Professional Documents
Culture Documents
APPENDICITIS
Oleh :
Fawziyah Putri Maulida
122011101041
Pembimbing :
dr. Laksmi Indreswari, Sp.B
1
DAFTAR ISI
2
BAB 1. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Appendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau
yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, appendicitis
dibagi menjadi appendicitis akut hingga kronis. Appendicitis akut sendiri adalah
salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang ditandai dengan
gejala berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang menjalar ke kuadran
kanan bawah (Shogilev, 2014).
Peradangan pada appendiks ini dapat ditemukan pada masyarakat dari
berbagai usia, dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Di Indonesia
sendiri belum ada data pasti yang menyatakan jumlah insiden appendicitis,
namun insiden terbanyak terjadi pada usia 10 – 30 tahun, dengan jumlah
penderita pria lebih banyak daripada wanita. Walaupun appendiciti ini dapat
ditemukan pada berbagai usia, namun angka komplikasi tertinggi ada pada
penderita pada rentang usia muda (anak – anak) dan usia tua, di mana angka
komplikasi berupa perforasi appendix diikuti dengan peritonitis generalisata
cukup tinggi (Sjamsuhidajat, 2011).
Sejalan dengan waktu, insiden appendicitis ini terus meningkat, hal ini
diduga berkaitan dengan pola makan yang semakin rendah serat, di mana
menyebabkan terbentuknya faeses yang keras dan kemudian menyebabkan
sumbatan pada lumen Appendix sehingga terjadi peradangan (Brunicardi, 2010).
Terapi definitif dari appendicitis, baik akut maupun kronis adalah dengan
melakukan pengangkatan appendix yang meradang. Tindakan ini dilakukan
secara bedah, dan dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik laparotomy,
laparoscopy, maupun dengan simple appendectomy (insisi pada McBurney)
sesuai dengan indikasinya. Appendicitis akut yang tidak ditangani dengan
adekuat / definitif maka akan dapat menyebabkan perforasi diikuti dengan
peritonitis yang dapat menyebabkan shock dan akhirnya bisa menyebabkan
kematian. Namun dengan penanganan segera dan cepat maka prognosis dari
appendicitis adalah sangat baik ( Peranteau, 2013).
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Appendix
2.1.1 Anatomi Appendix
Appendix adalah organ berbentuk tabung yang berukuran kurang lebih 3 – 15 cm
dan berpangkal pada caecum. Organ ini mempunyai lumen yang sempit pada bagian
proximal dan melebar pada bagian distal. Pada bayi sebaliknya, lumen appendix
berbentuk kerucut dengan bagian proksimal yang lebar dan ujungnya menyempit, hal ini
menjadi alasan mengapa kejadian appendicitis insidensinya rendah pada usia tersebut
(Sjamsuhidajat, 2011).
Appendix terbentuk pada minggu ke-8 tahap perkembangan embriologi sebagai
tonjolan di bagian ujung dari sekum. Dalam perkembangannya sekum tumbuh lebih
cepat dari pada appendix, sehingga appendix tergeser lebih medial yaitu terletak pada
daerah ileosekal. Karena dasar dari appendix yang berhubungan dengan sekum itu tetap,
maka letak appendix dapat ditemukan di daerah retrocecal, pelvical, subcecal, preileal,
atau posisi pericolic kanan (Brunicardi, 2010).
4
Appendix di suplai darah oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari
arteri ileocolica. Arteri ini berasal dari posterior ileum terminal dan masuk melalui
mesoappendix dekat dasar dari appendix. Drainage limfatik appendix mengalir pada
limfonodi di sepanjang arteri ileocolica ( Peranteau, 2013).
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis yang berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, dan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu nyeri viseral pada
appendicitis bermula pada daerah sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, 2011). .
2.2 Appendicitis
2.2.1 Epidemiologi
Insidensi appendicitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun, sementara di
negara berkembang juga terus meningkat. Appendicitis dapat ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. (Sjamsuhidajat, 2011).
Appendicitis mulai meningkat kejadiannya pada masa anak-anak dan mencapai
insidensi tertinggi antara usia 10-30 tahun. Setelah usia 30 tahun insidensinya mulai
menurun lagi meskipun tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada semua umur.
Rasio insidensi appendicitis pada laki-laki dibanding perempuan adalah 3 : 2. Rasio ini
bisa berubah saat usia 25 tahun menuju 30 tahun, laki-laki dan perempuan mempunyai
resiko yang sama (Goldblatt, 2013).
6
Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada appendicitis
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Bacteroides fragilis
Klebsiella species Fusobacterium spesies
Pseudomonas aeruginosa Peptostreptococcus micros
Enterococcus Clostridium species
Streptococus anginosus
Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen Appendix (bisa karena fecalith,
hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayur dan biji-bijian, serta parasit di intestinal) akan
menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena kapasitas Appendix untuk
menampung mucus hanya sekitar 0.1 ml, sementara sekresi mucus perharinya mencapai
0,5 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen yang diikuti dengan penekanan pada
drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis cairan pada appendix, biasanya akan terbentuk
edema juga. Distensi dari appendix menstimulasi ujung saraf visceral aferen, sehingga
biasanya gejala yang dialami pasien adalah nyeri difus pada perut tengah atau lower
epigastrium (Brunicardi, 2010).
Lumen appendix yang tersumbat dapat menyebabkan terakumulasinya mukus di
dalam lumen. Selain itu terjadi edema dari appendix serta mengakibatkan tekanan dalam
lumen Appendix meningkat. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis akut. (Goldblatt,
2013).
Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus
meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena appendicular
sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan proliferasi bakteri
pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga mempermudah terjadinya proses
infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi pada appendix, inflamasi pada
appendix ini akan menyebabkan gejala nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat
inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai
appendicitis akut supuratif (Goldblatt, 2013).
Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga akan
terus meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang terjadi akibat
penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular karena edema dan
tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan menekan sistem arteri. Karena
7
sistem arteri yang mendarahi appendix tidak memiliki sistem kolateral, maka akan
terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut akan menyebabkan terjadinya nekrosis
jaringan dan gangren, hal ini dikenal sebagai appendicitis gangrenous, di mana
appendix yang sudah dalam keadaan seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang
dapat menyebabkan perluasan infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis)
(Goldblatt, 2013).
Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. Keadaan di mana
appendix telah mengalami fibrosis dan pembentukan jaringan parut ini disebut sebagai
appendicitis kronis, di mana biasanya hal ini ditandai dengan nyeri kanan bawah yang
hilang timbul, dan riwayat nyeri pertama kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah,
di mana nyerinya kemudian berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan
USG juga akan nampak appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis
(Sjamsuhidajat, 2011).
8
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis
Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan
dimana gejala appendicitis tidak jelas dan tidak khas :
Anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-
muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Konstipasi dan diare juga dapat terjadi.
Demam juga bisa terjadi dimulai dengan suhu 380C. Karena ketidakjelasan gejala
ini, sering appendicitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi appendicitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi (Zachariou, 2009).
Orang tua berusia lanjut
Pada geriatri resiko appendicitis sekitar 7-10%. Gejala sering samar-samar saja
dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
terjadi perforasi. Gejala klasik dari appendicitis yaitu demem, anoreksia, nyeri perut
kanan bawah dan leukosit >10000/mm3. Pada geriatri gejala tersebut hanya dialami 1
dari 3 pasien dengan gejala komplit. nyeri perut kanan bawah dilaporkan terjadi pada
64-91% pasien. Variasi dari Peningkatan terjadinya perforasi pada geriatri juga
berhubungan dengan berubahnya struktur appendix karena proses penuaan (Konan,
2011).
10
Wanita
Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan appendicitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi),
radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil gejala
appendicitis dapat berupa anoreksia, nyeri perut kanan bawah, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Demam
dan taikardi sering tidak tampak pada appendicitis dengan kehamilan. Nyeri perut kanan
atas, kontraksi uterus, disuria, diarea juga kadang muncul. Nyaeri pada perut kanan atas
berhubungan dengan pada kehamilan lanjut, sekum dan appendix terdorong ke
kraniolateral/ costal margin sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan. Presentasi nyeri pada perut kanan atas pada
kehamilan mencapai 55% (Pastore, 2006).
11
2.2.4 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting pada diagnosis untuk menentukan
pemeriksaan selanjutnya yang akan kita lakukan. Anamnesis yang penting dari
appendicitis yaitu sesuai tanda dan gejala appendicitis . Berikut tabel presentasi
tanda dan gejala yang muncul pada appendicitis :
Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, den gan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila dan rectal
>= 1oC (Sjamsuhidajat, 2011).
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler yang
besar (Sjamsuhidajat, 2011).
12
Palpasi
Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi pada
pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :
Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri
yang terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.
Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan rangsangan pada
muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi.
Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan nyeri
sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan
organ dalam terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada
appendix yang meradang.
Blumberg Sign: nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan.
Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.
Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul pertama
kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung, kemudian menjalar
berpindah ke regio iliaka dextra.
Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada appendix yang terletak
retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh
peradangan yang terjadi pada appendix. Ada 2 cara memeriksa :
Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulatio coxaekanan dan nyeri dirasakan di perut kanan
bawah.
Pasif: Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri kemudian
pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan sambil menahan pinggul
kanan penderita (tanda bintang).
Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam, terjadi karena
peradangan appendiks menyentuh m.Obturator Internus yang merupakan dinding
13
panggul kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa appendix terletak pada rongga pelvis.
Auskultasi
A. Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit ≥ 10.000 pada beberapa
penelitian yang meneliti jumlah sel darh putih pada kasus appendicitis dalam bebrapa
tahun. Pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah CRP pada serum yang meningkat saat
fase akut yaitu 8-12 jam setelah onset inflamasi dan mencapai puncaknya antara 24-48
jam. Nilai CRP pada penelitian kasus appendicitis >10 mg/ L.
Selain sel darah putih dan CRP nilai laboraturium lain yang berguna pada
penilaian appendicitis adalah sel PMN, dimana terjadi peningkatan jumlah PMN yaitu
>7 x 109 cell/L dan PMN rasio > 75% (Shogilev, 2014).
Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendicitis (Sjamsuhidajat, 2011).
B. Pemeriksaan Radiologi
Barium enema : dulu pemeriksaan ini direkomendasika pada pasien wanita muda yang
diagnosis appendicitis masih dipertanyakan namun dia memiliki penyakit sistemik berat
14
misalnya leukemia yang mana operasi memiliki resiko yang tinggi. Pada pemeriksaan
ini ditemukan fiiling deffect atau biasa disebut “reverse 3 sign” (Goldblatt, 2013).
Ultrasonografi :
Gambar 5. USG pada anak wanita 10 tahun dengan gejala appendicitis dan nampak
gambaran pelebaran diameter anteroposterior appendix sebesar 10 mm compression
USG memiliki akurasi dalam mendiagnosis Appendicitis sekitar 90%. Yang dapat
ditemukan pada Appendicitis melalui USG adalah:
1. Diameter appendix anteroposterior lebih dari 6 mm.
2. Adanya appendicolith.
3. Dinding appendix menebal
Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya (Brunicardi, 2010).
15
CT – Scan :
Gambar 6. CT Scan pada pasien appendicitis dengan dilatasi dan penebalan dinding
appendix
Diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding
appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran dinding
appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan inflamasi
periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding, phlegmon, free
fluid, free air bubbles,dan abscess. CT-Scan mempunyai akurasi yang tinggi yaitu
>94%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi appendix dengan abses atau flegmon
(Goldblatt, 2013).
16
relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon
lebih baik
Dapat mendignosis kelainan lain Mengidentifikasi Appendix normal
pada wanita lebih baik
Baik untuk anak-anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
Sulit secara tehnik Radiasi ion
Nyeri Kontras
Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah
C. Skor Alvarado
Kemungkinan Appendicitis dapat dipastikan menggunakan skor
Alvarado yang merupakan sistem penilaian yang dirancang untuk meningkatkan
diagnosis appendicitis terhadap manifestasi klinis yang spesifik. Berikut tabel
yang berisi penilaian gejala apendisistis menggunakan skor alvarado:
Manifestasi Skor
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri lepas 1
Febris >37,3C 1
Total poin 10
17
Pasien dengan total skor alvarado 9 atau 10 hampir pasti mengalami
appendicitis . Pemeriksaan lanjutan hanya sedikit membantu dan pasien harus
segera dibawa ke ruang operasi. Pasien dengan total skor alvarado 7 atau 8
memiliki kemungkinan tinggi usus buntu, sedangkan skor 5 atau 6 meragukan,
tetapi tidak diagnostic dengan appendicitis . CT scan sesuai untuk pasien dengan
skor Alvarado 5 sampai 6. Pada pasien dengan tatal skor 0-4 sangat kecil
kemungkinan mengalami apendiditis akut, meskipun bukan berarti tidak mungkin
mengalami appendicitis (Brunicardi, 2010).
18
- Gangguan alat reproduksi perempuan :
Folikel de Graaf yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam.
- Kehamilan ektopik :
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangtidak jelas seperti
ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan
menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
- Ulkus peptikum perforasi
Sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke
daerah usus bagian kanan sekum, karena dapat menyebabkan inflamasi appendix
juga.
- Ureterolithiasis :
Jika diperkirakan berada dekat appendiks dapat menyerupai appendicitis
retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, dengan hematuria dan
demam atau leukositosis (Sjamsuhidajat, 2011).
2.2.7. Penatalaksanaan
Operatif.
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari appendicitis
sudah dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan
harus dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan
darah, dan jumlah pengeluaran urine sehingga perlu pemasangan kateter. Pasien
dengan suhu tinggi >39oC harus diturunkan sebelum dilakukan operasi dengan
antipiretik. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan
cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic
spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob
(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic
19
bukan untuk memberantas appendicitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai
dengan komplikasi, antibiotic umumnya diberikan untuk mengurangi insidens
infeksi dari luka dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi
terhadap kemungkinan terjadinya bakteremia. Pada kasus-kasus dimana telah
terjadi komplikasi berupa pembentukan abses maupun bakteremia, maka
pemberian antibiotic ditujukan untuk mengobati komplikasi tersebut. Pemberian
cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang dapat timbul
oleh karena luka pada kasus non-komplikata Waktu yang tepat dalam memberikan
antibiotic adalah 30 menit sebelum pembedahan atau pada saat pembedahan
dilakukan agar tercapai kadar yang optimal pada saat akan dilakukan insisi. Pada
kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis tunggal.
(Peranteau, 2013)
Appendictomy
Appendectomy bisa dilakukan dengan open appendectomy maupun laparoscopic
appendectomy. Untuk open appendectomy ada tiga cara yang secara operatif
mempunyai keuntungan dan kerugian, yaitu :
a. Insisi menurut Mc Burney ( grid iron incision / muscle splitting incision).
Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan
spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral
(titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot
dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang
disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang
besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae dan teania coli,
sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae atau
taenia coli. Basis appendix dicari pada pertemuan ketiga taenia coli. Teknik inilah
yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan
tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan
masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih
cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu
20
operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara
tajam
b. Insisi Rocky-Davis (tranverse)
Insisi ini arahnya tranversal/ melintang, 1 sampai 3 cm di bawah
umbilikus, dan di daerah midclavicula linea. Panjang sayatan sekitar 1 cm
tergantung pengalaman operator. Insisi ini terutama digunakan pada
appendix letak retrocaecal.
c. Insisi midline
Insisi ini dilakukan pada appendicitis yang memerlukan laparotomi
explorasi. Dilakukan insisi di bawah umbilical. Setelah peritoneum dibuka dengan
retractor, maka basis appendix dapat dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk
membebaskannya dari mesoappendix ada dua cara yangdapat dipakai sesuai
dengan situasi dan kondisi, yaitu :
1. Appendiktomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis
appendix untuk memotong mesoappendix . Ini dilakukan pada
appendix yang tergantung bebas padasekum atau bila puncak
appendix mudah ditemukan.
2. Apendektomi secara retrograde, bila kita memotong mesoappendix
dari basis ke arah puncak. Ini dilakukan pada Appendix yang
letaknya sulit, misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai
karena tersembunyi, misalnya karena terjadi perlengketan dengan
sekitarnya (Goldblatt, 2013).
21
Gambar 7 macam-macam insisi pada appendictomy.
22
23
Gambar 8 appendectomy secara singkat
24
bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam,
malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum
atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis
dapat ditegakandengan pasti ( Peranteau, 2013)..
Bila terbentuk abses apendik, maka akan teraba massa di kuadran kanan
bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini
dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau
klindamisin). Dengan sediaan ini absesakan segera menghilang, dan apendektomi
dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus
segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum
atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase (Sjamsuhidajat,
2011).
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal
sepsis intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan ( Peranteau, 2013).
2.2.8. Prognosis
Prognosis appendicitis dipengaruhi oleh usia dan komplikasi yang terjadi.
Pada appendicitis dengan perforasi angka mortalitasnya 1%. Pada pasien geriatri
angka ini naik menjadi 5%. Mortalitas terbanyak terjadi karena sepsis dari
peritonitis(Brunicardi, 2010)
25
BAB 3. PENUTUP
26
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi FC, et al. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery 9th Edition. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Goldblatt MI, Telford GL & Wallace JR.. 2013. Appendix in Shackelford’s
Surgery of the Alimentary Tract. Philadelphia: Elsevier.
Pastore AP, Loomis DM, & Sauret J. 2006. Apendicitis in Pragnancy. J Am Board
Medicine. http://www.jabfm.org. Vol. 19 No 6
Sjamsuhidajat R. & De Jong W 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Shogilev DJ, Duus N, Odom SR, Shapiro NI. 2014. Diagnosing Appendicitis :
Evidence- Based Review of Diagnostic Approach in 2014. Western
Journal of Emergency Mediine. Volume XV, NO 7
27