You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling ditemukan, dengan estimasi prevalensi kehiduoan 7-8%.
Meskipun dengan perkembangan diagnosis dan tatalaksana saat ini, tingkat morbiditasnya
mencapai 10% dan mortalitasnya 1-5%. Gejala klinis dan pemeriksaan klinis yang didapatkan
merupakan alat penting dalam pendeteksian awal penyakit ini. Diasumsikan, sekitar 90%
ketepatan dalam mendiagnosis appensitis akut dan 10% lainnya dengan appendektomi negative
palsu. Hal ini lebih sering lagi terjadi pada kasus atipikal wanita subur diakibatkan gejalanya
yang saling tumpeng tindih dengan kondisi lain.

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak
sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan
antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah
masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan. Diagnosis appendicitis akut pada anak
kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat
penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan
penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis
appendicitis.
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis
dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh
dunia.
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 44 tahun
Alamat : Jeneponto
Pekerjaan : Polisi
No. RM : 038195

Keluhan utama : nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poli Bedah RS Bhayangkara Makassar dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan datang tiba-tiba bersifat sangat nyeri
dan sudah sering dialami sebelumnya 6 bulan terakhir namun nyeri tersebut dapat hilang dengan
sendirinya. Intensitas nyeri biasanya bertambah saat sujud dalam sholat dan ketika pasien hendak
bagun dari tempat tidur. Demam (+) sejak 1 minggu yang sebelum masuk rumah sakit bersifat naik
turun. Mual (+), muntah (-). Nafsu makan menurun (+). BAB normal dan BAK lancar. Riwayat
penyakit sebelumnya DM (-) HT (-)
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menyatakan pernah mengalami hal yang serupa sejak 3 bulan yang lalu
Hipertensi disangkal
Diabetes melitus disangkal
Penyakit Jantung disangkal
Asma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami hal serupa.
Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau makanan tertentu.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pekerjaan pasien adalah wiraswasta. Biaya pengobatan dengan menggunakan BPJS.

Riwayat Pribadi :
Merokok (+), 1 bungkus per hari
Minum minuman beralkohol disangkal

Pemeriksaan Fisik
Status present :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6 (GCS 15)
Tanda vital :
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 80 x/menit
c. Pernafasan : 26 x/menit
d. Suhu axilla : 39,5 ᵒC
Pemeriksaan fisik umum :
Kepala – Leher
a. Kepala : Normochepali, deformitas (-), tanda radang pada kulit kepala (-)
b. Mata : Konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterus -/-, pupil isokor diameter 2,5 mm/2,5 mm,
refleks pupil (+) RCL +/+ RCTL+/+
c. THT : tidak ditemukan kelainan
d. Leher : massa (-), tidak terdapat pembesaran KGB

Thoraks – Kardiovaskuler
a. Inspeksi : tampak pergerakan dinding thoraks simetris, iktus kordis tidak tampak.
b. Palpasi : Teraba pergerakan dinding thorak simetris, iktus kordis teraba pada ICS V midclavicular
line.
c. Perkusi :
Paru : sonor pada daerah dinding thorak sinistra dan dekstra
Jantung : pekak dengan batas kanan atas ICS II parasternalis dekstra, batas kiri atas pada ICS
II parasternalis sinistra, batas kiri bawah pada ICS V midclavicular line.
d. Auskultasi : terdengan suara jantung S1 S2 reguler tunggal, suara murmur -/-, suara gallop -/-

Abdomen
a. Inspeksi : kulit tampak normal, dinding abdomen tidak tampak distensi, tidak tampak pelebaran
pembuluh darah, tidak terdapat jaringan sikatrik, tidak tampak massa.
b. Auskultasi : terdengar bising usus pada lapang abdomen kesan normal
c. Perkusi : timpani pada lapang abdomen, batas hepar pada ICS VI sampai subcostalis dektra.
d. Palpasi : Nyeri tekan ada di titik McBurney , massa tumor tidak teraba, Rovsing sign (+) ,
Blumberg sign (+), psoas sign (-), Obtrurator sign (+), hepar dan limpa dalam batas normal.

Ekstremitas
Akral hangat, edema -/-, CRT <2 detik.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium (tanggal 20 Januari 2018)

Darah rutin Hasil Satuan Nilai normal


Lekosit 7.19 10^3/ ul 4.3 – 10.8
Eritrosit 5.2 10^6/ uL 4.20 – 6.40
Hb 16.7 g/ dL 12.0 – 18.0
Ht 49.7 % 37.0 – 52.0
MCV 95.6 fL 80 – 99
MCH 32.0 Pg 27.0 – 31.0
MCHC 33.5 g/dL 33.0 – 37.0
Trombosit 328 10^3/ ul 150 – 450
RDW 12.5 % 10.0 – 15.0
Diff count
Limfosit 16.0 L% 22.0 – 40.0
Monosit 7.2 H% 4.0 – 8.0
Granulosit 72.8 % 43.0 – 76.0
KIMIA KLINIK (Serum)
GDS 98 mg/dL 50.0 – 140.0
AST 31 U/L 5.0 – 37.0
ALT 30 U/L 5.0 – 42.0
Ureum 20.0 mg/dL 10.0 – 50.0
Creatinin 0.7 mg/dL 0.70 – 1.30
Kalium 4.8 mmol/L 3.5 – 5.2
Natrium 131 mmol/L 136 – 145
Chlorida 101 mmol/L 96 – 108

Alvarado Score
Temuan Poin Pasien
Geejala Skor
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1
Anoreksia 1
Mual atau muntah 1
Hasil Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1
Demam ≥36,3oC 1
LAboratorium
Leukositosis ≥10 x 109 /L 0
Shift to the left of neutrophils 0
Total 7 (Kemungkinan besar apendisitis)

Resume
Laki – laki, 44 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan datang tiba-tiba bersifat sangat nyeri dan sudah sering
dialami sebelumnya 6 bulan terakhir namun nyeri tersebut dapat hilang dengan sendirinya.
Intensitas nyeri biasanya bertambah saat sujud dalam sholat dan ketika pasien hendak bagun
dari tempat tidur. Demam (+) sejak 1 minggu yang sebelum masuk rumah sakit bersifat naik
turun. Mual (+), muntah (-). Nafsu makan menurun (+). BAB normal dan BAK lancar. Riwayat
penyakit sebelumnya DM (-) HT (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos mentis dan
GCS 15. Tekanan darah 110/70 mmHg, pernafasan 26x/menit, nadi 102x/menit, suhu 39.5oC,
dan VAS 4/10. Pada status generalis tidak ditemukan kelainan, kecuali abdomen. Dari inspeksi
didapatkan abdomen datar. Dari auskultasi didapatkan bising usus kesan normal. Dari palpasi
didapatkan nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+),
nyeri lepas indirek (+), dan defans muskular lokal(-). Dari perkusi didapatkan timpani di
seluruh lapang abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan tidak didaptkan
leukositosis (7.1900/μL). Selain itu pemeriksaan hematologi, koagulasi, kimia klinik, dan
urinalisi masih dalam batas normal. Didapatkan skor 7 pada Alvarado score, yang
diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7).
Differential Diagnosis
a. Appendisitis akut
b. Sistitis
c. Kolik abdomen
Diagnosis kerja :
Appendisitis akut
Penatalaksanaan :
Non medikamentosa:
 Menjaga higienitas makanan, kebersihan diri dan lingkungan sekitar.
 Bed rest
 Mengonsumsi air yang cukup
 Diet Lunak
Medikamentosa :
Pre Operasi
- IVFD ringer laktat 28 tetes/menit
- Ketorolac 1amp/8jam/IV
- Ranitidin 1amp/8jam/IV
Post operasi
- IVFD ringer laktat 28 tetes/menit
- Cefeperazone 1 gr/12 jam/ IV
- Metronidazole 1gr/8jam/IV
- Ketorolac 1amp/8jam/IV
- Ranitidin 1amp/8jam/IV

Monitoring :
 Monitoring Keadaan umum
 Monitoring Vital Sign
 Watchful Waiting : memperhatikan volume urin
Edukasi
 Berolahraga teratur
 Diet lunak kemudian diet bebas
 Minum air putih minimal 8 gelas sehari
 Banyak konsumsi sayur dan buah yang memiliki kandungan anti oksidan yang tinggi
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Pre operasi
On operasi

Post operasi
Apendiks
Luka Operasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
A. Anatomi
Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun, dapat bervariasi
antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan 8 mm, sedangkan diameter luminal
antara 1 dan 3 mm. Apendiks mendapat vaskularisasi dari appendicular branch dari ileocolic artery.
Arteri ini berasal dari belakang ileum terminal, memasuki mesoapendiks dekat dengan basis
apendiks. Drainase limfatik dari apendiks mengalir ke kelenjar getah bening (KGB) yang berada
sepanjang ileocolic artery. Inervasi apendiks berasal dari elemen simpatis oleh pleksus mesenterik
superior (T10-L1) dan aferen dari elemen parasimpatis oleh nervus vagus. Secara histologis,
apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar serosa, merupakan ekstensi dari peritoneum;
lapisan muskularis, yang tidak well defined dan bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan
submukosa dan mukosa. Agregrat limfoid terjadi pada lapisan submukosa dan dapat menyebar
hingga muskularis mukosa. Saluran limfatik terlihat jelas pada daerah agregat limfoid ini.
Mukosanya mirip dengan kolon, kecuali densitas dari folikel limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan
berbentuk ireguler, kontras dengan kriptus kolon yang tampak lebih seragam. Kompleks
neuroendokrin terbentuk oleh sel ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel neurosekretorik yang
terletak tepat dibawah kriptus.

B. Fisiologi
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial tanpa fungsi yang
diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik yang secara aktif ikut berpartisipasi
dalam sekresi imunoglobulin, khususnya imunoglobulin A. Walau tidak ada peran yang jelas untuk
apendiks dalam timbulnya penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara
apendektomi dan timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi.
Namun, asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi untuk apendisitis
sebelum usia 20. Asosiasi antara Crohn’s disease dan apendektomi lebih kurang jelas. Walaupun
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi meningkatkan resiko timbulnya Crohn’s
disease, penelitian lebih baru dengan teliti menilai waktu apendektomi berhubungan dengan onset
Crohn’s disease membuktikan tidak adanya hubungan. Sebuah meta-analisis baru menunjukkan
resiko signifikan Crohn’s disease tidak lama setelah apendisitis. Resiko ini selanjutnya memudar,
menunjukkan adanya hubungan diagnostik (salah mengidentifikasi Crohn’s disease sebagai
apendisitis) daripada hubungan fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s disease. Apendiks dapat
berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi kolon dengan bakteri sehat. Satu
penelitian retrospektif membuktikan bahwa apendektomi sebelumnya mungkin memiliki hubungan
terbalik dengan infeksi Clostridium difficile berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain,
apendektomi sebelumnya tidak mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran apendiks dalam
merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.

C. Epidemiologi
Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7% untuk perempuan,
dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga. Jumlah apendektomi untuk apendisitis telah
menurun sejak 1950an pada sebagian besar negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah
menjadi 15 per 10.000 penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi
apendisitis non-perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahw peningkatan penggunaan
pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih tinggi dari apendisitis ringan yang mungkin
tidak terdeteksi.

D. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dimengerti. Obstruksi lumen karena
fecaliths atau hipertrofi dari jaringan limfoid disarankan sebagai faktor etiologik utama dari
apendisitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat seiring dengan keparahan proses imflamatorik.
Fecaliths dan calculi ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut simpel, pada 65% kasus
apendisitis gangrenosa tanpa ruptur dan pada hampir 90% gangrenosa dengan ruptur. Dahulu
diyakini bahwa terdapat tahapan kejadian yang dapat diprediksi yang pada akhirnya berujung ruptur
apendiks. Obstruksi proksimal pada lumen apendiks menyebabkan closed-loop obstruction, dan
sekresi normal yang terusmenerus oleh mukosa apendiks menyebabkan distensi. Distensi apendiks
menstimulasi ujung saraf dari visceral afferent stretch fibers, menyebabkan nyeri tidak jelas,
tumpul, menyebar pada regio umbilikus atau bagian bawah epigastrium. Distensi akan bertambah
dengan sekresi mukosa terus-menerus dan multiplikasi cepat dari bakteri yang tinggal di apendiks.
Hal ini menyebabkan refleks mual dan muntah, dan nyeri viseral bertambah. Seiring dengan
bertambahnya tekanan pada organ, melebihi tekanan vena. Kapiler dan vena teroklusi tetapi aliran
arteri tetap berlanjut, menyebabkan pembengkakan dan kongesti vaskular. Lalu proses inflamasi
mengikutsertakan serosa apendiks, selanjutnya peritoneum parietalis. Hal ini menggambarkan
karakteristik gejala perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah. Mukosa apendiks rentan terhadap
gangguan perfusi, sehingga integritasnya terganggu di awal proses, memberi peluang invasi bakteri.
Daerah dengan perfusi yang paling sedikit yang paling terpengaruh: infark elipsoidal berkembang
pada batas antimesenterik. Dengan berkembangnya distensi, invasi bakterial, gangguan perfusi, dan
infarksi, perforasi terjadi, biasanya pada batas antimesenterik tepat setelah titik obstruksi. Tahapan
ini tidak bisa dihindari, namun pada beberapa episode apendisitis akut dapat sembuh dengan
sendirinya.

D.Mikrobiologi
Apendisitis dapat terjadi menimbulkan sekelompok gejala secara bersamaan, menyarankan asalnya
infeksi. Namun, asosiasinya dengan bakteri kontagius dan virus telah ditemukan dalam sebagian
kecil pasien apendisitis. Flora normal pada apendiks yang meradang berbeda dengan pada apendiks
normal. Sekitar 60% aspirat dari apendiks yang meradang memiliki anaerob, dibandingkan dengan
25% aspirat dari apendiks normal. Sampel jaringan dari dinding apendiks yang meradang (bukan
aspirat luminal) secara visual semua menumbuhkan spesies Escherichia coli dan Bacteroides pada
kultur. Fusobacterium nucleatum/necrophorum, yang tidak ditemukan pada flora normal caecum,
telah diidentifikasi pada 62% apendiks yang meradang. Sebagai tambahan untuk spesies biasa
lainnya (Peptostreptococcus, Pseudomonas, Bacteroides splanchicus, Bacteroides intermedius,
Lactobacillus), bacillus anaerob gram negatif yang sebelumnya tidak dilaporkan telah ditemukan.
Pasien apendisitis dengan gangren atau perforasi tampaknya memiliki lebih banyak invasi jaringan
oleh Bacteroides.
E. Manifestasi Klinis

1. Gejala
Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus yang nantinya
terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas 81%, spesifisitas 53%). Walaupun nyeri
kuadran kanan bawah adalah salah satu tanda paling sensitif dari apendisitis, nyeri pada lokasi
atipikal atau nyeri minimal sering menjadi presentasi awal. Variasi lokasi anatomis dari apendiks
dapat berperan dalam membedakan perbedaan presentasi dari fase somatis nyeri. Apendisitis juga
memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti mual (sensitivitas 58%, spesifisitas 45%)
dan anoreksia (sensitivitas 68%, spesifisitas 36%). Gejala gastrointestinal yang timbul sebelum
timbulnya nyeri menyarankan etiologi yang berbeda seperti gastroenteritis. Banyak pasien
mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum gejala nyeri timbul dan merasa bahwa defekasi dapat
meredakan gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi berhubungan dengan perforasi, terutama pada
anak-anak.

2. Tanda
Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu tubuh dan nadi dapat normal atau sedikit
meningkat. Perubahan yang lebih besar mengindikasikan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain
perlu dipertimbangkan. Penemuan fisik ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum dan
dipengaruhi oleh ruptur tidaknya organ saat pertama kali diperiksa. Pasien apendisitis biasanya
bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring telentang karena iritasi peritoneum. Pada palpasi
abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau sekitar titik McBurney. Pada palpasi dalam,
sering dirasakan adanya resisten muskular (guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas
dibandingkan dengan sisi sinistra. Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak,
pasien merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound tenderness). Nyeri
tekan tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak langsung (nyeri pada kuadran kanan
bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi peritoneum. Nyeri
lepas dirasa sangat tajam dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga disarankan untuk memulai
memeriksa nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok langsung terlebih dahulu. Variasi anatomis
pada apendiks yang meradang berujung pada deviasi penemuan fisik yang umum. Dengan apendiks
retrocecal, penemuan pada abdomen bisa menjadi kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada
pinggang (flank). Saat apendiks tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama
sekali tidak ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan
dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah. Nyeri pada ekstensi
dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi pada bagian proksimal dari
muskulus psoas (menunjukkan apendiks retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus
melalui rotasi internal dari paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot
(menunjukkan apendiks pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk disebu Dunphy sign.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat dengan keparahan
penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah bagian penting dari diagnosa. Leukositosis
ringan sering timbul pada pasien dengan apendisitis akut tanpa komplikasi dan biasanya dibarengi
dengan polymorphonuclear prominence. Jarang ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3 pada
apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah melebihi level ini meningkatkan kemungkinan dari apendiks
yang perforasi dengan atau tanpa abses. Peningkatan konsentrasi C-reactive protein (CRP) adalah
indikator kuat apendisitis, terutama apendisitis dengan komplikasi. Leukosit bisa rendah karena
lymphophenia atau reaksi septik, tetapi dalam situasi ini, proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi.
Maka seluruh variabel inflamasi harus dilihat secara bersamaan. Kemungkinan kecil adalah
apendiks jika leukosit, proporsi neutrofil dan CRP dalam batas normal. Respon inflamasi pada
apendisitis akut adalah proses dinamis. Awalnya, respon inflamasi bisa lemah. Elevasi CRP, pada
umumnya, dapat terjadi penundaan hingga 12 jam. Respon inflamasi yang berkurang dapat
mengindikasikan resolusi spontan. Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kencing
sebagai sumber infeksi; namun, leukosit atau eritrosit dapat ditemukan dari iritasi ureter atau buli.
Bakteriuria umumya tidak tampak.

4. Skoring Klinis
Diagnosis klinis apendisitis akut merupakan estimasi subjektif dari kemungkian apendisitis
berdasarkan beberapa variabel yang secara individual diskriminator lemah; namun, digunakan
secara bersamaan, memiliki nilai prediksi yang tinggi. Proses ini dapat dibuat menjadi lebih objektif
dengan penggunaan sistem skoring klinis, berdasarkan variabel yang terbukti dapat membedakan
dan diberi bobot yang sesuai. Skor Alvarado merupakan sistem penilaian yang paling tersebar luas.
Khususnya berguna untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis dan memilah pasien untuk
manajemen diagnostik lanjutan.

5. Pemeriksaan Pencitraan
Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith dan feses di dalam cecum berhubungan
dengan apendisitis tetapi jarang membantu mendiagnosa apendisitis akut, namun dapat berguna
dalam menyingkirkan patologi lain. Radiografi thoraks dapat membantu menyingkirkan nyeri alih
dari lobus kanan bawah paru. Jika apendiks terisi barium enema, kecil kemungkinan apendisitis;
namun pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada keadaan akut. Ultrasonografi (USG) dan computed
tomography (CT) scan adalah pencitraan yang paling sering digunakan pada pasien dengan nyeri
abdomen, terutama pada evaluasi kemungkinan apendisitis. Meta-analisis multipel telah dilakukan
untuk membandingkan kedua modalitas. Rata-rata, CT-scan lebih sensitif dan spesifik dibandingkan
dengan USG dalam mendiagnosa apendisitis. Graded compression USG tidak mahal, dapat dapat
dilakukan dengan cepat, tidak membutuhkan medium kontras dan dapat digunakan pada pasien
hamil. Apendiks diidentifikasi sebagai bowel loop buntu non-peristaltik berasal dari cecum. Dengan
kompresi maksimal, diameter apendiks diukur dengan arah anterior-posterior. Penebalan dinding
apendiks dan adanya cairan periappendiceal kemungkinan besar menyarankan apendisitis.
Apendiks yang mudah dikompresi berdiameter <5 mm menyingkirkan diagnosa apendisitis.
Struktur lumen yang tidak dapat dikompresi (lesi target) dapat menjadi gambaran terjadinya
apendisitis. Diagnosis sonografis apendisitis akut telah dilaporkan memiliki sensitivitas 55-95% dan
spesifisitas 85-98%. USG juga efektif pada anak-anak dan perempuan hamil, walaupun aplikasinya
terbatas pada akhir kehamilan. USG memiliki limitasi, terutama pada hasil yang operator-
dependent. Dengan CT-scan resolusi tinggi, apendiks yang meradang tampak terdilatasi (>5 mm)
dan dindingnya menebal. Sering ditemukan tanda-tanda inflamasi, yaitu periappendicial fat
stranding, penebalan mesoapendiks, periappendiceal phlegmon, dan cairan bebas. Fecaliths sering
terlihat; namun keberadaannya bukan patognomonik apendisitis. CT-scan juga baik digunakan
untuk mengidentifikasi proses inflamasi lainnya yang mirip apendisitis. Beberapa teknik CT telah
digunakan, termasuk CT-scan fokus dan non-fokus dan CT-scan kontras dan non-kontras. Secara
mengejutkan, semua teknik ini memiliki akurasi diagnostik yang identik : sensitivitas 92-97%,
spesifisitas 84-85% dan akurasi 90- 98%. Penambahan penggunaan kontras rektal tidak memperbaik
hasil CT-scan. Dibandingkan potensial kegunaan CT-scan, terdapat kerugian yang signifikan. CT-
scan mahal, memaparkan pasien pada radiasi signifikan dan memiliki limitasi pada kehamilan.
Alergi pada iodin atau kontras melimitasi pemberian kontras pada beberapa pasien, dan beberapa
tidak bisa mentolerirkonsumsi oral kontras luminal. Dibandingkan dengan peningkatan penggunaan
USG dan CT-scan, peluang kesalahan diagnosa apendisitis tetap konstan (15%). Persentase
kesalahan diagnosa apendisitis secara signifikan lebih tinggi pada perempuan dibandinglaki-laki
(22% dibanding 9,3%).

F. Diagnosa Banding
Diagnosa banding apendisitis akut secara esensial adalah diagnosis akut abdomen. Gambaran klinis
identik dapat disebabkan oleh banyak proses akut di dalam rongga peritoneum yang menghasilkan
kelainan fisiologis sama seperti apendisitis akut. Akurasi diagnosis pre-operatif seharunys lebih
tinggi dari 85%. Jika kurang dari itu, akan sering terjadi operasi yang tidak diperlukan dan
diperlukan diagnosa banding pre-operatif yang lebih teliti.Penemuan umum pada kasus diagnosa
pre-operatif apendisitis yang salah bersama-sama terjadi pada lebih dari 75% kasus– dalam urutan
menurun dalam frekuensi adalah adenitis mesenterik akut, tidak ada kondisi patologis organik,
pelvic inflammatory disease (PID) akut, kista ovarium terpuntir atau ruptur folikel graaf, dan
gastroenteritis akut. Diagnosa banding apendisitis akut bergantung pada 4 faktor mayor: lokasi
anatomis dari apendiks yang meradang, tahapan dari proses (tanpa atau dengan komplikasi), usia,
dan jenis kelamin pasien.

A Pasien Pediatri
Adenitis mesenterik akut adalah penyakit yang sering disalahartikan sebagai apendisitis akut pada
anak-anak. Hampir setiap kali, terdapat infeksi saluran nafas atas atau belum lama mereda. Nyeri
biasanya tersebar dan nyeri tekan tidak tepat terlokalisir seperti pada apendisitis. Terkadang
ditemukan voluntary guarding, tetapi jarang ditemukan true rigidiy. Limfadenopati umum dapat
ditemukan. Pemeriksaan labotarium hanya sedikit membantu penegakan diagnosa yang tepat,
walaupun limfositosis relatif menyarankan terjadinya adenitis mesenterik. Observasi selama
beberapa jam dapat dilakukan bila diagnosis dicurigai adenitis mesenterik dicurigai, karena
merupakan penyakit selflimited.
B. Pasien Geriatri
Divertikulitis atau karsinoma cecum (atau bagian sigmoid yang berada pada abdomen kanan bawah)
perforata bisa jadi mustahil dibedakan dengan apendisitis. Hal ini perlu dipertimbangkan, terutama
pada pasien yang lebih tua. CT-scan sering kali bermanfaat dalam menegakkan diagnosa pada
pasien yang lebih tua dengan nyeri perut kanan bawah dan presentasi klinis atipikal. Pada pasien
yang ditatalaksana secara konservatif, dianjurkan melakukan pemantauan berkala kolon
(kolonoskopi atau barium enema).

C. Pasien Perempuan
Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat disalahartikan sebagai apendisitis (dalam
urutan frekuensi menurun) adalah PID, ruptur folikel graaf, kista atau tumor ovarium terpuntir,
endometriosis, dan kehamilan ektopik terganggu (KET). Alhasil, peluang salah diagnosa tetap lebih
tinggi pada perempuan. Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba kanan maka
dapat menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada pasien apendisitis tetapi hanya
sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan biasanya lebih rendah dan terdapat nyeri goyang
serviks. Diplokokus intraselular dapat tampak pada apusan sekret purulen vagina. Perbandingan
kasus apendisitis
dengan PID rendah pada perempuan di awal fase menstruasi dan tinggi pada fase
luteal. Penggunaan hal ini secara teliti menurunkan insidensi penemuan negatif dalam laparoskopi
pada perempuan muda hingga 15%. Ovulasi biasanya menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan
cairan folikuler yang cukup untuk menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat dan ringan. Jika
jumlah cairan cukup banyak dan berasal dari ovarium kanan, maka dapat menstimulasi apendisitis.
Nyeri dan nyeri tekan biasanya menyebar, dan leukositosis dan demam biasa ringan atau tidak ada.
Karena nyeri ini terjadi pada titik tengah siklus menstruasi, sering dinamakan mittelschmerz. Kista
serosa ovarium umum terjadi dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika kista sisi kanan
mengalami ruptur atau torsio, manifestasinya serupa dengan apendisitis. Pasien mengalami nyeri
perut kuadran kanan bawah, nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan leukositosis. Baik USG
transvaginal dan Ctscan bisa membantu diagnosa. Torsio memerlukan tatalaksana operatif darurat.
Jika torsio yang terjadi komplit atau lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta tuba
menjadi gangren dan memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion, fenestrasi kista dan fiksasi
ovarium sebagai intervensi utama, diikuti dengan laparoskopi beberapa hari setelahnya, dapat
dianjurkan karena sering kali sulit untuk menentukan secara pre-operatif viabilitas ovarium.
Implantasi blastokista pada tuba fallopii (biasanya pada bagian ampulla) dan ovarium. Ruptur tuba
kanan atau kehamilan ovarium dapat menyerupai apendisitis. Pasien dapat memiliki riwayat
menstruasi abnormal, baik melewatkan satu atau dua siklus atau hanya sedikit perdarahan vaginal.
Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari dirinya hamil. Timbulnya nyeri kuadran kanan bawah
atau nyeri pelvis bisa menjadi gejala pertama. Diagnosa KET seharusnya relatif mudah. Adanya
massa pelvis dan peningkatan kadar human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan
karakteristiknya. Walaupun jumlah leukosit sedikit meningkat, kadar hematokrit menurun sebagai
akibat dari perdarahan intra-abdomen. Pada pemeriksaan vagina didapatkan nyeri goyang serviks
dan nyeri tekan adneksa, dan diagnosa lebih pasti dapat ditegakkan dengan
culdocentesis. Adanya darah dan khususnya jaringan desidua adalah patognomonik. Tatalaksana
KET adalah operasi darurat.

G. Penatalaksanaan
A. Awal
a. Apendisitis Tanpa Komplikasi
1. Tatalaksana Operatif dibanding Non-operatif
Pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana operatif menjadi standar sejak
McBurney melaporkan pengalamannya. Konsep tatalaksana non-operatif untuk apendisitis tanpa
komplikasi berkembang dari observasi terhadap dua hal. Pertama, pasien berada dalam lingkungan
dimana tatalaksana operatif tidak tersedia (misalnya kapal selam, ekspedisi ke daerah terpencil),
tatalaksana dengan antibiotik saja telah dibuktikan efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan
gejala konsisten dengan apendisitis yang tidak mencari pertolongan medis terkadang megalami
resolusi spontan. Beberapa penelitian observatif dan controlled trials telah dilaporkan hasil dari
tatalaksana non-operatif dibanding operatif pada kasus yang diduga apendisitis tanpa komplikasi.
Secara keseluruhan, telah dilaporkan 9% kegagalan jangka pendek (<30 hari) dengan tatalaksana
non-operatif. Pada pasien yang gagal ditatalaksana secara non-operatif, hampir setengahnya
mengalami apendisitis dengan komplikasi (perforasi atau gangren). Setelah 1 bulan, sekitar 1%
pasien menjalani apendektomi, dan 13% pasien yang awalnya berhasil ditatalaksana nonoperatif
mengalami apendisitis berulang, 18% peluang mengalami apendisitis dengan komplikasi. Tindak
lanjut dilakukan tidak lebih dari 1 tahun pada semua penelitian. Sebagai tambahan sepertiga pasien
menolak atau mundur daritatalaksana non-operatif. Sebagai perbandingan, apendektomi operatif
menunjukkan angka kemunduran relatif lebih rendah (2%), proporsi apendisitis dengan komplikasi
lebih rendah (25%), proporsi kecil apendiks normal (5%), dan kemungkinan kecil infeksi superfisial
pada lokasi operasi (3,7%) serta abses intra-abdomen (1,3%). Hasil penelitian ini harus dilihat
dengan hati-hati mengingat tidak jelasnya seleksi pasien, manejemen diagnostik yang tidak lengkap
pada pasien yang tidak dioperasi, gold standard yang tidak jelas untuk pasien yang dioperasi, dan
tingginya kemungkinan beralih antara pilihan tatalaksana. Konsekuensi dalam hal penggunaan kasur
rumah sakit, lama opname, morbiditas dari tatalaksana operatif yang ditunda setelah kegagalan
tatalaksana non-operatif, diagnosa tertunda untuk pasien dengan kanker apendiks atau cecum, dan
meningkatnya resiko resistensi terhadap antibiotik masih perlu diteliti lebih lanjut. Sehingga,
tatalaksana operatif kasus yang diduga apendisistis tanpa komplikasi tetap menjadi standar
perawatan. Sebagian sub-grup dengan apendisitis dengan komplikasi dapat membaik dengan
tatalaksana non-operatif. Pasien yang memilih tatalaksana non-operatif harus dikonseling dengan
baik berkaitan dengan resiko kegagalan tatalaksana dan apendisitis berulang.

2. Apendektomi Darurat dibanding Segera


Secara tradisional, apendisitis dianggap sebagai kedaruratan bedah. Setelah terdiagnosa, pasien akan
langsung dibawa ke kamar operasi untuk tatalaksana operatif. Namun, penundaan dalam diagnosa,
terbatasnya akses pada ruang operasi dan tatalaksana non-operatif menjadi tantangan keyakinan
bahwa apendisitis adalah kedaruratan bedah. Tiga penelitian retrospektif telah mengevaluasi peran
pembedahan darurat atau segera dalam apendisitis tanpa komplikasi; grup yang darurat memiliki
waktu untuk sampai ke ruang operasi <12 jam, dimana grup yang segera memiliki waktu 12-24 jam.
Tidak ada peningkatan apendisitis dengan komplikasi yang secara statistik berarti pada grup segera
dibanding grup darurat. Begitu pula halnya dengan peluang terjadinya infeksi pada lokasi operasi,
abses intra-abdomen, konversi menjadi luka terbuka, atau waktu operasi tidak menunjukan
perbedaan antara kedua grup. Walau lama opname lebih lama pada grup segera, secara statistik dan
klinis tidak berbeda pada grup darurat. Hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk perawatan
operatif segera dibanding darurat termasuk pemeriksaan klinis, waktu datang dari onset gejala dan
durasi penundaan pembedahan. Pasien dengan tanda klinis perforasi, waktu datang lebih dari 48 jam
setelah onset gejala dan penundaan tatalaksana definitif leih dari 12 jam berada di luar ruang
lingkup penelitian ini. Operasi darurat dibanding segera untuk apendisitis tanpa komplikasi
bergantung pada institusi dan ahli bedah. Institusi tanpa kamar operasi dan staf yang langsung
tersedia dapat mempertimbangkan apendektomi segera dibanding darurat.

B Apendisitis dengan Komplikasi


Apendisitis dengan komplikasi secara tipikal merujuk pada apendisitis dengan perforasi yang
biasanya berkaitan dengan abses atau phlegmon. Angka insidensi tahunan apendisitis dengan
perforasi sekitar 2 dalam 10.000 orang dan memiliki variasi rendah terhadap waktu, letak geografis
dan usia. Proporsi apendisitis dengan perforasi, umumnya sekitar 25%, sering digunakan sebagai
indikator kualitas perawatan. Perbedaan dalam proporsi hampir seutuhnya berkaitan dengan
perbedaan insidensi apendisitis dengan perforasi. Proporsi rendah perforasi dapat menjadi
konsekuensi dari angka deteksi yang lebih tinggi dan tatalaksana apendisitis awal atau mereda.
Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun dan pasien dengan usia di atas 65 tahun memiliki angka
perforasi tertinggi (45% dan 51%). Proporsi perforasi meningkat dengan bertambahnya durasi
gejala. Namun, tidak ada hubungan antara penundaan di dalam RS dengan perforasi. Ini
menunjukkan bahwa sebagian besar perforasi terjadi di awal, sebelum pasien sampai di RS. Ruptur
harus dicurigai dengan adanya peritonitis generalisata dan respon inflamasi kuat. Pada banyak
kasus, ruptur tertampung dan pasien memperlihatkan peritonitis lokal. Pada 2-6% kasus, terdapat
massa yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisik. Hal ini dapat mempresentasikan phlegmon yang
berisikan anyaman lengkung usus yang menempel pada sekitar apendiks yang meradang atau abses
periappendiceal. Pasien datang dengan massa telah mengalami gejala lebih lama, biasanya 5-7 hari.
Membedakan apendisitis akut tanpa komplikasi dengan apendisitis akur dengan perforasi
berdasarkan penemuan klinis sering kali
sulit, tetapi penting untuk membuat perbedaan karena tatalaksannya berbeda. Ctscan dapat berguna
dalam menegakkan diagnosa dan menentukan terapi.

1. Tatalaksana Operatif Dibanding Non-operatif


Pasien dengan tanda-tanda sepsis dan peritonitis generalisata harus segera dibawa ke kamar
operasi bersamaan dengan resusitasi. Teknik pembedahan bergantung pada tingkat kenyamanan
ahli bedah; namun, open appendectomy melalui insisi garis tengah bagian bawah kemungkinan
harus untuk mengobati kasus komplikasi ini. Pada pasien dengan apendisitis dengan komplikasi
dan abses tertampung atau phlegmon tetapi peritonitis terlokalisasi (nyeri fokal kuadran kanan
bawah), pilihan terapi menjadi lebih rumit. Sering kali, pasien ini memerlukan prosedur yang
menantang dengan resiko tinggi timbulnya abses intra-abdomen pascaoperasi. Pilihannya termasuk
tatalaksana operatif dibanding tatalaksana konservatif (antibiotik, istirahat usus, cairan, dan
kemungkinan drainase per kutan). Belum ada prospective randomized controlled studies yang
membandingkan tatalaksana operatif dengan konservatif untuk apendisitis dengan komplikasi pada
orang dewasa; semua penelitian adalah retrospective cohort studies.
Dua meta-analisis telah dilakukan. Pada analisis tahun 2007 oleh Andersson dan Petzold dari
61 kasus tentang hal ini, mereka menegaskan bahwa tatalaksana awal non-operatif memberikan
hasil yang lebih baik. Tatalaksana nonoperatif termasuk cairan intravena, meminimalisir stimulasi
gastrointestinal, antibiotik parenteral, dan drainasi per kutan jika dirasa sesuai. Morbiditas
tatalaksana operatif segera adalah 36,5%, sedangkan 11% untuk tatalaksana konservatif. Dari
pasien yang menjalani tatalaksana konservatif, 7,6% gagal dan menjalani tatalaksana operatif.
Subgrup ini memiliki peluang rata-rata komplikasi sebesar 13,5%. Peluang berulang 7,4%, yang
tidak mengharuskan apendektomi interval. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana
konservatif lebih dipilih dibanding operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi. Simillis dan
koleganya mengadakan meta-analisis pada 17 penelitian. Mereka menegaskan bahwa tatalaksana
konservatif berkaitan dengan angka ratarata komplikasi, abses intra-abdomen, obstruksi usus, dan
operasi ulang yang lebih rendah. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih
dipilih dibanding operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi. Pada literatur pediatrik,
terdapat dua prospective randomized controlled trials membuktikan bahwa intervensi operatif
awal memiliki hasil yang sebanding atau lebih dibanding tatalaksana konservatif, tetapi penelitian
ini juga mengikutsertakan apendektomi interval untuk semua pasien dalam perhitungan mereka.
St. Peter dan koleganya membuktikan bahwa 20% pasien gagal tatalaksana konservatif. Intervensi
operatif awal memiliki hasil yang sebanding dengan apendektomi interval. Selain itu, Blakely dan
koleganya menegaskan bahwa apendektomi interval, dibanding apendektomi awal, memiliki
insidensi kejadian lanjutan yang lebih tinggi (50% dibanding 30%), abses intra-abdomen (37%
dibanding 19%), obstruksi usus halus (10,4% dibanding 0%), dan kembali masuk RS (31%
dibanding 8%). Sebagai tambahan, Blakely dan koleganya menegaskan bahwa 9% dari grup yang
ditatalaksana konservatif mengalami apendisitis berulang. Pengarang menyimpulkan bahwa
tatalaksana pembedahan segera lebih baik dibanding tatalaksana konservatif dengan apendektomi
interval.
2. Apendektomi Interval setelah Tatalaksana Non-operatif
Apendektomi interval didefinisikan sebagai melakukan apendektomi setelah tatalaksana non-
operatif awal berhasil pada pasien yang sudah tanpa gejala. Argumen utama melawan apendektomi
interval adalah banyak pasien ditatalaksana konservatif tidak pernah mengalami gejala apendisitis,
dan bagi yang umumnya mengalami gejala dapat ditatalaksana tanpa morbiditas tambahan.
Argumen utama yang mendukung apendisitis interval adalah untuk mencegah timbulnya
apendisitis di kemudian hari atau mengidentifikasi penyakit lain, seperti keganasan apendiks.
Hanya ada satu prospective randomized controlled trial kecil (n=40) yang menginvestigasi subjek
ini. Pada literaturnya banyak terdapat small case series dan retorspective cohort studies; tidak ada
meta-analisis yang mengevaluasi subjek ini. Dari 1434 pasien yang diduga apendisitis dengan
komplikasi dan telah berhasil ditatalaksana konservatif, 8,8% mengalami apendisitis berulang
dengan rata-rata follow up selama 35 bulan. Insidensi apendisitis dengan komplikasi diikuti oleh
kekambuhan rendah (2,4%). Keganasan ditemui pada 1,3% kasus dimana patologi dilaporkan.
Banyak pasien tereksklusi dari penelitian karena gejala menetap, infeksi menetap, atau temuan
keganasan pada kolonoskopi skrining. Selain itu, dari 344 pasien yang diduga apendisitis dengan
komplikasi, telah berhasil ditatalaksana konservatif, dan kemudian menjalani apendektomi
interval, komplikasi pembedahan terjadi pada 9,4% pasien. Sebagian besar pasien menjalani
apendektomi interval 2-4 bulan setelah gejala akut. Walau perincian operatif dan patologis tidak
dilaporkan seragam pada pasien ini, banyak yang berlanjut mengalami tanda apendisitis atau abses
pada waktu apendektomi interval; 3,6% pasien memiliki keganasan dimana patologi dilaporkan.
Peran apendektomi interval setelah keberhasilan tatalaksana konservatif apendisitis dengan
komplikasi tidaklah jelas. Close clinical follow-up, pencarian menyeluruh riwayat gejala menetap,
dan kolonoskopi skrining (saat usia pantas) sebaiknya digunakan untuk membantu mengarahkan
diskusi dengan pasien mengenai peranan apendektomi interval setelah tatalaksana konsertatif
apendisitisdengan komplikasi.
3. Operatif
a. Open Appendectomy
Pada umumnya pasien pada posisi terlentang dan dalam anastesi umum. Seluruh abdomen
telah disiapkan dan ditutup kain apabila insisi yang lebih besar dibutuhkan. Untuk apendisitis
awal tanpa perforasi, insisi kuadran kanan bawah pada titik McBurney (sepertiga jarak dari
spina iliaca anterior superior ke umbilikus) umumnya digunakan. Insisi McBurney (oblique)
atau Rocky-Davis (transversal) pada kuadran kanan bawah dibuat. Jika diduga apendisitis
perforasi atau diagnosa masih diragukan, dipertimbangkan untuk laparotomi garis tengah
bawah. Walau telah dilaporkan bahwa posisi apendiks dapat berubah dengan kehamilan,
penelitian prospektif telah membuktikan bahwa kehamilan tidakmerubah proporsi pasien
dengan appendiceal base dalam 2 cm dari titik McBurney. Setelah memasuki abdomen, pasien
seharusnya diposisikan dalam posisi sedikit Trendelenburg dengan rotasi kasur ke kiri pasien.
Jika apendiks sulit diidentifikasi, lokasi cecum harus diidentifikasi. Menelusuri taenia libera
(taenia anterior), yang paling terlihat dari 3 taeniae coli, pada distal dasar apendiks dapat
diidentifikasi.
Apendiks sering memiliki penempelan pada dinding lateral atau pelvis yang dapat
dibebaskan dengan diseksi. Membelah mesenterium apendiks terlebih dahulu dapat
memperjelas eksposur dasar apendiks. Appendiceal stump dapat ditangani dengan ligasi
sederhana atau dengan ligasi dan inversi. Selama stump terlihat jelas dan dasar cecum tidak
dilibatkan dalam proses inflamasi, stump dapat dengan aman diligasi. Obliterasi mukosa dengan
electrocautery dengan tujuan menghindari timbulnya mucocele direkomendasikan oleh
beberapa ahli bedah; namun, tidak ada data yang mengevaluasi resiko atau manfaat manuver
pembedahan ini. Inversi stump dengan lipatan dari cecum juga telah dideskripsikan.
Pemasangan surgical drains baik untuk apendisitis tanpa dan dengan komplikasi,
dipraktekkan oleh banyak ahli bedah, tidak didukung oleh penelitian klinis. Nanah di abdomen
harus diaspirasi, tetapi irigasi pada apendisitis dengan komplikasi tidak dirokemdasikan. Kulit
juga dapat langsung ditutup pada pasien dengan apendisitis perforasi. Jika apendisitis tidak
ditemukan, pencarian metodis harus dilakukan untuk diagnosa alternatif. Cecum dan
mesenterium harus diinspeksi. Usus halus harus dievaluasi dengan cara retrogade dimulai dari
katup ileocecal. Keterlibatan Crohn’s disease atau Meckel’s diverticulum harus menjadi prioritas
utama. Pada pasien perempuan, organ reproduksi harus diinspeksi dengan teliti. Jika ditemukan
cairan purulen atau bilious, asalnya harus diidentifikasi. Sebagai contoh, Valentino’s
appendicitis, atau ulkus duodenal bergejala seperti apendisitis, harus disingkirkan. Ekstensi
medial insisi (Fowler-Weir) atau ekstensi superios dari insisi lateral pantas dilakukan jika
evaluasi lebih lanjut dari abdomen bawah atau kolon kanan diperlukan. Laparoskopi selektif
melalui insisi kuadran kanan bawah juga telah dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas
ditemukan, insisi garis tengah harus dilakukan.

b. Apendektomi Laparoskopik
Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada tahun 1983 oleh
Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara luas hingga nanti, setelah
keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin karena inisisi kecil sudah umum
digunakan dengan open appendectomy. Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi
umum. Oro- atau nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang
dengan lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan asisten harus
berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke apendiks. Layar laparoskopi diposisikan pada sisi
kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi laparoskopik standar umumnya menggunakan
tiga saluran. Umumnya, saluran 10 atau 12 mm dipasang pada umbilikus, sedangkan saluran 5
mm dipasang pada supra-pubik dan kuadran kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi
Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri. Apendiks harus diidentifikasi sama halnya dengan
pembedahan terbuka dengan menyusuri taenia libera/coli ke dasar apendiks. Melalui saluran
suprapubik, apendiks dipegang dengan mantap dan dielevasikan ke arah jam 10. “Appendiceal
critical view” seharusnya didapatkan dengan taenia libera pada arah jam 3, ileum terminal pada
arah jam 6 dan apendiks yang ditarik pada arah jam 10 untuk identifikasi dasar apendiks.
Melalui saluran infra-umbilikus, mesenterium harus diseksi secara perlahan dari dasar apendiks
dan dibuat jendela. Umumnya dasar apendiks di-staple setelah stapling mesenterium. Selain itu,
mesenterium dapat dibagi dengan energy device atau clipped dan dasar apendiks ditahan
dengan Endoloop. Stump harus diperiksa dengan seksama untuk memastikan hemostasis,
transeksi komplit, dan memastikan tidak ada stump tertinggal. Apendiks diambil melalui lubang
infra-umbilikus dengan retrieval bag.
c. Laparoskopik Dibanding Open Appendectomy
Sudah terdapat beberapa randomized controlled trials prospektif yang membandingkan hasil
laparoskopik dan open appendectomy. Beberapa metaanalisis telah dilakukan untuk
mengevaluasi hasil kumulatifnya. Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan infeksi lokasi
pembedahan yang lebih sedikit dibanding open appendectomy. Tetapi apendektomi
laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya resiko abses intra-abdomen dibanding open
appendectomy. Dengan apendektomi laparoskopik lebih tidak nyeri, lama opname lebih singkat
dan lebih cepat kembali ke aktivitas normal dibanding open appendectomy. Apendektomi
laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya durasi opeasi dan biaya ruang operasi; namun
rata-rata biaya hampir sama dibanding open appendectomy. Pasien cenderung lebih puas
dengan apendektomi laparoskopik. Sebagai tambahan, apendektomi laparoskopik memiliki
keuntungan ketika diagnosa dipertanyakan, seperti pada pasien wanita dalam usia reproduktif,
pasien lebih tua dengan kecurigaan keganasan, dan pasien obes dimana dibutuhkan insisi open
appendectomy yang lebih besar.

d. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi


Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok,
hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12
jam dipuasakan terlebih dahulu. Setelah apendektomi tanpa komplikasi, peluang komplikasinya
rendah, dan kebanyakan pasien dapat dengan cepat memulai diet dan dipulangkan pada hari yang
sama atau sehari setelahnya. Terapi antibiotik post-operatif tidak diperlukan. Di sisi lain,
apendektomi dengan komplikasi, peluang komplikasinya meningkat dibanding apendisitis tanpa
komplikasi. Pasien harus melanjutkan antibiotik spektrum luas selama 4-7 hari. Ileus post-
operatif dapat terjadi, maka diet harus dimulai dalam evaluasi klinis harian. Pasien ini memiliki
resiko meningkat terjadinya infeksi pada lokasi pembedahan. Pada operasi dengan perforasi atau
peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien
diberikan minum, makanan saring, makanan lunak, dan makanan biasa.
 Infeksi Lokasi Pembedahan
Pada pasien dengan infeksi lokasi pembedahan insisional (superfisial atau profunda),
dilakukan penanganan berupa pembukaan insisi dan mengambil kultur. Setelah apendektomi
laparoskopik, ekstraksi lokasi saluran adalah tempat yang paling sering terjadi infeksi lokasi
pembedahan. Pasien dengan selulitis dapat memulai antibiotik. Organisme yang dikultur pada
umumnya flora usus, dibandingkan dengan flora kulit. Pasien dengan abses intra-abdomen post-
operatif dapat bergejala dengan cara yang bervariasi. Walaupun demam, leukositosis dan nyeri
abdomen adalah gejala yang paling sering, pasien dengan ileus, obstruksi usus, diare, dan
tenesmus dapat juga menderita abses intra-abdomen. Abses kecil dapat diterapi hanya dengan
antibiotik; namun abses yang lebih besar memerlukan drainase. Pada umumnya, drainase per
kutan dengan panduan CT-scan atau USG efektif. Untuk abses yang tidak merespon terhadap
drainase per kutan, drainase abseslaparoskopik bisa menjadi pilihan.
 U. Stump Appendicitis
Apendektomi inkomplit menunjukkan kegagalan pengambilan seluruh apendiks pada
prosedur awal. Sebuah review literatur menunjukkan hanya 60 laporan dari fenomena ini.
Kemungkinan, apendektomi inkomplit sedikit dilaporkan, dan prevalensi nyatanya jauh lebih
tinggi. Dilaporkan sebagai “stump appendicitis”, pasien umumnya datang dengan gejala berulang
apendisitis kurang lebih 9 tahun setelah pembedahan awal. Tidak ada perbedaan dalam
pembedahan awal antara laparoskopik dan prosedur terbuka. Namun terdapat lebih banyak
apendektomi dengan komplikasi pada pembedahan awal. Pasien dengan stump appendicitis lebih
memungkinkan untuk mengalami apendisitis dengan komplikasi, menjalani prosedur terbuka dan
colectomy. Kunci untuk menghindari stump appendicitis adalah pencegahan. Penggunaan
“appendiceal critical view” (apendiks diletakkan pada arah jam 10, taenia coli/libera pada jam 3
dan ileum terminal pada jam 6) dan identifikasi apakah taenia coli bersatu atau menghilang
adalah hal penting untuk identifikasi dan ligasi dasar apendiks saat pembedahan awal. Stump
yang tersisa harus tidak lebih panjang dari 0,5 cm, dikatakan stump appendicitis jika ≥0,5 cm
pada literatur. Pada pasien yang telah menjalani apendektomi sebelumnya, indeks kecurigaan
yang rendah penting untuk mencegah penundaan diagnosa dan komplikasi. Apendektomi
sebelumnya tidak seharusnya menjadi kriteria mutlak menyingkirkan apendisitis akut.

E. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan.
Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit
daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70
tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.
BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja
Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian
akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang
tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90%
appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi F, Schwartz S. Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York:


1. McGraw-Hill, Health Pub. Division; 2010.
2. Wibisono E, Jeo W. Apendisitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E, ed. by Kapita
selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
3. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.
4. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
E/6, V/1. Alih Bahasa Oleh Dr. Brahm U. Pendit, dkk), Jakarta : EGC.

You might also like