You are on page 1of 285
dyahanita Angglissa Angel, hanya denganmu Hati hitam ini perlahan memudar Tidak, tidak putih sepertimu Hanya hitam yang menjadi kelabu Diandra Creative ANGELISSA Penulis: dyahanita Editor: dyahanita Tata Bahasa : dyahanita Tata Letak: dyahanita Sampul: dyahanita Diterbitkan Oleh: Diandra Creative (Kelompok Penerbit Diandra) Anggota IKAPI Ji. Kenanga No. 164 Sambilegi Baru Kidul, Maguwharjo, Depok, Slemanm Yogyakarta Telp. (0274) 4332233, Fax. (0274) 485222 E-mail: diandra.penerbit@ gmail.com Fb. Penerbit diandra, twitter. @penerbitdiandra www.penerbitdiandra.com www.diandrabook.com Cetakan 1, 14 Agustus 2015 ‘Yogyakarta, Diandra Pustaka Indonesia, 2015 viii +280; 13 x 19 cm ISBN: Hak Cipta dilindungi Undang-undang All right reserved Kata Pengantar Novel kedua, Yey! Segenap hati, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Kepada Tuhan yang Maha Esa. Karena Beliau saya masih bisa diberikan kesehatan sehingga dapat berimajinasi dalam pembuatan novel ini, 2. Ayah dan ibu. Yang selalu menyanyangi saya dengan cara mereka sendiri, 3. Sahabat-sahabat saya, yang selalu bertingah konyol dan membuat hidup saya berwarna dengan banyolan khas kalian, 4, Teman-teman seperjuangan saya, baik teman sekolah, teman kampus dan teman dalam lingkup pergaluan saya., 5. Pembaca di akun wattpad saya. Yang kadang cuma ngomen ‘next’ tapi selalu meramaikan dengan vote dan comen kalian, 6. Buat tim Diandra Creative. Membuat salah satu mimpi saya menjadi kenyataan. Bertahun-tahun bermimpi memiliki buku sendiri. Akhirnya kesampean juga lewat tim Diandra, 7. Kepada terimakasih untuk yang membaca cerita ini dalam versi cetak. Terimakasih © PROLOG Bisa nggak, nggak pakek nangis!!!”” teriak Ziddan Jerry Fabiano kepada istri yang baru dinikahinya sebulan yang lalu, Angelissa Calura Debbian. Ziddan duduk di kursi makan sambil meneguk minuman kaleng di genggamannya. Matanya menatap Caca—nama panggilan istrinya dengan tajam. Sang istri hanya terisak, tangannya menuntup mulut agar suara isakannya tak terdengar oleh sang suami. Caca membalikkan tubuhnya, ia mengambil sup yang tadi dimasak khusus untuk suaminya. Semangkuk sup tersebut disodorkan kepada Ziddan. Tangan Caca gemetar saat menyodorkan sup, takut sang suami kembali marah. Ziddan melihat tangan istrinya yang gemetar dengan tersenyum sinis. Ta menarik mangkup sup itu, disendokkannya sup itu kemulutnya. Ziddan mengernyit merasakan sup di dalam mulutnya, disemburkan sup tersebut ke lantai lantas menggebrak meja makan cukup keras. “Dasar istri tak bergunal!l” ucap Ziddan kemudian pergi tanpa melihat Caca yang berurai airmata. Caca menunduk dengan bahunya bergetar. Isak tangis yang sempat ditahannya tadi kini tak ia hiraukan, dibiarkannya suara tangis itu memenuhi dapur. Kenapa kehidupan rumah tangganya menjadi seperti ini? kekasih yang amat sangat dicintainya menjadi pribadi yang berbeda semenjak mereka memutuskan menikah. Caca mendekati mangkuk sup yang masih penuh itu, disendokkannya sup itu kemulutnya. Saat memasak tadi Caca mencicipinya, dan rasanya cukup enak. Tapi kenapa sang suami malah marah-marah? “Masakan kamu enak sekali, makasih sayang,” gumam Caca. Ingin sekali Caca mendengar ucapan tersebut dari suaminya, bukan ucapan pedas yang selalu membuat hatinya sedih dan membuatnya menangis. ANGRY BIRD Ziddan pergi meninggalkan rumahnya dengan senyum mengembang. Pasalnya ia tadi berhasil membuat istrinya menangis lagi. Istri sahnya sejak sebulan yang lalu. Bila pasangan yang lain sedang lengket-lengketnya bersama istri, berbeda dengan Ziddan. Bahkan setelah acara resepsi pernikahan, Ziddan meninggalkan istrinya dan lebih me- mentingkan pekerjaan di Singapura. Is/ri? Pantaskah seorang Angelissa Calura Debbian disebut sebagai istri? Debbian, ia benci sekali dengan keluarga itu. Anak maupun orangtuanya membuat hidup Ziddan sengsara. Saat ia bertemu dengan Caca, ia sempat terpesona oleh kepolo- san dan kecantikan wanita itu. Tapi setelah diselidiki Caca berasal dari keluarga Debbian membuat Ziddan memutar otak untuk menyiksa salah satu keluarga Debbian itu. Ziddan teringat akan persitiwa sepuluh tahun yang lalu, saat ia pertama kali masuk SMA. Seorang pemuda dengan bertubuh kurus dan berseragam lusuh, masuk ke sebuah sekolah elit yang beisikan anak-anak pejabat. Ziddan berjalan seorang diri mengelilingi sekolah itu. Decakan kagum tak henti-hentinya terucap dari bibir tipisnya. Ia merasa beruntung bisa bersekolah di sekolah elit. Karena kepintarannya 1a mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya di SMA paling elit di Jakarta. Ibunya hanya seorang penjahit biasa, sedangkan ayahnya meninggal sejak ia duduk di sekolah dasar. Keterbatasan ekonomi tak membuat Ziddan patah semangat, ia terus mengasah otaknya, dan bisa mendapat- kan beasiswa ini. Brukl! Ziddan yang sedang mengagumi bangunan gedung sekolah, seketika kaget saat tubuhnya menubruk seseorang. Ziddan tergagap, melihat seorang gadis d idepannya tengah jatuh terduduk. Ziddan menatap gadis itu tanpa berkedip, gadis yang menurutnya sangat cantik. “Sampek kapan lo bakal ngeliatin gue?” sindir gadis itu yang masih duduk di lantai. Ziddan tergagap, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, malu karena tertangkap basah sedang mengagumi gadis di depannya itu. Ziddan mengulurkan tangannya, berniat untuk membantu si gadis. Tapi yang didapat adalah gadis itu menepis tangan Ziddan dengan cukup keras. Membuat Ziddan mengernyit bingung. “Gue gak sudi megang tangan lol!” ucap gadis itu. Gadis itu bangkit, menepuk-nepukkan tangannya yang kotor dan membersih-kan rok pendeknya yang terkena debu. “Maaf.. nggak sengaja,” ucap Ziddan tak enak. Meskipun mendapatkan perkataan pedas dari gadis itu Ziddan tetap mengucapkan kata maaf. Sebab ia merasa salah, karena berjalan tak menatap ke depan. “Ameliall! Lo ngapain sih di sini? Dicartin dari tadi juga,” ucap seseorang gadis yang penampilannya sama dengan gadis yang ditabrak Ziddan. Gadis bernama Amelia itu menoleh ke arah temannya, ia melipat tangan di depan dada dan menunjuk Ziddan dengan dagunya. “Gue habis jatoh, ditabrak sama nih anakl!” ucap Amelia pada temannya. Teman Amelia menatap Ziddan dengan pandangan meneliti, dari atas hingga bawah, kemudian naik ke atas lagi. “Lo siswa baru?” tanya teman Amelia. Ziddan tersenyum dan mengganguk sopan kepada dua gadis di depannya. “Oh pantesan!! Kenalin temen gue ini namanya Amelia Debbian. Pemilik sekolah ini, jadi lo jangan macem- macem ke dia. Dari pada lo dikeluarin dari sekolah!!” ucap teman Amelia. Amelia tersenyum penuh kemenangan. Ia berjalan dan me-nubrukkan pundaknya pada pundak Ziddan lantas berbisik. “Kali ini lo gue maafin. Tapi lain kali nggak bakall! Setelah kepergian Amelia, Ziddan menggeleng. Tak percaya, bahwa anak pemilik sekolah bertindak seperti itu padanya. “Tapi dia cantik,” gumamnya kagum. eK Lima bulan kemudian, Ziddan selalu menjadi bahan ejekan dari Amelia CS. Entah itu mengejek seragam Ziddan yang lusuh, tas Ziddan yang tak layak pakai, dan juga sepatu Ziddan yang robek. Awalnya Ziddan biasa saja, sampai suatu hari ia sedang berolah raga bola basket. Ziddan membawa bola dan hendak menembakkan ke arah ring. Ia yang memang tak pandai bermain basket melempar bola dengan kencang dan meleset ke luar lapangan. Sedangkan dari samping lapangan Amelia sedang berjalan dengan bermain ponsel. “Awasl!” Ziddan berteriak kencang.Ja takut bola yang ia lempar mengenai Amelia. Amelia menoleh ke sumber suara, tak selang berapa lama sebuah bola jatuh mengenai tangannya yang sedang memegang ponsel. Prakkk!! Ponsel mahal Amelia jatuh dengan mudahnya. Ziddan panik, ia berjalan cepat mendekati Amelia yang tampak marah kepadanya. “Maaf kak nggak sengaja,” ucap Ziddan. Ziddan menunduk, memunggut ponsel itu dan mengembali-kannya pada Amelia.“Maaf kak, nggak sengaja,” ucap Zidan merasa bersalah. “Lo bilang maaf? Liat ponsel gue jatoh? Emang lo bisa ganti ponsel gue hah!!” teriak Amelia. Amelia menoleh ke arah lapangan. Di sana ada guru olahraga yang tak berani mendekati anak pemilik sekolah itu. Amelia meminta guru itu untuk mendekat dengan kode tangannya. “Hukum dial!’ perintah Amelia kepada guru itu. Amelia berani melakukan ini sebab ia tahu bahwa guru olah raga ini termasuk guru baru. Jadi tak akan berani macam- macam bila masih ingin terus mengajar di sekolah ini. “Tapi, Pak. Saya sudah minta maaf,” ucap Ziddan protes. Guru itu tampak bingung, ia melirik Amelia yang menatapnya tajam. Guru tersebut menarik napas, kemudian menghembuskan napasnya perlahan. “Ziddan. Kamu saya hukum. keliling lapangan lima puluh kali.” Amelia tersenyum penuh kemenangan. Ia berjalan angkuh melewati Ziddan yang tak terima oleh perlakuannya. Tapi apa daya, Ziddan tak bisa berbuat apa-apa selain menerima hukuman itu. Pukul tujuh malam Ziddan baru sampai di rumah mungilnya. Berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh kali membuat badannya terasa remuk. Belum lagi perjalanan dari sekolah ke rumah yang harus ia tempuh dengan sepeda kayuhnya. Ziddan masuk ke rumahnya yang tampak gelap itu. Ia mengernyit, tumben sekali ibunya tak menyalakan lampu. “Bu.. ibu..” Ziddan masuk ke rumah, menyalakan lampu, mencari keberadaan ibunya. Ia membuka pintu kamar ibunya yang kosong, kemudian Ziddan berjalan ke dapur, di dapur juga kosong. Tumben sekali ibunya jam segini tak ada di rumah. Ziddan berjalan keluar rumah siapa tahu ibunya sedang di rumah tetangganya. “Ziddan!!” teriak seseorang dari belakang Ziddan. Ziddan menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Dari kejauhan ia melihat seorang tetangganya sedang lari dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa bu?” tanya Ziddan setelah tentangganya berdiri di hadapannya. Tetangga Ziddan mengatur napasnya yang memburu. “Tbu. ibu kamu,” ucap tetangga Ziddan dengan tersenggal. Ziddan menenangkan tetangganya agar bisa bicara dengan jelas. Selama beberapa detik tetangga Ziddan mengatur napasnya. Kemudian ia menatap Ziddan dengan sedih. “Ibu kamu kecelakaan. Sekarang di rumah sakit.” Tubuh Ziddan seolah tak memiliki tenaga sama sekali, lututnya terasa lemas. Hingga ia terjatuh di tanah dengan posisi lutut sebagai penyangga tubuhnya. “Ibu.. ibu..” ucap Ziddan sedih. Dadanya terasa diremas, bulir-bulir air mata mulai mengalir membasahi pipinya. eK Ziddan menatap tubuh ibunya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit. Kepala ibunya dibalut oleh perban 10 putih, kaki ibunya digips, tangan-tangan ibunya juga lecet. Ziddan berjalan dengan perlahan, hatinya serasa diiris-iris melihat kondisi ibunya yang seperti ini. “Tbu,” isak Ziddan di sebelah ranjang ibunya. Tangan Ziddan terulur untuk menggenggam tangan ibunya. “Kenapa ibu bisa seperti ini.” Sebelum masuk keruangan ibunya, Ziddan sempat ditanyai oleh pihak polisi tentang ibunya. Tak hanya itu Ziddan juga diberitahu bahwa ibunya mengalami kecelakaan beruntun. Dua buah mobil dan sebuah motor yang dikendarai ibunya. Terdapat 6 korban dari kecelakaan beruntun itu. Dua orang dinyatakan tewas dan empat orang lainnya luka parah, termasuk ibunya. Ibu Ziddan bergerak, bukan bergerak lebih tepatnya kejang-kejang. Ziddan panik luar biasa, ia keluar memanggil dokter. Air mata mengalir kembali membasahi pipinya, ia tak peduli tangisannya dilihat oleh orang lain. Beberapa saat kemudian dokter dan suster masuk untuk memeriksa detak jantung ibu Ziddan, tapi belum sempat dokter tersebut memeriksa lebih lanjut. Alat deteksi detak jantung menunjukkan suatu garis horisontal. Ziddan yang meningitp dari arah kaca, scketika ta kaget. Ia masuk ke ruang perawatan ibunya dan langsung memeluk tubuh tak bernyawa ibunya. “Ibu.. hikss.. ibu...” isak Ziddan sambil memeluk ibunya erat.. “Tbu.. jangan tinggalin Ziddan ibull!” teriak Ziddan histeris. Tubuh Ziddan ditarik oleh dua orang dari belakang. Ziddan meronta, ia ingin memastikan bahwa semuanya salah. Tbunya masih hidup, ibunya masih hidup untuk Ziddan. “Adek.. adek sabar ya,” ucap dokter yang menangani ibu Ziddan. Suster yang berada di sana melepas peralatan medis yang menempel pada tubuh ibu Ziddan. ll Ziddan ditenangkan oleh seorang polisi yang dari tadi menjaga di depan ruang perawatan ibunya. “Kamu yang sabar ya dek,” ucap polisi itu memberikan pengertian kepada Ziddan. Ziddan hanya menunduk, yang ada di pikirannya saat ini adalah ibu,ibu dan ibu. Dua orang polisi datang mendekati Ziddan, dan berbincang mengenai kecelakaan beruntun. “Korban tewas dinyatakan 3 orang. Setelah kematian Joseph Debbian dan Brama Debbian kini bertambah satu orang lagi, yaitu ibu dari adek ini,” Ziddan tak bisa berpikir jernih lagi saat mendengar kata ‘Debbian’, mengingatkannya pada kakak kelasnya yang sombong dan angkuh yang selalu mem-bullynya. Yaitu Amelia Debbian. Tunggu? Joseph Debbian? Pikir Ziddan. “Joseph Debbian? Apakah dia orang yang memiliki sekolah elit yang terkenal itu?” tanya Ziddan kepada salah satu polisi di sebelahnya. Polisi tersebut mengangguk sebagai jawaban dari Ziddan. Tangan Ziddan terkepal erat, kenapa keluarga Debbian selalu mengusik kehidupannya. Amelia, selalu menganggunya saat di sekolah, dan Joseph yang sudah menabrak ibunya hingga tewas. seek Ziddan duduk dikursi kebesarannya. Setelah lulus dari SMA ia mendapatkan beasiswa di Amerika. Ia belajar dengan tekun dan sekarang ia bisa menikmati hasilnya. Ia memiliki satu universitas khusus untuk Arsitek dan memiliki beberapa perusahaan yang ber-gerak dalam desain interior. Tok..tok.. tok.. terdengar ketukan pintu pada pintu ruangan Ziddan. 12 “Masuk,” jawab Ziddan. Beberapa saat kemudian wanita berpakatan serba ketat masuk ke ruangan Ziddan. Ia berjalan dengan menggoyangkan pinggulnya sensual berharap si bos tertarik dengan tubuhnya. “Ada apa?” tanya Ziddan pada sekretasinya yang selalu saja berusaha untuk menarik perhatiannya. Tapi tak pernah ja tanggapi Kebenciannya pada Amelia membuatnya membenci semua wanita. Ia beranggapan bahwa wanita adalah penganggu, hanya itu. “Ada dua orang mahasiswi ingin bertemu dengan anda. Membicarakan rencana seminar di kampus anda,” ucap sekretaris itu dengan suara yang dibuat-buat. Ziddan mengangguk tanpa menatap wajah sekretaris itu. “Suruh dia masuk.” jawab Ziddan dingin. Sang sekretaris sebal, ia sudah mati-matian berdandan agar bosnya tertarik kepadanya, tapi ia sama sekali tak dilirik oleh bosnya. Ziddan hanya tersenyum mengejek pada sekretarisnya yang tampak jengkel itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan wanita. Bukan berarti ia gay, tapi ia menganggap wanita adalah perusak, dan perusak lebih pantas untuk dijadikan mainan bukan untuk dicintai. “Permisi, Pak,” ucap seseorang dengan suara yang cukup merdu di telinga Ziddan. Ziddan mengalihkan tatapannya dari berkas-berkas ke arah pemilik suara. Ziddan menatap dua orang remaja sedang berdiri di depan pintu. Tapi ada yang menarik pada salah satu gadis remaja itu. Ziddan menatap seorang remaja itu dengan intens. Wajahnya putih bersih, rambutnya tergerai indah, bibir tipis berwarna pink. Ziddan menelan ludahnya, gadis itu cantik tanpa polesan makeup. dan lagi, gadis itu tampak lugu dan menggemaskan. “Pak,” ucap gadis remaja itu saat tak ada respon dari Ziddan. 13 Ziddan tergagap, ia membenarkan posisi duduknya dan meminta dua remaja itu untuk duduk di hadapannya. Sebisa mungkin ia tak terpengaruh kecantikan dari salah satu gadis remaja itu. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Ziddan profesional. Ja menatap dua remaja itu bergantian. Salah satu gadis tersebut tersenyum lembut ke arah Ziddan, menatap Ziddan dengan tatapan memuja. Sedangkan gadis satunya tak menunjukkan kekaguman-nya pada Ziddan. Membuat Ziddan mengernyit, biasanya seluruh gadis atau wanita akan selalu menatapnya dengan tatapan memuja. Tapi kenapa gadis polos dihadapannya ini terlihat biasa saja? “Saya ingin membicarakan tentang seminar yang akan diadakan di kampus bapak. Bapak juga sebagai narasumber pada seminar tersebut,” ucap gadis polos itu. Ziddan mengangguk setuju, sejak beberapa bulan yang lalu, ia memang sering diundang di kampusnya untuk menjadi salah satu narasumber, memberikan motivasi pada mahasiswanya. “Bisa saya lihat berkasnya?” tanya Ziddan. Gadis polos itu mengulurkan sebuah map berlogokan kampus milik Ziddan. Ziddan mengambil berkas tersebut dan membacanya dengan seksama. Mulai dari acara pelaksanaan, materi yang harus disampaikan dan lain sebagainya. Setelah membaca dan memahaminya, Ziddan membubuhkan tanda tangan pada berkas itu. Kemudian pandangannya teralih pada sebuah nama yang tak asing baginya. “Debbian.’. Ziddan mengernyit, kemudian menatap dua gadis yang sedang menatapnya. “Siapa ketua pelaksananya?” tanya Ziddan kepada dua gadis tersebut. “Saya, Pak,” ucap gadis polos itu. Ziddan mengernyit. Apakah dia termasuk dari keturunan keluarga Debbian? Batinnya. Emosinya mulai 14 keluar saat teringat oleh nama yang sangat dibencinya itu. Ia kembali membuka map dan membaca pada bagian pojok kanan bawah. “Angelissa Calura Debbian. Itu namamu?” tanya Ziddan tajam. Mata Ziddan menatap ke manik mata gadis polos itu, membuat gadis polos itu mengangguk dengan takut-takut. “Apakah kamu keluarga dari pemilik sekolah elit di Jakarta itu?” Gadis polos itu tampak mengangguk lagi, kemudian ia menatap Ziddan dengan sopan.“Benar, Pak. Itu milik ayah saya,” jawab gadis bernama Angelissa itu. Seperti dihantam oleh bebatuan yang amat besar, tubuh Ziddan mendadak kaku. Tak percaya bahwa gadis polos di depannya ini adalah salah satu keluarga Debbian. Rencana untuk membalas Amelia kembali teringat, tapi sampai saat ini Ziddan belum juga menemukan di mana Amelia berada. Dan tiba-tiba saja gadis remaja bernama Angelisa ini muncul dan berasal keluarga dari Debbian. Bukankah itu sebuah keberuntungan bagi Ziddan? Ia bisa membalas semua perlakuan Amelia kepadanya. “Baiklah. bolehkan kau meninggalkan sebuah nomer? Agar aku tak kesusahan sebelum seminar berlangsung,” ucap Ziddan pada Angelissa. Ttu hanya akal-akalan Ziddan saja, sebab ia ingin mendekati Angelissa untuk balas dendam. Yah, meskipun Angelissa tak tahu masalahnya, tapi sama saja Angelissa termasuk dalam keluarga Debbian. Keluarga yang selalu dibenci oleh Ziddan. “Terimakasih atas kerja samanya.. Kami permisi dulu, Pak,” ucap Angelissa dan temannya. Ziddan mengangguk dan mempersilahkan mereka untuk meninggalkan ruangan. Teman Angelissa berjalan terlebih dahulu keluar dari ruangan Ziddan. Sedangkan 15

You might also like