Professional Documents
Culture Documents
A. Pengertian Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang menghubungkan
proses-proses psikologi, neural, dan imunologis. Banyak dokter telah memperhatikan
hubungan antara kehilangan yang penting, seperti kematian orang yang dicintai dan
penyakit yang menyusul. Hubungan itu sering terasa sangat hebat bila orang yang
mengalami kehilangan itu tidak dapat mengungkapkan emosi-emosi yang kuat, misalnya
kesedihan yang biasanya terjadi karena orang sendiri mengalami tragedi itu. Hipotesis
bahwa stres yang ditimbulkan kehilangan atau pemisah yang hebat mengganggu sistem
kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan sejumlah penyakit fisik.
Sistem kekebalan memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya benda-
benda asing (yang disebut antigen) dan menonaktifkan atau menghilangkan benda-benda
itu. Sistem kekebalan itu terdiri dari beberapa kelompok sel berbeda yang dinamakan
limfosit-limfosit. Penelitian belakangan telah memberikan suatu pemahaman awal
mengenai bagaimana stres dan faktor-faktor emosional menyebabkan perubahan-
perubahan hormon yang kadang-kadang dapat mengurangi efisiensi dari sistem
kekebalan dan dengan demikian meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
Para ahli psikoneuroimunologi meneliti sekaligus tiga sistem tubuh, sistem saraf,
sistem endokrin, dan sistem kekebalan yang berkomunikasi antara yang satu dengan yang
lainnya melalui sinyal-sinyal kimia yang kompleks. Ada kemungkinan hal ini sedang
diteliti terutama pada orang-orang yang menderita salah satu dari dua kondisi psikologis
yang berat, yakni skizofrenia dan depresi.
B. Sejarah Psikoneuroimunologi
Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan
sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses
modernisasi yang biasanya diikuti oleh poliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup
serta kompetisi antar individu yang makin berat.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku
dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik adalah
hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh.
1
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antar perilaku, kerja
saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong
munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi. Martin (1938) mengemukakan ide
dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu :
a. Status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan,
b. Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma.
Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi
berperan pada modulasi sistem imun. Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan
istilah psikoneuroimunologi : yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak digunakan
pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres terhadap berbagai
patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.
2
fungsi imun. Selanjutnya ditemukan bahwa sitokin sebagai bagian sistem imun
ternyata juga mengendalikan neuron dan sel glia otak (Anderson, 1994).
Berdasarkan peran otak tersebut, psikoneuroimunologi mengemukakan
premise major yaitu otak dan sistem imun merupakan satu kesatuan homeostasis
melalui fungsi psikobiologik (Berczi & Szentivanyi).
Substrat biologik respon stress Respon stress terjadi bila seseorang
menghadapi stimulus yang dianggapnya merupakan ancaman bahaya sebagai
stresor. Karena itu respon stress selalu terjadi dalam tiga etape yaitu:
1. Etape persepsi stresor
2. Etape respon stress
3. Etape persepsi keberhasilan respon
3
Substrat biologiknya yang telah diketahui ialah sistem lokus Sereleus (LS)-
Noradrenalin (NA), aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang juga disebut
lengkung imun-otak, dan kelenjar pineal yang berkaitan dengan ritme Sirkadian.
Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah A, NA, glucocorticoid dengan cortisol
sebagai hormon stress utama, serta melatonin yang berkaitan dengan ritme Sirkadian.
Etape ini disebut juga Sindroma Adaptasi Umum (SAU) pada fase initial brief
alarm reaction. Etape ini sangat mempengaruhi semua sistem homeostasis yang secara
umum mengalami peningkatan, kecuali sistem imun yang secara umum mengalami
supresi. Peningkatan NA segera diikuti peningkatan A. Terjadi adrenalin rush, yang
memobilisasi semua sistem energi tubuh untuk reaksi melawan atau lari. Adrenalin rush
menyebabkan jumlah free floating DA meningkat. Kita sampai ke point of no return
dimana perilaku melawan atau lari Fungsi otak dalam etape ini mengalami disinhibisi
sehingga perilaku melawan atau lari terjadi secara “otomatis” tanpa pengendalian.
(Diamond M, 2006).
4
Sementara Hans Selye mengartikan bahwa stress adalah tanggapan tubuh yang bersifat
non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Stress juga diartikan sebagai keadaan
di dalam hidup seseorang yang menyebabkan ketegangan atau dysforia (kesedihan).
Hampir semua orang pernah mengalami stress. Stress merupakan hal yang wajar.
Di suatu sisi, stress dapat mengganggu keseimbangan hidup seseorang, tetapi di sisi lain
stress merupakan salah satu energi yang dapat membantu seseorang untuk mencapai cita-
citanya. Bila seseorang dapat mengelola stress dengan baik, stress justru meningkatkan
vitalitas, optimisme, pandangan hidup yang positif, ketahanan mental dan fisik,
produktivitas dan kreativitas meningkat. Sebaliknya, stress bisa terjadi bila seseorang
tidak dapat merespon stress itu sendiri secara positif. Stress dapat menimbulkan
gangguan fisik dan kejiwaan, misalnya kelelahan, mudah marah, konsentrasi menurun,
depresi, pesismisme, disfungsi ereksi, kecelakaan, produktivitas dan kreativitas menurun.
Dalam kehidupan kita, stress tidak dapat dihindari. Namun, bagi kita yang penting
adalah bagaimana hidup dengan stress tanpa harus menderita distress, dan stress itu
sendiri menjadi energi dalam meningkatkan kualitas hidup.
b) Stressor
Kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressor. Stressor
adalah suatu peristiwa, situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan stress
dan reaksi terhadap stress. Ada beberapa bentuk stressor, antara lain :
1. Stressor Psikologis
Misalnya, krisis, frustasi, konflik, tekanan
2. Stressor Bio-ekologis
Misalnya, suara/ bising yang mengganggu, polusi udara, suhu terlalu
panas/ dingin, ketidakcukupan gizi
Stressor yang berkepanjangan akan mengganggu individu, misalnya
menimbulkan rasa tidak sejahtera atau mengganggu keseimbangan hidup
seseorang, sehingga menimbulkan dampak yang merugikan. Seseorang
mengalami distress kemudian menjadi sakit.
5
Stressor dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni stressor yang
berasal dari faktor lingkungan (environmental factors), faktor organisasi
(organizational factors), dan faktor individu (personal factors).
1. Faktor lingkungan
Selain memengaruhi desain struktur sebuah organisasi,
ketidakpastian lingkungan juga memengaruhi tingkat stres
para karyawan dan organisasi. Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan
ketidakpastian ekonomi, misalnya, ketika kelangsungan pekerjaan
terancam maka seseorang mulai khawatir ekonomi akan memburuk.
2. Faktor organisasi
Banyak faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan
stres. Tekanan untuk menghindari kesalahaan atau menyelesaikan tugas
dalam waktu yang mepet, beban kerja yang berlebihan, atasan yang selalu
menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak menyenangkan
adalah beberapa di antaranya. Hal ini dapat mengelompokkan faktor-
faktor ini menjadi tuntutan tugas, peran, dan antar pribadi.
3. Faktor pribadi
Faktor-faktor pribadi terdiri dari masalah keluarga, masalah
ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri
seseorang.
Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang sangat
mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. berbagai kesulitan dalam
hidup perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan masalah disiplin
dengan anak-anak adalah beberapa contoh masalah hubungan yang
menciptakan stres.
Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak
daripada tiang adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stres bagi
karyawan dan mengganggu konsentrasi kerja karyawan. Studi terhadap
tiga organisasi yang berbeda menunjukkan bahwa gejala-gejala stres yang
dilaporkan sebelum memulai pekerjaan sebagian besar merupakan varians
dari berbagai gejala stres yang dilaporkan sembilan bulan kemudian. Hal
6
ini membawa para peneliti pada kesimpulan bahwa sebagian orang
memiliki kecenderungan kecenderungan inheren untuk mengaksentuasi
aspek-aspek negatif dunia secara umum. Jika kesimpulan ini benar, faktor
individual yang secara signifikan memengaruhi stres adalah sifat dasar
seseorang. Artinya, gejala stres yang diekspresikan pada pekerjaan bisa
jadi sebenarnya berasal dari kepribadian orang itu.
c) Pengendalian Stress
Stress merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi,
proses berpikir dan kondisi seseorang. Gejala stress dapat dilihat dari tiga sisi,
yaitu :
1. Gejala Fisik
o Nafas memburu
o Mulut dan kerongkongan kering
o Tangan lembab
o Merasa panas
o Otot-otot tegang
o Pencernaan terganggu
o Mencret-mencret
o Sembelit
o Letih yang tak beralasan
o Sakit kepala
o Salah urat
o Gelisah
2. Tingkah Laku ( secara umum ) Perasaan :
o Bingung, cemas, dan sedih
o Jengkel
o Salah paham
o Tak berdaya
o Tak mampu berbuat apa-apa
o Gelisah
o Kehilangan semangat
7
Kesulitan dalam :
o Berkonsentrasi
o Berpikir jenih
o Membuat keputusan
Hilangnya :
o Kreativitas
o Gairah dalam penampilan
o Minat terhadap orang lain
3. Gejala-gejala di Tempat Kerja :
o Kepuasan kerja rendah
o Kinerja yang menurun
o Semangat dan energi menurun
o Komunikasi tak lancar
o Pengambilan keputusan yang jelek
o Kreativitas dan inovasi berkurang
o Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif
8
dapat dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita mengalami suatu penyakit. Respon
imun tubuh alamiah terhadap serangan patogen baru akan muncul dalam waktu 24 jam
(Diah Aryulina, 2004).
Sistem imun mencakup sumsum tulang, timus, limpa, dan limfonodus; kelompok
limfosit ditemukan dalam paru dan mukosa saluran cerna; linfosit dalam darah dan limfe;
dan limfosit dan sel plasma yang tersebar luas dalam jaringan ikat di seluruh tubuh.
Fungsi bersama kelompok heterogen sel-sel dan organ ini adalah untuk melindungi
organisme terhadap efek invasi yang berpotensi merusak dari makromolekul eksogen,
apakah mereka memasuki tubuh dalam bentuk itu atau sebagai unsur dari virus, bakteri,
atau protozoa. Hal ini tercapai melalui mekanisme pertahanan seluler dan humoral yang
bersama-sama merupakan respon imun (Jan Tambayong, 1994).
Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari serangan
mikroorganisme. Melalui saluran limfatiknya, sistem imun juga melakukan fungsi
transportasi seperti darah. Sistem imun terdiri dari jutaan sel yang bersirkulasi dan
struktur khusus, seperti nodus limfe yang berlokasi di seluruh tubuh (Patricia Gonce
Morton, 1997).
Sistem imun memiliki beberapa fungsi tubuh, yaitu:
a) Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
b) Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen
tubuh yang telah tua.
c) Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya (Diah Aryulina, 2004).
Defisiensi sistem imun adalah kondisi respons imun defektif, yang mengakibatkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gangguan defisiensi sistem imun dapat
disebabkan oleh obat (seperti kemoterapi sitotoksik), radiasi, dan mikroorganisme,
termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkaitan dengan mekanisme
pertahanan tubuh (Chris Brooker, 2005).
9
akan tetapi adanya variabel biologis dan psikologis membuat kondisi tubuh berubah dan
akhirnya kesehatan terganggu. Pada tingkat lanjut membuat penyakit berkembang dalam
tubuh.
Secara sederhana stress dapat mengganggu kondisi tubuh karena stress
mempunyai efek domino dalam sistem hormone yang ada dalam tubuh. Dalam hormone
ada sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin menampilkan respon
tubuh terhadap stress. Hormon-hormon stress ini diproduksi oleh kelenjar adrenal
membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi stressor atau ancaman.
Apabila stressor melewati batas bisa mengganggu kondisi tubuh dan
menyebabkan stress. Selama stress tubuh secara terus-menerus memompa hormon-
hormon yang dapat menekan kemampuan sistem kekebalan tubuh yang fungsinya
melindungi tubuh manusia dari berbagai infeksi dan penyakit.
Bila kekebalan tubuh (imun) menurun, berbagai penyakit dan infeksi akan mudah
masuk ke dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan (immune system) merupakan
pertahanan tubuh melawan penyakit. Berjuta sel darah putih yang disebut leukosit adalah
pasukan sistem kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis.
Menurut Kiecolt-Glaser, 1992; Maier, Watkins, dan Fleshner, 1994 sumber-
sumber psikologi dari stress menurunkan kemampuan tubuh manusia untuk
menyesuaikan diri dan secara cepat juga mempengaruhi kesehatan. Stress meningkatkan
resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, mulai dari gangguan pencernaan sampai
penyakit jantung.
Untuk memahami proses yang terjadi kita akan membahas Sindroma
Adaptasi Umum sebagai respon fisiologik stress.
10
Riset glucocorticoid menemukan pada initial brief alarm reaction terjadi
peningkatan tajam kadar glucocorticoid darah. Selanjutnya pada periode resistensi
ketajaman peningkatan mulai mendatar, tetapi masih lebih tinggi dari pada kadar basal
glucocortikoid. Dengan berlanjutnya stress, pada suatu titik tiba-tiba kadar glucocorticoid
menurun pada tingkat terminal kelelahan, yang diikuti kematian. Berdasarkan ini,
pengukuran kadar glucocorticoid darah dipakai sebagai metode deteksi tingkat stress
yang dapat membahayakan kehidupan (Elenkov, 2005).
Pert dkk pada tahun 1985 menemukan bahwa neuropeptida dan neuro-transmiter
(yang berperan pada pengendalian emosi) didapatkan pada dinding sel neuron otak dan
dinding sel pengendali sistem imun serta dinding sel berbagai organ endokrin. Temuan
ini mengesankan saling keterkaitan fungsi emosi yang dikendalikan susunan saraf pusat
dengan fungsi imun yang merupakan sistem pertahanan tubuh serta sistem endokrin yang
berkaitan dengan homeostasis (Elenkov, 2005).
Dapat dideduksi bahwa terdapat mekanisme yang mendasari perubahan respon
imun yang dicetuskan fungsi mental ataupun perubahan fungsi mental yang dicetuskan
respon imun. Mekanisme coping terhadap stress mental mempengaruhi respon imun
dalam upaya mempertahankan homeostasis sampai level molekuler. Manifestasi
organobiologik SAU ialah hipertrofi kelenjar adrenal dan atrofi thymus, limpa dan
jaringan limfoid, serta ulserasi gaster (Elenkov, 2005).
Berdasarkan konsep diatas, psikoneuroimunologi mengajukan premise dasar; otak
merupakan bagian integral dari sistem imun sebagai salah satu parameter homeostasis
(Elenkov, 2005).
11
a. Aktifitas otak pada initial brief alarm reaction
Aktivasi aksis HypothalamicPituitary-Adrenal (HPA)
Merupakan respon kilat terhadap stresor yang dipersepsi berbahaya, seperti
menghadapi binatang buas atau gempa bumi.
Pelepasan katekolamin
Aksis HPA melepaskan hormon katekolamin yang juga berperan sebagai
neurotransmitter, yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin (NA).
Aktivasi amigdala
Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang mencetuskan respon
emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap gempa, atau marah kepada
musuh.
Pelepasan neuropeptida S
Otak melepaskan neuropeptida S, suatu mikro protein yang memodulasi stress
dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan kewaspadaan dan perasaan
kuatir. Akibatnya timbul keinginan urgen untuk perilaku melawan atau lari (fight
or flight).
12
Dalam keadaan stress akut, katekolamin menekan secara sekuensial fungsi
korteks prefrontalis yang berkaitan dengan memori jangka pendek, inhibisi,
konsentrasi, dan pola pikir rasional. Sekuens penekanan proses mental ini
memungkinkan seseorang bereaksi cepat untuk melawan atau lari secara
individual tanpa memikirkan kewajiban sosial dan norma. Karena memori jangka
pendek dan inhibisi ditekan, satusatunya fungsi sosial yang melekat adalah
ikatan pada keluarga langsung.
13
yang bersifat vital karena semua proses homeostasis dimobilisasi untuk persiapan reaksi
melawan atau lari.
Respon sakit
Penelitian membuktikan bahwa molekul sitokin pro-inflamatori ini berfungsi
langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit (sel glia) untuk
mencetuskan respon sakit (sickness response). Sitokin juga diproduksi lokal dalam otak,
terutama pada hipotalamus. Karena itu sitokin memberi kontribusi pada efek perilaku
akibat stress fisik dan mental.
14
penting untuk survival. Reaksi inflamasi sistemik menyebabkan stimulasi terhadap empat
fungsi utama yaitu: Reaksi fase akut, Sindroma sakit, Nyeri, Respon stress. Keempat
fungsi utama ini dimediasi oleh aksis HPA dan sistem simpatis. Dalam hal ini penyakit
seperti alergi, gangguan autoimun, infeksi kronik, dan sepsis mempunyai karakteristik
adanya disregulasi dari keseimbangan sitokin pro-inflamatori terhadap antiinflamatori
dan antara T helper (Th1) terhadap (Th2).
Stress akut akan menghambat pencernaan. Bila stressor tidak teratasi, maka
kondisi stress berlanjut menjadi stress kronik, respon menjadi periode resistensi berlanjut
(prolonged resistance period) (Glaser, 1999).
17
hubungan antara depresi dan proliferasi limfosit. Pada pasien depresi, indikator
gangguan tidur yang merupakan karakteristik depresi memiliki berbagai
konsekuensi imunologis (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).
18
DAFTAR PUSTAKA
19