Professional Documents
Culture Documents
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome. Gejala
umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis Anemia pada
kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini
timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena
adalah:
a. Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat beraktivitas,
angina pektoris, dan gagal jantung.
b. Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.
c. Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta rambut tipis
dan halus.
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia,
juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang terjadi
perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuai- kan
dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh
dua faktor utama yaitu berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia
(pada penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan oksigen dapat dipertahankan
pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup,
denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila
kadar Hb turun di bawah 5 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadi
gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya.
Gejala utama adalah sesak napas saat berak- tivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue,
gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in
the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang
mengan- cam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark miokard). Adapun anemi
yang sering terjadi meliputi anemi defisiensi vitamin B12, defisiensi besi dan defisiensi asam
folat. Oleh karena itu makan dikelompokan gejala khusus anemia dari masing-masing jenis
anemia tersebut.
Anemia defisiensi besi Anemia defisiensi B12 Anemia defisiensi asam folat
- Glossal Pain - Kulit pucat dan Ikterik Gejala defisiensi folat sama
- Penurunan Produksi Saliva sedang (kulit berwarna dengan gejala defisiensi Vit.
- PICA (compulsive eating of kuning) B12. Akan tetapi, defisiensi
nonfood items) - Gejala Neurologi (Mati rasa, folat tidak menunjukkan
- Pagofagia (compulsive neuropati perifer, gangguan gejala neurologi
eating of ice) penglihatan, demensia)
Namun ada beberapa anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan
komplikasi berkurang- nya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan
gejala mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut
menjadi postural dizzines, letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi
persisten, syok, dan kematian.
Monitoring terhadap keberhasilan terapi anemia defisiensi besi bisa dilakukan dari
pemeriksaan status besi diperiksa setiap 3 bulan, bila status besi dalam batas target yang
dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan. Namun apabila feritin serum >500 ng/L
atau saturasi transferin >40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan. Pemeriksaan ulang
setelah 3 bulan feritin serum <500 ng/L dan saturasi transferin <40%, suplementasi besi dapat
dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 dosis sebelumnya. Pada pasien dengan iron overload (
dimana feritin serum >500 ng/L ) dapat diberikan asam askorbat intravena dosis tinggi yaitu
300 mg setiap dialysis selama 8 minggu.
Anemia Aplastic
Anemia aplastik adalah kegagalan sumsum tulang baik secara fisiologis maupun
anatomis. Penyakit ini ditandai oleh penurunan atau tidak ada faktor pembentuk sel darah
dalam sumsum tulang, pansitopenia darah perifer, tanpa disertai hepatosplenomegali atau
limfadenopati. Tata laksana anemia aplastik dengan obat-obatan diberikan pada pasien
anemia aplastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan donor yang sesuai untuk
transplantasi, dan pasien yang mempunyai kontraindikasi untuk dilakukan transplantasi
sumsum tulang (Lanzowsky 2005). Tujuan pemberian obat-obatan untuk mengurangi
morbiditas, mencegah komplikasi, dan eradikasi keganasan. Salah satu terapi anemia aplastic
selain dengan transplantasi sumsum tulang bisa juga dilakukan dengan pemberian
imunosupresan. Adapun kemompok imunosupresan yang bisa diberikan sebagai berikut:
- Methylprednisolone : dosis rendah 2-4 mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan
untuk mengurangi perdarahan dan gejala serum sickness. 5mg/kg/ berat badan secara
intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering dengan dosis 1mg/kg berat
badan /hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama 15-29 hari
- Antilimfosit globulin (ALG) : ALG dosis 40 mg/kg berat badan /hari selama 12
- Antitymocyt Globulin (ATG) : Dosis yang diberikan 100- 200mg/kg berat badan
intravena. Kontraindikasi ATG adalah reaksi hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan
atau trombositopenia.
- Siklosporin A (Cs A) : menghambat reaksi imun seperti penolakan jaringan transplan,
GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8 mg/kg berat badan /hari peroral
selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg berat badan /hari pada anak-anak
dan 12 mg/kg/hari pada dewasa.
- Siklofosfamid (CPA) : dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan / hari
selama 4 hari berturut-turut
Daftar Pustaka
Matthew W. Short, Ltc, Mc, And Jason E. Domagalski, Maj, Mc. Iron Deficiency Anemia:
Evaluation And Management. Am Fam Physician. 2013 Jan 15;87(2):98-104.
Schrier SL. Approach to the adult patient with anemia. January 2011. [diakses 1 desember
pukul 01.15 WIB ].
Tefferi A. Anemia in adults : A contemporary approach to diagnosis. Mayo Clin Proc. 2003;
78:1274-80.
Brattsrorn L. Vitamin as homocystein-lowering agets, J
Nutr 126; 1996:1276S-80S.
Hillman RS. Hematopietie agents. Dalam: Hardman JE,
Limbird LE, Milinoff PB, dkk,.
Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeuties. Edisi ke-9, New York. Mc
Graw-Hill, 1996. h. 1326-36.
Mc. Laren DS, Burman D, Belton NR, William AD. Textbook of pediatric nutrition. Edisi ke-3.
London: WB Saunders, 1991. h. 416-8.
Lee RG. Iron deficiency and iron-deficiency anemia. Dalam: Foerster J, Lukens J, Paraskevas F,
Greer JP, Rodgers GM, penyunting. Wintrobe’s Clinical Hematology. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 1999. h. 977-1004.
Markum HA. Diagnostik dan penanggulangan anemia defisiensi. Dalam: Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI I; 1982, Jakarta: IKA FKUI,
1982. h. 5-13.
Dallman PR, Yip R, Oski FA. Iron deficiency and re-
lated nutritional anemia. Dalam: Nathan
DG, Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-4. Philadelphia:
WB Saunders, 1993. h. 413-41.
Zakari Y. Aliyu, Ashaunta R. Tumblin, and Gregory J. Kato. 2006. Current therapy of sickle cell
disease.
Walters MC. Sickle cell anemia and hematopoietic cell transplantation: when is a pound of
cure worth more than an ounce of prevention? Pediatr Transplant. 2004;8(Suppl 5):33–8.
Lanzkowsky P. Bone marrow failure. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-
2. New york: Churchill Livingstone, 1995. h. 89-96