Professional Documents
Culture Documents
COLIBACILLOSIS
OLEH
KELOMPOK 5
Tabel 1. Pengaruh suhu pada waktu generasi dan angka Escherichia coli
yang bisa berkembang dalam 24 jam tanpa kehadiran faktor pertumbuhan
(nutrisi, akumulasi zat penghambat,dll.).
2. Morfologi Koloni
Pada media agar bakteri ini diinkubasi selama 24 jam pada 37ºC,
koloni berbentuk cembung, halus, dan tidak berwarna. Koloni berwarna
merah muda cerah dan dikelilingi oleh endapan pada agar MacConkey,
memiliki kilau metalik gelap hijau-hitam pada eosin-metilen biru (EMB)
agar, dan berwarna kuning pada tergitol-7 agar. Meskipun koloni
morfologi dapat bervariasi, biasanya memiliki diameter 1-3 mm dengan
struktur granular. Koloni mukoid besar, tampak basah, dan lengket ketika
diperiksa. E. coli dengan cepat menghasilkan kekeruhan menyebar dalam
kultur kaldu. (Swayne,2013)
3. Biokimia
Asam dan gas diproduksi dari fermentasi glukosa, maltose, manitol,
xilosa, gliserol, rhamnose, sorbitol, dan arabinose, tetapi tidak dengan
dextrin, pati, atau inositol. Pergantian sorbitol untuk laktosa dalam agar
MacConkey berguna untuk membedakan E.coli O157: H7 dari E. coli lain
karena O157: H7 biasanya tidak memfermentasi sorbitol dan tidak akan
muncul koloni merah muda kontras dengan isolat E. coli yang khas.
Kebanyakan isolat E. coli memfermentasi laktosa. Isolasi yang yang
berasal dari fermentasi raffinose dan sorbose menghasilkan mortalitas
tinggi dalam uji letalitas. E. coli menghasilkan indole, dan mengurangi
nitrat menjadi nitrit. E. coli tidak tumbuh potasium sianida, hidrolisis urea
(urease negatif), atau dalam medium sitrat. Tes biokimia bisa digunakan
untuk membedakan E. coli dari spesies Escherichia lainnya dan bakteri
dalam family Enterobacteriaceae. E. Fergusonii tidak memfermentasi
laktosa, sukrosa, raffinose, atau sorbitol, yang membantu membedakannya
dari E. coli. E. albertii tidak memfermentasi laktosa, sorbitol, atau xilosa,
yang membantu membedakannya dari E. coli(Swayne, 2013)
4. Kerentanan terhadap Agen Kimia dan Fisik
Inaktivasi sebagian besar strain terjadi pada suhu mulai dari 60ºC
untuk 30 menit hingga 70ºC selama 2 menit. Organisme dapat bertahan
dalam keadaan beku dan persistan selama beberapa periode dalam
temperatur dingin. Inaktivasi termal dalam kotoran untuk mengurangi 90%
jumlah bakteri tergantung waktu dan suhu yang tepat mulai dari 1-2 hari di
37ºC hingga 6–22 minggu pada 4ºC. Inaktivasi dapat terjadi lebih lambat
karena kelembaban tinggi, tetapi lebih cepat jika ada free amonia.
Pertumbuhan sebagian besar strain dihambat oleh pH kurang dari 4,5 atau
lebih besar dari 9, tetapi organisme tidak terbunuh. Beberapa strain ganas
(misalnya, O157: H7) bersifat toleran terhadap asam, yang
memungkinkan mereka untuk melewati lambung tanpa terbunuh. Asam
organik lebih efektif dari pada asam anorganik untuk menghambat
pertumbuhan. Pengobatan dengan sitrat, tartarat, atau salisilat asam secara
signifikan mengurangi jumlah coliform pada kotoran unggas. Plasmid
tertentu juga dapat tahan terhadap asam dan empedu dan mempengaruhi
kelangsungan hidup APEC di burung. Konsentrasi garam 8,5% mencegah
pertumbuhan tetapi tidak menonaktifkan organisme. Stabilisasi dengan
klorin dioksida sangat efektif bila digunakan sebagai desinfektan air.
Klorat dalam pakan dapat mengurangi secara selektif jumlah E. coli dan
bakteri terkait dalam pencernaan saluran dengan mengubah klorat yang
relatif tidak beracun menjadi sangat beracun.
Pengeringan dapat digunakan untuk mengurangi organisme. Ketika
sampel lantai dari kandang transportasi broiler terkontaminasi dengan E.
coli dan dibiarkan kering selama 24 atau 48 jam, hanya sangat sedikit
organisme yang masih hidup. Cuci sebelum dikeringkan sama sekali
menghilangkan organisme.
C. PATOGENESIS PENYAKIT
E. coli yang bersifat komensal dapat berubah menjadi pathogen karena
beberapa factor diantaranya karena factor lingkungan, faktor hospes, dan
factor agen infeksi (E.coli) (Todar, 2012). Dalam pathogenesis terdapat 5
strain berbeda dari E.coli tergatung mekanisme pathogenesis, antara lain.
1. Enterotoxigenic E. Coli (ETEC)
ETEC menghasilkan satu atau dua jenis toksin protein yaitu heat
labil (LT) dan heat stabil (ST). ETEC mempunyai antigen perlekatan atau
antigen pili K88 (F4), K99 (F5), 987P (F6) dan F41 (Schierack et al,
2006). ETEC K88 memproduksi toksin yang tidak tahan panas atau heat
labile toxin (LT) dan tahan panas atau heat stable toxin (ST).Sementara itu
E. coli K99, F41 atau 987P memproduksi enterotoksin ST (Fairbrother et
al, 2005). Toksin LT bekerja merangsang enzim adenil siklase yang
terdapat di dalam sel epitel mukosa usus halus, menyebabkan peningkatan
aktivitas enzim tersebut dan terjadinya peningkatan permeabilitas sel epitel
usus. Hal ini akan menyebabkan terjadinya akumulasi cairan di dalam usus
dan berakhir dengan diare. Toksin ST bekerja dengan cara mengaktivasi
enzim guanilat siklase menghasilkan siklik guanosin monofosfat,
menyebabkan gangguan absorbsi klorida dan natrium dan menurunkan
motilitas usushalus (Supar, 2001). Patogenesa diare yang terjadi akibat
ETEC meliputi terjadinya kolonisasi pada usus kecil dan produksi serta
aksi enterotoksin yang bertangggung jawab dalam merusak keseimbangan
pergerakan cairan dan elektrolit di dalam epitel usus. Kolonisasi pada usus
kecil oleh ETEC tergantung pada pili. Pili berperan dalam penempelan
yang spesifik oleh bakteri pada titik sel epitel.
2. Enteropathogenic E. Coli (EPEC)
Enteropathogenic E. coli menyebabkan diare yang berakhir pada
kematian yang menyerang individu, dengan dosis infeksi berkisar antara
108-1010 organisme. Transmisi terjadi secara kontak langsung dari
individu yang terinfeksi ke individu yang lain tanpa melalui air yang
terkontaminasi. Terjadinya diare karena strain ini menyerang sel mukosa
usus dengan menggunakan Tir (reseptor) translocated intimin sehingga
terjadi perubahan struktur sel usus (Kenny and Jepson, 2000). Perubahan
pada ultrastruktur sel usus merupakan penyebab utama terjadinya diare
(Gyles, 2007).
3. Enteroinvasive E. Coli (EIEC)
Pasien yang terinfeksi dengan EIEC ditandai dengan diare berair
sampai berkembang menjadi diare berdarah. Dosis infeksi berkisar antara
106-1010 organisme. Masa inkubasi di dalam saluran pencernaan berkisar
antara 1-3 hari, dengan durasi infeksi selama 1-2 minggu (Percival 2004).
Strain ini menginvasi sel di kolon dan menyebar secara lateral dari satu sel
ke sel yang lain. Gejala yang ditimbulkan hampir sama dengan Shigella
yaitu diare profus (disentri), kedinginan, demam, sakit kepala, kelemahan
otot dan kram (Kaper, 2005).
4. Enterohaemorrhagic E. Coli (EHEC)
Jenis strain ini menghasilkan shiga-like toxin yang bersifat
sitotoksik. Maa inkubasi berkisar antara 3-8 hari dengan durasi infeksi 1-
12 hari. Strain ini juga menyebabkan dua kondisi yang berbeda yaitu
colitis haemorrhagic dan haemolytic uraemic syndrome (HUS).Kondisi
HUS ditandai dengan terjadinya trombositopenia, mikroangiopati, anemia
hemolitik dan gagal ginjal (Rendon et al, 2007).
5. Enteroaggretive E. Coli (EAEC)
Strain ini menyebabkan diare berair yang tidak mengandung darah
dan tidak diikuti dengan demam. Strain ini melekat di usus halus dan
menghasilkan toksin (Gyles, 2007).
c. Enteric Colibacillosis
Paling sering dijumpai pada anak sapi berumur 1-3 minggu. Pada
feses terlihat encer atau serupa pasta, feses tersebut berwarna putih
sampai kuning dan terdapat noda darah. Feses berbau tengik dan
mengotori sekitar anus dan ekornya. Denyut nadi dan suhu tubuh naik
mencapai 40.5⁰C , apatis, lemah, dan dehidrasi. Pada palpasi perut
ditemukan reaksi nyeri. Tanpa pengobatan hewan mati dalam waktu 3-5
hari.
2. Pada Anak Domba
Manifestasi penyakit ini pada anak domba hampir selalu sama dalam
bentuk septisemik yang perakut, walaupun beberapa menunjukan bentuk
enterik yang kronik. Dua kelompok umur yang rentan terhadap penyakit
yaituu domba yang berumur 1-2 hari dan berumur 3-8 minggu. Kejadian
perakut di tandai dengan kekakuan otot kemidian hewan rebah. Terdapat
hyperaestesia dan konvulsi tetanik. Kejadian kronik ditandai adanya
arthritis.
3. Pada Anak Babi
Colibacillosis sering menyerang anak babi yang berumur 1-3 hari.
Bentuk septisemik ditandai adanya kematian mendadak dalam waktu 24
jam tanpa gejalah klinis. Enteric colibacillosis dapat juga menyerang
ternak babi terutama yang berumur 8-16 minggu. Gejalah klinis yang
terlihat berupa depresi, anoreksia, suhu badan meningkat dan diare dalam
beberapa hari. Pada kulit terdapat sedikit kebiruan dam perubahan pakan
yang mendadak merupakan peluang timbulya penyakit ini.
4. Pada Unggas
Infeksi Escherichiae coli ini dapat terjadi pada ayam pedaging dan
petelur dari semua kelompok umur, serta unggas lainnya seperti kalkun
dan itik (Charlton et al., 2000). Gejalah klinis tidak spesifik dan sangat
tergantung dari umur ayam yang terserang, lamanya infeksi berlangsung,
dan organ yang terserang. Pada ayam pedaging (4-8 minggu) dan ayam
petelur kurang dari 20 minggu terjadi septisemia akut menimbulkan
kematian dengan gejalah yang singkat yaitu anoreksia dan lesu (Tarmudji
2003). Kematian embrio sebelum telur menetas yang biasanya terjadi pada
periode akhir pengeraman. Kematian anak-anak ayam terjadi umur 3
minggu dengan gejalah omphalitis, oedema, jaringan sekitar pusar menjadi
lembek, synovitis dan osteomyelitis.
L. DISTRIBUSI/EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
Colibacillosis diduga banyak terjadi di berbagai tempat di Indonesia
(Kementrian Pertanian, 2014). Namun karena kurangnya data, maka sulit
dinyatakan secara pasti intensitas kejadian penyakit. Dari kepustakaan
diketahui bahwa colibacillosis terjadi dimana saja ketika ternak dipelihara
oleh manusia. Bila anak hewan yang baru lahir dikumpulkan dalam kelompok
yang berdekatan satu sama lain pada lokasi terbatas, maka colibacillosis
merupakan penyakit umum pada anak ternak seperti sapi, babi, domba, dan
kuda.
Colibacillosis terjadi sepanjang tahun dan kejadiannya semakin
meningkat pada perubahan musim. Kejadian colibacillosis di Bali pada tahun
2009-2010 khususnya di Kabupaten Badung kematian karena colibacillosis
mencapai 1083 ekor babi sedangkan untuk ayam sebanyak 1945 kasus
(Disnak, 2009). Pada babi, prevalensi Escherichia coli antara 13,40-43,70%
dengan rata-rata 24,70% dan mortalitas anak babi 12,20-31,60% dengan rata-
rata 17,90%. Kasus diare pada anak sapi pada daerah sentra pengembangan
sapi perah (Jawa Barat) berkisar antara 19-40%, dengan kematian pedet
dibawah umur 1 bulan berkisar antara 8-19%, yang terjadi sepanjang tahun
(Supar, 2001).
Kejadian kolibasilosis berdasarkan atas umur yang terserang terlihat
bahwa colibacillosis tertinggi terjadi pada umur 0-2 minggu, yaitu sebesar
62%. Sedangkan pada umur 3-4 minggu, 5-6 minggu, 7-8 minggu, 9-10
minggu, dan umur lebih dari 10 minggu didapatkan berturut-turut : 46%,
46%, 32%, 31%, dan 19%. Data ini menunjukkan bahwa semakin
meningkatnya umur semakin menurun kejadian colibacillosis (Besung, INK.
2010).
M. PENCEGAHAN
Hindari keadaan penuh sesak di kandang (over crowded), usahakan
ternak terbagi dalam kelompok kecil dan terdiri dari umur yang sama.
Pengendalian colibacillosis pada anak ternak adalah dengan manajemen
kandang dan hygiene yang baik. Lantai kandang terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan. Disinfektan kandang dilakukan setiap ada pergantian
kelompok ternak. Tempat pakan dan air minum diletakkan sedemikian rupa
sehingga terhindar dari pencemaran feses.
Anak sapi yang baru Iahir harus segera mendapatkan kolostrum.
Tempat pakan atau minum segera disucihamakan setiap habis dipakai.
Pemberian pakan atau minum pada anak-anak sapi oleh pekerja hendaknya
dilakukan dari luar kandang untuk mencegah kemungkinan infeksi melalui
sepatu, pakaian ataupun peralatan kandang lainnya.
Ternak baru harus dilakukan tindakan karantina dan lebih baik lagi
disertai pengobatan profi laktik pada saat kedatangan. Sebaiknya dihindari
pembelian ternak baru umur muda. Bagi peternakan yang sering mengalami
kejadian colibacillosis dapat dianjurkan untuk melakukan vaksinasi pada
induk 2-4 minggu menjelang partus (dengan vaksin autagenous) yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah kematian yang biasanya tinggi dan
mendadak.
N. PENGOBATAN/PENANGGULANGAN
Pengobatan Colibacillosis dengan pemberian antibiotik. Beberapa
serotipe E.coli seringkali resisten terhadap satu atau lebih antibiotika
(Kementrian Pertanian, 2014). Untuk pengobatan yang efektif perlu
dilakukan uji sensitivitas bakteri, karena antibiotik yang efektif pada satu
kasus belum tentu dapat efektif pada kasus yang lainnya. Pengobatan pada
kasus colibacillosis berat perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek terutama
dari aspek ekonomis pengobatan.
Beberapa contoh antibiotik dan antibakteri yang digunakan untuk
pengobatan colibacillosis adalah kelompok aminoglikosida (neomisin,
gentamisin), kelompok aminosiklitol (spektinomisin), kelompok polipeptida
(kolistin, polimiksin), kelompok tetrasiklin (oksitetrasiklin, klortetrasiklin,
doksisiklin), kelompok sulfonamide dan trimetroprim, kelompok kuinolon
(asam oksolinat, flumekuin, enrofloksasin, ofloksasin, norfloksasin)
(Kementrian Pertanian, 2014).
Bermacam-macam antibiotik diketahui memberikan hasil baik terhadap
kejadian colibacillosis, diantaranya tetracycline, neomycin dan streptomycin.
Kebiasaan memberikan antibiotik kepada anak ternak sering menimbulkan
resistensi. Pemberian antibiotik pada ternak potong dihentikan sekurang-
kurangnya 7 hari sebelum dipotong. Selain pemberian antibiotik atau
sulfonamide, obat-obatan penunjang lainnya, sebaiknya diberikan juga infus
dengan NaCl fisiologis (Kementrian Pertanian, 2014).
DAFTAR PUSTAKA