You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi atau darah tinggi adalah keadaan dimana seseorang


mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal atau kronis (dalam
waktu yang lama). Hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh
tubuh kita sendiri. Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang
membutuhkan perhatian karena dapat menyebabkan kematian utama di
negara-negara maju maupun berkembang. Di seluruh dunia sekitar 927 juta
orang atau 26,4% mengalami hipertensi. Dari jumlah tersebut perempuan
lebih banyak yang mengalami hipertensi. (WHO, 2015)
Prevalensi penderita hipertensi di Indonesia setiap tahun semakin
meningkat. Berdasarkan data Kemenkes RI pada tahun 2012 penyakit
hipertensi termasuk penyakit dengan jumlah yang terbanyak pada kasus
rawat jalan yaitu 80.615 kasus. Hipertensi merupakan penyakit penyebab
kematian peringkat ketiga di Indonesia dengan CFR (Case Fatality Rate)
sebesar 4,81%. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% dan
cakupan diagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan mencapai 36,8% atau
dengan kata lain sebagian besar hipertensi dalam masyarakat belum
terdiagnosis (63,2%). (Riskesdas, 2013)
Penyakit hipertensi sendiri dapat terjadi dari berbagai faktor yaitu
faktor yang tidak dapat terkontrol seperti genetik, umur, jenis kelamin.
Selain itu juga karena faktor faktor yang dapat terkontrol seperti asupan
makanan dan pola hidup. Secara umum seseorang dikatakan menderita
hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg
(normalnya 120/80 mmHg). Meningkatnya tekanan darah dapat juga
dipengaruhi banyak jenis makanan yang siap saji, serta kurangnya
mengkonsumsi makanan yang berserat seperti buah dan sayur. Faktor lain
yang yang bisa memicu meningkatnya tekanan darah yaitu bertambahnya
tingkat kehidupan diperkotaan, seperti tingginya pengangguran, kemiskinan,

1
kepadatan pemukiman yang mengakibatkan gangguan mental, emosi, dan
stress yang cukup tinggi. Pola hidup yang tidak baik seperti tingginya
pemakaian kendaraan pribadi dan padatnya kesibukan kerja mengakibatkan
orang sedikit gerak dan melakukan olahraga, perilaku santai yang ditandai
dengan lebih tingginya asupan kalori yang dikonsumsi dan kurangnya
aktifitas fisik merupakan faktor terjadinya penyakit jantung, yang biasanya
didahului dengan meningkatnya tekanan darah. Perilaku santai yang
digambarkan dengan adanya kemudahan akses, kurangnya aktifitas fisik
(olahraga). (Kemenkes, 2012)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolic lebih dari 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam
keadaan cukup istirahat/tenang. (Kemenkes RI, 2012)

B. Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan makin
meningkatnya populsi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi
kemungkinan besar juga bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupu
n kombinasi hipertensi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari
separuh orang yang berusia > 65 tahun. Selain itu laju pengendalian tekanan
darah yang dahulu terus meningkat, dalam decade terakhir tidak
menunjukkan kemajuan lagi dan pengendalian tekanan darah ini hanya
mencapai 34 % dari seluruh pasien hipertensi. (WHO, 2015)
Prevalensi penderita hipertensi di Indonesia setiap tahun semakin
meningkat. Berdasarkan data Kemenkes RI pada tahun 2012 penyakit
hipertensi termasuk penyakit dengan jumlah yang terbanyak pada kasus
rawat jalan yaitu 80.615 kasus. Hipertensi merupakan penyakit penyebab
kematian peringkat ketiga di Indonesia dengan CFR (Case Fatality Rate)
sebesar 4,81%. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% dan
cakupan diagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan mencapai 36,8% atau
dengan kata lain sebagian besar hipertensi dalam masyarakat belum
terdiagnosis (63,2%). (Riskesdas, 2013)

C. Klasifikasi
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai
hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer,

3
untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder yang sebab-
sebab yang diketahui.
Menurut The Seven Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC7) kalsifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat
2. (Kasper, 2005)
Tabel 1. Kalsifikasi tekanan darah pada orang dewasa
Klasifikasi Tekanan darah TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prahipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

TDS= Tekana Darah sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik

Sedangkan Klasifikasi hipertensi menurut WHO yaitu : (WHO, 2015)


1. Tekanan darah normal yaitu bila sistolik kurang atau sama dengan 140
mmHg dan diastolik kurang atau sama dengan 90 mmHg
2. Tekanan darah perbatasan (broder line) yaitu bila sistolik 141-149
mmHg dan diastolik 91-94 mmHg
3. Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik lebih besar atau
sama dengan 160 mmHg dan diastolik lebih besar atau sama dengan
95mmHg.
Klasifikasi menurut The Joint National Committee on the Detection
and Treatment of Hipertension
1. Diastolik
a. < 85 mmHg : Tekanan darah normal
b. 85 – 99 : Tekanan darah normal tinggi
c. 90 -104 : Hipertensi ringan
d. 105 – 114 : Hipertensi sedang
e. >115 : Hipertensi berat

4
2. Sistolik (dengan tekanan diastolik 90 mmHg)
a. < 140 mmHg : Tekanan darah normal
b. 140 – 159 : Hipertensi sistolik perbatasan terisolasi
c. > 160 : Hipertensi sistolik teriisolasi
Krisis hipertensi adalah Suatu keadaan peningkatan tekanan darah
yang mendadak (sistole ≥180 mmHg dan/atau diastole ≥120 mmHg), pada
penderita hipertensi, yg membutuhkan penanggulangan segera yang ditandai
oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan timbulnya atau
telah terjadi kelainan organ target (otak, mata (retina), ginjal, jantung, dan
pembuluh darah).
Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat
naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua:
a. Hipertensi Emergensi
Situasi dimana diperlukan penurunan tekanan darah yang segera
dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ
target akut atau progresif target akut atau progresif. Kenaikan TD
mendadak yg disertai kerusakan organ target yang progresif dan di
perlukan tindakan penurunan TD yg segera dalam kurun waktu
menit/jam.
Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi
dimana terjadi kondisi peningkatan tekanan darah yang tidak
terkontrol yang berakibat pada kerusakan organ target yang progresif.
Berbagai sistem organ yang menjadi organ target pada hipertensi
emergensi ini adalah sistem saraf yang dapat mengakibatkan
hipertensi ensefalopati, infark serebral, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan intrakranial; sistem kardiovaskular yang dapat
mengakibatkan infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut, edema
paru akut, diseksi aorta; dan sistem organ lainnya seperti gagal ginjal
akut, retinopati, eklamsia, dan anemia hemolitik mikroangiopatik.
Gambaran klinis krisis hipertensi umumnya adalah gejala organ
target yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada

5
gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur dan edema papilla
mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada
gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping
sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikan tekanan darah
umumnya.
Tabel 2. Hipertensi Emergensi (darurat)
Tekanan Funduskopi Status neurologi Jantung Ginjal Gastrointestinal
darah
> 220/140 Perdarahan, Sakit kepala, Denyut jelas, Uremia, Mual, muntah
mmHg eksudat, kacau, membesar, proteinuria
edema gangguan dekompensasi,
papilla kesadaran, oliguria
kejang.
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ
sasaran tidak hanya dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya
TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan usia
penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD
yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada
penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati,
gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD
Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi
ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang
tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada
eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110
mmHg.

b. Hipertensi Urgensi
Situasi dimana terdapat peningkatan tekanan darah yang
bermakna tanpa adanya gejala yang berat atau kerusakan organ target
progresif bermakna tanpa adanya gejala yang berat atau kerusakan
organ target progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam
beberapa jam. Penurunan TD harus dilaksanakan dalam kurun waktu
24-48 jam (penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat
(dalam hitungan jam sampai hari). (Hadi, 2006)

6
D. Patogenesis
Hipertensi esensial adalah multifaktorial yang timbul terutama
karena interaksi antara faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko
yang mendorong timbulnya kenailan tekanan darah tersebut adalah :
1. Faktor resiko, seperti: diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas,
merokok dan genetis
2. System saraf simpatis
 Tonus simpatis
 Variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi :
endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari
endotel, otot polos dan interstitium juga memberikan kontribusi
akhir
4. Pengaruh system otokrin setempat yang berperan pada system
rennin, angiotensin dan aldosteron.
Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak
bisa diterangkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul
pada akhirnya kesemuaanya itu akan menyangkut kendali natrium (Na)
di ginjal sehingga tekanan darah meningkat.
Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi :
1) Peran volume intravaskular
2) Peran kendali saraf otonom
3) Peran renin angiotensin aldosteron (RAA)
4) Peran dinding vaskular pembuluh darah
1. Peran Volume Intravaskular
Menurut Kaplantekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara
cardiac output (CO) atau curah jantung (CJ) dan total peripheral
resisten (TPR) yang masing-masing dipengaruhi oleh beberapa faktor.

7
Gambar 1. Patogenesis hipertensi menurut Kaplan
Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk
kestabilan tekanan darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan
TPR apakah dalam posisis vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan
NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam
keluar bersama urine ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya
mengekskresi NaCl ini melebihi ambang kemampuan ginjal, maka
ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular meningkat.
Pada gilirannya CO dan CJ akan meningkat. Akibatnya terjadi
ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah akan
meningkat. Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga akan
meningkat, lalu secara berangsur CO dan CJ akan turun menjadi
normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah
akan menururn, sebaliknya bila TPR vasokonstriksi tekanan darah
akan meningkat.
2. Peran Kendali Saraf Otonom
Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah saraf sistem
saraf simpatis, yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf

8
viseral (termasuk ginjal) melalui neurotransmiter : katekolamin,
epinefrin, maupun dopamin.
Sedang saraf parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi
saraf simpatis. Regulasi simpatis dan para simpatis berlangsung
independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi
secara otomatis sesuai siklus sikardian.
Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal,
otak serta dinding vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1, α2, β1
dan β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau
dihambat dengan beta bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka
akan memicu terjadinya vasodilatasi malalui peningkatan nitrit oksida
(NO).
Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stres
kejiwaan, rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktivitas sistem saraf
simpatis berupa kenaikan ketekolamin, nor epineprin (NE) dan
sebagainya.
Selanjutnya neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut jantung
(Heart Rate) lalu di ikuti kenaikan CO atau CJ, sehingga tekanan darah
akan meningkat dan akhirnya akan mengalami agregrasi platelet.
Peningkatan neurotransmiter NE ini menpunyai efek negatif terhadap
jantung, sebab di jantung ada reseptor α1, β1, β2 yang akan memicu
terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi, dan aritmia dengan akibat
progesivitas dari hipertensi aterosklerosis.
Karena pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor α1, maka
bila NE meningkat hal tersebut akan memicu vasokonstriksi (melalui
reseptor α1) sehingga hipertensi aterosklerosis juga semakin progresif.
Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada reseptor β1
dan α1 yang akan memicu terjadinya retensi natrium, mengaktifasi sistem
RAA, memicu vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat hipertensi
aterosklerosis juga makin progresif.

9
Selanjutnya bila NE kadarnya tidak pernah normal maka
sindroma hipertensi aterosklerosis juga akan berlanjut makin
progresif menuju kerusakan organ target/ Target Organ Damage(TOD).

Gambar 2.Faktor-faktor penyebab aktivasi sistem saraf simpatis


3. Peran Renin Angiotensi Aldosteron
Bila tekanan darah menurun maka ini akan memicu refleks
baroreceptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan mengikuti
kaskade seperti tampak pada gambar dibawah ini yang mana pada
akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin I (A I), angiotensin
II (AII), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali.
Begitulah secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi melalui
aktifasi dari sistem RAA.
Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan
angiotensinogen yang di buat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan
di rubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula
densa appartat juxta glomerulus ginjal. Lalu angiotensin I akan
dirubah menjadi angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin

10
converting enzime). Akirnya angiotensin II ini akan bekerja pada
reseptor-reseptor yang terkait AT1, AT2, AT3, AT4.
Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem RAA.
Tekanan darah makin meningkat, hipertensi aterosklerosis makin
progresif. Ternyata yang berperan utama untuk memicu progresifitas
ialan angiotensin II,bukti uji klinis yang sangat kuat. Setiap
intervensi klinik pada tahap-tahap aterosklerosis kardiovaskular
kontinum ini terbukti selalu bisa menghambat progresifitas dan
menurunkan risiko kejadian kardiovaskular.
4. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit
yang berlanjut terus menerus sepanjang usia. Paradigma yang baru
tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel, lalu berlanjut
menjadi disfungsi vascular, vascular biologis berubah, lalu berakhir
dengan TOD.
Mungkin hipertensi ini lebih cocok menjadi bagian dari salah satu
gejala sebuah sindroma penyakit yang akan kita sebut sebagai “The
artherosclerosis syndrome” atau “the hypertension syndrome”, sebab
pada hipertensi sering disertai gejala-gejala lain berupa resistensi
insulin, gangguan toleransi glukosa, kerusakan membran transport,
disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran ventrikel kiri, gangguan
simpatis parasimpatis. Aterosklerosis ini akan akan berjalan progresif
dan berakhir dengan kejadian kardiovaskular.
Bonetti et al berpendapat bahwa disfungsi endotel merupakan
sindroma klinis yang bisa langsung berhubungan dengan dan dapat
memprediksi peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Progresifitas
sindrom aterosklerotik ini dimulai dengan faktor risiko yang tidak
dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin berubah,
hipertensi makin meningkat serta vaskular biologi berubah, dinding
pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan kejadian
kardiovaskular.

11
Faktor risiko yang paling dominan memegang peranan untuk
progresivitas ternyata tetap diegang oleh angiotensin II. Bukti klinis
sudah mencapai tingkat evidence A, bahwa bila peran angiotensin II
dihambat oleh ACE-inhinitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker
(ARB), risiko kejadian hipertensidapat dicegah-diturunkan secara
meyakinkan. WHO menetapkan bahwa faktor risiko paling banyak
menyebakan premature death ialah hipertensi. (Hadi, 2006)

E. Patofisiologi
Bentuk manapun dari hipertensi yang menetap, baik primer maupun
sekunder, dapat dengan mendadak mengalami percepatan kenaikan dengan
tekanan diastolik meningkat cepat sampai di atas 130 mmHg dan menetap
lebih dari 6 jam. Hal ini dapat menyebabkan nekrosis arterial yang lama dan
tersebar luas, serta hiperplasi intima arterial interlobuler nefron-nefron.
Perubahan patologis jelas terjadi terutama pada retina, otak dan ginjal. Pada
retina akan timbul perubahan eksudat, perdarahan dan udem papil. Gejala
retinopati dapat mendahului penemuan klinis kelainan ginjal dan merupakan
gejala paling terpercaya dari hipertensi maligna.
Otak mempunyai suatu mekanisme otoregulasi terhadap kenaikan
ataupun penurunan tekanan darah. Batas perubahan pada orang normal
adalah sekitar 60-160 mmHg. Apabila tekanan darah melampaui tonus
pembuluh darah sehingga tidak mampu lagi menahan kenaikan tekanan
darah maka akan terjadi udem otak. Tekanan diastolik yang sangat tinggi
memungkinkan pecahnya pembuluh darah otak yang dapat mengakibatkan
kerusakan otak yang irreversible.
Pada jantung kenaikan tekanan darah yang cepat dan tinggi akan
menyebabkan kenaikan after load, sehingga terjadi payah jantung.
Sedangkan pada hipertensi kronis hal ini akan terjadi lebih lambat karena
ada mekanisme adaptasi. Penderita feokromositoma dengan krisis hipertensi
akan terjadi pengeluaran norefinefrin yang menetap atau berkala.

12
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak
mengalami perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg –
160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara
60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiper kapnia, autoregulasi menjadi lebih
sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang sedikit
saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnya
oedema otak. Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi
melalui beberapa cara:
a) Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi sehingga
mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya.
b) Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga
mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah
melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung
dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan
menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut,
dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena
arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga
meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil
(arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan
saraf atau hormon di dalam darah.
c) Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan
meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan
fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan
air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat,
sehingga tekanan darah juga meningkat. Sebaliknya, jika aktivitas
memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, dan
banyak cairan keluar dari sirkulasi maka tekanan darah akan
menurun.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke

13
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun
tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan
structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab
pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan
tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume

14
sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan
tahanan perifer (Smeltzer, 2002).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi
palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh
cuff sphygmomanometer (Darmojo, 2006).
Menurunnya tonus vaskuler merangsang saraf simpatis yang
diteruskan ke sel jugularis. Dari sel jugularis ini bisa meningkatkan tekanan
darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka akan mempengaruhi eksresi
pada rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan adanya
perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi
pada pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah.Selain itu
juga dapat meningkatkan hormone aldosteron yang menyebabkan retensi
natrium. Hal tersebut akan berakibat pada peningkatan tekanan darah.
Dengan peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan
pada organ-organ seperti jantung. (Muttaqin, 2009)

15
F. Pathways

16
G. Kerusakan Organ Target
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang
umum ditemui pada pasien hipertensi adalah :
1. Jantung
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Angina atau infark miokardium
 Gagal jantung
2. Otak
 Stroke atau transient ischemic attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakn organ-
organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah
pada organ, atau karena efek tidak langsung , antara lain adanya
autoantibodi terhadap reseptor ATI angiotension II, stress oksidatif, down
regulation dari ekspresi nitric oxide synthase. Penelitian lain juga
membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam
berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan
pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β
(TGF-β). (Mansjoer, 2001)
Adanya kerusakan organ target terutama pada jantung dan pembuluh
darah,, akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya
morbidaitas dan mortalitas pasien hipertensi terutama disebabkan oleh
timbulnya penyakit kardiovaskular. (Mansjoer, 2001)
Faktor resiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara
adalah :
 Merokok
 Obesitas
 Kurangnya aktivitas fisik

17
 Dislipidimia
 Diabetes mellitus
 Mikroalbiminuria
 Umur (laki-laki) > 55 tahun, perempuan 65 tahun
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular
premature
Pasien dengan prahipertensi beresiko mengalami peningkatan
tekanan darah menjadi hipertensi, mreka yang tekanan darahnya berkisar
antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan mengalami
dua kali resiko menjadi hipertensi dan mengalami kardiovaskular daripada
yang tekanan darahnya lebih rendah. (Mansjoer, 2001)
Pada orang yang berumur lebih dari 59 tahun, tekanan darah sistolik
> 140 mmHg merupakan faktor resiko yang lebih penting untuk terjadinya
penyakit kardiovaskular daripada tekanan darah diastolik :
 Resiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75
mmHg meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg
 Resiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten dan
independen dari faktor resiko lainnya
 Individu berumur 55 tahun memiliki 90% resiko untuk mengalami
hipertensi

H. Evaluasi Hipertensi
Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk :
1. Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular
lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi
prognosis dan menentukan pengobatan
2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah
3. Menentukan ada tidakanya kerusakan target organ dan penyakit
kardiovaskular

18
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis
tentang keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi :
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a) Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b) Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri,
pemakian obat-obat analgesic
c) Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma)
d) Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor resiko :
a) Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien
b) Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarga pasien
c) Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarga pasien
d) Kebiasaan merokok
e) Pola makan
f) Kegemukan, intensitas olahraga
g) Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a) Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attack, deficit sensoris atau motoris
b) Jantung : nyeri dada, sesak, bengkak kai
c) Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri
d) Arteri perifer : ekstremitas dingin
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga dam lingkungan.

19
Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk
evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta
kemungkinan adanya hipertensi sekunder.
Pengukuran tekana darah :
 Pengukuran rutin di kamar periksa
 Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-
ABPM)
 Pengukuran sendiri oleh pasien
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari :
 Tes darah rutin
 Gluukosa darah
 Kolesterol total serum
 Kolesterol LDL dan HDL serum
 Trigliserida serum
 Asam urat serum
 Kreatinin serum
 Kalium serum
 Hemoglobin dan hematokrit
 Urinalisis
 Elektrokardiogram
Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan test lain
seperti :
 Esokardiogram
 USG karotis
 C-reactive protein
 Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin
 Proteinuria kuantitatif
 Funduskopi
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya
penyakit penyerta sistemik, yaitu :

20
 Arteriosklerosis (malalui pemerikasaan profil lemak)
 Diabetes (terutama pemerikasaan gula darah)
 Fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum,
serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus)
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedanga pemeriksaan
lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan
dan gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ
target meliputi :
1. Jantung
 Pemeriksaan fisis
 Foto polos dada (untuk pembesaran jantung, kondisi arteri
intratoraks dan sirkulasi pulmoner)
 Elektrokardiografi (untuk deteksi iskemia, gangguan konduksi,
aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri)
 Ekokardiografi
2. Pembuluh darah
 Pemeriksaan fisis termasuk perhitungan pulse pressure
 Ultrasonografi (USG) karotis
 Fungsi endotel
3. Otak
 Pemeriksaan neurologis
 Diagnosis stroke ditegakkan dengan menggunakan cranial
computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) (untuk pasien dengan gangguan neural,
kehilangan memori atau gangguan kognitif)
4. Mata
 Funduskopi

21
5. Fungsi ginjal
 Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya
proteinuria/mikro-makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin
urin
 Perkiraan laju filtrasi glomerulus

I. Farmakologi
Tujuan farmakologi pasien hipertensi adalah :
 Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi
(diabetes, gagal ginjal proteinuria) <130/80 mmHg
 Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
 Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau
kondisi penyerta lainna seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga
harus dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis harus dilaksnakan oleh semua pasien
hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan
faktor-faktor resiko serta penyakit pemyerta lainnya.
Terapi nonfarmakologis terdiri dari :
 Menghentikan merokok
 Menurunkan berat badan berlebih
 Menurunkan konsumsi alcohol berlebih
 Latihan fisik
 Menurunkan asupan garam
 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan
lemak
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmaklogis hipertensi
yang dianjurkan oleh JNC7 :

22
 Diuretika, terutama jenis Thiazide (thiaz) atau Aldosterone
Antagonist (Aldo Ant)
 Beta Blocker (BB)
 Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
 Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor
antagonist/blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan
keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi
juga dipengaruhi beberapa faktor yaitu:
 Faktor sosial ekonomi
 Profil faktor resiko kardiovaskular
 Ada tidaknya kerusakan organ target
 Ada tidaknya penyakit penyerta
 Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
 Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang gunakan pasien
untuk penyakit lain
 Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan
dalam menurunkan resiko kardiovaskular
Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien
berdasarkan yang memerlukan pertimbangan khusus yaitu kelompok
Indikasi yang memaksa dan keadaan khusus lainnya .
Indikasi yang memaksa ,meliputi :
 Gagal jantung
 Pasca infark miokardium
 Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
 Diabetes
 Penyakit ginjal kronis
 Pencegahan stroke berulang

23
Keadaan khusus lainnya meliputi :
 Populasi minoritas
 Obesitas dan sindrom metabolic
 Hipertrofi ventrikel kanan
 Penyakit arteri perifer
 Hipertensi pada usia lanjut
 Hipotensi postural
 Demensia
 Hipertensi pada perempuan
 Hipertensi pada anak dan dewasa muda
 Hipertensi urgensi dan emergensi
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa
minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa
kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian
sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat
antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal
dan ada tidkanya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan
dalam dosis rendah dan kemudian tekanan darah belum mencapai target
maka selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah
ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa
dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun
kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi
dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien
adalah :
 CCB dan BB
 CCB dan ACEI atau ARB

24
 CCB dan diuretika
 AB dan BB
 Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat

J. Pemantauan
Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus datang kembali
untuk evaluasi lanjutan dna pengaturan dosis obat sampai target tekanan
darah tercapai. Setelah tekanan darah tercapai dn stabil, kunjungan
berikutnya dengan interval 3-6 bulan tetapi frekuensi kunjungan ini juga
ditentukan oleh ada tidaknya kormoditas seperti gagal jantung, penyakit
yang berhubungan seperti diabetes dan kenutuhan akan pemeriksaan
laboratorium.
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan :
 Empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi dan
kepatuhan pasien
 Dokter harus mempertimbangkan latarbalakang budaya kepercayaan
pasien serta sikap pasien terhadap pengobatan
 Pasien diberitahu hasil pengukuran tekanan darah, target yang masih
harus dicapai, rencana pengobatan selanjutnya serta pentingnya
mengikuti rencana tersebut.
Penyebab hipertensi resisten :
1. Pengukuran tekanan darah yang tidak benar
2. Dosis belum memadai
3. Ketidakpatuhan pasien dalam penggunan obat antihipertesni
4. Ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup
 Asupan alcohol berlebih
 Kenaikan berat badan berlebih
5. Kelebihan volume cairan
 Asupan garam berlebih
 Terapi diuretika tidak cukup

25
 Penurunan fungsi ginjal berjalan progresif
6. Adanya terapi lain
 Masih menggunakan bahan/obat lain yang meningkatkan tekanan
darah
 Adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan
kerja obat antihipertensi
7. Adanya oernyebab hipertensi lain/sekunder
Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan
darah) tidak tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke
dokter spesialis atau subspesialis.
Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup.
Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya
tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan antihipertensi.
Walaupun demikian untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi
secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta
tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini harus
disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat.

26
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas pasien :
Nama : Sri Suparmi
No RM : 01356229
Umur : 61 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Kapuas 33 RT 03 RW 02 Kedungjenar Blora

II. Riwayat biologis keluarga :


a. Keadaan kesehatan sekarang : Sedang
b. Kebersihan perorangan : Baik
c. Penyakit yang sering diderita : Sakit kepala
d. Penyakit keturunan : Tidak ada
e. Penyakit kronis/ menular : Tidak ada
f. Kecacatan anggota keluarga : Tidak ada
g. Pola makan : Baik
h. Pola istirahat : Sedang
i. Jumlah anggota keluarga : 2 orang

27
III. Keluhan Utama
Lemas dan pusing

IV. Keluhan Tambahan


Mual, muntah, nyeri

V. Riwayat penyakit sekarang :


SS sering mengalami pusing dan lemas, SS juga ada riwayat hipertensi
semenjak 1 tahun yang lalu. SS juga sering mengalami mual, muntah, dan
nyeri. Riwayat alergi obat disangkal.

VI. Riwayat penyakit dahulu


- Batu ginjal

VII. Pemeriksaan fisik


- Tekanan darah 180/110 mmHg

VIII. Diagnosis penyakit


Hipertensi

IX. Diagnosis keluarga


-

X. Anjuran penatalaksanaan Penyakit


a. Promotif :
Menghimbau kepada orang tua lain yang berusia di atas 45 tahun dan yang
berisiko tinggi untuk memiliki hipertensi, agar dapat menjalankan pola
hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang sehat, tidak tinggi
kolesterol, menghindari rokok, melakukan olahraga ringan dan mengurangi
aktivitas yang berat dan menyita banyak pikiran.

28
b. Preventif :
Menjalankan pola atau gaya hidup yang sehat dengan mengkonsumsi
makanan yang tidak tinggi kandungan kolesterolnya, mengurangi konsumsi
kacang-kacangan, menghindari rokok, berolahraga ringan, mengurangi
aktivitas yang membutuhkan banyak pikiran, menghindari stress, hindari
makanan mengandung asam urat, membatasi aktivitas fisik.
c. Kuratif :
Terapi medika mentosa :

 RL 20 tpm
 Ranitidin 2 x 1
 Ceftriaxon 2 x 1 gram

Terapi non medika mentosa


1. Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh. Harus memperhatikan kebiasaan
makan penderita hipertensi.
2. Menghindari stress. Ciptakan suasana yang menenangkan bagi pasien
penderita hipertensi.
3. Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat. Anjurkan kepada pasien
penderita hipertensi untuk melakukan olahraga seperti senam aerobik atau
jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali seminggu. Selain itu
menghentikan kebiasaan merokok dan mengurangi minum minuman
beralkohol sebaiknya juga dilakukan.
d. Rehabilitatif :

 Kontrol penyakit ke dokter minimal sebulan sekali.


 Monitoring :
 Tekanan darah
 Kerusakan target organ :
- Mata (Retinopati hipertensi)

29
- Ginjal (Nefropati hipertensi)
- Jantung (HHD)
- Otak (Stroke)
 Interaksi obat dan efek samping
 Kepatuhan

XI. Prognosis
Penyakit : dubia ad bonam
Keluarga : dubia ad bonam
Masyarakat : dubia ad bonam

30
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil pemeriksaan saat kunjungan rumah pada tanggal 27 Juni 2018,
didapatkan bahwa pasien adalah penderita Hipertensi derajat II kronik tidak
terkontrol. Pasien kurang memiliki pengetahuan tentang penyakitnya sehingga
melakukan pola hidup yang salah, kurang tidur, kurang olahraga dan berobat tidak
teratur. Rumah pasien tergolong rumah yang tidak sehat dilihat dari kurangnya
ventilasi dan udara dalam ruangan yang panas. Oleh karena itu pasien disarankan
untuk melakukan pencegahan sekunder untuk mencegah komplikasi yang dapat
timbul dengan minum obat secara teratur, kontrol tekanan darahnya secara rutin
minimal 1 bulan sekali dan olahraga secara teratur, memperbaiki pola makan dan
melakukan hal-hal yang terdapat dalam perilaku hidup sehat. Sedangkan keluarga
pasien sebagai kelompok resiko tinggi, dianjurkan untuk berperilaku hidup sehat
sedini mungkin dan mengontrol tekanan darah secara teratur dan hidup dengan
pola makan yang sehat. Untuk mencapai kesehatan yang menyeluruh hendaknya
didukung pula oleh kondisi rumah yang sehat, oleh karena itu pasien disarankan
untuk memperbaiki ventilasi ruangan.

31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Penyakit Hipertensi merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat
yang mana dapat dihadapi baik itu dibeberapa negara yang ada didunia
maupun di Indonesia.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hipertensi itu adalah dari
kebiasaan atau gaya hidup masyarakat yaitu faktor herediter yang didapat
pada keluarga, faktor usia, jenis kelamin, konsumsi garam yang berlebihan,
kurang berolahraga, dan obesitas.
- Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2
golongan besar yaitu :
- Hipertensi essensial (hipertensi primer) yaitu hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya
- Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit
lain
Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90% penderita hipertensi,
sedangkan 10% sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Meskipun
hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data
penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan
terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang
tuanya adalah penderita hipertensi.
b. Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah
umur (jika umur bertambah maka TD meningkat), jenis kelamin (laki-
laki lebih tinggi dari perempuan) dan ras (ras kulit hitam lebih banyak
dari kulit putih).

32
c. Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi
adalah konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr), kegemukan
atau makan berlebihan, stress dan pengaruh lain misalnya merokok,
minum alkohol, minum obat-obatan (ephedrine, prednison, epineprin).

B. Saran
Perlunya upaya penyuluhan agar dari case-finding maupun pendidikan
kesehatan dan penatalaksanaan pengobatannya yang belum terjangkau
masih sangat terbatas. Untuk penderita datang berobat untuk pertama
kalinya datang terlambat dimana sebagian besar penderita hipertensi tidak
mempunyai keluhan agar sedini mungkin diberi pengobatan.
Selain itu, kebiasaan hidup sehat seperti berhenti merokok,
mengurangi berat badan (bila kegemukan), mengurangi konsumsi garam
sehingga asupan sodium kurang dari 100 mmol/hari, melakukan olah raga
30 - 45 menit per hari juga dapat mengurangi resiko terjadinya hipertensi.

33
DAFTAR PUSTAKA

Amran Y, Satriani S, Nadimin, Fadliyah F. 2010. Pengaruh Tambahan Asupan


Kalium Dari Diet Terhadap Penurunan Hipertensi Sistolik dan Diatolik
Tingkat Sedang Pada Lanjut Usia. Artikel Penelitian: Universitas Islam
Negeri Syarif Hasanuddin Jakarta.
Aris, S. 2007. Mayo Clinic. Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. PT
Intisari Mediatama : Jakarta.
Armilawati, dkk. 2007. Hipertensi dan Faktor Risikonya dalam Kajian
Epidemiologi. Bagian Epidemiologi FKM UNHAS : Makassar.
Aziza, Lucky. 2007. Hipertensi The Silent Killer. Jakarta: Yayasan Penerbitan
Ikatan Dokter Indonesia.
Bustan, M.N. 2006. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular : Rineka Cipta,
Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek
Klinis. Edisi IX. Alih Bahasa: Kusrini Semarwati Kadar. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
Darmojo dan Martono. 2006. Geriatri. Jakarta : Yudistira.
Fatimah Muis, S. 2006. Buku Ajar Geriatri. Fakults Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.
Hadi, Martono. 2006. Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia lanjut dalam Geriatri.
I. Balai Penerbit FKU : Jakarta.
Jennifer,Kowalak,. Welsh, Williams. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa
Andry Hartono. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Kasper DL, Fauci AS, Lonjo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL:
Harrison's Principles Of Internal Medicine, 16 th ed, Mc Graw Hill Med.
Publ.Div., 2005.
Kemenkes Kesehatan. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia-Tahun 2013. Kemenkes RI :Jakarta.

34
Kowalski, Robert. 2010. Terapi Hipertensi: Program 8 minggu Menurunkan
Tekanan Darah Tinggi. Alih Bahasa: Rani Ekawati. Bandung: Qanita
Mizan Pustaka
Mansjoer A, Suprohalita, Wardhani WL, Setiowulan W: Kapita Selekta
Kedokteran, Jakarta, Media Aaesculapius FKUI, 2001.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika
Noer MS: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Jilid kesatu, Balai
Penerbit FKUI, 2003.
Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih Bahasa
Yasmin Asih. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Sunarto, K. Sosiologi Kesehatan. Pusat Penerbitan Universitas Indonesia. Hlm.
2.3-2.5, 2002
Wawolumaya.C.Survei Epidemiologi Sederhana, Seri No.1, 2001. Cermin Dunia
Kedokteran No. 150, 2006 35
WHO Techn. Rep. Ser. 231, Arterial Hypertension & IHD (Preventive Aspects
WHO Chronicle 2015

35

You might also like