Professional Documents
Culture Documents
ISBN 978-602-70083-4-2
ABSTRACT: Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh rasio keuangan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi, dan Rasio Keserasian Belanja. IPM
digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai kinerja pemerintah daerah provinsi dalam hal penyediaan
layanan publik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintah Provinsi di Indonesi dan data yang
digunakan adalah data keuangan Pemerintah Provinsi tahun 2013, 2014, dan 2015 yang kemudian dianalisis
menggunakan regresi berganda. Hasil penelitian ini adalah Rasio Derajat Desentralisasi dan Rasio
Keserasian Belanja memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia, sementara
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia.
KEYWORDS : Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio Keserasian
Belanja, Indeks Pembangunan Manusia
I. PENDAHULUAN
Menurut Badan Pusat Statisitik Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjelaskan
bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan,
pendidikan, dan sebagainya. Pada tahun 1990 United Nations Development Programme (UNDP)
memperkenalkan IPM ini dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human
Development Reports (HDR).
Dalam katalog Biro Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia merupakan
indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia
(masyarakat/penduduk) dan IPM dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu
wilayah/negara. Hal ini mengindikasikan bahwa IPM digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja
pembangunan manusia di suatu wilayah melalui penyediaan layanan publik yang baik. Dengan
layanan publik yang baik diharapkan dapat meningkatkan aspek kehidupan bermasyarakat.
Peningkatan aspek kehidupan masyarakat dalam hal ini digambarkan dengan meningkatnya Indeks
Pembangunan Manusia.
IPM merupakan salah satu tolak ukur yang dapat digunakan dalam mengukur kinerja
pemerintah daerah. Sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah adalah suatu sistem yang
bertujuan untuk membantu pimpinan menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur financial
maupun nonfinansial (Ihyaul Ulum, 2012). Sementara itu, menurut Halim (2004), kinerja keuangan
daerah atau kemampuan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat
kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Era otonomi daerah dimulai dengan diimplementasikannya UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 disebutkan bahwa otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan otonomi daerah yang dimilikinya, daerah baik pemerintah provinsi maupun
kota/kabupaten memiliki kewenangan yang lebih luas dalam mengelola daerahnya. Daerah harus
menjadi lebih mandiri sehingga mampu mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat.
Hal ini diindikasikan dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu salah satu
perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 32
tahun 2004 definisi dari desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, setiap provinsi mengemban tanggung jawab untuk
menjadi lebih mandiri dalam mengelola dan meningkatkan kinerja keuangan pemerintahnya yang
pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan kepada pemerintah pusat bahkan masyarakatnya sendiri.
Pada era otonomi daerah, terjadi pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan tugas daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan cerminan dari program-program yang akan dilaksanakan
oleh pemerintah daerah selama periode tertentu. APBD dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan.
Dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah di era otonomi daerah yaitu terkait dengan
pengelolaan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), perlu ditetapkan standar atau acuan
kapan suatu daerah dikatakan mandiri, efektif, efisien, dan akuntabel. Untuk itu diperlukan suatu
pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan
keuangan pada tahun anggaran selanjutnya. Bentuk dari penilaian kinerja tersebut berupa rasio
keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan
APBD.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh rasio keuangan pemerintah daerah terhadap
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pemerintah provinsi di Indonesia, dimana rasio keuangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah dan Rasio Keserasian Belanja. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun
2013 – 2015 yang diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Biro Pusat Statistik dengan
cakupan sampel seluruh pemerintah provinsi di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 184, bahwa Kepala Daerah menyampaikan rancangan
Perda tentang pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan yang telah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Dimana Laporan keuangan pemerintah daerah tersebut terdiri dari: neraca, laporan realisasi anggaran,
laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan.
2.1.3 Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu
manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur financial maupun nonfinansial
(Ihyaul Ulum, 2012). Sementara itu, menurut Halim (2004) kinerja keuangan daerah atau
kemampuan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan
daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Bentuk dari penilaian kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur
Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD. Didalam penilaian indikator
kinerja sekurang-kurangnya ada empat tolak ukur penilaian kinerja keuangan pemerintah daerah yaitu
:
1. Penyimpangan antara realisasi anggaran dengan target yang ditetapkan dalam APBD
2. Efisiensi Biaya
3. Efektivitas Program
4. Pemerataan dan Keadilan
Menurut Mahmudi (2016) terdapat beberapa analisis rasio didalam pengukuran kinerja
keuangan daerah yang dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah
sebagai berikut :
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan. Dengan kata lain, rasio kemandirian keuangan daerah
menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap sumber pendanaan yang berasal dari
pihak eksternal.
Rasio Kemandirian dihitung dengan cara perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah dengan
Bantuan Pemerintah Pusat atau Propinsi dan Pinjaman.
Semakin tinggi angka rasio Kemandirian Keuangan Daerah berarti ketergantungan pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat semakin rendah, demikian pula sebaliknya (Mahumudi, 2016).
b. Rasio Derajat Desentralisasi
Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah
dengan total pendapatan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total
penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi.
Derajat Desentralisasi = Pendapatan Asli Daerah
Total Pendapatan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan. Dengan kata lain, rasio kemandirian keuangan daerah
menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap sumber pendanaan yang berasal dari pihak
eksternal. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dihitung dengan cara perbandingan antara
Pendapatan Asli Daerah dengan Bantuan Pemerintah Pusat atau Propinsi dan Pinjaman.
Amalia dan Purbadharmaja (2014) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa rasio
kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi dan Sutrisna (2014) juga
mengemukakan hasil bahwa rasio kemandirian keuangan daerah memiliki pengaruh
signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Namun, disisi lain,
penelitian yang dilakukan Anggraini dan Sutaryo (2014)
menunjukkan hasil yang berbeda, bahwa rasio kemandirian keuangan
daerah memiliki pengaruh negatif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Karena ada kontradiksi antara penelitian sebelumnya, maka peneliti ingin kembali menguji hubungan
tersebut sehingga peneliti merumuskan hipotesis seperti berikut ini.
Rasio keserasian belanja menggambarkan kemampuan dalam mengalokasikan belanja daerah antara
belanja langsung dan belanja tidak lagsung. Klasifikasi belanja ke dalam belanja langsung dan tidak
langsung merupakan klasifikasi berdasarkan aktifitas. Belanja langsung adalah belanja yang terkait
langsung dengan kegiatan sementara belanja tidak langsung merupakan pengeluaran belanja yang
tidak terkait dengan pelaksanaan kegiatan secara langsung sehingga seharusnya belanja langsung
harus lebih besar daripada belanja tidak langsung, sebab belanja langsung sangat mempengaruhi
kualitas keluaran suatu kegiatan.
Dalam hal ini, peneliti ingin menguji hubungan tersebut sehingga peneliti merumuskan hipotesis
seperti berikut ini.
H3: Rasio keserasian b e l a n j a berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan
Manusia (IPM)
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian, populasi dan sampel
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder dimana data bersumber dari data asli yang sudah ada dan peneliti hanya
mengolah data yang sudah ada untuk mendapatkan hasil dari variabel yang terkait.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemerintah provinsi di Indonesia yang
berjumlah 34 provinsi dan memiliki data keuangan tahun 2013-2015, yang diambil dari website Biro
Pusat Statistik. Teknik dalam pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik pengumpulan data
secara Purposive Sampling. yaitu teknik Sampling yang didasarkan dengan pertimbangan tertentu di
dalam pengambilan sampelnya melalui penetapan kriteria-kriteria yang dianggap mewakili populasi.
Kriteria yang digunakan sebagai berikut, Pemerintah Provinsi yang telah menyajikan laporan realisasi
APBD tahun 2013, 2014 dan 2015 dan Pemerintah Provinsi yang memiliki Indeks Pembangunan
Manusia yang telah dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik. Berdasarkan tekhnik pengambilan
sampel tersebut terdapat 101 sampel yang digunakan dalam penelitian ini.
3.2 Operasionalisasi Variabel
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Variabel Independen dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) rasio keuangan, yaitu
Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, dan Rasio Keserasian Belanja
Analisis data pada penelitian ini menggunakan model regresi berganda sebagai
berikut.
Y= + + + +e
Keterangan:
INSERT TABEL 1
Berdasarkan statistik deskripsi pada tabel 1, besarnya sampel pada penelitian ini adalah 101
sampel. Rata-rata rasio kemandirian keuangan provinsi diperoleh sebesar 0,9561070, rata-rata rasio
derajat desentralisasi adalah 0,3960751. Rata-rata rasio keserasian belanja diperoleh 0.4607560.
Sementara itu rata-rata IPM adalah 67,9611
4.2 Uji Asumsi Klasik
INSERT TABEL 2
Pengujian normalitas dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov seperti terlihat pada tabel 2
menunjukkan nilai Asymp. Sig 2 (tailed) yang signifikan yaitu 0.200. Nilai ini menunjukkan bahwa
angka tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi 0.05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
data yang digunakan dalam penelitian ini telah terdistribusi normal.
4.2.2 Uji Multikolinieritas
INSERT TABEL 3
Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai tolerance (0.199, 0.246, 0.622) untuk semua
variabel menunjukkan angka lebih besar dari 0.1. Demikian juga dengan nilai VIF (5.017, 4.065,
1.608) untuk semua variabel menunjukkan angka yang lebih kecil dari 10. Dari hasil pengujian
multikolinearitas dapat diketahui tidak terjadi gejala multikolinearitas pada model regresi yang
digunakan.
4.2.3 Uji Autokorelasi
INSERT TABEL 4
Hasil uji autokorelasi pada tabel 4, nilai Durbin Watson adalah 2.112. Dan dengan α = 5% ,
n = 101 serta variabel independen (k) = 3 maka dl = 1.6153 and du = 1.7374 sehingga (4 – 1.7648 =
2.2316) > 2.112 . Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah autokorelasi pada model regresi.
INSERT TABEL 5
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi variance
dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Hasil uji heteroskedastisitas seperti pada
tabel 5 menunjukkan bahwa nilai dari absolute unstandardized residual sebesar 0.064. Nilai ini lebih
besar dari nilai signifikasinya sebesar 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini tidak
terkena gejala heteroskedastisitas.
4.3 Uji Model Regresi (Goodness of Fit)
INSERT TABEL 6
Nilai R Square dari hasil uji model regresi sebesar 0.562 seperti terlihat pada tabel 6. Ini
menggambarkan bahwa variabel independen yang terdapat dalam penelitian ini mampu
menggambarkan 56 % dari variabel dependennya. Sementara sisanya yaitu 44% digambarkan oleh
variabel independen yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
4.3.2.Uji Statistik F
INSERT TABEL 7
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai signifikan dari uji statistik F adalah 0.00. Nilai
signifikan dari uji statistik F tersebut menunjukkan angka < 0.05. Dari hasil ini menunjukkan bahwa
data secara keseluruhan layak untuk diteliti dan model regresi fit untuk diteliti.
4.4 Uji Koefisien Regresi
INSERT TABEL 8
Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa rasio kemandirian memiliki signifikansi sebesar 0.044
(<0.05) dengan nilai t negatif 2.038. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rasio
kemandirian keuangan daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Sementara itu rasio Derajat Desentralisasi memiliki signifikansi sebesar 0.000 (<0.05) dengan nilai t
positif 7.787. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa rasio Derajat Desentralisasi berpengaruh positif
terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Selanjutnya, rasio keserasian belanja memiliki signifikansi
sebesar 0.000 (<0.05) dengan t positif sebesar 4.693, sehingga dapat disimpulkan bahwa rasio
Keserasian Belanja berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Dari hasil ini, didapat bahwa rasio Derajat Desentralisasi dan rasio Keserasian Belanja
memiliki hasil yang sama dengan yang telah dihipotesiskan sebelumnya bahwa rasio Derajat
Desentralisasi berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan rasio Keserasian
Belanja berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Namun hasil penelitian untuk
Rasio Kemandirian Keuangan menunjukkan hasil yang berbeda dengan yang dihipotesiskan
sebelumnya. Dalam hipotesis disebutkan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh
positif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Hasil ini sama dengan hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Anggraini dan Sutaryo (2014) yang menyimpulkan bahwa Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah berpengaruh negatif terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Rasio kemandirian keuangan daerah dalam penelitian ini dihitung dengan membagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan dana perimbangan dan pembiayaan daerah. Rata- rata Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah adalah 0.95 sehingga bisa diasumsikan bahwa secara umum
kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatannya tanpa ketergantungan dari pusat sudah
baik. Namun demikian PAD yang dimiliki kemungkinan belum digunakan untuk memenuhi
kebutuhan belanja langsung yang memiliki dampak langsung terhadap pemenuhan layanan publik.
Sementara bila dikaitkan dengan rasio keserasian, dapat dilihat bahwa rata-rata belanja langsung
dibandingkan dengan total belanja adalah 0.46, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada umumnya,
pemerintah daerah relatif lebih mengalokasikan belanja pada belanja tidak langsung. Dalam hal ini
seharusnya pemerintah daerah lebih banyak mengalokasikan kepada belanja langsung karena belanja
langsung lebih memiliki dampak terhadap kualitas keluaran suatu kegiatan yang secara langsung juga
akan mempengaruhi layanan publik.
V. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
Indeks Pembangunan Manusia.
2. Rasio Derajat Desentralisasi memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia.
3. Rasio Keserasian Belanja memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia.
5.2 Keterbatasan dan Saran
Penelitian ini memiliki batasan karena yang digunakan adalah data keuangan dari
Pemerintah Provinsi di Indonesia sehingga kemungkinan hasil dari penelitian init tidak bisa
DAFTAR PUSTAKA
Journal Papers:
[1] Amalia, F.R. dan Ida Bagus Putu Purbadharmaja. 2014. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah Dan
Keserasian Alokasi Belanja Terhadap Indeks Pembangunan Manusia. E- Jurnal Ekonomi Pembangunan
Universitas Udayana Vol. 3, No. 6
[2] Anggraini, Tika dan Sutaryo.2014. Pengaruh Rasio Keuangan Pemerintah Daerah terhadap Indeks
Pembangunan Manusia Pemerintah Provinsi di Indonesia. Seminar Nasional Akuntansi.
[3] Dewi, P.A.K dan I Ketut Sutrisna. 2014. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Pertumbuhan
Ekonomi Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Bali. E- Jurnal Ekonomi Pembangunan
Universitas Udayana Vol. 4, No. 1.
[4] Evans, J., & Patton, J., 1987. Signaling and Monitoring in Public Sector Accounting. Journal of
Accounting Research 25 (Supplement), 130–158.
[5] Fadzil, F.H., & Nyoto, H., 2011. Fiscal Decentralization after Implementation of Local Government
Autonomy in Indonesia. World Review of Business Research Vol 1 No, 2 pp 51-70.
[6] Jensen, M., dan Meckling, W. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3: 305-360.
[7] Setyowati, Lilis dan Yohana Kus Suparwati.2012. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK,
PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai
Variabel Intervening (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Jawa Tengah). ISSN,
Volume 9, Nomor 1
[8] Zimmerman, J., 1977. The Municipal Accounting Maze: An Analysis of Political Incentives. Journal of
Accounting Research, 15: 107-14
Books:
[9] Halim, Abdul, dkk. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah dan Sektor Publik. Jakarta : Salemba Empat
[10] Mahmudi, 2016. Manajemen Kinerja Sektor Publik, edisi revisi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
[11] Ulum, Ihyaul. 2012. Audit Sektor Publik. Jakarta : Bumi Aksara
[12] Pemerintah Indonesia.1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta
[13] ________________2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta
[14] _________________. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Jakarta
Websites
[15] Badan Pusat Statistik. 2016. Indeks Pembangunan Manusia.
http://www.bps.go.id/menutab.php?
LAMPIRAN
Insert Tabel 1 : Hasil Uji Descriptive Statistics