You are on page 1of 19

Pertanyaan : Aspek psikoneuroimunologi terhadap depresi?

A. Pengertian Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang menghubungkan
proses-proses psikologi, neural, dan imunologis. Banyak dokter telah memperhatikan
hubungan antara kehilangan yang penting, seperti kematian orang yang dicintai dan
penyakit yang menyusul. Hubungan itu sering terasa sangat hebat bila orang yang
mengalami kehilangan itu tidak dapat mengungkapkan emosi-emosi yang kuat, misalnya
kesedihan yang biasanya terjadi karena orang sendiri mengalami tragedi itu. Hipotesis
bahwa stres yang ditimbulkan kehilangan atau pemisah yang hebat mengganggu sistem
kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan sejumlah penyakit fisik.
Sistem kekebalan memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya benda-
benda asing (yang disebut antigen) dan menonaktifkan atau menghilangkan benda-benda
itu. Sistem kekebalan itu terdiri dari beberapa kelompok sel berbeda yang dinamakan
limfosit-limfosit. Penelitian belakangan telah memberikan suatu pemahaman awal
mengenai bagaimana stres dan faktor-faktor emosional menyebabkan perubahan-
perubahan hormon yang kadang-kadang dapat mengurangi efisiensi dari sistem
kekebalan dan dengan demikian meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
Para ahli psikoneuroimunologi meneliti sekaligus tiga sistem tubuh, sistem saraf,
sistem endokrin, dan sistem kekebalan yang berkomunikasi antara yang satu dengan yang
lainnya melalui sinyal-sinyal kimia yang kompleks. Ada kemungkinan hal ini sedang
diteliti terutama pada orang-orang yang menderita salah satu dari dua kondisi psikologis
yang berat, yakni skizofrenia dan depresi.

B. Sejarah Psikoneuroimunologi
Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan
sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses
modernisasi yang biasanya diikuti oleh poliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup
serta kompetisi antar individu yang makin berat.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku
dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik adalah
hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh.

1
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antar perilaku, kerja
saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong
munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi. Martin (1938) mengemukakan ide
dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu :
a. Status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan,
b. Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma.

Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi
berperan pada modulasi sistem imun. Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan
istilah psikoneuroimunologi : yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak digunakan
pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres terhadap berbagai
patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.

C. Stress dan Stressor


a) Stress
Peradaban membuat kita hidup dalam kondisi stres psikologis dan
fisiologik. Mengacu pada definisi yang dikemukakan pertama kali oleh Hans
Selye tahun 1930: stress adalah kondisi yang merupakan konsekwensi
psikobiologik dari kegagalan organisme hidup untuk merespon secara berhasil
guna setiap ancaman fisik ataupun emosional, baik yang merupakan ancaman
aktual maupun imajinasi, yang berperan sebagai stressor (Berczi &Szentivanyi.
2003).
Stresor untuk organisme kompleks multiseluler seperti manusia,
didefinisikan sebagai stimulus yang oleh otak dianggap ancaman dan
menimbulkan keadaan disforik, serta fisiologis meningkatkan produksi
noradrenalin dan adrenalin untuk mekanisme melawan atau lari. Stresor itu
mencakup rasa nyeri, persepsi ancaman, dan “keterpaksaan” melakukan aktifitas
yang tidak mengikuti ritme fisiologik seperti ritme Sirkadian. Semua stresor ini
dipersepsi oleh otak sebagai kondisi disforik yang menimbulkan kondisi stres dan
mempengaruhi semua fungsi homeostasis mulai dari kardiovaskular sampai

2
fungsi imun. Selanjutnya ditemukan bahwa sitokin sebagai bagian sistem imun
ternyata juga mengendalikan neuron dan sel glia otak (Anderson, 1994).
Berdasarkan peran otak tersebut, psikoneuroimunologi mengemukakan
premise major yaitu otak dan sistem imun merupakan satu kesatuan homeostasis
melalui fungsi psikobiologik (Berczi & Szentivanyi).
Substrat biologik respon stress Respon stress terjadi bila seseorang
menghadapi stimulus yang dianggapnya merupakan ancaman bahaya sebagai
stresor. Karena itu respon stress selalu terjadi dalam tiga etape yaitu:
1. Etape persepsi stresor
2. Etape respon stress
3. Etape persepsi keberhasilan respon

Setiap etape ini mempunyai substrat biologik utama. (Brustolim D, 2006)


1. Etape persepsi stresor
Substrat biologiknya ialah korteks prefrontalis (KPF), nukleus amigdala, dan
hipocampus, serta sistem reward mesolimbik yang terdiri dari area tegmental ventralis
(ATV), nukleus akumben (NAk). Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah GABA
(gamma-aminobutiric acid), hormon katekolamin yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan
noradrenalin (NA), serotonin (5-HT) serta neuropeptida S.
Apabila terjadi stimulus dari luar, maka KPF akan menilai apakah stimulus itu
berbahaya atau tidak dengan menggunakan informasi yang disimpan dalam hipocampus
(memori dari pelajaran atau pengalaman lalu). Bila dinilai berbahaya, maka
neurotransmiter penghambat GABA dihambat, tercetus sinyal ke amigdala yang akan
mencetuskan muatan emosional dari respon stress tergantung penilaian. Bila menakutkan
respon lari, bila memarahkan respon melawan. Keduanya disebut respon melawan atau
lari (fight or flight).
Apapun responnya, terjadi reaksi cascade dimulai peningkatan sekresi serotonin,
diikuti peningkatan sekresi dopamin, yang diikuti lagi oleh peningkatan adrenalin
sehingga terjadi emosi disforik (tidak nyaman). Proses berikutnya adalah etape respon
stress (Diamond M, 2006).

2. Etape respon stress

3
Substrat biologiknya yang telah diketahui ialah sistem lokus Sereleus (LS)-
Noradrenalin (NA), aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang juga disebut
lengkung imun-otak, dan kelenjar pineal yang berkaitan dengan ritme Sirkadian.
Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah A, NA, glucocorticoid dengan cortisol
sebagai hormon stress utama, serta melatonin yang berkaitan dengan ritme Sirkadian.
Etape ini disebut juga Sindroma Adaptasi Umum (SAU) pada fase initial brief
alarm reaction. Etape ini sangat mempengaruhi semua sistem homeostasis yang secara
umum mengalami peningkatan, kecuali sistem imun yang secara umum mengalami
supresi. Peningkatan NA segera diikuti peningkatan A. Terjadi adrenalin rush, yang
memobilisasi semua sistem energi tubuh untuk reaksi melawan atau lari. Adrenalin rush
menyebabkan jumlah free floating DA meningkat. Kita sampai ke point of no return
dimana perilaku melawan atau lari Fungsi otak dalam etape ini mengalami disinhibisi
sehingga perilaku melawan atau lari terjadi secara “otomatis” tanpa pengendalian.
(Diamond M, 2006).

3. Etape keberhasilan respon


Substrat biologiknya ialah KPF, dan sistem reward mesolimbik. Sedangkan
neurotransmiter yang paling berperan ialah DA sebagai neurotransmiter kenikmatan. Bila
perilaku melawan atau lari segera menyelesaikan masalah (hanya terjadi pada tingkat
peradaban pemburupengembara), maka kita masuk ke respon relaksasi. Dalam hal ini DA
terikat pada reseptor DRD2 di NAk, timbul perasaan nyaman, adrenalin dan noradrenalin
menurun, glucocorticoid menurun, semua fungsi homeostasis turun kembali ketingkat
basal (Diamond M, 2006).
Bagaimana bila respon stress akut gagal mengatasi kondisi stress? Artinya kita
selalu dalam kondisi stress akut yang memobilisasi fungsi homeostasis sehingga kita
selalu dalam reaksi melawan atau lari. Tentu saja suatu saat kita akan kehabisan energi
dan terjadi kerusakan pada hampir semua sistem organ yang mengganggu homeostasis.

Beberapa ahli memberikan arti stress sebagai respon fisiologik (badani),


psikologik, dan perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian diri terhadap
tekanan yang bersifat internal (dari dalam tubuh) ataupun eksternal (dari lingkungan).

4
Sementara Hans Selye mengartikan bahwa stress adalah tanggapan tubuh yang bersifat
non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Stress juga diartikan sebagai keadaan
di dalam hidup seseorang yang menyebabkan ketegangan atau dysforia (kesedihan).
Hampir semua orang pernah mengalami stress. Stress merupakan hal yang wajar.
Di suatu sisi, stress dapat mengganggu keseimbangan hidup seseorang, tetapi di sisi lain
stress merupakan salah satu energi yang dapat membantu seseorang untuk mencapai cita-
citanya. Bila seseorang dapat mengelola stress dengan baik, stress justru meningkatkan
vitalitas, optimisme, pandangan hidup yang positif, ketahanan mental dan fisik,
produktivitas dan kreativitas meningkat. Sebaliknya, stress bisa terjadi bila seseorang
tidak dapat merespon stress itu sendiri secara positif. Stress dapat menimbulkan
gangguan fisik dan kejiwaan, misalnya kelelahan, mudah marah, konsentrasi menurun,
depresi, pesismisme, disfungsi ereksi, kecelakaan, produktivitas dan kreativitas menurun.
Dalam kehidupan kita, stress tidak dapat dihindari. Namun, bagi kita yang penting
adalah bagaimana hidup dengan stress tanpa harus menderita distress, dan stress itu
sendiri menjadi energi dalam meningkatkan kualitas hidup.

b) Stressor
Kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressor. Stressor
adalah suatu peristiwa, situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan stress
dan reaksi terhadap stress. Ada beberapa bentuk stressor, antara lain :
1. Stressor Psikologis
Misalnya, krisis, frustasi, konflik, tekanan
2. Stressor Bio-ekologis
Misalnya, suara/ bising yang mengganggu, polusi udara, suhu terlalu
panas/ dingin, ketidakcukupan gizi
Stressor yang berkepanjangan akan mengganggu individu, misalnya
menimbulkan rasa tidak sejahtera atau mengganggu keseimbangan hidup
seseorang, sehingga menimbulkan dampak yang merugikan. Seseorang
mengalami distress kemudian menjadi sakit.

5
Stressor dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni stressor yang
berasal dari faktor lingkungan (environmental factors), faktor organisasi
(organizational factors), dan faktor individu (personal factors).
1. Faktor lingkungan
Selain memengaruhi desain struktur sebuah organisasi,
ketidakpastian lingkungan juga memengaruhi tingkat stres
para karyawan dan organisasi. Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan
ketidakpastian ekonomi, misalnya, ketika kelangsungan pekerjaan
terancam maka seseorang mulai khawatir ekonomi akan memburuk.
2. Faktor organisasi
Banyak faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan
stres. Tekanan untuk menghindari kesalahaan atau menyelesaikan tugas
dalam waktu yang mepet, beban kerja yang berlebihan, atasan yang selalu
menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak menyenangkan
adalah beberapa di antaranya. Hal ini dapat mengelompokkan faktor-
faktor ini menjadi tuntutan tugas, peran, dan antar pribadi.
3. Faktor pribadi
Faktor-faktor pribadi terdiri dari masalah keluarga, masalah
ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri
seseorang.
Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang sangat
mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. berbagai kesulitan dalam
hidup perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan masalah disiplin
dengan anak-anak adalah beberapa contoh masalah hubungan yang
menciptakan stres.
Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak
daripada tiang adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stres bagi
karyawan dan mengganggu konsentrasi kerja karyawan. Studi terhadap
tiga organisasi yang berbeda menunjukkan bahwa gejala-gejala stres yang
dilaporkan sebelum memulai pekerjaan sebagian besar merupakan varians
dari berbagai gejala stres yang dilaporkan sembilan bulan kemudian. Hal

6
ini membawa para peneliti pada kesimpulan bahwa sebagian orang
memiliki kecenderungan kecenderungan inheren untuk mengaksentuasi
aspek-aspek negatif dunia secara umum. Jika kesimpulan ini benar, faktor
individual yang secara signifikan memengaruhi stres adalah sifat dasar
seseorang. Artinya, gejala stres yang diekspresikan pada pekerjaan bisa
jadi sebenarnya berasal dari kepribadian orang itu.
c) Pengendalian Stress
Stress merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi,
proses berpikir dan kondisi seseorang. Gejala stress dapat dilihat dari tiga sisi,
yaitu :
1. Gejala Fisik
o Nafas memburu
o Mulut dan kerongkongan kering
o Tangan lembab
o Merasa panas
o Otot-otot tegang
o Pencernaan terganggu
o Mencret-mencret
o Sembelit
o Letih yang tak beralasan
o Sakit kepala
o Salah urat
o Gelisah
2. Tingkah Laku ( secara umum ) Perasaan :
o Bingung, cemas, dan sedih
o Jengkel
o Salah paham
o Tak berdaya
o Tak mampu berbuat apa-apa
o Gelisah
o Kehilangan semangat

7
Kesulitan dalam :
o Berkonsentrasi
o Berpikir jenih
o Membuat keputusan
Hilangnya :
o Kreativitas
o Gairah dalam penampilan
o Minat terhadap orang lain
3. Gejala-gejala di Tempat Kerja :
o Kepuasan kerja rendah
o Kinerja yang menurun
o Semangat dan energi menurun
o Komunikasi tak lancar
o Pengambilan keputusan yang jelek
o Kreativitas dan inovasi berkurang
o Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif

Ada korelasi langsung antara stress dengan prestasi kerja. Menurut


Higgins, bila karyawan tidak memiliki stress maka tantangan-tantangan kerja
tidak ada dan akibatnya prestasi kerja juga rendah. Makin tinggi stress karena
tantangan kerja yang juga bertambah maka akan mengaibatkan prestasi kerja juga
bertambah, tetapi jika stress sudah maksimal, tantangan kerja jangan ditambah
karena tidak lagi akan dapat meningkatkan prestasi kerja, tetapi malah akan
menurunkan prestasi kerjanya.

D. Sistem Kekebalan Tubuh


Tubuh kita memiliki sistem imun. Sistem imun tersusun dari sel-sel dan jaringan
yang membentuk imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi atau penyakit.
Organisme penyebab penyakit (patogen) dapat masuk ke dalam tubuh dan memasuki
jaringan atau sel-sel dalam tubuh. Patogen juga dapat menghancurkan sistem imun dalam
tubuh kita dan menggandakan diri di dalam tubuh. Patogen juga dapat menghancurkan
jaringan-jaringan dalam tubuh kita dengan melepaskan racun. Jika kekebalan tubuh kita

8
dapat dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita mengalami suatu penyakit. Respon
imun tubuh alamiah terhadap serangan patogen baru akan muncul dalam waktu 24 jam
(Diah Aryulina, 2004).
Sistem imun mencakup sumsum tulang, timus, limpa, dan limfonodus; kelompok
limfosit ditemukan dalam paru dan mukosa saluran cerna; linfosit dalam darah dan limfe;
dan limfosit dan sel plasma yang tersebar luas dalam jaringan ikat di seluruh tubuh.
Fungsi bersama kelompok heterogen sel-sel dan organ ini adalah untuk melindungi
organisme terhadap efek invasi yang berpotensi merusak dari makromolekul eksogen,
apakah mereka memasuki tubuh dalam bentuk itu atau sebagai unsur dari virus, bakteri,
atau protozoa. Hal ini tercapai melalui mekanisme pertahanan seluler dan humoral yang
bersama-sama merupakan respon imun (Jan Tambayong, 1994).
Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari serangan
mikroorganisme. Melalui saluran limfatiknya, sistem imun juga melakukan fungsi
transportasi seperti darah. Sistem imun terdiri dari jutaan sel yang bersirkulasi dan
struktur khusus, seperti nodus limfe yang berlokasi di seluruh tubuh (Patricia Gonce
Morton, 1997).
Sistem imun memiliki beberapa fungsi tubuh, yaitu:
a) Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
b) Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen
tubuh yang telah tua.
c) Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya (Diah Aryulina, 2004).
Defisiensi sistem imun adalah kondisi respons imun defektif, yang mengakibatkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gangguan defisiensi sistem imun dapat
disebabkan oleh obat (seperti kemoterapi sitotoksik), radiasi, dan mikroorganisme,
termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkaitan dengan mekanisme
pertahanan tubuh (Chris Brooker, 2005).

E. Efek Stress terhadap Kekebalan Tubuh


Telah terbukti bahwa stress dapat mengganggu kondisi tubuh, bisa membuat
kesehatan terganggu. Stress memang tidak langsung membuat kondisi tubuh berubah

9
akan tetapi adanya variabel biologis dan psikologis membuat kondisi tubuh berubah dan
akhirnya kesehatan terganggu. Pada tingkat lanjut membuat penyakit berkembang dalam
tubuh.
Secara sederhana stress dapat mengganggu kondisi tubuh karena stress
mempunyai efek domino dalam sistem hormone yang ada dalam tubuh. Dalam hormone
ada sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin menampilkan respon
tubuh terhadap stress. Hormon-hormon stress ini diproduksi oleh kelenjar adrenal
membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi stressor atau ancaman.
Apabila stressor melewati batas bisa mengganggu kondisi tubuh dan
menyebabkan stress. Selama stress tubuh secara terus-menerus memompa hormon-
hormon yang dapat menekan kemampuan sistem kekebalan tubuh yang fungsinya
melindungi tubuh manusia dari berbagai infeksi dan penyakit.
Bila kekebalan tubuh (imun) menurun, berbagai penyakit dan infeksi akan mudah
masuk ke dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan (immune system) merupakan
pertahanan tubuh melawan penyakit. Berjuta sel darah putih yang disebut leukosit adalah
pasukan sistem kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis.
Menurut Kiecolt-Glaser, 1992; Maier, Watkins, dan Fleshner, 1994 sumber-
sumber psikologi dari stress menurunkan kemampuan tubuh manusia untuk
menyesuaikan diri dan secara cepat juga mempengaruhi kesehatan. Stress meningkatkan
resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, mulai dari gangguan pencernaan sampai
penyakit jantung.
Untuk memahami proses yang terjadi kita akan membahas Sindroma
Adaptasi Umum sebagai respon fisiologik stress.

Sindroma Adaptasi Umum (SAU) sebagai respon fisiologik stress


Melalui penelitian selama 10 tahun pada berbagai hewan, Selye pada tahun 1974
mendeskripsikan tiga tingkat adaptasi terhadap stress berkelanjutan (prolonged stres)
yang disebut Sindroma Adaptasi Umum (SAU). Dimulai dengan initial brief alarm
reaction, diikuti periode resistensi berlanjut (prolonged resistance period) dan diakhiri
tingkat terminal kelelahan (terminal stage of exhaustion and death) (Michael, 2005).

10
Riset glucocorticoid menemukan pada initial brief alarm reaction terjadi
peningkatan tajam kadar glucocorticoid darah. Selanjutnya pada periode resistensi
ketajaman peningkatan mulai mendatar, tetapi masih lebih tinggi dari pada kadar basal
glucocortikoid. Dengan berlanjutnya stress, pada suatu titik tiba-tiba kadar glucocorticoid
menurun pada tingkat terminal kelelahan, yang diikuti kematian. Berdasarkan ini,
pengukuran kadar glucocorticoid darah dipakai sebagai metode deteksi tingkat stress
yang dapat membahayakan kehidupan (Elenkov, 2005).
Pert dkk pada tahun 1985 menemukan bahwa neuropeptida dan neuro-transmiter
(yang berperan pada pengendalian emosi) didapatkan pada dinding sel neuron otak dan
dinding sel pengendali sistem imun serta dinding sel berbagai organ endokrin. Temuan
ini mengesankan saling keterkaitan fungsi emosi yang dikendalikan susunan saraf pusat
dengan fungsi imun yang merupakan sistem pertahanan tubuh serta sistem endokrin yang
berkaitan dengan homeostasis (Elenkov, 2005).
Dapat dideduksi bahwa terdapat mekanisme yang mendasari perubahan respon
imun yang dicetuskan fungsi mental ataupun perubahan fungsi mental yang dicetuskan
respon imun. Mekanisme coping terhadap stress mental mempengaruhi respon imun
dalam upaya mempertahankan homeostasis sampai level molekuler. Manifestasi
organobiologik SAU ialah hipertrofi kelenjar adrenal dan atrofi thymus, limpa dan
jaringan limfoid, serta ulserasi gaster (Elenkov, 2005).
Berdasarkan konsep diatas, psikoneuroimunologi mengajukan premise dasar; otak
merupakan bagian integral dari sistem imun sebagai salah satu parameter homeostasis
(Elenkov, 2005).

Initial brief alarm reaction sebagai respon terhadap stress akut


Pada initial brief alarm reaction terjadi peningkatan tajam kadar glucocorticoid
dalam darah akibat aktifitas otak melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA),
selanjutnya melalui reaksi cascade akan terjadi aktifitas amigdala dan hippocampus,
sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, dan sirkulasi darah, sistem pencernaan, sistem
imun, mukosa, dan kulit secara sistematis sebagai berikut : (Elenkov, 2005).

11
a. Aktifitas otak pada initial brief alarm reaction
 Aktivasi aksis HypothalamicPituitary-Adrenal (HPA)
Merupakan respon kilat terhadap stresor yang dipersepsi berbahaya, seperti
menghadapi binatang buas atau gempa bumi.

 Aktivasi sistem Lokus Sereleus (LS)-Noradrenalin (NA)

 Pelepasan hormone steroid dan hormone stress utama cortisol.


Aksis HPA meningkatkan produksi dan pelepasan glucocorticoid termasuk
hormone stress utama cortisol. Selanjutnya cortisol memobilisasi aktifitas hampir
semua sistem homeostasis seperti kardiovaskular, respirasi, pencernaan,
metabolisme, sistem imun, kulit dan mukosa, dalam persiapan reaksi melawan
atau lari (fight or flight).

 Pelepasan katekolamin
Aksis HPA melepaskan hormon katekolamin yang juga berperan sebagai
neurotransmitter, yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin (NA).

 Aktivasi amigdala
Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang mencetuskan respon
emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap gempa, atau marah kepada
musuh.

 Pelepasan neuropeptida S
Otak melepaskan neuropeptida S, suatu mikro protein yang memodulasi stress
dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan kewaspadaan dan perasaan
kuatir. Akibatnya timbul keinginan urgen untuk perilaku melawan atau lari (fight
or flight).

 Efek pencetus perilaku instinktual

12
Dalam keadaan stress akut, katekolamin menekan secara sekuensial fungsi
korteks prefrontalis yang berkaitan dengan memori jangka pendek, inhibisi,
konsentrasi, dan pola pikir rasional. Sekuens penekanan proses mental ini
memungkinkan seseorang bereaksi cepat untuk melawan atau lari secara
individual tanpa memikirkan kewajiban sosial dan norma. Karena memori jangka
pendek dan inhibisi ditekan, satusatunya fungsi sosial yang melekat adalah
ikatan pada keluarga langsung.

 Efek pada memori jangka panjang


Pada saat yang sama, katekolamin sebagai neurotransmiter member sinyal ke
hippocampus untuk merekam pengalaman stresor yang padat emosi ini sebagai
memori jangka panjang. Pada masa prasejarah, kerja otak ini sangat vital untuk
kelestarian karena memori jangka panjang tentang beragam stimulus berbahaya
ini sangat menentukan untuk menghindari ancaman berbahaya ini di masa depan.

 Penekanan fungsi “rem” perilaku otak


Dalam kondisi stress akut, neuron otak “dengan sengaja” meng interpretasi
sinyal kimiawi neurotransmiter untuk inhibisi secara salah. Sinyal “off” justru
diinterpretasi “on”, sehingga “rem” perilaku tidak berfungsi. Terjadi disinhibisi
total perilaku dengan patogenesis yang sama dengan penggunaan cannabis.
Seseorang yang merasa terancam akan melakukan perilaku apapun dalam upaya
melawan atau lari.

Respon imun terhadap stress akut


 Paradox cortisol
Efek konfrontasi dengan stresor pada sistem imun analog dengan mobilisasi
pasukan yang dikonsentrasikan hanya pada area yang terancam invasi. Peningkatan
cortisol pada aksis HPA menekan fungsi imun pada sebagian sistem imun, sehingga sel
imun spesifik seperti leukosit dan sitokin mengalami reposisi. Sel tersebut dikirimkan ke
bagian tubuh yang paling berisiko luka atau terkena infeksi, seperti kulit dan kelenjar
limfe. Tetapi secara umum terjadi penekanan fungsi imun yang disebut paradox cortisol

13
yang bersifat vital karena semua proses homeostasis dimobilisasi untuk persiapan reaksi
melawan atau lari.

 Peningkatan aktifitas sitokin proinflamatori


Substrat biomolekuler yang meningkat pada respon stress ialah molekul sitokin
pro-inflamatori, terdiri dari;
a. interleukin-1 (IL-1),
b. interleukin-2 (IL-2),
c. interleukin-6 (IL-6),
d. interleukin-10 (IL-10),
e. interleukin-12 (IL-12),
f. interferon-gamma (IFNGamma) dan
g. tumor necrosis factor alpha (TNF-α).
Sel imun makrofag yang merupakan sel pertama tiba pada lokasi infeksi apapun,
memproduksi molekul-molekul diatas ini.

 Respon sakit
Penelitian membuktikan bahwa molekul sitokin pro-inflamatori ini berfungsi
langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit (sel glia) untuk
mencetuskan respon sakit (sickness response). Sitokin juga diproduksi lokal dalam otak,
terutama pada hipotalamus. Karena itu sitokin memberi kontribusi pada efek perilaku
akibat stress fisik dan mental.

 Penekanan T helper (Th1) dan peningkatan T helper (Th2)


Terjadi disregulasi neurohormon yang berekspresi dengan supresi respon imun
anti tumor.

 Mediasi sitokin pada respon stress dan inflamatori melalui otak.


Sitokin memediasi dan mengendalikan respon imun pada stress dan proses
inflamatori. Interaksi sangat kompleks terjadi antara sitokin, inflamasi, dan respon adaptif
dalam mempertahankan homeostasis. Seperti juga respon stress, reaksi inflamasi sangat

14
penting untuk survival. Reaksi inflamasi sistemik menyebabkan stimulasi terhadap empat
fungsi utama yaitu: Reaksi fase akut, Sindroma sakit, Nyeri, Respon stress. Keempat
fungsi utama ini dimediasi oleh aksis HPA dan sistem simpatis. Dalam hal ini penyakit
seperti alergi, gangguan autoimun, infeksi kronik, dan sepsis mempunyai karakteristik
adanya disregulasi dari keseimbangan sitokin pro-inflamatori terhadap antiinflamatori
dan antara T helper (Th1) terhadap (Th2).

 Respon stress akut pada mukosa


Cairan tubuh dialihkan dari lokasi non-essensiel seperti mulut dan tenggorokan.
Karena itu mulut dan tenggorokan menjadi kering.

 Respon stress akut pada kulit


Efek stress akut memindahkan aliran darah dari kulit untuk mendukung jaringan
otot lurik dan otot jantung. Hal ini cukup vital karena bila dalam reaksi melawan atau lari
terjadi luka, maka perdarahan yang terjadi tidak begitu hebat.

 Respon stress akut terhadap metabolisme


Reaksi fosforilasi dalam siklus Kreb akan meningkat untuk mencukupi kebutuhan
energi yang meningkat.

 Respon stress akut terhadap fungsi digestivus

Stress akut akan menghambat pencernaan. Bila stressor tidak teratasi, maka
kondisi stress berlanjut menjadi stress kronik, respon menjadi periode resistensi berlanjut
(prolonged resistance period) (Glaser, 1999).

Periode resistensi berlanjut (prolonged resistance period) Dalam periode ini,


kondisi stress masih dapat diatasi melalui mekanisme mental dengan ”membudayakan”
pemahaman dan perasaan bahwa stimulus yang dianggap stresor itu bila tidak dapat
diatasi dapat dianggap ”bukan stresor”, atau setidaktidaknya dapat ditolerir

Bagaimana bila mekanisme mental gagal? Kegagalan mekanisme mental pada


periode resistensi berlanjut, akan berdampak buruk terhadap semua sistem fisiologik
15
yang dapat mencetuskan penyakit pada individu yang memiliki kerentanan genetik untuk
penyakit tersebut, atau memperburuk prognosis penyakit yang sudah ada, atau
menghambat proses terapi penyakit. Kegagalan ini berakhir pada tingkat terminal
kelelahan (terminal stage of exhaustion and death).

F. Implementasi Psikoneuroimunologi pada Penyakit


Faktor psikososial pada gagal jantung
a) Depresi
Dalam penelitian tentang depresi dan miokard infark, ditemukan bahwa
prevalensi depresi pada pasien miokard infark lebih tinggi daripada populasi
sehat. Namun beberapa peneliti menyatakan bahwa depresi itu sendiri merupakan
faktor resiko mortalitas akibat serangan jantung. Selain itu, depresi mungkin
berkontribusi dalam tingkat readmisi pasien CHF. Depresi major berkaitan
dengan noncompliance terapi pada pasien penyakit jantung yang muda, sakit
kronis, cacat, dan usia lanjut. Noncompliance pada regimen terapi merupakan
faktor presipitasi readmisi pada CHF. Namun demikian, hal yang jarang
diperhatikan adalah gejala somatik depresi yaitu kelelahan dan insomnia, yang
juga merupakan gejala CHF (MacMahon and Lip, 2002).
Gejala depresi seperti kelelahan dan iritabilitas adalah prekursor utama
dari CAD rekuren. Selain itu, penyelidikan detail sudah menunjukkan bahwa
gejala biologi dari depresi seperti kelelahan dihubungkan dengan penurunan
fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan penyakit pembuluh darah (Ho, et al.,
2010).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Chlamydia pneumonia
memainkan peran dalam atherosklerosis dan dihubungkan dengan tingginya
resiko CAD. Pada sebuah studi, gejala depresi dikaitkan dengan reaktivasi virus
laten dan inflamasi pembuluh darah koroner. Perbedaan level serum IgG Anti
Chlamydia pneumonia antara kelompok yang mengalami depresi dan kelompok
kontrol hampir signifikan. Hal ini memerlukan studi lebih jauh mengenai
pengaruh stress lama dalam aktivasi Chlamydia pneumonia, yang mungkin
memperkuat resiko CAD (Ho,et al., 2010).
16
Terdapat bukti yang nyata bahwa depresi dan kecemasan meningkatkan
produksi sitokin proinflamasi termasuk IL-6. Di samping itu, gejala depresi dapat
menyebabkan disregulasi imunitas dan menimbulkan konsekuensi kesehatan.
Misalnya, gejala depresi berkaitan dengan rendahnya jumlah limfosit T CD8 dan
tingginya rekurensi HSV-2 genital dalam 6 bulan. Gejala depresi pada pasien HIV
positif berhubungan dengan rendahnya CD4, tingginya jumlah sel B dan
meningkatnya marker aktivasi imun (HLA-DR) bahkan bila perilaku kesehatan
dan stadium penyakit terkontrol. Pasien gangguan kecemasan juga berhubungan
dengan perubahan imun. Sebagai contoh, pada pasien dengan gangguan
kecemasan menyeluruh, penurunan ekspresi receptor IL-2 oleh limfosit
berhubungan dengan pikiran intrusif yang lebih berat dan lamanya sakit karena
infeksi saluran napas atas (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).
b) Kecemasan
Kecemasan memberikan prognosis buruk pada gagal jantung karena
menimbulkan kesulitan pada pasien dan yang merawatnya. Kecemasan dapat
berpengaruh negative terhadap curah jantung pasien CHF. Stres dapat
meningkatkan denyut jantung, yang memberikan efek negatif pada perfusi arteri
koroner karena fase diastole yang lebih singkat. Takikardi mengurangi supply
oksigen miokard, namun meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat
menimbulkan lingkaran setan, di mana pasien menjadi lebih memikirkan
kondisinya sehingga makin meningkatkan kecemasan dan menurunkan curah
jantung. Hubungan kemampuan fisik dan kecemasan perlu diperhatikan dalam
proses rehabilitasi (MacMahon and Lip, 2002).

c) Peranan Dukungan Sosial


Pengaruh depresi dan kecemasan pada pasien CHF dapat dikendalikan
oleh dukungan sosial pada pasien. Banyak bukti yang menunjukkan efek protektif
dukungan sosial pada pasien CHF (MacMahon and Lip, 2002).
Perilaku kesehatan juga merupakan kofaktor hubungan antara
psikopatologi dan fungsi imun, misalnya merokok memiliki efek sinergis dengan
depresi dalam menurunkan lisis sel NK dan penurunan aktivitas fisik memediasi

17
hubungan antara depresi dan proliferasi limfosit. Pada pasien depresi, indikator
gangguan tidur yang merupakan karakteristik depresi memiliki berbagai
konsekuensi imunologis (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).

d) Mekanisme Pembelahan Ego


Beberapa bukti menunjukkan bahwa cara seseorang mengatasi situasi
hidup negative atau penuh tekanan mempengaruhi kesehatan fisik dan
psikologinya. Peneliti menyatakan bahwa mekanisme pembelaan ego memediasi
kondisi stres dengan konsekuensinya seperti depresi dan kecemasan.
Penyakit kronis yang menimbulkan kecacatan seperti CHF dapat
menimbulkan stress dan pasien dapat melakukan mekanisme pembelaan ego
untuk mengatasi stress ini (MacMahon and Lip, 2002).
Mekanisme pembelaan ego yang berhubungan dengan gangguan imun
meliputi represi, penyangkalan, escape-avoidance, dan concealment. Mekanisme
pembelaan ego represi yang hebat berhubungan dengan rendahnya jumlah
monosit, tingginya jumlah eosinofil, tingginya glukosa serum, banyaknya reaksi
terhadap obat, tingginya titer antibody EBV, penurunan respon sel T memori
terhadap virus laten (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).
Pada anggota keluarga pasien transplantasi sumsum tulang, kecemasan
dengan mekanisme pembelaan ego escape-avoidance berkaitan dengan jumlah
total sel T dan CD4 yang lebih sedikit serta jumlah sel B yang lebih banyak.
Mekanisme pembelaan ego penyangkalan memiliki efek protektif berkaitan
dengan serostatus HIV pada pasien HIV seronegatif. Mekanisme pembelaan ego
penyangkalan berhubungan dengan berkurangnya pikiran intrusif, rendahnya
kortisol dan tingginya proliferasi limfosit (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).

18
DAFTAR PUSTAKA

Aryulina, Diah, dkk.. 2004. Biologi 2. Jakarta : Esis.


Andersen, B. L., KiecoltGlaser, J. K., and Glaser, R. (1994). A biobehavioral model of
cancer stress and disease course. American Psychologist 49(5), 389-404.
Berczi and Szentivanyi (2003) NeuroImmune Biology, Elsevier, ISBN 0-444-50851-1
(Written for the highly technical reader).
Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC.
Brustolim D, Ribeiro-dosSantos R, Kast RE, Altschuler EL, Soares MB. "A new chapter
opens in anti-inflammatory Majalah Kedokteran Andalas No.2. Vol.34. Juli-
Desember 2010 100 treatments: the antidepressant bupropion lowers production
of tumor necrosis factor-alpha and interferon-gamma in mice." Int
Immunopharmacol. 2006 Jun;6(6):903-7
Cahyono, J.B. Suharjo B. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta :
Kanisius
Diamond M, Kelly JP, Connor TJ. "Antidepressants suppress production of the Th1
cytokine interferon-gamma, independent of monoamine transporter blockade".
Eur Neuropsychopharmacol. 2006 Oct;16(7):481-90.
Glaser, R. and Kiecolt-Glaser, J. K. (1994). Handbook of Human Stress and Immunity.
San Diego: Academic Press.
Morton, Patricia Gonce. 1997. Panduan Pemeriksaan Kesehatan dengan Dokumentasi
Soapie. Jakarta : EGC.
Michael Irwin, Kavita Vedhara (2005). Human Psychoneuroimmunology. Oxford
University Press. ISBN 978-0198568841.
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta : Kanisius.
Soeharto, Iman. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta :
Gramedia.
Tambayong, Jan. 1994. Buku Ajar Histologi Edisi Kedua. Jakarta: EGC.
Umar, Husein. 1998. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama

19

You might also like