Professional Documents
Culture Documents
Pengertian Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu
yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu taonta berarti ‘yang
berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi
berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada.
Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada
adanya dua macam kenyataan. Yang pertama kenyataan yang berupa materi
(kebendaan), dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa”
yang menurut Aristoteles merupakan the first philosophy dan merupakan ilmu
mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani ‘on’ sama
dengan being, dan logos sama dengan logic. Jadi, ontologi adalah the theory of being
qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Ontologi menyelidiki sifat
dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas
dari kategori-kategori yang logis, yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisonal ontologi dianggap sebagai
teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hl ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya
akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
B. Objek Ontologi
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada.
Ontologi adalah studi tentang yang ada secara universal, dengan mencari pemikiran
semesta universal. Menurut Endraswara (2012: 105), objek ontologi terbagi atas dua
macam, yaitu
1. Objek formal adalah hakikat dari seluruh realitas. Objek formal adalah cara
memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya
serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya
memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari
bidang-bidang yang lain. Satu objek formal dapat ditinjau dari berbagai sudut
pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda.
2. Objek material, adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu hal
yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkret
misalnya manusia, tumbuhan, batu, ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-
nilai, dan kerohanian.
D. Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang
sangat mendasar yang berada diluar pengalaman manusia. Dari segi filsafat secara
keseluruhan metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat dibalik alam nyata.
Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi
pada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indera.
Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada
pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena
itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah.
Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa
penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini.
1. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat
lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Dari
paham supernatural ini lahirlah tafsiran-tafsiran cabang seperti animisme, dimana
manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-
benda seperti batu, pohon, dan air terjun.
2. Naturalisme
Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham
naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu
sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut
paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang
mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka menolak
keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga
muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia
berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 SM). Bagi
Democritus, unsur dasar dari alam adalah atom.
Gejala alam dapat didekati dari segi proses kima dan fisika. Hal ini tidak
menimbilkan masalah selama diterapkan pada zat-zat yang mati. Namun
bagaimana dengan makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling
bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik
melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-
fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik
yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.
Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada
dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan
dualistik. Sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia
menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran
monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.
Keduanya hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun
mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut
paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat
dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini
berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka
yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu
lantas ada.
E. Asumsi
Ilmu mempelajari berbagai gejala yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ilmu
disebut juga dengan pengetahuan empiris. Asumsi akan diberikan terhadap objek
empiris sebagai arah atau landasan untuk menelaahnya. Setiap ilmu selalu
memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu
permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian,
semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan
latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai
gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu
gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan
segala hal yang tersirat.
Hal mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan yaitu
menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek
sebelum melakukan penelitian. Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang
penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan
berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian
hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian
jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Dalam menggunakan asumsi secara tepat, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala
alam tunduk pada tiga karakteristik:
1. Determinisme.
Determinisme yaitu hukum alam yang bersifat universal. Paham
determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin
Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat
ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala
kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat
pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak
ditemukan pada bidang ilmu sosial. Contohnya, tidak ada tolak ukur yang
tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik
menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia
lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu
melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana
di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat
keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua
tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilistik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada
namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan
peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan
untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada
ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak
dipergunakan.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan
utamanya adalah mempertanyakan pada diri sendiri (peneliti) apakah
sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan,
sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia,
maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih
adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka
akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan
pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
F. Peluang
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti
mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada
penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Probabilitas merupakan salah satu
konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian
tersebut, namun juga mencakup wilayah konversasi yang lebih serius dan refleksif,
yaitu sains.
Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berprentesi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Dalam soal pretensi ini maka ilmu kalah dengan
pengetahuan perdukunan misalnya, saudara pasti sembuh ujar dukun, minum saja air
ini, dukun tidak pernah mengatrakan “minum air ini dan dengan peluang, 0,8 maka
saudara akan sembuh. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, dimna keputusan harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif.
Konsep probabilitas di sini tidak dapat dikatakan sebagai ekspresi kontingensi
belaka. Yang ditegaskan lebih “kuat” daripada kontingensi, karena ada kriteria
actuality yang menjadi syarat. Akan tetapi, ia juga bukanlah ekspresi necessity,
mengingat deviasi secara acak selalu dimungkinkan. Jadi, ketika dikatakan di sini
bahwa probabilitas a terhadap b adalah 7/10 atau 70 %, yang dimaksud bukanlah
bahwa relasi kontingen antara a dan b adalah 70 persen daripada totalitas relasi
kontingen yang dimiliki antara a dan b. Lalu apa? Tampaknya yang paling masuk akal
untuk dimaksud oleh klaim itu adalah bahwa antara a dan b terdapat tendensiuntuk
berelasi sebesar 70 persen.
I. Cabang-cabang Ilmu
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu
1. Filsafat alam atau rumpun ilmu alam (The natural sciences)
Ilmu alam terbagi menjadi dua kelompok:
a. llmu alam (The physical sciences), bertujuan mempelajari zat yang
membentuk alam semesta. Ilmu alam terdiri atas fisika (mempelajari massa
dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-
benda langit) dan ilmu bumi. Masing-masing ilmu ini membentuk cabang baru
yang disebut ilmu murni. Contohnya seperti mekanika, hidrodinamika, fisika
nuklir dan kimia fisik. Ilmu murni berkembang menjadi ilmu terapan seperti
mekanika teknik, teknik dan desain kapal, teknik nuklir dan sebagainya.
b. Ilmu hayat (The biological sciences), Ilmu hayat terdiri atas biologi,
biofisika, biokimia. Ilmu murni dari biologi seperti mikrobiologi, genetika
tanaman, botani, zoologi. Ilmu terapan yang berkembang seperti industri
peragian, pemuliaan tanaman, ilmu bercocok tanam, peternakan dan
sebagainya.