMA : HANIF AGUNG PRABOWO
NIM : H2A014030P
FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ILMU PENYAKIT DALAM
PEMBIMBING : dr. Prahastya, M.Sc., Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Oktober 2018

Pembimbing

dr. Prahastya, M.Sc., Sp.PD


DAFTAR MASALAH

Tanggal Masalah Aktif

21 September 2018 CHF NYHA IV


Hipertiroid
Atrial Fibrilasi
Hipokalemia
BAB I
KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Tanggal lahir : 31 Desember 1953
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Mlati Baru, Semarang
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Ruang Rawat : Dahlia 2
No. RM : 567526
Status Pasien : BPJS NON PBI
Tanggal Masuk RS : 20 September 2018
Tanggal Pemeriksaan : 21 September 2018
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan
suami pasien di Ruang Dahlia 2 RSUD Tugurejo Semarang pada tanggal 21
September 2018 jam 07.00 WIB
A. Keluhan utama : Sesak nafas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Tugurejo Semarang dengan
keluhan sesak nafas. Pasien merasa sesak sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan sesak dirasakan muncul sesaat setelah pasien
mencuci pakaian di pagi hari. Sesak dirasakan semakin memberat hingga
saat datang ke rumah sakit, dan pasien tidak dapat beraktivitas seperti
biasa. Pasien merasakan sesak nafas meskipun saat istirahat. Sesak napas
juga muncul saat pasien berbaring sehingga harus menggunakan bantal
yang ditumpuk saat tidur. Di malam hari pasien susah untuk tidur dan
sering terbangun tiba-tiba saat tidur karena sesak napas. Keluhan lain pada
pasien, seperti dada berdebar-debar (+), nyeri dada (+), mual (-), muntah (-
), pusing (+), lemas (+), sering berkeringat (+), cepat lelah (+), berat badan
menurun (+), sulit tidur (+), BAK dan BAB tidak ada keluhan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit paru-paru : disangkal
Penyakit Liver : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertiroid : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat alergi : diakui, makanan ikan laut

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : diakui
Riwayat hipertiroid : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

E. Riwayat Pribadi
Kebiasaan merokok : perokok pasif
Kebiasaan minum alkohol : disangkal
Kebiasaan konsumsi obat-obatan : disangkal
Kebiasaan olahraga : jarang
Kebiasaan konsumsi makanan manis : jarang

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sebagai ibu rumah tangga, suami bekerja sebagai pegawai swasta.
Tinggal di rumah bersama suami. Biaya pengobatan menggunakan BPJS
NON PBI.
G. Anamnesis Sistem
Keluhan utama Sesak nafas

Kepala Pusing (+), pusing berputar (-),leher kaku (-)

Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-),pandangan


Mata
berputar (-), berkunang-kunang (-)

Hidung pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)

pendengaran berkurang (-), gembrebeg (-), keluar cairan (-),


Telinga
darah (-).

sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah- pecah
Mulut
(+), gusi berdarah (-), mulut kering (+).

Leher Pembesaran kelenjar limfe (-), struma (-)

Tenggorokan Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).

Sistem respirasi Sesak nafas (+), batuk (-), mengi (-), tidur mendengkur (-)

Sistem Sesak nafas saat beristirahat (+), nyeri dada (+),


kardiovaskuler berdebar-debar (+).

Mual (-), muntah (-), perut mules (-), diare (-), nyeri perut (-
Sistem
), nafsu makan menurun (-),BB turun(+), BAB warna
gastrointestinal
coklat
Sistem Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-), lemas (+),
muskuloskeletal gemetar (+)

Sering kencing (-), nyeri saat kencing (-), keluar darah (-),
Sistem
berpasir (-), kencing nanah (-),sulit memulai kencing (-),
genitourinaria
anyang-anyangan (-), berwarna seperti teh (-),

Luka (-), kesemutan (-), kaku digerakan (-) bengkak (-),


Ekstremitas atas
sakit sendi (-) panas (-)

Ekstremitas Luka (-), kesemutan (-) kaku digerakan (-) bengkak (+)
bawah sakit sendi (-) panas (-)

Sistem Kejang (-), gelisah (+), kesemutan (-) mengigau (-), emosi
neuropsikiatri tidak stabil (-)

Sistem Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-)


Integumentum

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 September 2018 pukul 07.00
WIB di bangsal Dahlia 2 RSUD Tugurejo.
A. Keadaan Umum : Tampak Sesak
B. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15
C. Tanda vital
- TD : 119/85 mmHg
- Nadi : 150 x/menit (ireguler, isi dan tegangan cukup)
- RR : 25 x/menit
- Suhu : 36,5 0C (per axilla)
D. Berat Badan : 50 kg
E. Tinggi Badan : 155 cm
F. IMT : 20,81 (normal)
G. Skala nyeri : 3 (VAS)
H. Risiko Jatuh : Morse Fall Score : 35 (risiko sedang)
I. Status Internus
1. Kepala : kesan mesocephal
2. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek pupil
direct (+/+), reflek pupil indirect (+/+), edem palpebral
(-/-), pupil isokor (3 mm/ 3 mm)
3. Telinga : serumen (-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan tragus
(-/-)
4. Hidung : nafas cuping hidung (-), deformitas (-), secret (-)
5. Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-), stomatitis (-)
6. Leher : pembesaran limfonodi (-), otot bantu pernapasan (-),
pembesaran tiroid (-)
7. Thoraks :
a. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat, pulsus parasternal (-),
pulsus epigastrik (-), sternal lift (-)
Perkusi : kesan cardiomegali
- Batas atas jatung : ICS II linea parasternal sinistra
- Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah jantung : ICS V, linea axilaris sinistra
- Batas kanan bawah jantung : ICS V linea parasternal dextra
Auskultasi : suara jantung I dan II ireguler, gallop (-), Bising
jantung (-) HR : 150x/menit
b. Pulmo
Dextra Sinistra
Pulmo Depan

Inspeksi
Bentuk dada Normal Normal
Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Warna Sama seperti kulit sekitar Sama seperti kulit sekitar

Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi Sonor sonor

Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
- Wheezing (-) (-)
- Ronki basah (+) (+)
kasar
- Stridor (-) (-)
Pulmo Belakang

Inspeksi
Bentuk dada Normal Normal
Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Warna Sama seperti kulit sekitar Sama seperti kulit sekitar
Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus Kanan = kiri

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
- Wheezing (-) (-)
- Ronki basah (+) (+)
kasar
- Stridor (-) (-)
Tampak pulmo anterior Tampak pulmo posterior

Suara dasar
vesikuler.

8. Abdomen
Inspeksi : permukaan sedikit cembung, warna sama seperti kulit
sekitar
Auskultasi : bising usus (+), peristaltic 15x /menit
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen, pekak sisi (+), pekak
alih (-).
Palpasi : Distensi (-), nyeri tekan epigastrium (-),hepar, lien dan
renal tidak teraba
Ektremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- +/+
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill <2 detik / <2 detik <2 detik / <2 detik
Tremor halus +/+ -/-
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
5/5 5/5
5/5 5/5
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (20 September 2018)
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Darah Rutin (WB EDTA)

1. Lekosit 6.69 10x3/ul 3.8 – 11.0

2. Eritrosit 4.12 10x6/uL 4.4 - 5.9

3. Hemoglobin L 11.60 g/dL 13.2 - 17.3

4. Hematokrit 35.40 % 40 – 52

5. MCV 85.90 fL 80 – 100

6. MCH 28.20 Pg 26 – 34

7. MCHC 32.80 g/dL 32 – 36

8. Trombosit 164 10x3/ul 150 – 440

9. RDW 13.70 % 11.5 - 14.5

10. Eosinoil Absolute 0.13 10x3/ul 0.045 - 0.44

11. Basofil Absolut 0.03 10x3/ul 0 - 0.2

12. Netrofil Absolute 2.25 10x3/ul 1.8 – 8

13. Limfosit Absolute 3.51 10x3/ul 0.9 - 5.2

14. Monosite absolute 0.71 10x3/ul 0.16 – 1

15. Eosinofil L 1.90 % 2–4

16. Basofil 0.40 % 0–1

17. Neutrofil L 33,70 % 50 – 70


18. Limfosit H 52.50 % 25 – 40

19. Monosit H 11.50 % 2–8

Kimia Klinik (Serum) B

No. Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

1. Glukosa Sewaktu 121 mg/dL <125

2. Ureum 25.9 mg/dl 10-50

3. Kreatinin 0,74 mg/dL 0,70-1,10

5. SGOT 32 U/L 0 – 35

6. SGPT 28 U/L 0 – 35

7. Kalium L 3.00 mmol/L 3,5-5,0

8. Natrium 140.2 mmol/L 135-145

9. Klorida 97.8 mmol/L 95,0-105

Sero Imun (Serum) B


No. Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

1. T4 > 320.00 nmol/L 60-120

2. TSH < 0.05 uIU/mL 0.25-5


2. Pemeriksaan EKG (20 September 2018)

 Irama : Atrial fibrilasi


 Frekuensi : 170 x/menit, irreguler
 Axis : Lead 1 defleksi (-), aVF defleksi (+), RAD
 Zona transisi : V4
 Gel P : P fibriler
 Interval PR : tidak dapat dinilai
 Komp. QRS : 0,08s
 Segmen ST : isoelektrik
 Gel T : normal
 Gel U : Tidak terdapat gel U
Kesan : irama atrial fibrilasi, irreguler, frekuensi 170x/menit
3. Pemeriksaan X Foto Thorax PA (20 September 2018)

Cor : CTR >50%, apex cordis bergeser ke latero caudal


Pinggang jantung melandai. Aorta baik.
Pulmo : Corakan bronchovasculer meningkat kasar
Tidak tampak infiltrat pada kedua paru

Diafragma dan Sinus costophrenicus baik


Tulang dan jaringan lunak baik

Kesan :
Cardiomegali (LV)

4. Pemeriksaan USG Abdomen (24 September 2018)

Hepar : Ukuran normal, tepi tajam, permukaan rata, nodul (-), parenkim
homogen, v. Porta dan v. Hepatika tak melebar
Duktus Billiaris : Intra dan ekstra hepatal tak melebar
Vesika fellea : Ukuran normal, tak tampak sludge / batu
Pankreas : Ukuran normal, tak tampak massa / kalsifikasi
Kelenjar para Aorta : tak membesar
Lien : ukuran normal, parenkim homogen, nodul (-), v. Lienalis tak
melebar
Ginjal kanan : ukuran normal, parenkim normal, PCS tak melebar, batu (-)
Ginjal kiri : Ukuran normal, parnkim normal, PCS tak melebar, batu (-)
Vesika urinaria : Dinding tak menebal, batu (-)

KESAN : Sonografi Hepar, Lien, Vesika Felea, Pancreas, kelenjar para


Aorta, Ginjal, Vesika urinaria dalam batas normal
IV. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjung
1. Sesak nafas 18. Tampak sesak 25. Hb : L 11.60
2. Sesak saat istirahat 19. Nadi 170 x/menit, 26. Eosinofil : L 1.90
3. Tidur dengan irreguler 27. Neutrofil : L 33.70
bantal ditumpuk 20. RR : 25 x/menit 28. Limfosit : H 52.50
4. Sering tebangun 21. Kardiomegali 29. Monosit : H 11.50
tiba-tiba ketika 22. Pulmo : auskultasi 30. Kalium : L 3.00
tidur ronkhi basah kasar 31. T4 : > 320.00
5. Nyeri dada 23. Edema pada ektermitas 32. TSH : < 0.05
6. Dada berdebar- inferior 33. EKG: kesan irama atrial
debar 24. Tremor halus fibrilasi, irreguler, frekuensi
7. Pusing ekstremitas atas 170 x/menit
8. Lemas 34. Foto polos Thoraks :
9. Gemetar Kardiomegali
10. Sering berkeringat
11. Cepat lelah
12. BB menurun
13. Sulit tidur
14. Gelisah
15. Riwayat alergi ikan
laut
16. Riwayat sakit
jantung
17. Perokok pasif
V. ANALISIS MASALAH
1. CHF NYHA IV : 1,2,3,4,5,16,17,18, 20,21,22,23,34

2. Hipertiroid : 6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,19,24,31,32

3. Atrial Fibrilasi : 6,19,33

4. Hipokalemia : 6,8,30

VI. RENCANA PEMECAHAN MASALAH


1. CHF NYHA IV
Assesment
A. Etiologi
 Penyakit jantung
B. Faktor Risiko
 Usia
 Riwayat sakit jantung
 Perokok pasif
C. Komplikasi
 Gagal ginjal
 Aritmia
Initial Plan
a. Diagnosis
 Kriteria mayor & minor
 Ureum & Kreatinin
 Profil lipid
 Echocardiogram

b. Terapi
Medikamentosa
 O2 3L/menit
 Infus RL 8 tpm
 Spironolacton 25 mg P.O. 2 x 1
 Cardevilol 6.25 mg P.O. 1 x 1
Non Medikamentosa
 Bed rest semi fowler
c. Monitoring
 Keadaan umum
 Vital sign
 EKG
 Urine Output
d. Edukasi
 Istirahat, kurangi intake cairan
 Diet rendah garam

2. Hipertiroid
Assesment
A. Etiologi
 Kadar tiroksin tinggi
B. Faktor resiko
 Usia > 60 tahun
 Perempuan
C. Komplikasi
 Aritmia
 Atrial Fibrilasi
 Cardiac arrest
Initial Plan
a. Diagnosis:
 T4
 TSH
b. Terapi:
 Propiltiourasil 100 mg 3 dd 2 P.O
c. Monitoring:
 KU, TTV
 T4, TSH
d. Edukasi:
 Menjelaskan kemungkinan komplikasi hipertiroid
 Konsumsi obat sesuai anjuran dokter
3. Atrial Fibrilasi Respon Cepat, Paroksismal

Assesment
A. Etiologi
 Hipertiroid
 Penyakit jantung

B. Faktor Risiko
 Usia > 50 tahun
 Penyakit jantung
 Hipertiroid
C. Komplikasi
 Gagal jantung
 Tromboemboli
 Stroke
Initial Plan
a. Diagnosis
 EKG
 Echocardiografi

b. Terapi
Medikamentosa
 Digoxin 0.25 mg 2 dd 1 P.O
 Warfarin 2 mg tab 2 dd 1 P.O
Initial Plan Monitoring
 Keadaan umum
 Vital sign
 EKG
c. Edukasi
 Memberitahu bahwa akan dilakukan pemeriksaan EKG tiap hari
untuk memantau kondisi jantung.

4. Hipokalemia
Assesment
A. Etiologi
 Penggunaan diuretik
B. Faktor resiko
 Terapi diuretik
 Sering berkeringat
C. Komplikasi
 Cardiac arrest
Initial Plan
a. Diagnosis:
 Kadar kalium serum
b. Terapi:
 KSR 600 mg 3 dd 1 P.O.
c. Monitoring:
 KU, TTV
 Kalium serum
d. Edukasi:
 Menjelaskan untuk memperhatikan intake cairan
 Minum obat sesuai anjuran dokter
VII. PROGRESS NOTE
Tanggal Follow up
22/9/2018 S Sesak berkurang, dada berdebar
O KU: Cukup
Kesadaran compos mentis
TD: 118/62
N: 87x/menit
RR: 21x/menit
Suhu: 36ºC
EKG : atrial fibrilasi respon normal
A CHF NYHA IV, Atrial Fibrilasi
P Terapi lanjut, monitoring KU, TTV,
EKG

23/9/2018 S Sesak makin berkurang, dada


berdebar
O KU: Cukup
Kesadaran compos mentis
TD: 119/60
N: 86x/menit
RR: 20x/menit
Suhu: 36ºC
EKG : sinus aritmia
A CHF NYHA IV, Aritmia
P Terapi lanjut, monitoring KU, TTV,
EKG
26/9/2018 S Keluhan sesak membaik
O KU: Cukup
Kesadaran compos mentis
TD: 110/70
N: 68x/menit
RR: 20x/menit
Suhu: 36ºC
EKG : irama sinus, HR : 68 x/menit
A CHF NYHA IV
P Terapi lanjut, monitoring KU, TTV
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

GAGAL JANTUNG

A. DEFINISI

Heart Failure (HF) atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis
kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan
darah ke tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan
fungsional dari jantung.5HF ditandai oleh manifetasi klinis (sesak nafas dan
fatik) dan gejala (edema dan ronki) yang akan mengakibatkan pasien sering
dirawat di rumah sakit, menyebabkan kuliatas hidup yang buruk dan
harapan hidup yang singkat.3 Beberapa istilah dalam gagal jantung yaitu:

1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel.Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan
fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ;
Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati
dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan
pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan
tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan
orthopnea.Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan
ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder,
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena
jugularis.Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada
miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah
berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas.Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan.Kongesti perifer
sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

B. ETIOLOGI
Gambar 3 Etiologi Gagal Jantung3

Suatu kondisi yang menyebabkan perubahan pada struktur atau


fungsi ventrikel kiri dapat menyebabkan HF.(2) Di negara-negara
industri, Coronary Artery Disease (CAD) atau Penyakit Jantung
Koroner (PJK) menjadi penyebab utama pada pria dan wanita pada 60-
75% kasus HF.(2) Hipertensi menyebabkan HF pada 75% kasus, dan
kebanyakan disertai CAD. CAD dan hipertensi berinteraksi untuk
meningkatkan risiko HF. Pada 20-30% kasus HF dengan ejection
fraction (EF) yang menurun, disebabkan oleh penyabab yang belum
jelas. Infeksi virus sebelumnya atau paparan toksin (misalnya, alkohol
atau kemoterapi) juga dapat menyebabkan kardiomiopati yang luas.

C. PATOFISIOLOGI

Gagal jantung dapat terjadi oleh berbagai sebab, tetapi dua yang
tersering adalah (1) kerusakan otot jantung akibat serangan jantung atau
gangguan sirkulasi ke otot jantung dan (2) pemompaan terus menerus
ke afterload yang meningkat kronik, misalnya pada stenosis katup
semilunar atau peningkatan menetap tekanan darah.4
Defek primer pada gagal jantung adalah berkurangnya
kontraktilitas jantung; yaitu, sel-sel otot jantung yang melemah
berkontraksi kurang efektif. Kemampuan intrinsik jantung untuk
menghasilkan tekanan dan menyemprotkan isi sekuncup berkurang.4
Pada tahap-tahap awal gagal jantung, dua tindakan kompensasi
utama membantu memulihkan isi sekuncup ke normal. Pertama,
aktivitas simpatis ke jantung secara refleks meningkat, yang
meningkatkan kontraktilitas jantung ke arah normal. Namun, stimulasi
simpatis dapat membantu mengompensasi hanya dalam waktu singkat
karena jantung menjadi kurang responsif terhadap norepinefrin setelah
pajanan berkepanjangan, dan selain itu simpanan norepinefrin di ujung
saraf simpatis jantung terkuras. Kedua, ketika curah jantung berkurang,
ginjal dalam suatu upaya kompensatorik untuk memperbaiki aliran
darahnya yang menurun, menahan lebih banyak garam dan air di tubuh
sewaktu pembetukan urin, untuk menambah volume darah.
Meningkatnya volume darah dalam sirkulasi meningkatkan end
diastolik volume.(4) Selain itu juga mengaktifkan sistem RAA(Renin
Angiotensin Aldosteron) yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah perifer, peningkatan rasa haus dan reabsorbsi air ditubulus ginjal
meningkat sehingga oenimbunan cairan meningkat dan kongesti
bertambah.
Seiring dengan perkembangan penyakit dan semakin merosotnya
kontraktilitas, jantung mencapai suatu titik di mana organ ini tidak lagi
dapat memompa keluar isi sekuncup yang normal meskipun dilakukan
tindakan-tindakan kompensasi. Pada tahap ini jantung jatuh pada tahap
gagaj jantung dekompensasi. Forward failure terjadi ketika jantung
gagal memompa darah dalam jumlah yang memadai ke jaringan karena
isi sekuncup semakin berkurang. Backward failure terjadi secara
bersamaan ketika darah yang tidak dapat masuk dan dipompa keluar
oleh jantung terus terbendung di sistem vena. Kongesti disistem vena
adalah penyebab mengapa penyakit ini kadang disebut gagal jantung
kongestif.
Backward failure sisi kiri menyebabkan edema paru (kelebihan
cairan dijaringan paru) karena darah terbendung diparu. Kelebihan
cairan diparu ini mengurangi pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan
darah di paru, menurunkan oksigenasi darah arteri dan meningkatkan
CO2 peningkatan asam di darah.4
Forward failure sisi kiri adalah berkurangnya aliran darah ke
ginjal, yang menimbulkan masalah ganda. Pertama, fungsi ginjal
tertekan dan kedua ginjal semakin menahan garam dan air ditubuh
sewaktu pembentukan urin dalam meningkatkan volume plasm. Retensi
cairan berlebih semakin memperparah masalah kongesti vena yang
sudah ada.4

D. MANIFESTASI KLINIK

Gejala utama dari HF adalah kelelahan dan sesak bernafas.


Walaupum kelelahan merupakan gejala yang dasar pada HF, namun ada
kemungkinan kelelahan disebabkan oleh kelainan otot skeletal atau
komorbiditas noncardiac lainnya (misalnya, anemia). Pada tahap awal
dari HF, dispnea hanya selama beraktivitas. Namun, seiringnya
berlangsung penyakit, dispnea bahkan pada saat istirahat. Mekanisme
yang paling penting dari dispnea adalah kongesti paru dengan
akumulasi cairan interstitial alveolar atau intraalveolar. Gejala-gejala
dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan
sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit3
E. DIAGNOSIS
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis CHF.
Kriteria Mayor Kriteria Minor
 Paroksismal nokturnal  Edema eksremitas
dispnea  Batuk malam hari
 Distensi vena leher  Dispnea d’effort
 Ronki paru  Hepatomegali
 Kardiomegali  Efusi pleura
 Edema paru akut  Penurunan kapasitas vital 1/3
 Gallop S3 dari normal
 Peninggian tekana vena  Takikardi(>120/menit)
jugularis
 Refluks hepatojugular
Mayor atau minor
Penurunan BB>4,5kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA),
merupakan pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung
kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain:8
 NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam
kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung
seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila
melakukan kegiatan biasa.
 NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi
kegiatan fisik yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri
dada.
 NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih
banyak dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu
istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa
sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang
tersebut di atas.
 NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik
apapun tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka
melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

Diagnosis pada penyakit jantung dibagi menjadi 4 yaitu diagnsosi


fisilogis, fungsional, anatomi dan etilogi. Seperti contoh sebagai berikut :
1. Diagnosis fisilogis : CHF
2. Diagnosis fungsional : NYHA kelas IV
3. Diagnosis anatomi : LVH, RVH
4. Diagnosis etiologi : PJK dan Hipertensi
E. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi


penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.10

A. Non Farmakalogi
Anjuran umum :
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti
biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa
dilakukan.

Tindakan Umum :
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan
dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung
berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
 Hentikan rokok
 Hentikan alkohol pada kardiomiopati
 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30
menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-
80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

B. Farmakologi
Berdasarkan patofisiolgis yang telah diuraikan, konsep terapi farmakologis
saat ini ditujukan terutama pada:10

1. Menurunkan preload

29
 Diuretik
Diuretik merupakan pengobatan standart untuk gagal jantung kongestif.
Diuretik yang digunakan ialah tiazid, furosemid, spironolakton. Hydro-
Chloro Thiazide (HCT) dan spironolakton dianjurkan terutama pada CHF
NYHA class II. Apabila kondisi memburuk baru diberikan furosemid.
HCT, harganya murah, tetapi menyebabkan hipokalemi dan
hipomagnesia. Dosis kecil yaitu 12,5 mg/hari atau dengan substansi kalium
dapat mengurangi efek samping
Spironolakton, tidak menyebabkan hipokalemi, akan tetapi obat ini
merupakan antagonis aldosteron. Dosis spironolakton dianjurkan tidak
melebihi 25 mg karena dapat menyebabkan hiperkalemia, apalagi bila
dikombinasikan dengan ACE-inhibitor
Furosemid, merupakan loop diuretik yang kuat, mula kerja untuk
diuresis sudah tampak dalam 30 menit. Obat ini aman untuk gagal ginjal.
Pemberian furosemid yang lama akan menyebabkan resistensi furosemid.
Oleh karena itu, perlu diberikan ACE-inhibitor untuk mencegah efek
samping furosemid seperti hipokalemia dan hipomagnesia karena
menurunkan konsentrasi plasma aldosteron. Dosis furosemid untuk CHF
ringan-sedang yaitu 20-40 mg per hari sedangkan untuk CHF berat
membutuhkan 40-80 mg per hari.10
 Nitrat
Pemberian nitrat berguna untuk penderita CHF yang juga memiliki riwayat
CAD. Venodilatasi yang ditimbulkan nitrat menurunkan preload sehingga
menurunkan ukuran ruang atrium kanan dan atrium kiri serta tekanan akhir
diastolik, dengan demikian meningkatkan perfusi miokard. Nitrat dapat
diberikan per-oral, intra-vena, sublingual dan topikal. Dosis ISDN
sublingual yaitu 2,5-5 mg (sesuai kebutuhan) sedangkan untuk oral 10-60
mg (3-4x/hari).

2. Meningkatkan kontraktilitas jantung

30
Sebagian besar simpatomimetik memiliki efek inotropik positif seperti
adrenaln, dobutamin, atau efedrin. Namun obat-obat ini tidak dianjurkan
untuk gagal jantung karena meraka juga meningkatkan laju jantung atau
kronotropik positif sehingga akan memperparah kondisi penyakit
 Digitalis (digoksin)
Digitalis memiliki efek inotropik positif dan kronotropik negatif.
Dengan menurunkan laju jantung, obat ini memberikan kesempatan ventrikl
kiri untuk mengadakan relaksasi dan pengisian darah yang efektif .
Digoksin adalah rapid-acting digitalis yang dapat diberikan secara
oral dan intravena. Mekanisme kerja digoksi yang pertama yaitu
menghambat aktivasi sodium pum yang memperlambat fase repolarisasi
sehingga menyebabkan fase depolarisasi lebih lama dengan demikian lebih
banyak Ca++ yang masu ke dalam sel sehingga kontraktilitas miokard
meningkat. Mekanisme yang kedua adalah meningkatkan tonus vagus
(parasimpatis) sehingga menurunkan laju jantung. Dosis diberikan dengan
dua langkah yaitu dosis muat dan dosis pemeliharaan. Dosis muat yaitu 3
kali 1 tablet (0,25 mg) per hari selama tiga hari untuk orang dewasa
kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan adalah 0,25 mg/hari untuk
umur dibawah 70 tahun dan 0,125 mg/hari untuk umur diatas 70 tahun.10
 Beta-Blocker
Beta-Blocker terbukti dapat meningkatkan Ejection Fraction,
memperbaiki gejala dan menurunkan angka kematian pasien gagl jantung
adalah metaprolol, bisoprolol, dan carvedilol. “Start low, go slow” adalah
cara pemberian Beta-Blocker untuk pasien gagal jantung; semua pasien
harus pada posisi relatif stabil atau sudah tidak sesak, tidak edema atau
ascites. Start low artinya mulai dengan dosis awal sangat rendah yaitu 1/8 –
1/10 dosis target misalnya dosis target bisoprolol 5 mg/hari maka mulai
dengan1/8 tabler/hari.Go slow artinya dosis dinaikan pelan-pelan apabila
keadaan pasiem mebaik maka setiap 102 minggu dosis ditingkatkan 1/8
tablet sampai mencapai dosis target.10
 Isoniazide (INH)
31
Potassium channel blocker 4-aminopridin memperpanjang fase
depolarisasi sehingga meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan otot
polos vaskular. Terbukti bahwa INH menyebabkan inotropik positif .

3. Menurunkan afterload
 Angiotensin converting enzyme (ACE)-inhibitors
Efek langsung obat ini yaitu mencegah terjadinya remodeling dan
meghambat perluasan kerusakan miokard. Selain itu obat ini juga memiliki
efek menurunkan afterload, menurunkan aktivitas saraf simpatis,
menurunkan sekresi aldosteron dan menurunkan sekresi vasopresin.
Penderita CHF yang juga hipertensi adalah golongan penderita yang aman
untuk menerima ACE-inhibitors. Biasanya pengobatan dimulai dengan yang
short acting seperti kaptopril yaitu 3 kali 6,25 mg atau 12,5 mg per hari,
kemudian dosis dinaikan secara bertahap.
 Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ACE-inhibitors tidak mampu menghambat sebgaian besar produksi
Angiotensin II, jadi dengan memblokade AT-1 reseptor, ARB diharapkan
dapat menghambat sebagian besar efek negatif dari sistem RAA.
Penggunaan ARB dianjurkan pada pasien CHF yang kontraindikasi
terhadap ACE-inhibitors. Kombinasi ARB dan Ace-inhibitors juga
dilaporkan memiliki efek sinergis dalam mempengaruhi hemodinamik,
remodelling dan profil neurohormon.
 Calcium Channel Blockers (CCB)
CCB dihidropiridin merupakan vasodilatator kuat sehingga
biasanya diberikan pada pasien CHF grade II yang tidak takhikardi. CCB
yang long acting seperti amplodipin dan nifedipin lebih baik karena tidak
mempresipitasi efek takhikardi
4. Mencegah remmodeling
Obat yang memiliki efek remodeling seperti ACE-inhibitors dan ARB
bermanfaat untuk menghambat progrsivitas gagal jantung. Namun dosis
yang diberikan harus maksimal. Sebenarnya hampir semua obat
32
antihipertensi mencegah remodeling termasuk CCB, Beta-Blockers dan
diuretik
5. Intervensi khusus
 Implantable Cardioverter Defibrillators (ICD)
Pasien gagal jantung kronis yang simptomatis memilki insidens
mati mendadak yang tinggi akibat ventrivular tachycardia (VT).
Pemasangan ICD menurunkan mortalitas pada pasien gagal jantung stadium
D.
 Revaskularisasi melalui PTCA atau cABG’s
PJK masih merupakan penyebab utama gagal jantung. Apabila
pada angiografi ditemukan lesi yang cocok, maa PTCA atau cABG’s akan
memperbaiki simptom dan menghambat progresivitas.10

33
34
HIPERTIROID
Hipertiroid adalah suatu gangguan dimana kelenjar tiroid memproduksi
lebih banyak hormon tiroid yang dibutuhkan oleh tubuh. Kadang-kadang disebut
juga tirotoksikosis. 1 persen populasi di Amerika memiliki resiko untuk menderita
hipertiroid. Wanita lebih banyak mengalami kejadian ini dibandingkan dengan
pria5.
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidsme.
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidsme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh
kelenjar tiroid yang hiperkatif. Apapun sebabnya manifestasi kliniknya sama,
karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T4-inti yang makin penuh6.

ETIOLOGI HIPERTIROID
Beberapa penyebab terjadinya hipertiroid adalah7,8 :

1. Penyakit Grave
Pada penyakit grave sistem imun membuat antibodi yang disebut thyroid
stimulating immunoglobulin (TSI), dimana memiliki struktur yang hampir
sama dengan TSH dan menyebabkan peningkatan hormon tiroid yang
lebih banyak dalam tubuh.

2. Nodul Tiroid
Nodul tiroid yang dikenal juga sebagai adenoma adalah benjolan yang
terdapat pada tiroid. Nodul tiroid umumnya bukan suatu keganasan. 3 -7%
populasi memiliki resiko terjadinya nodul tiroid. Nodul dapat menjadi
hipereaktif dan menghasilkan banyak hormon tiroid. Suatu nodul yang
hiperaktif disebut adenoma toksik dan apabila melibatkan banyak nodul
yang mengalami hiperaktif disebut sebagai goiter multinodular toksik.
Meskipun jarang ditemukan pada orang dewasa goiter multinodular toksik
dapat memproduksi lebih banyak hormon tiroid.

35
3. Tiroiditis
Beberapa jenis tiroiditis dapat menyebabkan hipertiroidisme. Tiroiditis
tidak menyebabkan tiroid untuk menghasilkan hormon berlebihan.
Sebaliknya, hal itu menyebabkan hormon tiroid yang disimpan, bocor
keluar dari kelenjar yang meradang dan meningkatkan kadar hormon
dalam darah.
a. Tiroiditis subakut
Kondisi ini berkembang akibat adanya inflamasi pada kelenjar tiroid
yang dapat diakibatkan dari infeksi virus atau bakteri.
b. Tiroiditis postpartum
Tiroiditis post partum diyakini kondisi autoimun dan menyebabkan
hipertiroidisme yang biasanya berlangsung selama 1 sampai 2 bulan.
Kondisi ini akan terulang kembali dengan kehamilan berikutnya.
c. Tiroiditis “silent”
Jenis tiroiditis disebut "silent" karena tidak menimbulkan rasa sakit,
seperti tiroiditis post partum, meskipun tiroid dapat membesar. Seperti
tiroiditis post partum, tiroiditis “silent” mungkin suatukondisi
autoimun.

4. Penggunaan Yodium
Kelenjar tiroid menggunakan yodium untuk membuat hormon tiroid,
sehingga jumlah yodium yang dikonsumsi berpengaruh pada jumlah
hormon tiroid yang dihasilkan. Pada beberapa orang, mengkonsumsi
sejumlah besar yodium dapat menyebabkan tiroid untuk membuat hormon
tiroid berlebihan. Kadang-kadang jumlah yodiumyang berlebihan
terkandung dalam obat - seperti amiodarone, yang digunakan untuk
mengobati masalah jantung. Beberapa obat batuk juga mengandung
banyak yodium.
5. Medikasi berlebihan dengan hormon tiroid
Beberapa orang yang menderita hipotiroid akan mengkonsumsi hormon
tiroid lebih banyak, yang terkadang akan menyebabkan kelebihan hormon
36
tiroid dalam tubuh. Selain itu, beberapa obat juga dapat meningkatkan
sekresi hormon tiroid. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obat haruslah
dengan konsultasi pada tenaga kesehatan.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves2


Sistem Gejala dan Tanda Sistem Gejala dan
Tanda
Umum Tak tahan hawa Psikis dan saraf Labil. Iritabel,
panas, tremor, psikosis,
hiperkinesis, nervositas,
capek, BB turun, paralisis periodik
tumbuh cepat, dispneu
toleransi obat,
youth fullness
Gastrointestinal Hiferdefekasi, Jantung hipertensi, aritmia,
lapar, makan palpitasi, gagal
banyak, haus, jantung
muntah, disfagia,
splenomegali
Muskular Rasa lemah Darah dan Limfositosis,
limfatik anemia,
splenomegali,
leher membesar
Genitourinaria Oligomenorea, Skelet Osteoporosis,
amenorea, libido epifisis cepat
turun, infertil, menutup dan nyeri
ginekomastia tulang
Kulit Rambut rontok,

37
berkeringat, kulit
basah, silky hair
dan onikolisis

Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan5 :


Optalmopati (50%) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus menurun,
ulkus korne
Dermopati (0,5-4%)
Akropaki (1%)

PEMERIKSAAN PENUNJANG5
- Laboratorium : TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit
(bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
- Sidik Tiroid/thyroid scan : terutama membedakan penyakit Plummer dari
penyakit Graves dengan komponen nodosa
- EKG
- Foto torak
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema
dibawah ini :

38
DIAGNOSIS
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk ini
telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengen pemeriksaan penunjang
untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi6.

39
40
Untuk fungsi tiroid diperiksa kadar hormon beredar TT4, TT3 (T-total) (dalam
keadaan tertentu sebaiknya fT4 dan fT3 dan TSH, ekskresi yodium urin, kadar
tiroglobulin, uji tangkap, sintigrafi dan kadang dibutuhkan pula FNA (fine needle
aspiration biopsy), antibodi tiroid (ATPO-Ab, Atg-Ab), TSI. Tidak semua
diperlukan6,8.
Untuk fase awal penentuan diagnosis, perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada
pemantauan cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal
keadaan membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh
hormon tiroid sehingga lamban putih (lazy pituitary). Untuk memeriksa mata
disamping klinis digunakan alat eksoftalmeter Herthl. Karena hormon tiroid
berpengaruh terhadap semua sel/organ maka tanda kliniknya ditemukan pada
semua organ kita.

41
Pada kelompok usia lanjut dan tanda tanda tidak sejelas pada usia muda, malahan
dalam beberapa hal sangat berbeda. Perbedaan ini antara lain dalam hal : a). Berat
bedan menurun mencolok (usia muda 20% justru naik) b). Nafsu makan menurun,
mual, muntah dan sakit perut c). Fibrilasi atrium, payah jantung, blok jantung
sering merupakan gejala awal dari occult hyperthyroidism, takiartmia d). Lebih
jarang dijumpai takikardia (40%) e). Eye signs tidak nyata atau tidak ada f)
bukannya gelisah justru apatis (memberi gambaran masked hyperthyroidsm dan
apathetic form)10.

DIAGNOSIS BANDING
- Hipertiroidsme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik,
adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma oavarii,
mutasi reseptor TSH, obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)6
- Tiroroksikosis tanpa hipertiroidsme : tiroiditis subakut, tiroiditis silent,
destruksi tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan
hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)6
- Hipertiroidsime sekunder : adenoma hipofisis yang mensekresi TSH,
sindrom reisistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG,
tirotoksigosis gestasional6

PENATALAKSANAAN
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.2,6
Obat – obatan
a. Obat Antitiroid :
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
42
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis
hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi
iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul
tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi
ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan
perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat
konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan
metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding
PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan
sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan
sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara
klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi
hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150
mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau
2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar
hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg
setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg
perhari. (2)

43
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai
dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40
mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan
metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan
klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal
belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,
Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar
termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan
obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya
dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba
ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau
sebaliknya.

44
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves
adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya.
Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap
dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid
bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti
Tiroid dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat
T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis,
sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai
beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis
yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.

b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat


bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas
melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3
melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol
umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4

45
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta
dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis
awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis,
dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia,
fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase.

c. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic


contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek
menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar
pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada
keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi
iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda
dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan
dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun
jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih
lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan
yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi
didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.

46
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau
respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan
TSH.

Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin


Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara
kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991
melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok
penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin.,
dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan
terapi methimazole.

Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :

Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan,


selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari selama 1 tahun, dan
kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi
methimazole dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH
dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi
kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa
TSH selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul
antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang
pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan
mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen eksogen
(yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan,
yaitu dengan mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk
memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT
untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama
bila digunakan OAT dosis tinggi.

47
Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma
yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid
dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2
minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali
sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan
mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai
seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan
tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli
bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan
penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi
pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.

Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50
tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek
ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi
local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain
disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam
perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik.
Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan
tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi
hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1
tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna
untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid.
Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak
48
mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak
ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah
mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium
radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain
kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium
radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang
berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk
pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini
seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang
kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena
massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.

Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat
diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat
penyekat beta dan / atau OAT.
Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin,
ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.

Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah


hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme.

Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

49
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :

- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen


tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah
dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat
jarang terjadi)
- eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak
(leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum
minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan
kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3
sampai 6 bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup
dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya
hipotiroidisme.

Pengobatan oftalmopati Graves

Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam


menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada
mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk
mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan
menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu,
penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk
mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan
adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan
seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid.
Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti
dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata.

50
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien
yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody
antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis.
Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab kelainan orbita lainnya.

Pengobatan krisis tiroid

Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme


(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat
konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan
plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit
dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

Penyakit Graves Dengan Kehamilan

Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan
hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada
hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status
eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis
terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau
tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita
hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih
sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak
dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping
karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan
hipotiroidisme.

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester
ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang belum
51
diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin
receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan
demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih
memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman.

52
ATRIAL FIBRILASI
A. PENGERTIAN
Atrial fibrilasi (AF) merupakan sustained aritmia yang paling
sering terjadi. AF ditandai dengan adanya aktivasi atrium yang
berantakan, cepat, dan ireguler. Pada EKG ciri FA adalah tiadanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar
(fibrilasi) yang memiliki amplitudo, bentuk dan durasi yang bervariasi.
Ciri-ciri pada gambaran EKG Umum:
1. EKG menunjukan pola interval RR yang iregular
2. Tidak dijumpai gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-
kadang dapat dilihat aktivitas atrium yang iregular pada beberapa
sadapan EKG, paling sering sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatan melebihi 450x/menit

B. ETIOLOGI
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi
menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu
1. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
a. Peningkatan katub jantung
b. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
c. Hipertrofi jantung
d. Kardiomiopati
e. Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor
pulmonary chronic)
f. Tumor intracardiac
2. Proses Infiltratif dan Inflamasi :
a. Pericarditis atau myocarditis
b. Amiloidosis dan sarcoidosis
c. Faktor peningkatan usia
3. Proses Infeksi
53
Demam dan segala macam infeksi
4. Kelainan Endokrin
Hipertiroid, Feokromotisoma
5. Neurogenik
Stroke, Perdarahan Subarachnoid
6. Iskemik Atrium
Infark myocardial
7. Obat-obatan
Alkohol, Kafein
8. Keturunan atau Genetik

C. KLASIFIKASI
1. Waktu presentasi & Durasi
a. FA yang pertama kali terdiagnosis: Jenis ini berlaku untuk pasien
yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis, tanpa
memandang durasi atau berat ringanya gejala yang muncul
b. FA Paroksismal: FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48
jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari
c. FA Persisten: FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari
atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik
d. FA Persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang
bertahan hingga > 1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan
diterapkan.
e. FA Permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen
oleh dokter sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan
lagi. Apabila strategi terkendali irama masih digunakan maka FA
masuk ke kategori FA persisten lama.

54
2. Kategori FA tambahan menurut ciri-ciri pasien:
a. FA sorangan: FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas
anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia dibawah 60
tahun
b. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup jantung protease atau operasi perbaikan katup mitral.
c. FA Sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi
pemicu FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru
akut lainnya. FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup
disebuat FA valvular.
3. Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (Interval RR) :
a. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel > 100x/menit
b. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit

55
c. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit
D. PATOFISIOLOGI FIBRILASI ATRIUM (FA)
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu
proses aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi
fokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi
berulang. Pada proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga
berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius.
Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang dapat
mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi
yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA). Sedangkan multiple wavelet
reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan melibatkan
sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang
mempengaruhi depolarisasi.

Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau


wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas
aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet
reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu
periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal
ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan
disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan
sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta
mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.

56
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir
>50% episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation).
Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
a. Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan
genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
a) Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
b) Presinkop atau sinkop
c) Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme
sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali
terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Hemodinamik dapat stabil atau tidak stabil
b. Denyut nadi tidak teratur
c. Denyut nadi dapat lambat, jika disertai dengan kelainan irama block

57
d. Jika hemodinamik tidak stabil dengan denyut yang cepat sebagai
kompensasi, maka terdapat tanda2 hipoperfusi (akral dingin, pucat)
3. Kriteria diagnostik
a. Anamnesis
b. EKG :
1) Laju ventrikel bersifat ireguler
2) tidak terdapat gelombang P yang jelas
3) Gel P digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti
oleh kompleks QRS yang ireguler pula.
4) secara umum: Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit,
tetapi jarang melebihi 160-170x/menit.
5) Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)
setelah siklus interval RR panjang-pendek (fenomena Ashman)
6) Preeksitasi
7) Hipertrofi ventrikel kiri
8) Blok berkas cabang
9) Tanda infark akut/lama
c. Foto torax :
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang
dapat ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim
atau vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).
F. Tatalaksana
1. Kondisi Akut :
a. Untuk Hemodinamik tidak stabil :
Kardioversi elektrik : Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan untuk
identifikasi adanya trombus di ruangruang jantung. Bila trombus tidak
terlihat dengan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, maka
ekokardiografi transesofagus harus dikerjakan apabila FA diperkirakan
berlangsung >48 jam sebelum dilakukan tindakan kardioversi. Apabila
tidak memungkinkan dilakukan ekokardiografi transesofagus, dapat
diberikan terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran) selama 3 minggu
58
sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu
pascakardioversi. (target INR 2-3 apabila menggunakan AVK).
b. Untuk laju denyut ventrikel dalam keadaan stabil
1) Diltiazem 0,25 mg/kgBB bolus iv dalam 10 menit, dilanjutkan 0,35
mg/kgBB iv
2) Metoprolol 2,5-5 mg iv bolus dalam 2 menitsampai 3 kali dosis.
3) Amiodaron 5 mg/kgBB dalam satu jampertama, dilanjutkan 1 mg/ menit
dalam 6jam, kemudian 0,5 mg/ menit dalam 18 jamvia vena besar
4) Verapamil 0,075- 0,15 mg/kgBB dalam 2menit
5) Digoksin 0,25 mg iv setiap 2 jam sampai 1,5mg
2. Kondisi stabil jangka panjang untuk kendali laju :
 Metoprolol 2x50-100 mg po
 Bisoprolol 1x5-10 mg po
 Atenolol 1x25-100 mg po
 Propanolol 3x10-40 mg po
 Carvedilol 2x3,125-25 mg po
 CCB: Verapamil 2x40 sampai 1x240 mg po (lepas lambat)
 Digoksin 1x0,125-0,5 mg po
 Amiodaron 1x100-200 mg po
 Diltiazem 3x30 sampai 1x200 mg po (lepas lambat)
3. Pemberian obat pencegah stroke

59
60
Pencegahan Stroke menggunakan antikoagulan:

61
4. Secara umum, AFR direkomendasikan pada pasien FA :
a. Masih simtomatik meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa
optimal
b. Pasien yang tidak dapat menerima medikamentosa oral karena kondisi
alergi obat ataupun penyakit penyerta lainnya yang menjadi
kontraindikasi terapi oral
c. Pasien memilih strategi kendali irama karena menolak mengonsumsi obat
antiaritmia seumur hidup.
d. FA simtomatik yang refrakter atau intoleran dengan ≥1 obat antiaritmia
golongan 3.
5. Ablasi dan modifikasi Nodus AV (NAV) + PPM Adalah ablasi AV node
dan pemasangan pacu jantung permanen merupakan terapi yang efektif
untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien FA. Ablasi NAV adalah
prosedur yang ireversibel sehingga hanya dilakukan pada pasien dimana
kombinasi terapi gagal mengontrol denyut atau strategi kendali irama

62
dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak berhasil dilakukan. Pemasangan
Sumbatan Aurikular Atrium Kiri (LAA Occluder)
6. Pada pasien AF permanent yang tidak dapat dilakukan ablasi dengan
pertimbangan struktur atrium kiri yang terlalu dilatasi Atau alternatif
terhadap antikoagulan oral bagi pasien FA dengan risiko tinggi stroke
tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral jangka lama. Dinilai
dari perhitungan skor perdarahan.

63
DAFTAR PUSTAKA

1.
Kabo, P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. 1st
ed. Indonesia: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2010.p.181
2.
Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik. In: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Indonesia: Interna
Publishing: 2009.p.1596.
3.
Mann, D. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Loscalzo, J. Harrison’s
Cardiovascular Medicine. United States: The McGraw Hill Companies:
2010.p.178
4.
Sherwood, L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. In: Yesdelita, editors. 6th ed.
Indonesia: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2009.p.355
5.
PERKI. Pedoman tatalaksana Atrial Fibrilasi. Jakarta: Perhimpunan dokter
Spesialis kardiovaskular Indonesia. 2014.
6.
ACCF/AHA. Management of Patients With Atrial Fibrillation. American:
American College of Cardiology Foundation and American Heart Association.
2011.

64

You might also like