Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Pembimbing:
Kedudukan Psikometri
Psikometri sebagai ilmu tentang pengukuran psikologi mempelajari tentang
konsep, metode dan teknik pengukuran dalam psikologi. Berpijak pada konsep bahwa
pengukuran sebagai usaha untuk mendeskripsikan apa yang diukur kedalam bentuk
angka, maka psikometri merupakan telaah spesifik tentang pengukuran tingkah laku yang
bersifat kuantitatif. Dengan demikian akan nampak sangat jelas bahwa psikometri akan
banyak sekali dimanfaatkan konsep – konsep statistika. Dengan kata lain, tidak mungkin
berbicara tentang psikometri tanpa menggunakan statistika.
Psikolgi adalah ilmu yang bertujuan memahami perilaku manusia. Pemahaman
tentang karakteristik individu meliputi faktor kemampuan (ability) atau kepribadiannya
serta tingkat motivasi, kebiasaan, minat dan lain – lain hanya dapat diketahui melalui
proses pengukuran yang dilakukan terhadap individu yang bersangkutan. Berdasarkan
pada data hasil pengukuran individu tersebut kemudian dibandingkan dengan suatu
kriteria. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menarik kesimpulan tentang kondisi
individu tersebut. Setelah itu, maka dapat dibuat prediksi tentang kemungkinan erilaku di
masa yang akan datang. Bilamana kemungkinan terjadi masalah dalam perilakunya, maka
dilakukan intervensi agar terjadi proses perubahan perilaku menjadi lebih baik sehingga
individu dapat melakukan penyesuaian diri secara lebih baik dengan lingkungannya.
Perubahan perilaku sebagai sasaran intervensi dalam psikologi dilaksanakan melalui
proses penetapan diagnosis selanjutnya diikuti dengan prognosisnya.
Dalam psikometri dikenal istilah asesmen dan prediksi sedangkan dalam
psikodiagnostika dikenal istilah diagnosis dan prognosis. Istilah assessment memiliki
makna yang sama dengan diagnosis dan prediksi memiliki kesamaan makna dengan
prognosis. Perbedaanya adalah kedua istilah tersebut digunakan oleh ilmuan yang
menggunakan pendekatan yang berbeda dalam memahami perilaku manusia. Psikometri
bertitik tolak dari konsep behavioristik dalam usaha memahami perilaku manusia
menggunakan pendekatan kuantitatif dan statistik, sedangkan psikodiagnostik
dikembangkan berdasar pada dinamika kepribadian terutama psiko analisis, dan
asesmennya mengutamakan tes projektif.
Karakteristik Pengukuran
Secara operasional, pengukuran merupakan suatu prosedur perbandingan antara
atribut yang hendak diukur dengan alat ukurnya. Karakteristik pengukuran adalah :
a. Merupakan perbandingan antara atribut yang diukur dengan alat ukurnya.
b. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif
c. Hasilnya bersifat deskriptif.
Dalam berbagai kasus, pengukuran atribut tidak dapat dilakukan secara langsung
dikarenakan atribut yang hendak diukur bukan merupakan atribut dasar melainkan berupa
atribut derivasi, yaitu atribut yang diperoleh dari turunan atribut-atribut lainnya. Sebagai
contoh, atribut luas sebuah bidang datar tidak dapat diukur langsung karena tidak
memiliki alat pengukur luas, oleh karena itu ukuran luas hanya dapat diperoleh dari
derivasi ukuran atribut panjang dan ukuran atribut lebar. Misalnya untuk bidang datar
berbentuk empat persegi panjang ukuran luas diperoleh dari L = p x 1 sedangkan
untuk sebuah lingkaran ukuran luas diperoleh dari L = 2x r. Demikian pula
halnya untuk atribut kecepatan (walaupun kita telah lama mengenal speedo meter)
pada dasarnya tetap merupakan turunan dari ukuran atribut jarak dan ukuran atribut
waktu4.
Pendekatan Pengukuran
Biasanya dalam penelitian, mahasiswa hanya melakukan uji butir dan uji faktor,
padahal uji instrument (alat ukur) tidak kalah pentingnya agar bisa diketahui alat ukur
yang dibuat sudah memenuhi standart dibandingkan dengan alat ukur lain yang sudah
baku dalam pengukuran yang diteliti. Alat ukur yang dibuat haruslah memiliki conruent
validity (kevalidan yang setara) dengan alat ukur lain. Dianggap setara jika memiliki nilai
rxx > 0.80. Orang biasanya mengadakan pembedaan validitas berdasar kriteria ini
menjadi 2 macam:
(1). Validitas sama saat (Concurrent validity), contohnya: menggunakan skor pada tes
Wechsler atau tes Stanforf-Binet sebagai kriteria adalah jenis validitas sama saat.
(2). Validitas ramalan (Predictive validity), contohnya: validitas ujian masuk perguruan
tinggi yang menggunakan IPK mahasiswa sebagai kriteria.
Suatu alat ukur dikatakan reliabel jika alat ukur tersebut menunjukkan sejauh
mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hal ini ditunjukkan oleh
taraf keajegan (konsistensi) skor yang diperoleh oleh para subjek yang diukur dengan alat
yang sama, atau diukur dengan alat yang setara pada kondisi yang berbeda. Dalam
artinya yang paling luas, realiabilitas alat ukur menunjuk kepada sejauh mana perbedaan-
perbedaan skor perolehan itu mencerminkan perbedaan-perbedaan atribut yang
sebenarnya.
Reliabilitas alat ukur yang juga menunjukkan derajat kekeliruan pengukuran tak
dapat ditentukan dengan pasti, malainkan hanya dapat diestimasi. Ada tiga pendekatan
dalam mengestimasi relibilitas alat ukur itu, yaitu:
Pendekatan tes ulang / Test-Retest Method
Suatu perangkat tes diberikan kepada sekelompok subjek 2x, dengan selang
waktu tertentu, misalkan 2 minggu. Reliabilitas tes dicari dengan menghitung korelasi
antara skor pada testing 1 dan skor pada testing 2. Pendekatan ini secara teori baik,
namun didalam praktek mengandung kelemahan, yaitu bahwa kondisi subjek pada testing
2 tidak lagi sama dengan kondisi subjek pada testing 1, karena terjadinya proses belajar,
pengalaman, perubahan motivasi, dll. Oleh karena itu pendekatan ini sudah sangat jarang
dipakai. Pendekatan ini sangat sesuai kalau yang dijadikan objek pengukuran adalah
ketrampilan, terutama ketrampilan fisik.
Pendekatan dengan tes paralel / Parallel Form Method:
Dua perangkat tes yang paralel, misalnya perangkat A dan B diberikan kepada
sekelompok subjek. Reliabilitas tes dicari dengan menghitung korelasi antara skor pada
perangkat A dan skor pada perangkat B. Keterbatasan utama pendekatan ini terletak pada
sulitnya menyusun 2 perangkat tes yang paralel. Pendekatan inipun sudah jarang
digunakan.
Pendekatan pengukuran satu kali / Single Trial Method:
Seperangkat tes diberikan kepada sekelompok subjek satu kali, lalu dengan cara
tertentu dihitung estimasi reliabilitas tes tersebut. Pendekatan pengukuran satu kali ini
menghasilkan informasi mengenai keajegan (konsistensi) internal alat ukur. Pendekatan
pengukuran satu kali ini dapat menghindarkan diri dari kesulitan yang timbul dari
pendekatan dengan pengukuran ulang maupun pendekatan tes paralel, oleh karena itu
pendekatan ini banyak digunakan. Yang menggunakan pendekatan pengukuran satu kali:
Spearman-Brown: Jumlah butir dibelah menjadi 2 dan dicari nilai rxx-nya. Jumlah butir
dapat dibelah kiri dan kanan, angka ganjil dan genap maupun dengan cara random / acak.
Bila nilai rxx-nya > 0.8 maka dianggap reliabel.
Rulon: Menghitung dengan melihat selisih belahan satu dengan belahan yang lain,
bukan dilihat dari belahannya. Bila nilai rxx-nya > 0.8 maka dianggap reliabel.
Alpha Cronbach: Alpha membagi jumlah butir dengan berapapun asal sama rata, tidak
seperti Spearman-Brown dan Rulon yang tidak dapat membagi dua angka ganjil menjadi
sama rata seperti misalnya angka 15, Alpha bisa membagi menjadi: 5, 5 dan 5. Bila nilai
Alpha-nya > 0.8 maka dianggap reliabel.
Anava Hoyt: Membagi jumlah butir sebesar jumlah butirnya, jadi dapat dibagi
berapapun, tidak seperti Alpha yang tidak dapat membagi jumlah butir yang nilainya
imajiner, misalnya 19. Tapi Alpha akhirnya mengeluarkan rumus baru yang dapat
membagi jumlah butir sebesar jumlah butirnya juga. Dan Anava Hoyt dan Alpha yang
paling banyak digunakan dalam perhitungan reliabilitas sampai saat ini. Bila nilai rtt-nya
> 0.8 maka dianggap reliabel.
KR20: Kuder Richardson mengeluarkan rumus perbaikan tetapi KR20 juga jarang
dipakai karena KR20 hanya dapat digunakan pada data dikotomi (pilihan ya dan tidak / 0
dan 1) tidak seperti diatas, yang bisa menghitung data dikotomi dan kontinu. Bila nilai
KR20-nya > 0.8 maka dianggap reliabel.
Standarisasi Pengukuran
Sebuah alat tes harus memiliki standarisasi. Skor berdasarkan norma (kelompok) /
standar alat tes adalah norma alat tes yang dibuat dengan membandingkan scoring hasil
tes dengan skor standar kelompok yang dijadikan acuan. Jadi terlebih dahulu dilakukan
tes pada sekelompok grup referensi dengan karakteristik tertentu. Kemudian hasil dari
grup ini digunakan untuk mengembangkan sebuah sistem translasi raw score ke standard
score. Setelah sistem ini terbangun, sistem scoring digunakan untuk membandingkan
tampilan hasil skor peserta tes yang baru dengan grup referensi tersebut
(referensi:friedenberg,Lisa.1995. Psychological Testing, design,analysis and
use.USA:Allyn & Bacon).
Standarisasi menyiratkan keseragaman cara penyelenggaraan dan penskoran tes.
Jika skor yang diperoleh berbagai macam orang harus bisa dibandingkan, kondisi –
kondisi tes jelas harus sama bagi semua5.
Dalam rangka menjamin keseragaman kondisi – kondisi tes, penyusun tes menyediakan
petunjuk – petunjuk yang rinci bagi penyelenggara setiap tes yang baru dikembangkan.
Rumusan petunjuk – petunjuk ini menjadi bagian utama dari standarisasi tes baru.
Standarisasi semacam itu menyangkut jumlah tempat materi yang digunakan, batas
waktu, instruksi – instruksi lisan, demobstrasi awal, cara – cara menjawab pertanyaan
dari peserta tes, dan setiap rincian lainnya atau situasi tes.
Langkah penting lainnya dalam standarisasi tes adalah penetapan norma – norma.
Tes – tes psikologis tidak memiliki standar lulus atau gagal, yang ditentukan terlebih
dahulu. Kinerja pada setiap tesdievaluasi berdasarkan data empiris. Bagi kebanyakan
maksud, skor tes perorangan diinterprestasikan dengan cara membandingkannya dengan
skor – skor yang didapat oleh orang lain pada tes yang sama. Sebagaimana terkandung
dalam namanya, norma adalah kinerja normal atau rata – rata. Jadi, jika seorang anak
berumur 8 tahun menyelesaikan 12 dari 50 soal dengan benar pada tes penalaran
aritmatika tertentu, maka norma 8 tahun pada tes ini berhubungan dengan skor 12. Angka
12 dikenal sebagai skor kasar pada tes. Skor kasar ini dapat diungkapkan sebagai jumlah
dari soal – soal yang benar, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas, jumlah
kesalahan, atau ukuran objektif lainnya yang cocok dengan isi tes itu. Skor kasar tidak
ada artinya sampai dievaluasi berdasarkan data interpretif yang sesuai6.
Dalam proses menstandarisasikan tes, tes diselenggarakan pada sampel yang luas
dan representatif atas jenis orang yang memang menjadi sasaran perancangan tes
tersebut. Kelompok ini, dikenal sebagai sampel standarisasi, berfungsi menetapkan
norma – norma. Norma – norma semacam itu mengindikasikan tidak hanya kinerja rata –
rata, tetapi juga frekuensi relatif dari derajat penyimpangan yang bervariasi di atas dan di
bawah rata – rata. Jadi, dimungkinkan untuk mengungkapkan berbagai tingkah
superioritas dan inferioritas. Semuanya memperbolehkan penempatan posisi individu
yang mengacu pada sampel normatif atau terstandarisasi.
Interval, Karakteristiknya :
(-) Bersifat angka beda yang sudah punya makna distance artinya jarak sudah diketahui
sehingga bisa ditambah/dikurang
(-) Dalam interval angka 28 bisa dikatakan penjumlahan 14 + 14, bisa juga dikatakan 28
lebih dari 14
(-) Nol tidak mutlak Mis : tinggi badan dan berat badan manusia kan tidak ada yang nol.
Ratio, Karakteristiknya :
(-) Sama dengan interval namun memiliki nol mutlak, artinya memang ada hasil
pengukuran yang nol.
(-) Mis : Kecepatan kendaraan nol berarti berhenti
Dari berbagai macam batasan mengenai tes dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
pengertian, antara lain:
Tes adalah prosedur yang sistematik. Maksudnya (a) item-item dalam tes disusun
menurut cara dan aturan tertentu; (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka
(scoring) terhadap hasilnya harus jelas dan dipesifikasikan secara terperinci; dan (c)
setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat aitem-aitem yang sama dalam
kondisi yang sebanding.
Tes berisi sampel perilaku. Artinya (a) betapapun panjangnya suatu tes, aitem
yang ada di dalamnya tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin
ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana aitem-aitem dalam
tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang diukur.
Tes mengukur perilaku. Artinya aitem-aitem dalam tes menghendaki agar subjek
menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara
menjawab pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dihendaki oleh tes.
Sedangkan beberapa hal yang tidak tercakup dalam pengertian tes adalah:
Definisi tes tidak memberikan spesifikasi mengenai formatnya. Artinya tes dapat
disusun dalam berbagai bentuk dan tipe sesuai dengan maksud dan tujuan
penyusun tes.
Definisi tes tidak membatasi macam materi yang dapat dicakupnya. Artinya tes
dirancang untuk melakukan pengukuran terhadap hasil belajar, terhadap
kemampuan atau abilitas, terhadap kemampuan khusus atau bakat, intelegensi dan
sebagainya.
Subjek yang dikenai tes tidak selalu perlu dan tidak selalu pula harus tahu kalu ia
sedang dikenai tes. Lebih lanjut, subjek tidak selalu perlu tahu aspek psikologis apakah
yang sedang diungkap dari dalam dirinya.
Sebagian ahli psikometri membatasi tes sebagai suatu prosedur khusus yang
merupakan bagian dari pengukuran secara keseluruhan. Tyler (1971) mengatakan bahwa
pengukuran adalah “……. Assignment of numerals according to rules”. Jadi pemberian
angka seperti yang dilakukan dalam suatu tes memang merupakan suatu bentuk
pengukuran.
Karena tes merupakan alat pengukur maka istilah pengetesan kerap kali
menggantikan istilah pengukuran, dan sebaliknya. Dalam hal ini yang terpenting adalah
mengetahui di mana penggunaan kedua istilah itu dapat dipertukarkan atau saling
menggantikan dan kapan kedua istilah tersebutharus dibedakan agar tidak menimbulkan
salah pengertian.
Dalam halnya tes prestasi belajar, pengertian pengukuran prestasi adalah sama
dengan pengertian pengetasan prestasi. Akan tetapi istilah tes lebih banyak dan lebih
populer digunakan dalam konteks belajar di kelas atau disekolah. Hal ini mungkin sekali
disebabkan karena tes prestasi mengandung pengertian situasi yang lebih formal, tyertib,
dan lebih terencana daripada pengukuran prestasi. Pengukuran prestasi lebih sering
digunakan pada situasi di luar kelas yang kadang-kadang sifatnya tidak begitu formal dan
tampaknya lebih banyak dikenakan pada kawasan prestasi motorik seperti pengukuran
prestasi ateltik dan lain sebagainya.
Diagnosis
Hasil pengukiuran psikologis dapat dimanfaatkan dalam diagnosis. Fungsi
diagnosis yang dimaksud di sini adalah perumusan masalah yang dihadapi oleh seseorang
atau klien dan perkiraan penyebabnya. Klien dapat dibantu untuk memahami dengan baik
pengetahuan dan keterampilan tertentu yang dimilikinya sehingga klian memiliki
wawasan yang lebih luas dalam bidang-bidang tertentu yang memungkinkan dapat
diraihnya dengan cepat dan tepat. Kemudian klien dapat mengambil suatu keputusan
bidang-bidang mana yang memerlukan perhatian atau konsentrasi yang sungguh-
sungguh.
Penggunaan testing dalam diagnosis dapat memberikan informasi tentang
bberbagai pekerjaan atau jabatan kepada seseorang. Hal-hal lainnya yang dikaitkan
dengan aspek-aspek testing pada diagnosis adalah tes yang dapat memberikan informasi
yang mungkin belum dikenal sebelumnya.
Dalam beberapa hal, inventori minat mungkin dapat mengidentifikasi bidang
minat yang belum dikenal sebelumnya, dan dengan demikian melibatkan klien dalam
eksplorasi secara lebih mendalam pengenalan terhadap minat-minatnya.
3. Monitoring
Tes psikologis dapat berfungsi sebagai alat pemantau. Misalnya, para konselor
dan staf sekolah lainnya dapat mengamati dan memantau sejauh mana kemajuan yang
telah dicapai siswa, sehingga mereka dapat secara langsung mengambil manfaat dari hasil
pengukuran psikologis.
Tes prestasi (achievment tes) misalnya, dapat memberikan manfaat karena
kemajuan dalam bidang akademis akan dipantau sepanjang waktu tertentu atau setiap saat
dan acap kali tidak dapat diduga-duga terjadinya perubahan yang dapat dicek kembali
oleh konselor.
Pengukuran psikologis lainnya dapat diberikan dengan cara yang sama untuk
membantu konselor dan klien sebagai suatu upaya untuk meningkatkan beberapa macam
perubahan dalam perilaku, sikap, dan keterampilan-keterampilan klien.
Selain fungsi-fungsi tersebut di atas, juga terdapat fungsi-fungsi lain, di antaranya:
1. Fungsi seleksi, yaitu untuk memutuskan individu-individu yang akan dipilih,
misalnya tes masuk suatu lembaga pendidikan atau tes seleksi suatu jenis jabatan
tertentu. Berdasarkan hasil-hasil tes psikologis yang dilakukan, pimpinan lembaga
dapat memutuskan calon-calon pelamar yang dapat diterima dan menolak calon-calon
yang lainya.
2. Fungsi klasifikasi, yaitu mengelompokkan individu-individu dalam kelompok sejenis,
misalnya mengelompokkan siswa yang mempunyai masalah yang sejenis, sehingga
dapat diberikan bantuan yang sesuai dengan masalahnya. Atau mengelompokkan
siswa ke dalam program khusus tertentu.
3. Fungsi deskripsi, yaitu hasil tes psikologis yang telah dilakukan tanpa klasifikasi
tertentu, misalnya melaporkan profil seseorang yang telah di tes dengan tes inventori.
4. Mengevaluasi suatu treatment, yaitu untuk mengetahui suatu tindakan yang telah
dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok individu, apakah telah dicapai atau
belum. Atau seberapa hasil yang ditimbulkan oleh suatu tindakan tertentu terhadap
seseorang atau sekelompok orang. Misalnya seorang siswa yang mengalami kesulitan
belajar diberikan remedial. Setelah remedial tersebut lalu diadakan tes untuk
mengetahui apakah remedial yang diberikan berhasil atau belum.
5. Menguji suatu hipotesis, yaitu untuk mengetahui apakah hipotesis yang dikemukakan
itu betul atau salah. Misalnya seorang peneliti mengemukakan hipotesis sebagai
berikut: makin terang lampu yang digunakan untuk belajar makin baik prestasi belajar
yang akan dicapai. Untuk menguji betul tidaknya hipotesis yang dikemukakan itu
dapat dilakukan suatu eksperimen.
Dari berbagai keterangan di atas, dapat diketahui bahwa fungsi tes psikologis di samping
untuk klasifikasi, deskripsi, evaluasi, menguji hipotesis, juga berfungsi untuk seleksi.
Semua fungsi-fungsi dipergunakan sebagai kerangka acuan dalam pengambilan
keputusan karir.
Dari berbagai macam batasan mengenai tes dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
pengertian, antara lain:
1. Tes adalah prosedur yang sistematik. Maksudnya (a) item-item dalam tes disusun
menurut cara dan aturan tertentu; (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka
(scoring) terhadap hasilnya harus jelas dan dipesifikasikan secara terperinci; dan (c)
setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat aitem-aitem yang sama dalam
kondisi yang sebanding.
2. Tes berisi sampel perilaku. Artinya (a) betapapun panjangnya suatu tes, aitem yang
ada di dalamnya tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin
ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana aitem-aitem
dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang diukur.
3. Tes mengukur perilaku. Artinya aitem-aitem dalam tes menghendaki agar subjek
menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara
menjawab pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dihendaki oleh
tes.
Sedangkan beberapa hal yang tidak tercakup dalam pengertian tes adalah:
1. Definisi tes tidak memberikan spesifikasi mengenai formatnya. Artinya tes dapat
disusun dalam berbagai bentuk dan tipe sesuai dengan maksud dan tujuan penyusun
tes.
2. Definisi tes tidak membatasi macam materi yang dapat dicakupnya. Artinya tes
dirancang untuk melakukan pengukuran terhadap hasil belajar, terhadap kemampuan
atau abilitas, terhadap kemampuan khusus atau bakat, intelegensi dan sebagainya.
3. Subjek yang dikenai tes tidak selalu perlu dan tidak selalu pula harus tahu kalu ia
sedang dikenai tes. Lebih lanjut, subjek tidak selalu perlu tahu aspek psikologis
apakah yang sedang diungkap dari dalam dirinya.
Sebagian ahli psikometri membatasi tes sebagai suatu prosedur khusus yang
merupakan bagian dari pengukuran secara keseluruhan. Tyler (1971) mengatakan bahwa
pengukuran adalah “……. Assignment of numerals according to rules”. Jadi pemberian
angka seperti yang dilakukan dalam suatu tes memang merupakan suatu bentuk
pengukuran.
Karena tes merupakan alat pengukur maka istilah pengetesan kerap kali
menggantikan istilah pengukuran, dan sebaliknya. Dalam hal ini yang terpenting adalah
mengetahui di mana penggunaan kedua istilah itu dapat dipertukarkan atau saling
menggantikan dan kapan kedua istilah tersebutharus dibedakan agar tidak menimbulkan
salah pengertian.
Dalam halnya tes prestasi belajar, pengertian pengukuran prestasi adalah sama
dengan pengertian pengetasan prestasi. Akan tetapi istilah tes lebih banyak dan lebih
populer digunakan dalam konteks belajar di kelas atau disekolah. Hal ini mungkin sekali
disebabkan karena tes prestasi mengandung pengertian situasi yang lebih formal, tyertib,
dan lebih terencana daripada pengukuran prestasi. Pengukuran prestasi lebih sering
digunakan pada situasi di luar kelas yang kadang-kadang sifatnya tidak begitu formal dan
tampaknya lebih banyak dikenakan pada kawasan prestasi motorik seperti pengukuran
prestasi ateltik dan lain sebagainya.
C. Fungsi Pengukuran Psikologis
Tes dapat menyajikan fungsi tertentu. Tes dapat memberikan data untuk
membantu seseorang dalam meningkatkan pemahaman diri (self-understanding0,
penilaian diri (self-evaluation), dan penerimaan diri (self-acceptance). Juga, hasil
pengukuran psikologis yang dapat digunakan seseorang untuk meningkatkan persepsi
dirinya secara optimal dan mengembangkan eksplorasi dalam bidang tertentu. Disamping
itu pengukuran pengukuran psikologis berfungsi dalam memprediksi, memperkuat, dan
meyakinkan seseorang. Dalam menyajikan fungsi-fungsi hasil pengukuran psikologis, tes
psikologis dapat digunakan sebagai suatu alat prediksi, suatu bantuan diagnosis, suatu
alat pemantau (monitoring), dan sebagai suatu instrumen evaluasi.
1. Prediksi
Hasil pengukuran psikologis dapat membantu dalam memprediksikan
keberhasilan atau ke tingkat keberhasilan tertentu, pekerjaan, jabatan atau karir tertentu,
ataupun dalam suatu bidang usaha yang lainya. Dalam kategori ini tes psikologis acapkali
digunakan dalam rangka pemilihan (seleksi) atau menjaring orang-orang tertentu untuk
ditempatkan dalam suatu pekerjaan atau jabatan tertentu.
Konselor profesional yang terlibat dalam layanan testing berkewajiban
memberikan informasi tentang prediksi hasil tes kepada para anak didiknya dan
menjelaskan kepadanya fungsi dan peranan dari tes yang telah dijalaninya. Dari beberapa
informasi yang diberikan tersebut, konselor berkewajiban pula untuk membantu
mendapatkan yang lebih jelas kepada anak didiknya tentang hasil-hasil pengukuran
psikologis tersebut dan dapat mengambil keputusan yang bermakna dan layak serta
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
2. Diagnosi
Hasil pengukiuran psikologis dapat dimanfaatkan dalam diagnosis. Fungsi
diagnosis yang dimaksud di sini adalah perumusan masalah yang dihadapi oleh seseorang
atau klien dan perkiraan penyebabnya. Klien dapat dibantu untuk memahami dengan baik
pengetahuan dan keterampilan tertentu yang dimilikinya sehingga klian memiliki
wawasan yang lebih luas dalam bidang-bidang tertentu yang memungkinkan dapat
diraihnya dengan cepat dan tepat. Kemudian klien dapat mengambil suatu keputusan
bidang-bidang mana yang memerlukan perhatian atau konsentrasi yang sungguh-
sungguh.
Penggunaan testing dalam diagnosis dapat memberikan informasi tentang
bberbagai pekerjaan atau jabatan kepada seseorang. Hal-hal lainnya yang dikaitkan
dengan aspek-aspek testing pada diagnosis adalah tes yang dapat memberikan informasi
yang mungkin belum dikenal sebelumnya.
Dalam beberapa hal, inventori minat mungkin dapat mengidentifikasi bidang minat yang
belum dikenal sebelumnya, dan dengan demikian melibatkan klien dalam eksplorasi
secara lebih mendalam pengenalan terhadap minat-minatnya.
3. Monitoring
Tes psikologis dapat berfungsi sebagai alat pemantau. Misalnya, para konselor
dan staf sekolah lainnya dapat mengamati dan memantau sejauh mana kemajuan yang
telah dicapai siswa, sehingga mereka dapat secara langsung mengambil manfaat dari hasil
pengukuran psikologis.
Tes prestasi (achievment tes) misalnya, dapat memberikan manfaat karena
kemajuan dalam bidang akademis akan dipantau sepanjang waktu tertentu atau setiap saat
dan acap kali tidak dapat diduga-duga terjadinya perubahan yang dapat dicek kembali
oleh konselor.
Pengukuran psikologis lainnya dapat diberikan dengan cara yang sama untuk
membantu konselor dan klien sebagai suatu upaya untuk meningkatkan beberapa macam
perubahan dalam perilaku, sikap, dan keterampilan-keterampilan klien.
Selain fungsi-fungsi tersebut di atas, juga terdapat fungsi-fungsi lain, di antaranya:
1. Fungsi seleksi, yaitu untuk memutuskan individu-individu yang akan dipilih,
misalnya tes masuk suatu lembaga pendidikan atau tes seleksi suatu jenis jabatan
tertentu. Berdasarkan hasil-hasil tes psikologis yang dilakukan, pimpinan lembaga
dapat memutuskan calon-calon pelamar yang dapat diterima dan menolak calon-calon
yang lainya.
2. Fungsi klasifikasi, yaitu mengelompokkan individu-individu dalam kelompok sejenis,
misalnya mengelompokkan siswa yang mempunyai masalah yang sejenis, sehingga
dapat diberikan bantuan yang sesuai dengan masalahnya. Atau mengelompokkan
siswa ke dalam program khusus tertentu.
3. Fungsi deskripsi, yaitu hasil tes psikologis yang telah dilakukan tanpa klasifikasi
tertentu, misalnya melaporkan profil seseorang yang telah di tes dengan tes inventori.
4. Mengevaluasi suatu treatment, yaitu untuk mengetahui suatu tindakan yang telah
dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok individu, apakah telah dicapai atau
belum. Atau seberapa hasil yang ditimbulkan oleh suatu tindakan tertentu terhadap
seseorang atau sekelompok orang. Misalnya seorang siswa yang mengalami kesulitan
belajar diberikan remedial. Setelah remedial tersebut lalu diadakan tes untuk
mengetahui apakah remedial yang diberikan berhasil atau belum.
5. Menguji suatu hipotesis, yaitu untuk mengetahui apakah hipotesis yang dikemukakan
itu betul atau salah. Misalnya seorang peneliti mengemukakan hipotesis sebagai
berikut: makin terang lampu yang digunakan untuk belajar makin baik prestasi belajar
yang akan dicapai. Untuk menguji betul tidaknya hipotesis yang dikemukakan itu
dapat dilakukan suatu eksperimen.
Dari berbagai keterangan di atas, dapat diketahui bahwa fungsi tes psikologis di
samping untuk klasifikasi, deskripsi, evaluasi, menguji hipotesis, juga berfungsi untuk
seleksi. Semua fungsi-fungsi dipergunakan sebagai kerangka acuan dalam pengambilan
keputusan karir.
Azwar Saifuddin, Dasar – Dasar Psikometri, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offdet, 2010
Noor Hasanuddin, Psikometri Aplikasi Dalam Penyesunan Instrumen Pengukuran
Perilaku, 2009.
Anastasi, Anne and Susana Urbina, Psychological Testing. Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall International, Inc. 1997Sukardi, Dewa Ketut. 1990. Analisis Tes Psikologi.
Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
http://www.scribd.com/doc/223365981/sikometri,