You are on page 1of 12

A.

Pengertian Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu
yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu taonta berarti ‘yang
berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi
berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada.
Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada
adanya dua macam kenyataan. Yang pertama kenyataan yang berupa materi
(kebendaan), dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa”
yang menurut Aristoteles merupakan the first philosophy dan merupakan ilmu
mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani ‘on’ sama
dengan being, dan logos sama dengan logic. Jadi, ontologi adalah the theory of being
qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Ontologi menyelidiki sifat
dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas
dari kategori-kategori yang logis, yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisonal ontologi dianggap sebagai
teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hl ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya
akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.

B. Objek Ontologi
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada.
Ontologi adalah studi tentang yang ada secara universal, dengan mencari pemikiran
semesta universal. Menurut Endraswara (2012: 105), objek ontologi terbagi atas dua
macam, yaitu
1. Objek formal adalah hakikat dari seluruh realitas. Objek formal adalah cara
memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya
serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya
memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari
bidang-bidang yang lain. Satu objek formal dapat ditinjau dari berbagai sudut
pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda.
2. Objek material, adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu hal
yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkret
misalnya manusia, tumbuhan, batu, ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-
nilai, dan kerohanian.

C. Aliran atau Pandangan dalam Ontologi


Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian
melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan
beberapa sudut pandang. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme,
naturalisme, dan empirisme. Aliran-aliran ini yang membangun pemikiran para ahli
filsafat ilmu, untuk memahami esensi sebuah ilmu. Ilmu itu dapat ditinjau dari tiga
aliran itu, untuk menemukan hakikat.
Menurut Endraswara (2012: 107) didalam pemahaman ontologi terdapat beberapa
pandangan-pandangan pokok pemikiran, diantaranya:
1. Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua.
Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa
materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas
dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan
dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Paham ini terbagi menjadi
dua aliran yaitu :
a) Materialisme.
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya
bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia
berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan.
Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara,
dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan.
Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan
atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus.
Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.
b) Idealisme.
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam
jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu
yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik
yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya
merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi
benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada
kebenaran sejati. Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran
Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di
dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata
yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide
itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
c) Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan
roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
kehidupan dalam alam ini. Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M)
yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat
itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini
tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de
Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan
metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan
Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de
Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).
d) Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of
Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan
Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan
terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran
ini adalah William James (1842-1910M), yang mengemukakan bahwa tiada
kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
e) Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak
ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di
Rusia. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman
Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang
memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun
yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga,
sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan
kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-
1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di
belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
f) Aliran Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata
agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A
artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum
dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan
adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dapat
kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren
Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak
Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah
hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda
dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa
satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang
dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre
(1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal.
Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau
sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan
terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi
maupun ruhani.

D. Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang
sangat mendasar yang berada diluar pengalaman manusia. Dari segi filsafat secara
keseluruhan metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat dibalik alam nyata.
Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi
pada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indera.
Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada
pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena
itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah.
Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa
penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini.
1. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat
lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Dari
paham supernatural ini lahirlah tafsiran-tafsiran cabang seperti animisme, dimana
manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-
benda seperti batu, pohon, dan air terjun.
2. Naturalisme
Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham
naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu
sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut
paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang
mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka menolak
keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga
muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia
berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 SM). Bagi
Democritus, unsur dasar dari alam adalah atom.
Gejala alam dapat didekati dari segi proses kima dan fisika. Hal ini tidak
menimbilkan masalah selama diterapkan pada zat-zat yang mati. Namun
bagaimana dengan makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling
bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik
melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-
fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik
yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.
Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada
dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan
dualistik. Sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia
menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran
monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.
Keduanya hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun
mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut
paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat
dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini
berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka
yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu
lantas ada.

E. Asumsi
Ilmu mempelajari berbagai gejala yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ilmu
disebut juga dengan pengetahuan empiris. Asumsi akan diberikan terhadap objek
empiris sebagai arah atau landasan untuk menelaahnya. Setiap ilmu selalu
memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu
permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian,
semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan
latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai
gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu
gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan
segala hal yang tersirat.
Hal mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan yaitu
menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek
sebelum melakukan penelitian. Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang
penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan
berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian
hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian
jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Dalam menggunakan asumsi secara tepat, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala
alam tunduk pada tiga karakteristik:
1. Determinisme.
Determinisme yaitu hukum alam yang bersifat universal. Paham
determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin
Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat
ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala
kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat
pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak
ditemukan pada bidang ilmu sosial. Contohnya, tidak ada tolak ukur yang
tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik
menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia
lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu
melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana
di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat
keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua
tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilistik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada
namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan
peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan
untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada
ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak
dipergunakan.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan
utamanya adalah mempertanyakan pada diri sendiri (peneliti) apakah
sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan,
sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia,
maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih
adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka
akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan
pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
F. Peluang
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti
mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada
penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Probabilitas merupakan salah satu
konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian
tersebut, namun juga mencakup wilayah konversasi yang lebih serius dan refleksif,
yaitu sains.
Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berprentesi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Dalam soal pretensi ini maka ilmu kalah dengan
pengetahuan perdukunan misalnya, saudara pasti sembuh ujar dukun, minum saja air
ini, dukun tidak pernah mengatrakan “minum air ini dan dengan peluang, 0,8 maka
saudara akan sembuh. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, dimna keputusan harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif.
Konsep probabilitas di sini tidak dapat dikatakan sebagai ekspresi kontingensi
belaka. Yang ditegaskan lebih “kuat” daripada kontingensi, karena ada kriteria
actuality yang menjadi syarat. Akan tetapi, ia juga bukanlah ekspresi necessity,
mengingat deviasi secara acak selalu dimungkinkan. Jadi, ketika dikatakan di sini
bahwa probabilitas a terhadap b adalah 7/10 atau 70 %, yang dimaksud bukanlah
bahwa relasi kontingen antara a dan b adalah 70 persen daripada totalitas relasi
kontingen yang dimiliki antara a dan b. Lalu apa? Tampaknya yang paling masuk akal
untuk dimaksud oleh klaim itu adalah bahwa antara a dan b terdapat tendensiuntuk
berelasi sebesar 70 persen.

G. Asumsi dalam Ilmu


Menurut ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye, gejala itu diciptakan oleh
skala observasi. Contohnya bangun datar yang dianggap datar oleh manusia, bagi
mikroorganisme tidaklah demikian. Jarak terdekat bukan lagi garis lurus dalam ilmu
ukur manusia, melainkan garis lengkungan atau kurva. Jadi secara mutlak tidak ada
yang mengetahui seperti apa sebenarnya bidang datar itu.
Masalah ini akan didekati oleh ilmu secara praktis. Ilmu sekedar merupakan
pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan
manusia secara pragmatis. Oleh sebab itu, untuk membangun atap rumah, apabila
suatu permukaan itu diasumsikan bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat
dipertanggungjawabkan. Namun, bagi mikroba asumsi ini tidak dapat diterima.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai
pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis
sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi
memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Oleh sebab itu, ilmu
tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang
bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif.
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau
bersifat peluang. Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak
penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam
gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi
diperlukan.

Dalam pengembangan asumsi harus diperhatikan beberapa hal:


1. Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan“
bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein
bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif. Asumsi
mendasari telaah ilmiah.
2. Asumsi harus disimpulkan “keadaan sebagimana adanya” bukan “bagaimana
keadaan yang seharusnya”. Asumsi ini mendasari telaah moral.
Seorang ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda maka berarti
berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan .
H. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Hal ini ini disebabkan oleh fungsi ilmu sendiri dalam
kehidupan manusia adalah sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi
masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu kita
memerangi penyakit, membangun jembatan, mendidik anak, dan sebagainya. Selain
itu, pembatasan penjelajahan ilmu dikarenakan metode yang dipergunakan dalam
menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Apabila ilmu memasukkan
daerah di luar batas pengalaman empirisnya, maka akan sulit untuk melakukan
pembuktian secara metodologis.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi kapling-kapling berbagai
disiplin keilmuan. Kapling ini semakin lama semakin sempit sesuai dengan
perkembangan kuantitatif disiplin keilmuwan. Pada awalnya hanya terdapat ilmu-ilmu
alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy), tapi sekarang
terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan. Setiap ilmuan harus benar-benar mengetahui
batas-batas penjelajahan cabang keilmuan masing-masing disamping menunjukkan
kematangan keilmuan dan profesionalismenya. Dengan semakin sempitnya daerah
penjelajahan suatu bidang ilmu maka sering diperlukan pandangan dari disiplin-
disiplin lain (pendekatan multi disipliner). Hal ini akan menngetahui dimana disiplin
seseorang berhenti dan dimana disiplin orang lain dimulai. Tanpa kejelasan batas-
batas ini maka pendekatan multi disipliner tersebut tidak akan bersifat konstruktif
melainkan menjadi sengketa kapling.

I. Cabang-cabang Ilmu
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu
1. Filsafat alam atau rumpun ilmu alam (The natural sciences)
Ilmu alam terbagi menjadi dua kelompok:
a. llmu alam (The physical sciences), bertujuan mempelajari zat yang
membentuk alam semesta. Ilmu alam terdiri atas fisika (mempelajari massa
dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-
benda langit) dan ilmu bumi. Masing-masing ilmu ini membentuk cabang baru
yang disebut ilmu murni. Contohnya seperti mekanika, hidrodinamika, fisika
nuklir dan kimia fisik. Ilmu murni berkembang menjadi ilmu terapan seperti
mekanika teknik, teknik dan desain kapal, teknik nuklir dan sebagainya.
b. Ilmu hayat (The biological sciences), Ilmu hayat terdiri atas biologi,
biofisika, biokimia. Ilmu murni dari biologi seperti mikrobiologi, genetika
tanaman, botani, zoologi. Ilmu terapan yang berkembang seperti industri
peragian, pemuliaan tanaman, ilmu bercocok tanam, peternakan dan
sebagainya.

2. Filsafat moral atau rumpun ilmu sosial (The social sciences)


Cabang utama dari ilmu sosial yaitu antropologi (mempelajari manusia
dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan
perilaku manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan
kehidupannya), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia), dan
ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam pemerintahan dan kenegaraan).
Ilmu-ilmu murni sosial seperti arkeologi, linguistik, etnologi sedangkan
ilmu terapannya seperti ilmu pendidikan (terapan dari psikologi, antropologi,
sosiologi) dan manajemen (terapan dari ekonomi, antropologi, sosiologi).
Disamping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan juga
mencakup humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat,
agama, bahasa, dan sejarah. Sementara itu, matematika merupakan sarana berpikir
yang penting sekali dalam kegiatan berbagai disiplin keilmuan. Studi matematika
mencakup aritmatika, geometri, kalkulus, statistika dan logika.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat ilmu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.


Endraswara, Suwardi. 2012. Filsafat Ilmu Konsep, Sejarah, Dan Pengembangan
Metode Ilmiah. Yogyakarta : CAPS.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengangtar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis Dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

You might also like