You are on page 1of 27

REFERAT

APPENDICITIS

Disusun untuk memenuhi tugas


Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Bedah
RSUD dr. Soebandi Jember

Oleh :
Fawziyah Putri Maulida
122011101041

Pembimbing :
dr. Laksmi Indreswari, Sp.B

SMF BEDAH RSUD DR. SOEBANDI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2017

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2
2.1 Apendik ...................................................................................................... 2
2.1.2 Anatomi Apendik ........................................................................... 2
2.1.2 Fisiologi Apendik ............................................................................ 3
2.2 Apendisitis .................................................................................................. 4
2.2.1 Epidemiologi .................................................................................. 4
2.2.2 Etiologi dan Patogenesis ................................................................ 4
2.2.3 Gambaran Klinis ............................................................................ 7
2.2.4 Diagnosis ........................................................................................ 10
2.2.5 Pemeriksaan penunjang .................................................................. 12
2.2.6 Diagnosis Banding ......................................................................... 16
2.2.7 Penatalaksanaan ............................................................................. 17
2.2.8 Prognosa ......................................................................................... 23
BAB 3. PENUTUP ......................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25

2
BAB 1. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Appendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau
yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, appendicitis
dibagi menjadi appendicitis akut hingga kronis. Appendicitis akut sendiri adalah
salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang ditandai dengan
gejala berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang menjalar ke kuadran
kanan bawah (Shogilev, 2014).
Peradangan pada appendiks ini dapat ditemukan pada masyarakat dari
berbagai usia, dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Di Indonesia
sendiri belum ada data pasti yang menyatakan jumlah insiden appendicitis,
namun insiden terbanyak terjadi pada usia 10 – 30 tahun, dengan jumlah
penderita pria lebih banyak daripada wanita. Walaupun appendiciti ini dapat
ditemukan pada berbagai usia, namun angka komplikasi tertinggi ada pada
penderita pada rentang usia muda (anak – anak) dan usia tua, di mana angka
komplikasi berupa perforasi appendix diikuti dengan peritonitis generalisata
cukup tinggi (Sjamsuhidajat, 2011).
Sejalan dengan waktu, insiden appendicitis ini terus meningkat, hal ini
diduga berkaitan dengan pola makan yang semakin rendah serat, di mana
menyebabkan terbentuknya faeses yang keras dan kemudian menyebabkan
sumbatan pada lumen Appendix sehingga terjadi peradangan (Brunicardi, 2010).
Terapi definitif dari appendicitis, baik akut maupun kronis adalah dengan
melakukan pengangkatan appendix yang meradang. Tindakan ini dilakukan
secara bedah, dan dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik laparotomy,
laparoscopy, maupun dengan simple appendectomy (insisi pada McBurney)
sesuai dengan indikasinya. Appendicitis akut yang tidak ditangani dengan
adekuat / definitif maka akan dapat menyebabkan perforasi diikuti dengan
peritonitis yang dapat menyebabkan shock dan akhirnya bisa menyebabkan
kematian. Namun dengan penanganan segera dan cepat maka prognosis dari
appendicitis adalah sangat baik ( Peranteau, 2013).

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendix
2.1.1 Anatomi Appendix
Appendix adalah organ berbentuk tabung yang berukuran kurang lebih 3 – 15 cm
dan berpangkal pada caecum. Organ ini mempunyai lumen yang sempit pada bagian
proximal dan melebar pada bagian distal. Pada bayi sebaliknya, lumen appendix
berbentuk kerucut dengan bagian proksimal yang lebar dan ujungnya menyempit, hal ini
menjadi alasan mengapa kejadian appendicitis insidensinya rendah pada usia tersebut
(Sjamsuhidajat, 2011).
Appendix terbentuk pada minggu ke-8 tahap perkembangan embriologi sebagai
tonjolan di bagian ujung dari sekum. Dalam perkembangannya sekum tumbuh lebih
cepat dari pada appendix, sehingga appendix tergeser lebih medial yaitu terletak pada
daerah ileosekal. Karena dasar dari appendix yang berhubungan dengan sekum itu tetap,
maka letak appendix dapat ditemukan di daerah retrocecal, pelvical, subcecal, preileal,
atau posisi pericolic kanan (Brunicardi, 2010).

Gambar 1. Variasi letak Appendix

4
Appendix di suplai darah oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari
arteri ileocolica. Arteri ini berasal dari posterior ileum terminal dan masuk melalui
mesoappendix dekat dasar dari appendix. Drainage limfatik appendix mengalir pada
limfonodi di sepanjang arteri ileocolica ( Peranteau, 2013).

Gambar 2. Arteri apendikularis

Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis yang berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, dan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu nyeri viseral pada
appendicitis bermula pada daerah sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, 2011). .

2.1.2 Fisiologi Appendix


Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 – 2 cc per hari,
di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum. Adanya obstruksi
pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada appendiks
(Sjamsuhidajat, 2011).
Salah satu hal lain yang dilakukan appendix adalah menghasilkan
Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendix, yaitu IgA.
Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan
5
limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan
di seluruh tubuh, sehingga hilangnya appendix tidak menimbulkan perubahan yang
bermakna (Sjamsuhidajat, 2011). .

2.2 Appendicitis
2.2.1 Epidemiologi
Insidensi appendicitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun, sementara di
negara berkembang juga terus meningkat. Appendicitis dapat ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. (Sjamsuhidajat, 2011).
Appendicitis mulai meningkat kejadiannya pada masa anak-anak dan mencapai
insidensi tertinggi antara usia 10-30 tahun. Setelah usia 30 tahun insidensinya mulai
menurun lagi meskipun tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada semua umur.
Rasio insidensi appendicitis pada laki-laki dibanding perempuan adalah 3 : 2. Rasio ini
bisa berubah saat usia 25 tahun menuju 30 tahun, laki-laki dan perempuan mempunyai
resiko yang sama (Goldblatt, 2013).

2.2.2 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab appendicitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang didahului
dengan obstruksi pada lumen appendix. Obstruksi ini menyebabkan stasis cairan dan
distensi dari appendix sehingga menyebabkan pendarahan terganggu akibat vena dan
arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi. Akibatnya terjadi stasis mucus dan
penurunan suplai darah appendix yang memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh
bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya peradangan appendix. Penyebab
obstruksi lumen appendix antara lain adalah :
 Fecalith
 Parasit
 Benda – benda asing
 Hiperplasia jaringan limfoid
 Tumor / Carcinoid tumor
Obstruksi dari hal – hal ini menyebabkan terjadinya stasis dan penimbunan mukus
pada lumen appendix yang kemudian menyebabkan gejala – gejala, di mana
biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang sering dapat
ditemukan antara lain adalah :

6
Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada appendicitis
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Klebsiella species  Fusobacterium spesies
 Pseudomonas aeruginosa  Peptostreptococcus micros
 Enterococcus  Clostridium species
 Streptococus anginosus

Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen Appendix (bisa karena fecalith,
hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayur dan biji-bijian, serta parasit di intestinal) akan
menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena kapasitas Appendix untuk
menampung mucus hanya sekitar 0.1 ml, sementara sekresi mucus perharinya mencapai
0,5 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen yang diikuti dengan penekanan pada
drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis cairan pada appendix, biasanya akan terbentuk
edema juga. Distensi dari appendix menstimulasi ujung saraf visceral aferen, sehingga
biasanya gejala yang dialami pasien adalah nyeri difus pada perut tengah atau lower
epigastrium (Brunicardi, 2010).
Lumen appendix yang tersumbat dapat menyebabkan terakumulasinya mukus di
dalam lumen. Selain itu terjadi edema dari appendix serta mengakibatkan tekanan dalam
lumen Appendix meningkat. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis akut. (Goldblatt,
2013).
Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus
meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena appendicular
sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan proliferasi bakteri
pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga mempermudah terjadinya proses
infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi pada appendix, inflamasi pada
appendix ini akan menyebabkan gejala nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat
inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai
appendicitis akut supuratif (Goldblatt, 2013).
Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga akan
terus meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang terjadi akibat
penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular karena edema dan
tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan menekan sistem arteri. Karena

7
sistem arteri yang mendarahi appendix tidak memiliki sistem kolateral, maka akan
terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut akan menyebabkan terjadinya nekrosis
jaringan dan gangren, hal ini dikenal sebagai appendicitis gangrenous, di mana
appendix yang sudah dalam keadaan seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang
dapat menyebabkan perluasan infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis)
(Goldblatt, 2013).
Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. Keadaan di mana
appendix telah mengalami fibrosis dan pembentukan jaringan parut ini disebut sebagai
appendicitis kronis, di mana biasanya hal ini ditandai dengan nyeri kanan bawah yang
hilang timbul, dan riwayat nyeri pertama kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah,
di mana nyerinya kemudian berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan
USG juga akan nampak appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis
(Sjamsuhidajat, 2011).

8
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis

2.2.3 Gambaran Klinis


Gejala awal yang khas adalah nyeri difus di daerah epigastrium atau di sekitar
umbilikus atau periumbilikus. Nyeri biasanya bersifat nyeri berat dan terus menerus
kadang disertai perut kram yang intermiten. Kemudian dalam beberapa jam (4 – 6 jam),
nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik McBurney (Migratory pain). Di
titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Namun pada beberapa pasien nyeri bermula di perut kuadran kanan bawah
dan nyeri menetap disana (Brunicardi, 2010).
Anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi pada beberapa pasien dengan
appendicitis akut. Presentasi muntah pada appendicitis kurang dari 50%, namun muntah
bukan merupakan tanda pasti dari appendicitis. Jika muntah terjadi biasanya tidak
persisten, hanya sekali atau dua kali. Mual dan muntah yang terjadi setelah onset nyeri
muncul (Goldblatt, 2013).
Seringkali appendicitis juga disertai dengan demam dimulai dengan suhu sekitar
38,0 0C. Selain demam takikardi juga bisa terjadi. Letak appendix juga memepngaruhi
gejala-gejala lain, seperti diare pada appendix yang terletak di retrocecal, nyeri saat
kencing pada appendix yang terletak di pelvical dan oklusi intestinal pada appendix
yang terletak di mesocolical (Zachariou, 2009).
Pada literatur lain juga menyebutkan tanda dan gejala yang dipengaruhi oleh
letak appendix. Berikut tanda dan gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak appendix retrocaecal – retroperitoneal, yaitu di belakang caecum
(terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau
9
nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam,
batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor
yang menegang dari dorsal.
2. Bila appendix terletak di rongga pelvis :
 Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
 Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya
(Sjamsuhidajat, 2011).

Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan
dimana gejala appendicitis tidak jelas dan tidak khas :
 Anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-
muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Konstipasi dan diare juga dapat terjadi.
Demam juga bisa terjadi dimulai dengan suhu 380C. Karena ketidakjelasan gejala
ini, sering appendicitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi appendicitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi (Zachariou, 2009).
 Orang tua berusia lanjut
Pada geriatri resiko appendicitis sekitar 7-10%. Gejala sering samar-samar saja
dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
terjadi perforasi. Gejala klasik dari appendicitis yaitu demem, anoreksia, nyeri perut
kanan bawah dan leukosit >10000/mm3. Pada geriatri gejala tersebut hanya dialami 1
dari 3 pasien dengan gejala komplit. nyeri perut kanan bawah dilaporkan terjadi pada
64-91% pasien. Variasi dari Peningkatan terjadinya perforasi pada geriatri juga
berhubungan dengan berubahnya struktur appendix karena proses penuaan (Konan,
2011).

10
 Wanita
Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan appendicitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi),
radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil gejala
appendicitis dapat berupa anoreksia, nyeri perut kanan bawah, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Demam
dan taikardi sering tidak tampak pada appendicitis dengan kehamilan. Nyeri perut kanan
atas, kontraksi uterus, disuria, diarea juga kadang muncul. Nyaeri pada perut kanan atas
berhubungan dengan pada kehamilan lanjut, sekum dan appendix terdorong ke
kraniolateral/ costal margin sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan. Presentasi nyeri pada perut kanan atas pada
kehamilan mencapai 55% (Pastore, 2006).

Gambar 4. Perubahan Posisi Appendix pada Wanita Hamil

11
2.2.4 Diagnosis

 Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting pada diagnosis untuk menentukan
pemeriksaan selanjutnya yang akan kita lakukan. Anamnesis yang penting dari
appendicitis yaitu sesuai tanda dan gejala appendicitis . Berikut tabel presentasi
tanda dan gejala yang muncul pada appendicitis :

Tabel 2. Gejala Appendicitis Akut (Merhi, 2014)


Frekuensi
Gejala
(%)

Nyeri perut periumbilical


57,3%
Nyeri perut difus
32,8%
Nyeri perut kuadran kanan bawah
93,1%
Anorexia 79,3%
Mual 82,8 %
Muntah 81%
Diare 14,2 %
Disuria 5,2%

 Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, den gan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila dan rectal
>= 1oC (Sjamsuhidajat, 2011).
 Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler yang
besar (Sjamsuhidajat, 2011).
12
 Palpasi
Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi pada
pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :
 Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
 Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri
yang terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.
 Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan rangsangan pada
muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi.
 Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan nyeri
sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan
organ dalam terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada
appendix yang meradang.
 Blumberg Sign: nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan.
 Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.
 Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul pertama
kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung, kemudian menjalar
berpindah ke regio iliaka dextra.
 Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada appendix yang terletak
retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh
peradangan yang terjadi pada appendix. Ada 2 cara memeriksa :
Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulatio coxaekanan dan nyeri dirasakan di perut kanan
bawah.
Pasif: Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri kemudian
pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan sambil menahan pinggul
kanan penderita (tanda bintang).
 Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam, terjadi karena
peradangan appendiks menyentuh m.Obturator Internus yang merupakan dinding

13
panggul kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa appendix terletak pada rongga pelvis.

 Auskultasi

Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan ditemukan pada


illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat perforasi appendix. Auskultasi tidak
banyak membantu dalam menegakkan diagnosis appendicitis , tetapi kalau sudah terjadi
peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus (Sjamsuhidajat, 2011).
 Pemeriksaan Colok Dubur / Rectal Touche
Pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis , untuk menentukan letak appendix,
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri di
arah jam 10-11, maka kemungkinan appendix yang meradang terletak didaerah pelvis.
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada appendicitis pelvika (Sjamsuhidajat,
2011).

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit ≥ 10.000 pada beberapa
penelitian yang meneliti jumlah sel darh putih pada kasus appendicitis dalam bebrapa
tahun. Pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah CRP pada serum yang meningkat saat
fase akut yaitu 8-12 jam setelah onset inflamasi dan mencapai puncaknya antara 24-48
jam. Nilai CRP pada penelitian kasus appendicitis >10 mg/ L.
Selain sel darah putih dan CRP nilai laboraturium lain yang berguna pada
penilaian appendicitis adalah sel PMN, dimana terjadi peningkatan jumlah PMN yaitu
>7 x 109 cell/L dan PMN rasio > 75% (Shogilev, 2014).
Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendicitis (Sjamsuhidajat, 2011).

B. Pemeriksaan Radiologi
Barium enema : dulu pemeriksaan ini direkomendasika pada pasien wanita muda yang
diagnosis appendicitis masih dipertanyakan namun dia memiliki penyakit sistemik berat
14
misalnya leukemia yang mana operasi memiliki resiko yang tinggi. Pada pemeriksaan
ini ditemukan fiiling deffect atau biasa disebut “reverse 3 sign” (Goldblatt, 2013).
Ultrasonografi :

Gambar 5. USG pada anak wanita 10 tahun dengan gejala appendicitis dan nampak
gambaran pelebaran diameter anteroposterior appendix sebesar 10 mm compression

USG memiliki akurasi dalam mendiagnosis Appendicitis sekitar 90%. Yang dapat
ditemukan pada Appendicitis melalui USG adalah:
1. Diameter appendix anteroposterior lebih dari 6 mm.
2. Adanya appendicolith.
3. Dinding appendix menebal
Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya (Brunicardi, 2010).

15
CT – Scan :

Gambar 6. CT Scan pada pasien appendicitis dengan dilatasi dan penebalan dinding
appendix
Diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding
appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran dinding
appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan inflamasi
periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding, phlegmon, free
fluid, free air bubbles,dan abscess. CT-Scan mempunyai akurasi yang tinggi yaitu
>94%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi appendix dengan abses atau flegmon
(Goldblatt, 2013).

Tabel 3. Perbandingan pemeriksaan penunjang Appendicitis akut:


Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 76% 96%
Spesifisitas 91% 89%
Akurasi 83% 94 %
Keuntungan Aman Lebih akurat

16
relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon
lebih baik
Dapat mendignosis kelainan lain Mengidentifikasi Appendix normal
pada wanita lebih baik
Baik untuk anak-anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
Sulit secara tehnik Radiasi ion
Nyeri Kontras
Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah

C. Skor Alvarado
Kemungkinan Appendicitis dapat dipastikan menggunakan skor
Alvarado yang merupakan sistem penilaian yang dirancang untuk meningkatkan
diagnosis appendicitis terhadap manifestasi klinis yang spesifik. Berikut tabel
yang berisi penilaian gejala apendisistis menggunakan skor alvarado:

Tabel 4. Alvarado Score untuk membantu menegakkan diagnosis

Manifestasi Skor

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris >37,3C 1

Laboratorium Leukositosis >10000 2

Shift to the left >75% 1

Total poin 10

17
Pasien dengan total skor alvarado 9 atau 10 hampir pasti mengalami
appendicitis . Pemeriksaan lanjutan hanya sedikit membantu dan pasien harus
segera dibawa ke ruang operasi. Pasien dengan total skor alvarado 7 atau 8
memiliki kemungkinan tinggi usus buntu, sedangkan skor 5 atau 6 meragukan,
tetapi tidak diagnostic dengan appendicitis . CT scan sesuai untuk pasien dengan
skor Alvarado 5 sampai 6. Pada pasien dengan tatal skor 0-4 sangat kecil
kemungkinan mengalami apendiditis akut, meskipun bukan berarti tidak mungkin
mengalami appendicitis (Brunicardi, 2010).

2.2.6 Diagnosis banding


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis
karena penyakitlain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
appendisitis, diantaranya:
- Gastroenteritis :
Ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan appendisitis akut
- Demam dengue :
Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil
positif untuk rumple leed, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat
- Divertikulitis Meckel :
Gambaran klinisnya hampir sama dengan appendicitis akut dan sering
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis akut
sehinggadiperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
- Pelvic Inflammatory Disease
Salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
Infeksi panggul pada wanita biasanya diserai keputihan dan infeksi urin.

18
- Gangguan alat reproduksi perempuan :
Folikel de Graaf yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam.
- Kehamilan ektopik :
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangtidak jelas seperti
ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan
menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
- Ulkus peptikum perforasi
Sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke
daerah usus bagian kanan sekum, karena dapat menyebabkan inflamasi appendix
juga.
- Ureterolithiasis :
Jika diperkirakan berada dekat appendiks dapat menyerupai appendicitis
retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, dengan hematuria dan
demam atau leukositosis (Sjamsuhidajat, 2011).

2.2.7. Penatalaksanaan

Operatif.
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari appendicitis
sudah dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan
harus dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan
darah, dan jumlah pengeluaran urine sehingga perlu pemasangan kateter. Pasien
dengan suhu tinggi >39oC harus diturunkan sebelum dilakukan operasi dengan
antipiretik. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan
cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic
spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob
(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic

19
bukan untuk memberantas appendicitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai
dengan komplikasi, antibiotic umumnya diberikan untuk mengurangi insidens
infeksi dari luka dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi
terhadap kemungkinan terjadinya bakteremia. Pada kasus-kasus dimana telah
terjadi komplikasi berupa pembentukan abses maupun bakteremia, maka
pemberian antibiotic ditujukan untuk mengobati komplikasi tersebut. Pemberian
cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang dapat timbul
oleh karena luka pada kasus non-komplikata Waktu yang tepat dalam memberikan
antibiotic adalah 30 menit sebelum pembedahan atau pada saat pembedahan
dilakukan agar tercapai kadar yang optimal pada saat akan dilakukan insisi. Pada
kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis tunggal.
(Peranteau, 2013)

Appendictomy
Appendectomy bisa dilakukan dengan open appendectomy maupun laparoscopic
appendectomy. Untuk open appendectomy ada tiga cara yang secara operatif
mempunyai keuntungan dan kerugian, yaitu :
a. Insisi menurut Mc Burney ( grid iron incision / muscle splitting incision).
Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan
spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral
(titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot
dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang
disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang
besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae dan teania coli,
sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae atau
taenia coli. Basis appendix dicari pada pertemuan ketiga taenia coli. Teknik inilah
yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan
tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan
masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih
cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu

20
operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara
tajam
b. Insisi Rocky-Davis (tranverse)
Insisi ini arahnya tranversal/ melintang, 1 sampai 3 cm di bawah
umbilikus, dan di daerah midclavicula linea. Panjang sayatan sekitar 1 cm
tergantung pengalaman operator. Insisi ini terutama digunakan pada
appendix letak retrocaecal.
c. Insisi midline
Insisi ini dilakukan pada appendicitis yang memerlukan laparotomi
explorasi. Dilakukan insisi di bawah umbilical. Setelah peritoneum dibuka dengan
retractor, maka basis appendix dapat dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk
membebaskannya dari mesoappendix ada dua cara yangdapat dipakai sesuai
dengan situasi dan kondisi, yaitu :
1. Appendiktomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis
appendix untuk memotong mesoappendix . Ini dilakukan pada
appendix yang tergantung bebas padasekum atau bila puncak
appendix mudah ditemukan.
2. Apendektomi secara retrograde, bila kita memotong mesoappendix
dari basis ke arah puncak. Ini dilakukan pada Appendix yang
letaknya sulit, misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai
karena tersembunyi, misalnya karena terjadi perlengketan dengan
sekitarnya (Goldblatt, 2013).

21
Gambar 7 macam-macam insisi pada appendictomy.

22
23
Gambar 8 appendectomy secara singkat

Pasca Operasi & Komplikasi Appendicitis


Kasus-kasus appendicitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan
makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-
48 jam. Pemberian antibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca
operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien appendicitis tanpa komplikasi. Pada
kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotic diberikan
hingga 5-7 hari setelah operasi. ( Peranteau, 2013)
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off
sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan Appendix, caecum dan lekuk
usus halus. Appendicitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan,
tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi
progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam
pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.Tanda-tanda
perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan

24
bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam,
malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum
atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis
dapat ditegakandengan pasti ( Peranteau, 2013)..
Bila terbentuk abses apendik, maka akan teraba massa di kuadran kanan
bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini
dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau
klindamisin). Dengan sediaan ini absesakan segera menghilang, dan apendektomi
dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus
segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum
atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase (Sjamsuhidajat,
2011).
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal
sepsis intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan ( Peranteau, 2013).

2.2.8. Prognosis
Prognosis appendicitis dipengaruhi oleh usia dan komplikasi yang terjadi.
Pada appendicitis dengan perforasi angka mortalitasnya 1%. Pada pasien geriatri
angka ini naik menjadi 5%. Mortalitas terbanyak terjadi karena sepsis dari
peritonitis(Brunicardi, 2010)

25
BAB 3. PENUTUP

Apendistis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermicularis, dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Apendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan. Gejala appendicitis tidak spesifik mulai dari mual, muntah, nyeri perut
kanan bawah, anoreksia, demam dan diare.
Untuk mendiagnosis appendicitis harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
yang bisa digunakan yaitu laboratorium, x ray, ultrasonografi dan CT scan. CT
Scan mempunyai akurasi paling tinggi dalam mendiagnosis appendicitis .
Tatalaksana dari appendicitis operatif. Sampai saat ini terapi operatif
terbukti dapat menurunkan angka mortalitas akibat komplikasi dari appendicitis .
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah peritonits. Jika pasien datang dengan
keadaan yang sudah terjadi peritonitis maka prognosisnya lebih jelek daripada
appendicitis tanpa komplikasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi FC, et al. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery 9th Edition. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Goldblatt MI, Telford GL & Wallace JR.. 2013. Appendix in Shackelford’s
Surgery of the Alimentary Tract. Philadelphia: Elsevier.

Konan A, Haryan M, Kilic AY, Karakoc D & Kaynaroglu V. 2011. Scoring


System in Diagnose of Acute Appendicitis in the Eldery. Turkey: Turkish
journal of trauma and emergency surgery.

Merhi BA, Khalil M, Daoud N. 2014. Comparison of Alvarado Score Evaluation


and Clinical Judgement in Acute Appendicitis . Lebanon: Med
Arh.2014.68.10-13

Pastore AP, Loomis DM, & Sauret J. 2006. Apendicitis in Pragnancy. J Am Board
Medicine. http://www.jabfm.org. Vol. 19 No 6

Peranteau WH & Smink DS., 2013. Appendix in maingot’s abdominal operation


12th Edition. New york: Mc Graw Hill Education

Sjamsuhidajat R. & De Jong W 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Shogilev DJ, Duus N, Odom SR, Shapiro NI. 2014. Diagnosing Appendicitis :
Evidence- Based Review of Diagnostic Approach in 2014. Western
Journal of Emergency Mediine. Volume XV, NO 7

Zachariou Z. 2009. Pediatric Surgery Digest. Switzerland : Springer- Verlag Berli


Heidelberg

27

You might also like