You are on page 1of 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ATRESIA DUCTUS


HEPATICUS/ATRESIA BILIER
Thatiana Dwi Arifah, 1206244346

1. Anatomi Fisiologi Kantung dan Saluran Empedu

Gambar 2. Anatomi dari Kantung empedu, Vesica biliaris

Sistem bilier ekstrahepatik dibentuk oleh:


1. Vesica Fellea
Adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang
dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Panjang kandung empedu adalah sekitar 7-
10 cm dan berwarna hijau gelap yang disebabkan warna cairan empedu yang
dikandungnya. Terdiri atas fundus, corpus dan collum.
- Fundus vesica fellea berproyeksi didepan dinding abdomen terdapat pada
perpotongan dari arcus costalis dextra (cartilago ke-9) dilateralnya ada m. rectus
abdominis dextra atau linea mediana dextra.
- Corpus-nya berhubungan dengan facies visceralis hepar.
- Collum akan melanjutkan diri sebagai ductus cysticus, juga memiliki tonjolan seperti
kantung yang disebut Hartmann’s pouch. Ductus cysticus kemudian akan bertemu
dengan ductus hepaticus communis.
2. Ductus Cysticus
Ductus Cysticus merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta hepatis.
Panjangnya kira-kira 3 – 4 cm. Pada porta hepatis ductus cysticus mulai dari collum vesicae
fellea, kemudian berjalan ke postero-caudal di sebelah kiri collum vesicae fellea. Lalu
bersatu dengan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus.5
Mucosa ductus ini berlipat-lipat terdiri dari 3 – 12 lipatan, berbentuk spiral yang
pada penampang longitudional terlihat sebagai valvula, disebut valvula spiralis [Heisteri].
3. Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister bersatu membentuk
ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada processus papillaris lobus
caudatus. Panjang ductus hepaticus communis kurang lebih 3 cm. Terletak di sebelah
ventral a.hepatica propria dexter dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan ductus
cysticus menjadi ductus choledochus.
4. Ductus Choledochus
Ductus Choledocus mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk oleh persatuan
ductus cysticus dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis. Di dalam
perjalanannya dapat di bagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
1. Bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di sebelah
dextro-anterior a.hepatica communis dan vena portae;
2. Bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar
lig.hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di sebelah dexter
vena portae ;
3. Bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatik, di sebelah ventral vena
renalis sinister dan vena cava inferior. Pada caput pancreatik ductus choledochus
bersatu dengan ductus pancreaticus Wirsungi membentuk ampulla, kemudian
bermuara pada dinding posterior pars descendens duodeni membentuk suatu tonjolan
ke dalam lumen, disebut papilla duodeni major.
Fungsi Vesica Fellea
1. Menyimpan empedu.
Dalam keadaan normal, musculus sphincter ductus choleidochi dan muskulus sphincter
ampula berkontraksi sehingga empedu yang disekresi dari hepar secara terus-menerus akan
mengalami refluks atau masuk ke dalam kandung empedu melalui ductus cysticus.
2. Konsentrasi empedu.
Kandung empedu melakukan konsentrasi cairan empedu dengan cara menyerap cairan dan
elektrolit melalui mukosanya.
3. Mekanisme kontrol.
Pengeluaran cairan empedu dikontrol oleh cholecystokinin. Masuknya lemak ke dalam
mucosa duodenum. Hormon ini akan merangsang kontraksi otot dari dinding kantung empedu.
Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan terbukanya sphincter ductus choledochus
disamping juga karena adanya penurunan tonus otot sphincter karena aktivitas nervus vagus,
sehingga cairan empedu akan masuk ke duodenum.

2. Definisi
Atresia Bilier suatu suatu penghambatan didalam pipa/ saluran-saluran yang membawa
cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder), yang terjadi akibat
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih kandung empedu ekstrahepatik atau intrahepatik,
yang menyebabkan penyimpanan drainase kandung empedu (Morgan Speer, 2008).
Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus ekstrahepatik
yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau karena adanya proses inflamasi yang
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepartik
sehingga terjadi hambatan aliran empedu (kolestasis) yang mengakibatkan terjadinya
penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk dalam hati dan darah (Julinar,
dkk, 2009).
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
Klasifikasi Penjelasan Gambar
I Atresia (sebagian atau total)
duktus bilier komunis,
segmen proksimal paten.

IIa Obliterasi duktus hepatikus


komunis (duktus bilier
komunis, duktus cystikus,
dan kandung empedu
semuanya normal)

IIb Obliterasi duktus


bilierkomunis, duktus
hepatikus komunis, duktus
cystikus. Kandung empedu
normal.
III Semua sistem duktus bilier
ekstrahepatik mengalami
obliterasi, sampai ke hilus.

Gambar 3: Gambaran klasifikasi Atresia Bilier menurut Kasai..

3. Etiologi
Faktor penyebab dari Atresia Bilier ini belum jelas. Namun, sebagian besar penulis
berpendapat bahwa Atresia Bilier disebabkan oleh suatu proses inflamasi yang merusak duktus
bilier dan juga akibat dari paparan lingkungan (disebabkan oleh virus) selama periode kehamilan
dan perinatal (Sodikin, 2011). Teori dasar yang berkembang adalah kesalahan embryogenik yang
menetap pada oklusi bilier cabang ekstrahepatik, namun terbantahkan dengan tidak adanya
penyakit kuning pada kelahiran, dan bukti histologis saluran bilier paten yang semakin menghilang
selama bulan-bulan pertama kehidupan. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut
berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17,18 dan 21; serta
terdapatnya anomali organ pada 10 – 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis
berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa
karena infeksi atau iskemi.
Ada 2 tipe Atresia Bilier yakni bentuk "janin", yang muncul segera setelah lahir dan biasanya
memiliki kongenital anomali pada organ lainnya seperti pada hati, limpa, dan usus, dan bentuk
"perinatal", terlihat ikterik beberapa minggu setelah kelahiran yang lebih khas dan akan jelas
terlihat pada minggu kedua sampai keempat pasca kelahiran.
Atresia bilier bukanlah penyakit keturunan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus bayi
lahir kembar identik dengan hanya satu anak yang memiliki penyakit ini. Atresia bilier paling
mungkin disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar waktu
kelahiran. Kemungkinan untuk "memicu" hal tersebut bisa saja salah satu atau kombinasi dari
faktor-faktor berikut:
- infeksi virus atau bakteri, implikasi reovirus
- masalah dengan sistem kekebalan tubuh
- komponen abnormal empedu
- kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu

4. Manifestasi Klinis (Data Subyektif dan Data Objektif)


- Anamnesis
Gambaran klinis bayi yang mengalami Atresia Bilier sangat mirip dengan kolestasis, tanpa
dilihat dari etiologinya . Gejala utamanya antara lain ikterus yang bisa muncul segera atau
beberapa minggu setelah lahir, urin yang menyerupai teh pekat dan feses warna dempul.
Pada kebanyakan kasus, Atresia Bilier ditemukan pada bayi yang aterm, meskipun
insidens yang lebih tinggi lagi ditemukan pada yang BBLR (bayi berat lahir rendah). Pada
kebanyakan kasus, feses akolik tidak ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi
beberapa minggu setelahnya. Nafsu makan, pertumbuhan dan pertambahan berat badan
biasanya normal.
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus Atresia Bilier. Tidak ada temuan
patognomonik yang dapat digunakan untuk mendiagnosisnya. Beberapa tanda klinis yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik Atresia Bilier, antara lain:
- Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen. Splenomegali juga
dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali, maka kita dapat mencurigai telah
terjadi sirosis dengan hipertensi portal.
- Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu
- Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar pada palpasi di
area epigastrium.
Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung bawaan, terutama
apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.

Menurut Sodikin (2011), bayi dengan atresia bilier biasanya tampak sehat ketika baru lahir.
Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah lahir., gejala-gejala
tersebut yaitu :
a. Data Subjektif
- Iritabilitas (bayi menjadi rewel)
- Sulit untuk menenangkan bayi
b. Data Objektif
- Ikterus
Terjadinya kekuningan pertama kali akan terlihat pada sklera dan kulit karena tingkat
bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah. Mungkin terdapat
sejak lahir. Biasanya tidak terlihat sampai usia 2 hingga 3 minggu.
- Urine berwarna gelap dan menodai popok. Urine gelap yang disebabkan oleh
penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin
kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urine.
- Feses berwarna lebih pucat daripada yang perkirakan atau berwarna putih atau coklat
muda karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke dalam usus
untuk mewarnai feses
- Hepatomegali
- Distensi abdomen
- Splenomegali
Keadaan ini menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal / tekanan
darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung,
usus dan limpa ke hati).
- Gangguan metabolisme lemak yang menyebabkan pertambahan berat badan yang
buruk, dan kegagalan tumbuh kembang secara umum.
- Letargi
- Pruritus (gatal disertai ruam)
- Asites
- Jaundice, disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir.
Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang
bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang
pada dua atau tiga minggu setelah lahir
- Anoreksia
- Lambat saat makan, kadang-kadang tidak ada nafsu untuk makan
- Kekeringan
- Kerusakan kulit
- Edema perifer
5. Patway
ATRESIA BILIER

Kelainan Kongenital Infeksi

Obstruksi saluran empedu Obstruksi saluran empedu Kerusakan progresif


intra hepatik ekstra hepatik pada ductus bilier

Empedu kembali ke Inflamasi Progresif


Ekskresi Saluran Empedu
hati
Bilirubin tidak terbentuk
MK : Hipertermi

Gg. Penyerapan
Obstruksi aliran dari Lemak dan vitamin
lemak dan
hati ke dalam larut lemak tidak
vitamin larut
dapat di absorbsi
lemak
Gg. Supply Proses
darah pd sel Malnutrisi
peradangan Kekurangan vitamin
hepar pada hati larut lemak (A, D, E
Mual Muntah dan K)
Kerusakan Hepatomegaly
ductus
empedu sel Distensi abdomen dan MK : MK : Gg.
hepatik kebutuhan oksigen Kekurangan Pertumbuhan dan
meningkat Volume Cairan perkembangan

Kerusakan sel
MK : Pola nafas
ekskresi MK : Gg. Nutrisi
tidak efektif
kurang dari
kebutuhan tubuh
Bilirubin

Keluar ke aliran
darah dan kulit

Priuritis Ikterus MK : Kerusakan


integritas kulit
6. Data Penunjang
Menurut Sodikin (2011), Secara garis besar pemeriksaanyang dilakukan untuk mendeteksi
atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pemeriksaan :
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan serum darah
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Serum
bilirubin (total dan direk): hiperbilirubinemia terkonjugasi, didefinisikan sebagai
peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih dari 20% total
bilirubin. Bayi dengan Atresia Bilier menunjukkan peningkatan moderat pada bilirubin
total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan fraksi terkonjugasi mencapai 50-60%
dari total bilirubin serum.
Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali,
lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT <
5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis
ekstrahepatik.
2) Pemeriksaan Urine
urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin
dalam urine negatif, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
3) Pemeriksaan feces
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja
berkurang karena adanya sumbatan.
b. Pemeriksaan Radiologis
1. Ultrasonography / Color Doppler Ultrasonography

Gambar 4. Color Doppler US images in a 32-day-old girl with BA. (a) The presence of hepatic
arterial flow (arrow) extended to the hepatic surface. (b) An arterial waveform was seen in the
enlarged vessel at the hepatic surface.

Gambar 5. Tampak bayangan echo inhomogen pada tekstur hepar, dan dinding yang jelas pada common
bile duct (CBD) (panah)

Gambar 6: Atresia biliaris dan kista sentral. Sonogram oblique yang menggambarkan atresia biliaris dan
kista sentral besar pada porta hepatis.
2. Hepatobiliary scintiscanning (HSS)

Gambar 7 : HSS pada pasien dengan Atresia Bilier yang menunjukkan tidak adanya ekskresi marker ke
usus dalam 24 jam.

3. Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)


MRCP adalah modalitas pencitraan sangat handal invasif untuk diagnosis atresia bilier
Saluran empedu extrahepatic termasuk kandung empedu, saluran kistik, saluran empedu
umum, dan saluran hepatik umum divisualisasikan.

Gambar 8. Perempuan 14 tahun dengan Atresia bilier dan transplantasi hepar. Gambaran intensitas
maksimum pada Magnetic resonance cholangiography memperlihatkan batu bilier (panah) pada
proksimal dari duktus hepatikus kiri.

4. Cholangiography Intraoperatif
Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi
obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam
saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif dilaksanakan.
Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan gagal menunjukkan
hasil yang adekuat.
Gambar 13. Kolangiogram intraoperatif menggambarkan pengisian kista dan dilatasi sedang duktus
intrahepatis tapi tidak ada hubungan langsung ke duodenum.

7. Rencana Keperawatan
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), adapun perencanaan tujuan dan intervensi pada diagnosa
keperawatan yang muncul pada kasus diatas adalah sebagai berikut :
a. Diagnosa 1
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 24 jam, diharapkan nutrisi anak terpenuh
Kriterian Hasil :
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
3) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti Intervensi
Intervensi :
1) Monitor jumlah nutrisi
R/ Mengetahui pemenuhan nutrisi pasien
2) Kaji pemenuhan nafsu makan pasien
R/ Agar dapat dilakukan intervensi dalam pemberian makanan pada pasien
3) Ajarkan pasien atau keluarga bagaimana membuat catatan makanan harian
R/ Membuat catatan makanan harian dapat memantau pemenuhan nutrisi yang
diperlukan
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan nutisi yang dibutuhkan pasien
R/ Ahli gizi adalah spesialis dalam ilmu gizi yang membantu pasien memilih makanan
sesuai dengan keadaan sakitnya
b. Diagnosa 2
Hipertermia berhubungan dengan penyakit atresia bilier
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 24 jam, diharapkan suhu tubuh dalam
batas normal (36.5-37oC)
Kriteria Hasil :
1) Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5-37oC)
2) Nadi dalam rentang normal (100-160x/menit)
3) Pernapasan dalam rentang normal (20-60x/menit)
4) Tidak ada perubahan warna kulit, tidak tampak lemas
Intervensi :
1) Kaji tingkat kenaikan suhu tubuh dan perubahan yang menyertainya
R/ Suhu diatas normal menunjukkan proses infeksi akut sehingga dapat menentukan
intervensi yang tepat
2) Beri kompres hangat pada daerah dahi, aksila dan lipatan paha
R/ Dengan memberikan kompres hangat dapat menurunkan demam
3) Monitor tanda-tanda vital
R/ sebagai indikator perkembangan keadaan pasien
4) Anjurkan keluarga untuk memberikan minum yang cukup kepada bayi
R/ Intake cairan yang adekuat membantu penurunan suhu tubuh serta mengganti jumlah
cairan yang hilang melalui evaporasi
5) Anjurkan untuk menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat
R/ Mempercepat proses evaporasi
6) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
R/ Untuk menurunkan demam dengan aksi sentralnya di hipotalamus
c. Diagnosa 3
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 24 jam, diharapkan pola napas kembali
efektif
Kriteria Hasil :
1) Sesak berkurang
2) Frekuensi napas dalam batas normal (22-34x/menit)
3) Irama napas teratur
Intervensi :
1) Kaji keluhan sesak, frekuensi dan irama napas
R/ Dengan mengkaji keluhan sesak, frekuensi dan irama napas dapat mengetahui
sejauh mana kondisi pasien
2) Monitor/kaji pola napas (misalnya: bradipnea, takipnea, hiperventilasi, pernapasan
kusmaul)
R/ Keabnormalan pola napas menyertai obtruksi paru
3) Tinggikan kepala atau bantu mengubah posisi yang nyaman fowler atau semifowler
R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan
4) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan bila diperlukan
R/ Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan
ventilasi
d. Diagnosa 4
Kekurangan volume cairan berhubungan kehilangan cairan aktif
Tujuan :
Setelah Diberikan asuhan keperawatan selama…x 24 jam, diharapkan tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda dehidrasi dan mempertahankan hidrasi adekuat
Kriteria Hasil :
1) Turgor kulit baik
2) Frekuensi irama nadi dalam rentang normal
3) Frekuensi dan irama nafas dalam rentang normal
4) Elektrolit serum (misalnya natrium, kalium, dan magnesium) dalam batas normal
5) Membrane mukosa lembab
6) Intake dan output cairan seimbang
Intervensi :
1) Kaji masukan dan keluaran, karakter dan jumlah feses, hitung intake dan ouput
R/ untuk memberikan informasi tentang cairan dan juga sebagai pedoman pengganti
cairan
2) Kaji tanda-tanda vital (Suhu, Nadi dan Respirasi) pasien
R/ hipotensi, takikardi, deman dan sesak dapat menunjukan respond terhadap efek
kehilangan cairan
3) Observasi turgor kulit, membrane mukosa, pengisian kapiler dan ukur berat badan tiap
hari
R/ untuk dapat menunjukan kehilangan cairan berlebih
4) Berikan dan pantau cairan intravena sesuai ketentuan
R/ untuk mengobati phatogen khususnya yang mengakibatkan kehilangan cairan
berlebihan
5) Kolaborasi dalam pemberian obat
R/ untuk mempercepat proses penyembuhan
e. Diagnosa 5
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolisme
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 24 jam diharapkan integritas kulit tidak
mengalami kerusakan
Kriteria hasil :
1) Ketebalan dan tekstur jaringan normal
2) Tidak ada perubahan warna kulit
3) Tidak adanya gatal-gatal disertai ruam
Intervensi :
1) Monitor warna kulit
R/ Perubahan warna kulit pada pasien menunjukkan
2) Ganti popok jika basah atau kotor
R/ Untuk menjaga kulit anak agar bersih dan kering
3) Memandikan anak dengan sabun dan air hangat
R/ Menjaga agar kulit anak tetap bersih
4) Ubah posisi anak setiap dua jam sekali
R/ Untuk menjaga kelembapan kulit anak
5) Oleskan minyak/baby oil pada daerah gatal
R/ Dengan mengoleskan minyak dapat mengurangi rasa gatal
f. Diagnosa 6
Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan efek ketidakmampuan fisik
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan x 24 jam diharapkan pertumbuhan dan
perkembangan anak meningkat
Kriteria Hasil :
1) Anak berfungsi optimal sesuai tingkatannya
2) Status nutrisi seimbang
3) Status pertumbuhan sesuai dengan usia anak
Intervensi :
1) Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan
2) Kaji asupan nutrisi anak (misalnya kalori dan zat gizi)
3) Pantau kecenderungan kenaikan dan penurunan berat badan
4) Kolaborasi dengan ahli gizi, jumalah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan gizi yang sesuai
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heather. (2015). NANDA International Inc. Diagnosa Keperawatan: Definisi &
Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Julinar, Dianne, Y & Sayoeti, Y. (2009). Atresia Bilier Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jurnal
Kedokteran Andalas, Vol. 33. No.2.

Nurarif, A.H. & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC Jilid 2. Jakarta: EGC

Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak : Gangguan Sistem Gastrointestinal dan


Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika

Speer Morgan, Kathleen. (2008). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan Clinical
Pathways. Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: DPP PPNI

You might also like