Professional Documents
Culture Documents
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hama dan Penyakit dalam Teknologi Pascapanen
disusun oleh:
1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui jenis penyakit yang terdapat
pada pascapanen komoditas jagung serta bagaimana cara pengendalian terhadap penyakit
tersebut.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai sumber
informasi atau bahan bacaan yang berkaitan dengan penyakit pasca panen yang terdapat pada
komoditas jagung serta cara pengendaliannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Spesies Fusarium mampu bertahan hidup pada sisa pertanaman jagung sebagai
miselium atau struktur hidup lainnya. F. graminearum menghasilkan klamidiospora yang
dapat bertahan lama, sedangkan F. verticillioides dapat meghasilkan hifa menebal yang
memiliki kemampuan bertahan hidup Penyebaran konidia atau spora Fusarium dapat terjadi
melalui percikan air atau udara. Mikrokonidia dari F. verticillioides, F. subglutinans, dan F.
proliferatum umumnya tersebar di udara. Makrokonidia juga berperan dalam penularan
penyakit namun tidak sepenting mikrokonidia (Pakki 2016).
Perbedaan morfologi antar spesies didasarkan atas bentuk spora dan tangkainya.
Perkembangan cendawan Fusarium dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kelembaban,
curah hujan, media tumbuh, suhu di lingkungan pertanaman. Cendawan ini dapat
menginfeksi tanaman jagung pada semua fase perkembangan sejak menginfeksi biji, melalui
luka gigitan serangga vektor dan sumber inokulum, kemudian menginfeksi pada fase
prapanen hingga pascapanen (Munkvold et al. 1997). Gejala penularan Fusarium spp.
ditemukan pada tongkol dan batang jagung. Permukaan biji jagung yang terinfeksi berwarna
merah muda hingga cokelat, terkadang tumbuh miselium berwarna merah muda. Jika biji
tersebut ditumbuhkan maka perkembangan akar dan kecambahnya lebih lambat (Suriani et al.
2015).
Pengendalian cendawan fusarium pada tanaman jagung, dilakukan sejak awal prapanen
melalui (1) pengelolaan tanaman dan penyakitnya, (2) penanaman varietas tahan, (3)
pengendalian secara kimiawi, dan hayati secara terpadu, serta (4) penanganan panen dan
pascapanen. Langkah ini bertujuan untuk mengendalikan penyebaran cendawan Fusarium
dan mencegah kontaminasi serta akumulasi mikotoksin pada tanaman jagung (Suriani dan
Muis 2016).
Kandungan senyawa mikotoksin pada biji jagung juga dapat dikurangi dengan
menggunakan bahan alami, misalnya arang aktif, karena senyawanya dapat berperan sebagai
pengikat mikotoksin. Senyawa-senyawa lain yang dapat digunakan untuk pengikat molekul
mikotoksin antara lain sodium bentonit, zeolit, aluminosilikat, kultur ragi, dan Sacharomyces
cerevisiae (Bahri 2001). Selain bahan alami, bahan kimia juga dapat mengurangi kandungan
mikotoksin pada pangan atau pakan seperti kalsium hidroksida, monometilamin, ammonium
hidroksida, dan sodium bisulfit. Senyawa-senyawa ini dapat menekan kandungan mikotoksin
pada biji jagung. Selain itu, cara yang diperlukan adalah tempat penyimpanan atau gudang
yang bersih, sterilisasi udara dengan filtrasi untuk mengurangi kontaminasi dengan
mikroorganisme. Diperlukan juga masker dan pakaian kerja karyawan agar terhindar dari
kontaminasi mikotoksin di ruangan produksi dan sekelilingnya (Soenartiningsih et al. 2016).
Patogen Penicillium spp. pada biji jagung ditemukan berupa gumpalan miselia
berwarna putih menyelimuti biji, diselingi warna kebiru-biruan. Patogen ini adalah
patogen tular benih yang mempunyai inang utama jagung. Tanaman lain belum
dilaporkan dapat menjadi inangnya, namun dapat menginfeksi tanaman jagung pada fase
prapanen dan pascapanen. Bagian tanaman yang dapat terinfeksi adalah batang, daun,
biji. Gejalanya ditandai oleh bercak pada kulit ari biji, bila menginfeksi tongkol secara
optimal menyebabkan pembusukan. Pengaruh terhadap kualitas benih adalah penurunan
daya tumbuh. Penicillium spp. dapat ditularkan melalui biji. Apabila ditanam, biji-biji
yang terinfeksi Penicillium spp. dari lokasi pertanaman dapat menularkan pada
pertanaman selanjutnya. Patogen akan berkembang baik pada suhu < 15oC dan akan
tertekan perkembangannya pada suhu >25oC. Penyebaran dalam suatu populasi tanaman
di lapang selalu berassosiasi positif dengan populasi serangga. Semakin tinggi populasi
serangga, semakin besar intensitas biji terinfeksi Penicillium spp. karena serangga dapat
menjadi vector penyebar perkembangan patogen ini di pertanaman dan tempat
penyimpanan. Toksin hasil metabolisme sekunder dari patogen Penicillium spp. adalah
ochratoxin dan citreoviridin, yang dapat meracuni ternak. Di Indonesia, toksin ini belum
banyak mendapat perhatian peneliti, sehingga belum ada laporan tentang pengaruh
terhadap kesehatan ternak.
Cemaran Penicillium spp. pada bahan pakan dapat dikurangi dengan melakukan
penyortiran antara biji jagung yang terkontaminasi dengan biji yang sehat. Penjemuran biji
jagung pada kadar air 13% dan penyimpanan pada suhu 15oC dan kelembaban 61,5%
merupakan kondisi ideal untuk menekan cemaran mikotoksin (Asevedo et al. 1993 dalam
Pakki dan Talanca 2007). Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi kerusakan secara
fisik pada saat prosesing dan menekan infestasi serangga, terutama dalam penyimpanan,
karena serangga berperanan penting dalam penyebaran mikotoksin (Stack 2000). Sanitasi
dengan asam propianik secara reguler pada fasilitas tempat penyimpanan dengan tujuan
membersihkan sisa-sisa cendawan sebagai sumber infeksi awal dapat menghindari
terinfeksinya biji sehat.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin pada pangan, pakan dan produksi
peternakan di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 20(2):55-64.
Djaenuddin, N. dan A. Muis. 2013. Uji patogenitas Fusarium moniliforme Sheldon pada
jagung. Seminar Nasional Serealia 2015. Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman
Serealia. hlm 438-442. [diunduh 2018 Okt 15].
Munkvold GP. 2003. Epidemiology of Fusarium disease and their mycotoxins in maize ears.
European Journal of Plant Pathology. 109: 705-713.
Pakki S dan Talanca A Harris. 2007. Jagung : Teknik Produksi dan Pengembangan. Jakarta
(ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.
Pakki S. 2016. Cemaran mikotoksin, bioteknologi patogen Fusarium verticilloides dan upaya
pengendaliannya pada jagung. J. Litbang Pert. 35(1):11-16.
Soenartiningsih, Aqil M, Andayani NN. 2016. Strategi pengendalian pendawan Fusarium sp.
dan kontaminasi mikotoksin pada jagung. Iptek Tanaman Pangan. 11(1): 85-98.
Stack. 2000. Grain mould and mycotoxins in corn. University of Nebraska-Lincol and the
United States of Agricultural. 19 p.
Sudantha IM. 2010. Pengujian beberapa jenis jamur endofit dan saprofit Trichoderma spp.
terhadap penyakit layu Fusarium pada tanaman kedelai. Jurnal Agroteksos 20(2): 90-
102.
Suriani dan Muis A. 2016. Fusarium pada tanaman jagung dan pengendaliannya dengan
memanfaatkan mikroba endofit. Iptek Tanaman Pangan. 11(2): 133-142.
Suriani, Muis A, Aminah. 2015. Efektivitas 8 formulasi Bacillus subtilis dalam menekan
pertumbuhan Fusarium moniliforme secara in vitro. Seminar Nasional Serealia 2015.
Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia. hlm 428-435. [diunduh 2018 Okt 15].