You are on page 1of 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typi. Beberapa terminology lain yang erat kaitannya
adalah demam paratifoid dan demam enteric. Demam paratifoid secara patologik
maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun lebih ringan. Penyakit ini
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enteric dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe
Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B, (S.
Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii).8

2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi dari genus Salmonella. Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang
lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora fakultatif anaerob.9

Gambar 2.1 Struktur antigenik Salmonella9

2
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida yaitu
terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.9 Antigen ini tahan terhadap panas
dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari bakteri.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol dan envelope antigen
(K) yang terdiri polisakarida yang terletak pada kapsul dari bakteri yang dapat
melindungi seluruh permukaan bakteri terhadap fagositosis mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.9

Gambar 2.2 Mikroskopik Salmonella Typhi10

Bakteri ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu
15-41o C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan 6-8. Bakteri
ini bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan
debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Bakteri
ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan, dan khlorinisasi.11

3
2.3 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu:
1) Penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch.
Masuknya bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri. Sebagian
bakteri dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam Peyer Patch dalam usus. Jumlah bakteri yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat-obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump
Inhibitor.8,12
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral local yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya bakteri pada mukosa usus. Sedangkan
untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis bakteri oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk
membunuh bakteri intraseluler.13
2) Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ-organ extra intestinal system retikuloendotelial.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejenum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
bakteri akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari bakteri ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria bakteri berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Bakteri dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke Peyer Patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.12
3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah.
Melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag masuk ke
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar

4
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum
tulang. Di organ-organ ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan gejala klinis.12
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak
kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus,
sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan
difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga
melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit
kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi,
dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif
sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi
vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika bakteri terus menembus lapisan usus
hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan perforasi.8,12
4) Produksi enterotoksin
Bakteri juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke dalam lumen intestinal.8 Sehingga dapat timbul komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Bakteri dapat
menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini
mengakibatkan terjadinya relaps atau karier.13

2.4 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu.
Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti
panas disertai diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala
septik, ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan
dan perforasi usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya
berdasarkan gambaran klinisnya.8,14

5
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40o C), nyeri
kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut,
nyeri otot, dan malaise, gejala Roseola yang sering terjadi pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah
khas berwarna putih atau lidah kotor (Coated tongue), bradikardia relatif,
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran
(delirium, stupor, koma, atau psikosis). 14,15
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Demam muncul dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septikemia Menggigil tidak ditemukan pada demam
tifoid. 12

Gambar 2.3 Pola Demam Remiten15

Pola demam tifoid adalah demam remiten, yaitu demam yang suhu dapat
turun tetapi tidak pernah hingga normal selama minggu ke-1, terutama sore dan
malam hari. Variasi suhu diurnal > 1ºC. Setelah minggu 1 demam terus menerus
tinggi (pola demam kontinyu) 15

6
Gambar 2.4 Pola Demam Kontinyu15

Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam yang bersifat terus-menerus tinggi
(kontinyu). Variasi suhu diurnal < 1ºC. Demam tidak hilang dengan antipiretik,
tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis. Gangguan
gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor,
berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut kembung dan mungkin nyeri tekan.
Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi
diare kemudian menjadi obstipasi.15

Gambar 2.5 Lidah kotor (Coated tongue) khas pada demam tifoid15

Gambaran coated tongue secara klinis berupa selaput (lesi plak) yang
menutupi bagian permukaan atas lidah. Selaput ini dapat berwarna putih
kekuningan sampai berwarna coklat. Selaput terdiri dari akumulasi bakteri,
debris makanan, lekosit dari poket periodontal, dan deskuamasi sel epitel.15

7
Gambar 2.6 Roseola16

Di samping gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula


ditemukan gejala lain. Biasanya ditemukan dalam minggu pertama demam. Pasien
akan menunjukkan gejala Roseola yang sering terjadi pada akhir minggu pertama
dan awal minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini
merupakan emboli bakteri yang didalamnya mengandung bakteri Salmonella dan
terutama didapatkan di daerah perut, dada, punggung, kadang-kadang di bokong,
ataupun bagian fleksor lengan atas. Warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul
lebar 2-4 mm, dan akan menghilang dalam 2-5 hari.16

2.5 Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik
dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.17

2.5.1 Anamnesis
Demam naik secara perlahan (remiten) pada minggu pertama lalu demam
menetap (kontinyu) pada minggu kedua. Demam terutama sore atau malam hari,
sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, nyeri perut,

8
dan bahkan penurunan kesadaran. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis
terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul
dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia.
Menggigil tidak didapatkan pada demam tifoid. Sakit kepala hebat yang menyertai
demam tinggi, Di sisi lain Salmonella typhi juga dapat menembus sawar darah
otak dan menyebabkan meningitis gambaran klinis, yaitu delirium, stupor, koma,
atau psikosis 17

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Gambaran klinis tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium.17
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada demam demam tifoid yaitu:17
- Demam (suhu berkisar 39-40o C),
- Bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali/menit),
- Kesadaran menurun,
- Lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor),
- Hepatomegali,
- Splenomegali,
- Nyeri tekan abdomen,
- Gejala roseola, yang sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua.
- Serta mungkin pula ditemukan gejala lain.

9
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Penegakkan diagnosis demam tifoid melalui pemeriksaan penunjang harus
dilakukan dengan cepat dan akurat agar penangananya menjadi lebih efektif.
Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan bila ditemukan Salmonella typhi dalam
biakan darah, urin, feses atau sumsum tulang. Namun pemeriksaan kultur
memerlukan tenaga yang banyak dan waktu yang lama. Uji serologi sekarang
rutin dan luas digunakan dalam mendiagnosis demam tifoid sejak
diperkenalkannya uji widal pada tahun 1896. Uji widal masih menjadi uji
serologis rutin di berbagai daerah endemik, namun uji ini banyak memiliki
kelemahan seperti rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan
nilai standar aglutinasi (cut-off-point). Belakangan banyak ditemukan uji serologis
baru yang lebih cepat dan akurat dalam mendiagnosis demam tifoid. Pemeriksaan
IgM anti salmonella (tes TUBEX®) merupakan salah satu dari uji serologis yang
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dari uji widal. Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal dan dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, akurat, mudah dan sederhana. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok,
yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi


Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus.
Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi
leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan

10
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.12

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen
Salmonella typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam
tabung tanpa antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi
masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik Salmonella typhi oleh karena tergantung pada jenis
antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak
antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam
perjalanan penyakit). 18
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a. Uji Widal
Uji serologi yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap bakteri
Salmonella typi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji
Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen bakteri Salmonella typi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan
pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.
Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum. Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;18
1. Aglutinin O (dari tubuh bakteri)
2. Aglutinin H (flagel bakteri)
3. Aglutinin Vi (simpai bakteri).

11
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi bakteri ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi
peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang.
Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun.
Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita
sembuh dari sakit. Pada pengidap Salmonella typi, antibodi Vi cenderung
meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis
infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Salmonella typi.18
Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H
mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam. Semakin
tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan di diagnosis sebagai
penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat
pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari.
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.18
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.
Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O agglutinin sekali periksa ≥ 1/200
atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa bakteri
Salmonella typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi
widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.18

12
Gambar 2.7 Tes Widal dengan metode slide19

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:


a. Titer aglutinin O yang tinggi (>160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer aglutinin H yang tinggi (>160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat carrier.19
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu :17
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu: 18
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu

13
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya, demam –> diberikan
antibiotika –> tidak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon
antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya Salmonella typi A,
B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan
jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif bakteri non Salmonella typi (bukan tifoid).18

b. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap
antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang
sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen Salmonella typi dalam spesimen
klinis adalah double antibodi sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada
sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.18
Pada penderita yang didapatkan Salmonella typi pada darahnya, uji ELISA
pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan
95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk
(2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.18

c. Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
IDL Biotech, Broma, Sweden 27. Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan
waktu 5-10 menit, sederhana, dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM

14
terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi.
Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-09 LPS.20
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale
yang tersedia Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru). Cara membaca hasil tes Tubex® adalah
sebagai berikut menurut IDL Biotech:.
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam
tifoid yang sangat kuat.20

Uji serologis yang direkomendasikan Ikatan Dokter Anak Indonesia


(IDAI) yaitu uji Tubex karena uji ini cepat dan akurat. Sedangkan Pemeriksaan
Widal untuk diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan, karena memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.21

Tabel 2.1 Kelebihan dan kekurangan Uji Serologis pada Demam Tifoid21,22
Uji serologis Kelebihan Kekurangan
1 Widal biaya yang relatif murah,  Hasil pemeriksaan positif
hasil yang cepat palsu dapat terjadi oleh karena
reaksi silang dengan non-
typhoidal Salmonella, infeksi
bakteri enterobacteriaceae
lain, infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi
tifoid.
 Hasil negatif palsu dapat
terjadi karena teknik

15
pemeriksaan tidak benar,
penggunaan antibiotik
sebelumnya, atau produksi
antibodi tidak adekuat

2 Tubex  Dapat mendeteksi infeksi Hasil dapat terganggu dengan


akut Salmonella typhi spesimen yang sangat
secara dini. hemolitik atau ikterik.
 Sensitivitas tinggi
terhadap bakteri
Salmonella.
 Hanya diperlukan sedikit
sampel darah.
 Hasil dapat diperoleh
dengan cepat

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan bakteri


Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur.
Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam
minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi
bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40-60%. Sedangkan pada minggu
kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%)
dan urin (sensitifitas 20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif
dengan sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan
dalam praktik. Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella typi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Media kultur yng digunakan adalah Gall-
culture.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi :
(1) Jumlah darah yang diambil
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak
kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.11

16
(2) perbandingan volume darah dari media empedu;
Gall culture....
(3) waktu pengambilan spesimen kultur
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,
pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.11

4. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)


Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap Salmonella typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi
sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang
membutuhkan waktu 5–7 hari. In-flagelin PCR terhadap Salmonella typi memiliki
sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nestedpolymerase chain
reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk
mengamplifikasi gen spesifik Salmonella typi dari darah pasien dan merupakan
pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari Salmonella typi dapat dideteksi dari spesimen
urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68,1%). Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas dilakukan
dalam penelitian.21

2.6 Diagnosis Banding


Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu: 8
a. Influenza
b. Gastroenteritis,

17
c. Bronkitis
d. Bronkopneumonia.
e. Infeksi jamur sistemik,
f. Malaria
g. limfoma dan
h. Penyakit hodgkin

2.7 Tatalaksana
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua, yaitu tatalaksana non
medikamentosa dan medikamentosa. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya
tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, pencegahan pada
anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah
non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.23
1. Medikamentosa
a) Simptomatik
Demam merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan antipiretik yang paling aman dalam hal ini
adalah Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kg/kali diminum saat suhu >38ºC
setiap 4 jam pengukuran.23
b) Antibiotik
Pilihan antibiotik untuk demam tifoid adalah:

- Chloramphenicol
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
demam tifoid terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-
100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai
7 hari setelah demam turun. Pemberian intramuskuler tidak dianjurkan. Pada
kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang
sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps
atau kambuh, dan carier. 23,25

18
Gambar 2.8 Sediaan Chloramphenicol oral25

Meskipun chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk


infeksi demam tifoid, namun penggunaan obat Chloramphenicol juga memilki
efek samping. Chloramphenicol merupakan antibiotik spektrum luas, namun dapat
menyebabkan efek samping hematologik yang berat jika diberikan secara
sistemik. Reaksi hematologik chloramphenicol adalah terjadinya depresi sumsum
tulang dan dapat terjadi anemia aplastik. Pemberian dosis tinggi pada neonatus
dengan metabolisme hati yang belum matang dapat menyebabkan terjadinya
sindrom Grey baby. Kontraindikasi pemberian chloramphenicol adalah pada anak
dengan hemoglobin kurang dari 7 gr/dL, dan leukosit kurang dari 3000 sel/uL,
kemudian pada neonatus dan pasien porfiria. 23,25
- Cotrimoxazole
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Kombinasi tersebut mempunyai
aktivitas bakterisid yang besar karena menghambat pada dua tahap sintesis asam
nukleat dan protein yang sangat esensial untuk mikroorganisme. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2
dosis untuk pemberian secara oral dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali
minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Dosis pemberian Cotrimoxazol
adalah 20-40 mg/kgBB/hari. 23,25

19
Gambar 2.9 Sediaan Cotrimoxazole oral25

Cotrimoxazole mempunyai spektrum aktivitas luas dan efektif terhadap


bakteri gram-positif dan gram-negatif, misalnya Streptococci, Staphylococci,
Pneumococci, Neisseria, Bordetella. Klebsiella, Shigella dan Vibrio cholerae.
Cotrimoxazole juga efektif terhadap bakteri yang resisten terhadap antibakteri lain
seperti H. influenzae, E. coli. P. mirabilis, P. vulgaris dan berbagai strain
Staphylococcus. Indikasi pemberian Cotrimoxazole antara lain terhadap infeksi
saluran kemih dan kelamin, otitis media akut, infeksi saluran pernapasan bagian
atas, enteritis, pneumonia, dan diare. Kontraindikasi pemberian kotrimoksasol
adalah penderita dengan gangguan fungsi hati yang parah, insufisiensi ginjal, bayi
prematur atau bayi berusia dibawah 2 bulan, penderita anemia megaloblastik
karena kekurangan asam folat, penderitan yang hipersensitif/alergi terhadap
trimetoprim dan obat-obat golongan sulfonamida. Efek samping dari pemberian
antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti
anemia megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia dan pada beberapa
Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten. 23,25

- Ampicillin dan Amoxicillin


Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan Chloramphenicoldan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari/Intavena (IV)/ intramuscular (IM)
dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Peroral 50–100 mg/kg/hari terbagi setiap

20
6 jam. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
Chloramphenicol. 23,25

Gambar 2.10 Sediaan Ampicillin dan Amoxicillin25

- Sefalosporin
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicoldan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. dosis Ceftriaxone 20-50 mg/kgBB/hari IV diberkan 1-2 kali sehari selama
5-7 hari. Atau dapat diberikan Cefotaxim 50-100 mg/kgBB/hari IV diberikan 2-4
kali sehari. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 1,5-3
mg/kgBB/hari diberikan 2 kali sehari selama 10 hari. 23,25

Gambar 2.11 Sediaan Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime25

21
Tabel 2.1 Antibiotik pada demam tifoid 23,25
Antibiotik Dosis Efek Kontraindikasi
Samping
1 Chloramphenicol Oral: Depresi  Hb < 7 gr/dL,
50-100 mg/kg/hari sumsum tulang  Leukopenia
dan anemia leukosit <3000sel/uL
aplastik
2 Cotrimoxazole Oral:  Anemia  Gangguan fungsi hati
 Trimetropim Megaloblastik  Bayi premature
10mg/kg/hari  Leukopenia  Bayi berusia <2 bulan
 Sulfametoxzazole  Granulositop  Hipersensitif/alergi
50mg/kg/hari enia
 Cotrimoxazole
20-40mg/kg/hari
3 Ampicilin & Intavena (IV) :  Ruam pada  Hipersensitif/alergi
Amoxicilin 100-200mg/kg/hari kulit
Oral :  Mual,muntah
50–100 mg/kg/hari
4 Sefalosporin Intavena (IV) :  Mual,muntah  Hipersensitif/alergi
 Ceftriaxone  Ruam terhadap sefalosporin
20-50mg/kg/hari  Leukopenia
 Cefotaxime  Anemia
50-100mg/kg/hari aplastik,hem
Oral : olitik
 Cefixime
1,5-3mg/kg/hari

2. Non-Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
seratdan mudah dicerna adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi
penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Diit rendah serat bertujuan
untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi sehingga dapat membatasi
volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna.serta untuk mencegah
perdarahan dan perforasi usus. Diit untuk penderita demam tifoid, biasanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

22
Syarat-syarat diit adalah:
 Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan aktivitas
 Protein cukup, 10-15% dari kebutuhan energi total
 Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
 Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
 Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan.
 Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam, dan
berbumbu tajam
 Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas
dan dingin
 Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
Setelah kondisi membaik, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori yang cukup.
c) Cairan
Penderita harus mendapat asupan cairan yang cukup, baik secara oral,
parenteral, maupun sonde lambung, terutama bila didapatkan keadaan demam
tinggi, muntah atau diare. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Pada
ensefalopati, kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan cairan untuk
mengurangi risiko edema otak. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori
yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.23
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan
suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres pada daerah tubuh akan memberikan
sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang
peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan
sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai
otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.

23
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas
melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu
tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan
teori yang dikemukakan oleh Aden bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(termoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat
pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.24

2.8 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :12
1. Komplikasi Intra Abdomen
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan
tanda– tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
Komplikasi intra abdomen dapat ditatalaksana dengan tindakan bedah sesuai
indikasi
2. Komplikasi Ekstra Abdomen
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada

24
awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru,
efusi, dan empiema.

b) Tifoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak
dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya
jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
c) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat.
Hepatitis tifosa....
2.9 Faktor Risiko Penularan
Penularan demam tifoid melalui mulut yang mengkonsumsi makanan dan
minuman yang telah tercemar oleh feses maupun urin penderita demam tifoid.
Dimana beberapa hal yang berperan sehingga bisa terjadi penularan demam tifoid
adalah:
a. Higiene perorangan yang rendah seperti budaya cuci tangan rendah
b. Higiene makanan dan minuman yang rendah karena mencuci makanan dan
air yang terkontaminasi
c. Sanitasi lingkungan yang kumuh dimana pengolahan air limbah kotoran dan
sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
d. Penyediaan air bersih yang tidak memadai24

2.10 Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:18
a. Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur merupakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air dan

25
sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah
menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air. Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan
sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum
makan dan setelah menggunakan toilet.
b. Menjaga kebersihan sumber makanan dan air
Higiene makanan dan minuman yang rendah karena mencuci makanan dan
air yang terkontaminasi. Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah
pada daerah endemik tifoid.
c. Perbaikan sanitasi
Sanitasi lingkungan yang kumuh dimana pengolahan air limbah kotoran
dan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
d. Vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk
dicapai. Ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi
merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid. Di Indonesia vaksin
tifoid diberikan pada usia setelah 2 tahun dan dapat diulang setiap 3 tahun.26

26
Gambar 12. Jadwal Imunisasi Anak26

Vaksin tifoid merupakan vaksin polisakarida sehingga diberikan di atas


usia 2 tahun. Di Indonesia telah ada 2 jenis vaksin tifoid, yakni:
1. Vaksin oral Ty 21a (bakteri yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi Ty 21a. Diberikan tiga kali per
oral dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam,
sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. 17,24

Gambar 13. Sediaan vaksin tifoid oral 24

Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun karena insiden
penyakit demam tifoid pada anak yang berusia dibawah 2 tahun sangat rendah.
Lama proteksi vaksin tifoid adalah selama 3 tahun. Vaksin tifoid ini akan diulang
tiap 3 tahun sekali dan vaksinasi ulangan atau booster hanya diberikan pada
mereka yang beresiko tinggi terinfeksi demam tifoid. Namun vaksin tifoid oral
sudah tidak beredar lagi di Indonesia. 17,24
2. Vaksin Vi polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5
tahun dengan durasi proteksi selama 3 tahun. 17,24

27
Gambar 14. Sediaan vaksin injeksi 24

Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular
dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun sekali kepada mereka yang
beresiko tinggi terinfeksi demam tifoid. Vaksin ini dikontraindikasikan pada
keadaan hipersensitifitas, wanita hamil, wanita menyusui, sedang mengalami
demam, dan anak kecil dengan usia kurang dari 2 tahun.17,24

2.11 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Prognosis ad vitam pada
demam tifoid adalah ad bonam, prognosis ad functionam adalah ad bonam dan
prognosis ad sanationam adalah ad bonam, Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Anak dengan demam tifoid tanpa komplikasi tidak mengalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Demam tifoid dengan komplikasi
seperti meningitis dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.8 Monitor tindak lanjut pada demam tifoid
yaitu monitor terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi (perdarahan,
perforasi, sepsis, ensepalopati, infeksi, dan lainnya), terutama pada minggu ke 2
dan 3 demam. Monitor perjalanan penyakit untuk menentukan perubahan terapi
antibiotik dan mobilisasi dan pemberiaan diit.25

28

You might also like