You are on page 1of 7

MAKALAH

Penyakit Pasca Panen Komoditas Penghasil Minyak

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hama dan Penyakit dalam Teknologi Pascapanen

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc


Dr. Efi Toding Tondok, SP, MSC. Agr

disusun oleh:

1. Nanda Supriana (F152180190)


2. Siti Nizar Atfia (F15218071)
3. Wa ode Nafilawati (F152180131)
4. Yandri Iskandar Pah (F152180181)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PASCAPANEN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian subsektor tanaman pangan,
meskipun demikian proses produksi atau budidaya tanaman jagung juga tidak lepas dari
serangan hama dan penyakit seperti halnya pada tanaman pertanian lainnya. Kerugian
yang diderita petani jagung terbilang cukup besar, bahkan beberapa diantaranya
berpotensi menyebabkan gagal panen tanaman jagung. Oleh karena itu, serangan
penyakit pada tanaman jagung diperlukan penanganan yang cepat dan tepat. Beberapa
jenis penyakit yang rentan menyerang pasca panen jagung yaitu busuk tongkol
Aspergillus spp., Fusarium spp., Penicillium spp., Diplodia spp.
Jagung merupakan sumber bahan pangan penting setelah beras di Indonesia.
Selain menjadi sumber bahan pangan, bagi sebagian besar peternak di Indonesia,
jagung menjadi bahan pakan ternak. Berdasarkan data BPS (2012), tahun 2012
produksi jagung diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 7,38% namun, hingga
tahun 2013 impor jagung masih tetap dilakukan. Hal ini dikarenakan masalah kadar air
yang dinilai belum sesuai dengan standar industri pakan nasional dan akibat jamur
patogen yang dapat menurunkan mutu jagung.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa jenis penyakit pascapanen yang umum terdapat pada komoditas jagung ?
2. Bagaimana cara pengendalian penyakit pasca panen terhadap jagung ?

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui jenis penyakit yang terdapat
pada pascapanen komoditas jagung serta bagaimana cara pengendalian terhadap penyakit
tersebut.

1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai sumber
informasi atau bahan bacaan yang berkaitan dengan penyakit pasca panen yang terdapat pada
komoditas jagung serta cara pengendaliannya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Infeksi Aspergillus spp.

2.2. Infeksi Fusarium spp.


Fusarium spp. merupakan salah satu patogen yang menyerang tanaman jagung baik
dilahan maupun di gudang. Di gudang patogen ini berada diurutan kedua setelah Aspergilus
flavus. Beberapa jenis fusarium yang ditemukan pada tanaman jagung diantaranya adalah F.
oxysforium, F. vertilicoides dan F. polidonogeum. Infeksi fusarium spp. dapat menurunkan
kualitas dan kuantitas produksi jagung. Pakki dan Mas’ud (2005) melaporkan infeksi
Fusarium vertilicoides pada biji jagung selama penyimpanan di 14 kabupaten penghasil
jagung di kawasan Indonesia timur. Kontaminasi cendawan ini pada biji mempengaruhi
kualitas dan menentukan nilai jual jagung di tingkat petani. Makin tinggi kontaminasi F.
verticilloides, makin rendah nilai jual jagung.

Spesies Fusarium mampu bertahan hidup pada sisa pertanaman jagung sebagai
miselium atau struktur hidup lainnya. F. graminearum menghasilkan klamidiospora yang
dapat bertahan lama, sedangkan F. verticillioides dapat meghasilkan hifa menebal yang
memiliki kemampuan bertahan hidup Penyebaran konidia atau spora Fusarium dapat terjadi
melalui percikan air atau udara. Mikrokonidia dari F. verticillioides, F. subglutinans, dan F.
proliferatum umumnya tersebar di udara. Makrokonidia juga berperan dalam penularan
penyakit namun tidak sepenting mikrokonidia (Pakki 2016).

Perbedaan morfologi antar spesies didasarkan atas bentuk spora dan tangkainya.
Perkembangan cendawan Fusarium dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kelembaban,
curah hujan, media tumbuh, suhu di lingkungan pertanaman. Cendawan ini dapat
menginfeksi tanaman jagung pada semua fase perkembangan sejak menginfeksi biji, melalui
luka gigitan serangga vektor dan sumber inokulum, kemudian menginfeksi pada fase
prapanen hingga pascapanen (Munkvold et al. 1997). Gejala penularan Fusarium spp.
ditemukan pada tongkol dan batang jagung. Permukaan biji jagung yang terinfeksi berwarna
merah muda hingga cokelat, terkadang tumbuh miselium berwarna merah muda. Jika biji
tersebut ditumbuhkan maka perkembangan akar dan kecambahnya lebih lambat (Suriani et al.
2015).

Selain menurunkan mutu jagung secara morfologi, infeksi F. verticillioides memiliki


kemampuan memproduksi mikotoksin (Djaenuddin dan Muis 2013). Beberapa jenis toksin
yang diproduksi F. verticillioides di antaranya asam fusarat, fusarin, giberilin, moniliformin
dan fumonisin. Khusus pada biji jagung, cendawan ini ditemukan memproduksi asam
fumonisin yang berkorelasi dengan biomasa patogen (Nayaka et al. 2009). Selain kedua
spesies Fusarium spp. tersebut, F. oxysforum dan F. Polidogeum juga dilaporkan
menimbulkan kerugian yang cukup besar pada pertanaman jagung. Oleh karena itu, Fusarium
spp. pada tanaman jagung harus dicegah. Pengendalian Fusarium spp. cukup sulit karena
cendawan ini merupakan patogen tular tanah, memiliki kemampuan bertahan dalam tanah
selama bertahun-tahun meskipun kondisi lingkungan tidak menguntungkan dan tanpa
tanaman inang masih dapat berkembang dengan cara membentuk spora bertahan seperti
klamidospora (Sudantha 2010).

Pengendalian cendawan fusarium pada tanaman jagung, dilakukan sejak awal prapanen
melalui (1) pengelolaan tanaman dan penyakitnya, (2) penanaman varietas tahan, (3)
pengendalian secara kimiawi, dan hayati secara terpadu, serta (4) penanganan panen dan
pascapanen. Langkah ini bertujuan untuk mengendalikan penyebaran cendawan Fusarium
dan mencegah kontaminasi serta akumulasi mikotoksin pada tanaman jagung (Suriani dan
Muis 2016).

Untuk meminimalisasi kontaminasi mikotoksin pada tanaman jagung pada tahapan


pascapanen adalah menentukan kualitas biji yang dihasilkan. Panen sebaiknya dilakukan
pada saat masak fisiologis dan tidak boleh ditunda. Terlambat panen akibat cuaca yang tidak
menguntungkan menurunkan kualitas hasil. Pemanenan terlalu awal menyebabkan banyak
biji jagung yang masih muda sehingga daya simpannya rendah dan banyak biji yang keriput.
Setelah dipanen, biji jagung dikeringkan untuk menurunkan kadar air biji agar aman
disimpan. Kadar air biji jagung yang aman disimpan berkisar antara 12-14%, dan terhindar
dari infeksi cendawan atau mikroorganisme yang lain. Perubahan kadar air biji jagung dapat
terjadi karena pengaruh cuaca seperti panas, hujan, pergantian siang dan malam, serta tempat
penyimpanan. Sebelum disimpan, biji jagung disortasi terlebih dahulu untuk memisahkan biji
yang tidak terinfeksi dengan yang bercendawan dan yang rusak karena serangga, sehingga
dapat meminimalisasi kontaminasi mikotoksin. Pemisahan biji yang terinfeksi cendawan bisa
menggunakan Near Infra Red (NIR) dengan mudah dan cepat. Kerusakan biji dapat terjadi
karena butir retak atau pecah yang mengakibatkan kerusakan pada endosperm. Hal ini
disebabkan oleh proses pemipilan dengan menggunakan alat pemukul atau mesin perontok
yang kurang sempurna. Biji juga bisa rusak karena serangan hama dan mikroba. Serangan
hama yang memakan sebagian endosferm menyebabkan biji menjadi cacat, mudah
mengalami oksidasi asam lemak, dan menghasilkan asam lemak bebas dengan bau yang tidak
enak. Kerusakan biji juga terjadi karena metabolisme serangga dan mikroba (Soenartiningsih
et al. 2016).

Kandungan senyawa mikotoksin pada biji jagung juga dapat dikurangi dengan
menggunakan bahan alami, misalnya arang aktif, karena senyawanya dapat berperan sebagai
pengikat mikotoksin. Senyawa-senyawa lain yang dapat digunakan untuk pengikat molekul
mikotoksin antara lain sodium bentonit, zeolit, aluminosilikat, kultur ragi, dan Sacharomyces
cerevisiae (Bahri 2001). Selain bahan alami, bahan kimia juga dapat mengurangi kandungan
mikotoksin pada pangan atau pakan seperti kalsium hidroksida, monometilamin, ammonium
hidroksida, dan sodium bisulfit. Senyawa-senyawa ini dapat menekan kandungan mikotoksin
pada biji jagung. Selain itu, cara yang diperlukan adalah tempat penyimpanan atau gudang
yang bersih, sterilisasi udara dengan filtrasi untuk mengurangi kontaminasi dengan
mikroorganisme. Diperlukan juga masker dan pakaian kerja karyawan agar terhindar dari
kontaminasi mikotoksin di ruangan produksi dan sekelilingnya (Soenartiningsih et al. 2016).

2.3. Infeksi Penicillium spp.

Patogen Penicillium spp. pada biji jagung ditemukan berupa gumpalan miselia
berwarna putih menyelimuti biji, diselingi warna kebiru-biruan. Patogen ini adalah
patogen tular benih yang mempunyai inang utama jagung. Tanaman lain belum
dilaporkan dapat menjadi inangnya, namun dapat menginfeksi tanaman jagung pada fase
prapanen dan pascapanen. Bagian tanaman yang dapat terinfeksi adalah batang, daun,
biji. Gejalanya ditandai oleh bercak pada kulit ari biji, bila menginfeksi tongkol secara
optimal menyebabkan pembusukan. Pengaruh terhadap kualitas benih adalah penurunan
daya tumbuh. Penicillium spp. dapat ditularkan melalui biji. Apabila ditanam, biji-biji
yang terinfeksi Penicillium spp. dari lokasi pertanaman dapat menularkan pada
pertanaman selanjutnya. Patogen akan berkembang baik pada suhu < 15oC dan akan
tertekan perkembangannya pada suhu >25oC. Penyebaran dalam suatu populasi tanaman
di lapang selalu berassosiasi positif dengan populasi serangga. Semakin tinggi populasi
serangga, semakin besar intensitas biji terinfeksi Penicillium spp. karena serangga dapat
menjadi vector penyebar perkembangan patogen ini di pertanaman dan tempat
penyimpanan. Toksin hasil metabolisme sekunder dari patogen Penicillium spp. adalah
ochratoxin dan citreoviridin, yang dapat meracuni ternak. Di Indonesia, toksin ini belum
banyak mendapat perhatian peneliti, sehingga belum ada laporan tentang pengaruh
terhadap kesehatan ternak.

Cemaran Penicillium spp. pada bahan pakan dapat dikurangi dengan melakukan
penyortiran antara biji jagung yang terkontaminasi dengan biji yang sehat. Penjemuran biji
jagung pada kadar air 13% dan penyimpanan pada suhu 15oC dan kelembaban 61,5%
merupakan kondisi ideal untuk menekan cemaran mikotoksin (Asevedo et al. 1993 dalam
Pakki dan Talanca 2007). Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi kerusakan secara
fisik pada saat prosesing dan menekan infestasi serangga, terutama dalam penyimpanan,
karena serangga berperanan penting dalam penyebaran mikotoksin (Stack 2000). Sanitasi
dengan asam propianik secara reguler pada fasilitas tempat penyimpanan dengan tujuan
membersihkan sisa-sisa cendawan sebagai sumber infeksi awal dapat menghindari
terinfeksinya biji sehat.

2.4. Infeksi Diplodia spp.


Busuk tongkol diplodia disebabkan oleh infeksi cendawan diplodia maydis (Berk.)
Sacc., D. macrospora Earle. Gejala yang disebabkannya yaitu infeksi awal yang terjadi pada
biji belum terlihat hingga seluruh tongkol dan kelobot terserang. Adanya infeksi cendawan
ini ditandai dengan adanya miselium berwarna putih hingga cokelat kelabu. Pembusukan
biasanya berkembang dari pangkal ke ujung tongkol. Gejala pada upih daun yaitu adanya
bercak berwarna ungu kemerahan sampai cokelat tua, meluas ke buku dan pangkal ruas
batang, busuk batang dimulai dari luka upih (tempat keluarnya akar adventif).
Serangan penyakit ini dapat menyebabkan adanya infeksi kompleks yaitu seperti
busuk tongkol, busuk daun dan penyakit pada persemaian. Ciri mikroskopis dari cendawan
ini membentuk piknidium dalam jaringan, berbentuk bulat, berwarna coklat tua hingga
kehitaman dengan diameter 150-300 µm, dinding bersel banyak, berwarna lebih gelap
disekeliling ostiol yang bulat dan menonjol yang mempunyai garis tengah 40 µm. Patogen
mempertahankan diri dalam biji dan dan hidup sebagai saprofit pada sisa-sisa tanaman yang
terinfeksi. Saat cuaca lembab, konidium keluar dari piknidium seperti benang-benang hitam ,
dan seterusnya konidium dapat dipencarkan oleh percikan air atau setelah mengering oleh
angin. Pengendalian dapat dilakukan dengan penanaman benih yang sehat, penanaman
varietas yang tahan dan perlakuan benih (seed dressing).

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin pada pangan, pakan dan produksi
peternakan di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 20(2):55-64.

Djaenuddin, N. dan A. Muis. 2013. Uji patogenitas Fusarium moniliforme Sheldon pada
jagung. Seminar Nasional Serealia 2015. Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman
Serealia. hlm 438-442. [diunduh 2018 Okt 15].

Munkvold GP. 2003. Epidemiology of Fusarium disease and their mycotoxins in maize ears.
European Journal of Plant Pathology. 109: 705-713.

Nayaka S, Chandra U. Shankar C, Arakere, Reddy, Munagala, Niranjana, Siddapura HS.


Prakas, Setty et al. 2009. Control of Fusraium verticilloides, couse of ear rot of maize,
by Pseudomonas flourescens. Pest Management Science. Indian Academy of Science
65(7): 769-775.

Pakki S dan Talanca A Harris. 2007. Jagung : Teknik Produksi dan Pengembangan. Jakarta
(ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.
Pakki S. 2016. Cemaran mikotoksin, bioteknologi patogen Fusarium verticilloides dan upaya
pengendaliannya pada jagung. J. Litbang Pert. 35(1):11-16.

Soenartiningsih, Aqil M, Andayani NN. 2016. Strategi pengendalian pendawan Fusarium sp.
dan kontaminasi mikotoksin pada jagung. Iptek Tanaman Pangan. 11(1): 85-98.

Stack. 2000. Grain mould and mycotoxins in corn. University of Nebraska-Lincol and the
United States of Agricultural. 19 p.

Sudantha IM. 2010. Pengujian beberapa jenis jamur endofit dan saprofit Trichoderma spp.
terhadap penyakit layu Fusarium pada tanaman kedelai. Jurnal Agroteksos 20(2): 90-
102.

Suriani dan Muis A. 2016. Fusarium pada tanaman jagung dan pengendaliannya dengan
memanfaatkan mikroba endofit. Iptek Tanaman Pangan. 11(2): 133-142.

Suriani, Muis A, Aminah. 2015. Efektivitas 8 formulasi Bacillus subtilis dalam menekan
pertumbuhan Fusarium moniliforme secara in vitro. Seminar Nasional Serealia 2015.
Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia. hlm 428-435. [diunduh 2018 Okt 15].

You might also like