You are on page 1of 3

Hasil Analisis Aspek Hukum

1) Era Hukum Geothermal Awal

Pengeboran geothermal pertama dilakukan pada tahun 1926 di Kamojang, Jawa


Barat. Banyak kegiatan yang dilakukan pada tahun 1970-an dengan dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 16/1974, yang mengharuskan Pertamina untuk melakukan survei
dan eksplorasi di Jawa Bali, sementara di luar Jawa Bali dilakukan oleh pemerintah.
Pengeboran yang telah dilakukan dalam hal ini, termasuk di Kamojang, Dieng (oleh
Pertamina), dan Lahendong (oleh pemerintah). Kemudian Keputusan Presiden No. 22
tahun 1981 diterbitkan yang memberikan hak monopoli kepada Pertamina melakukan
survei, eksplorasi dan eksploitasi energi panas bumi di Indonesia. Menurut aturan ini,
Pertamina harus menjual uap panas bumi ke PLN. Pada tahun 1983, pembangkit listrik
tenaga panas bumi pertama beroperasi di Indonesia tepatnya di Kamojang dengan
kapasitas 30 MW, diikuti oleh unit kedua dan ketiga 2 x 55 MW di 1988. Sedangkan
pada tahun 1982, Pertamina menjalin kerjasama dengan Unocal Geothermal Indonesia di
hotspot Gunung Cisalak dan dioperasikan pada tahun 1994 untuk Unit I dan II.
Pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan Keputusan NO.45 tahun 1991 sebagai
sebuah peningkatan Keputusan Presiden No. 22 tahun 1981 yang memberikan
fleksibilitas lebih kepada Pertamina bersama dengan kontraktor untuk mengembangkan
energi panas bumi di Indonesia dan kemudian menjualnya baik dalam bentuk uap atau
listrik ke PLN 1990 adalah era keemasan panas bumi di Indonesia, yang ditandai oleh
jumlah besar yang menandatangani Operasi Bersama Kontrak, termasuk Panas Bumi
Panas Unocal Sumatera Utara (Sarulla, 1993), Himpurna California Energy (Dieng,
1994), Karaha Bodas Company (Karaha, 1994), Mandala Magma Nusantara (Wayang
Windu, 1994), Patuha Power (Patuha 1994), dan Bali Energy (Bedugul, 1995). Pada
1990-an juga ditandai dengan pengoperasian Lahendong, Wayang Windu dan
Pembangkit listrik tenaga panas bumi Sibayak. Pada awal tahun 2000 melalui Keputusan
Presiden No.76 tahun 2000, hak monopoli Pertamina atas Panas Bumi dicabut dan setiap
bisnis dapat dicari di bidang energi panas bumi

2) Era Hukum Geothermal Pertengahan

Pada tahun 2003, Pemerintah mengeluarkan UU Panas Bumi yang mengubah


manajemen panas bumi di Indonesia. Hukum ini memperkuat Keputusan Presiden 76
tahun 2000 yang disediakan lebih banyak fleksibilitas untuk semua bisnis untuk berusaha
di bidang energi panas bumi melalui proses lelang sebelum mendapatkan Izin
Penambangan Panas Bumi (IUP = Ijin Usaha Pertambangan). Selain itu, Undang-Undang
ini memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memiliki peran aktif dan
peluang untuk mengeluarkan izin, bimbingan dan pengawasan untuk mengelola sumber
daya panas bumi. Hukum juga memberi kekuatan pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah melakukan survei pendahuluan untuk pengeboran eksplorasi. Data yang diperoleh
kemudian digunakan sebagai dasar untuk pengaturan Wilayah Kerja Geothermal (WKG).
WKG ini kemudian digunakan dalam lelang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah. Setelah diberlakukannya UU Panas Bumi, Pemerintah telah menerbitkan 35
WKG, sementara sebelumnya, pemerintah mengeluarkan sebanyak 19 WKG. Total WKG
yang dikeluarkan oleh Pemerintah sampai saat ini adalah 54 WKG dari total 276 hotspot
geotermal. Dan ada 7 dari 54 WKG yang sudah berproduksi. Pemerintah Indonesia
berencana menambah sebanyak 3.516 MW dari kapasitas terpasang pada tahun 2015 .
Sementara Menteri Keputusan Menteri ESDM nomor 15 tahun 2010 sebagaimana telah
diubah oleh Keputusan Menteri ESDM nomor 21 tahun 2013 yang merupakan penegasan
dari Target fast track program (FTP) II untuk meningkatkan kapasitas terpasang
pembangkit listrik tenaga panas bumi sebanyak 4.965 MW sampai 2024 di 52 proyek.
Semua 52 proyek disebut sebagai proyek FTP II. Pemerintah Indonesia juga merilis
rencan energi di Indonesia Keputusan Presiden No 5 tahun 2006. Aturan ini menyebutkan
sumber energi Indonesia berasal dari energi terbarukan adalah 17% pada 2025, yang
sebagian besar berasal dari panas bumi. Namun sejauh ini tidak berjalan sesuai rencana.
Ini terbukti oleh pembangkit listrik panas bumi tetap di 1.226 MW dari tahun 2011
hingga sekarang.

3) Era Hukum Geothermal saat ini

Presiden Joko Widodo baru saja meneken Peraturan Pemerintan PP No.7 Tahun
2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Pemanfaatan tidak
langsung dalam pengelolaan panas bumi yang ada di dalam PP 7/2017 ini merupakan
pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik.
Sebagai aturan pelaksana dari UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, PP 7/2017
mengatur wilayah kerja, penawaran wilayah kerja, kegiatan pengusahaan panas bumi,
hak dan kewajiban pemegang Izin Panas Bumi (IPB), usaha penunjang panas bumi, dan
harga energi panas bumi. Badan usaha yang melakukan survei mendapatkan
keistimewaan melakukan lelang terbatas. Dalam lelang terbatas, badan usaha harus
menunjukkan komitmen eksplorasi panas bumi. Komitmen ini juga nantinya yang akan
ditagihkan Pemerintah kepada pemenang lelang. Bentuk komitmen badan usaha pada saat
masa eksplorasi yang diatur dalam PP 7/2017 adalah sebagai berikut:

Komitmen Eksplorasi:
- Ditempatkan dalam bentuk escrow account.
- Minimal USD 10.000.000 untuk pengembangan PLTP > 10 MW.
- Minimal USD 5.000.000 untuk pengembangan PLTP < 10 MW.
- Dalam jangka waktu 5 tahun tidak melakukan pengeboran 1 (satu) sumur eksplorasi
maka 5% dari Komitmen Eksplorasi menjadi milik negara.

Setelah pemenang lelang diumumkan barulah Pemerintah dapat mengeluarkan Izin Panas
Bumi (IPB) yang kemudian dapat dilakukan eksplorasi dengan jangka waktu salam 5
tahun + 1 tahun + 1 tahun. Pada masa pemberian IPB ini, Pemerintah akan terus
melakukan pengawasan.
Perbedaan masa eksplorasi pada PP 7/2014 dengan regulasi sebelumnya adalah
bahwa feasibility study atau studi kelayakan dilakukan pada masa eksplorasi. Baru
setelah itu, apabila melalui studi yang dilakukan potensi panas bumi cukup ekonomis
akan dilanjutan dengan penerbitan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL).
Terbitnya IUPTL menjadi pertanda bahwa badan usaha telah siap melakukan Perjanjian
Jual Beli (PJB) dengan PLN. Selanjutnya, badan usaha pemenang WKP tersebut dapat
beroperasi selama 30 tahun ke depan.
Regulasi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan kepada kepada seluruh
stakeholder dan shareholder dalam melaksanakan pengembangan pemanfaatan panas
bumi yang lebih optimal, efficient, dan affordable untuk mencapai tujuan utama
pengembangan energi yaitu kesejahteraan masyarakat,

You might also like