You are on page 1of 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Berdasarkan hasil sensus penduduk, pada tahun 2000 jumlah
penduduk Indonesia 206.264.595 jiwa. Berdasarkan hasil sensus penduduk pada
tahun 2010, diperoleh bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai
237.556.363 jiwa (BPS, 2010). Pada tahun 2018, jumlah penduduk Indonesia
diproyeksikan bertambah menjadi 265,5 juta jiwa dan diperkirakan bertambah
menjadi 271,1 juta jiwa pada tahun 2020. Dengan bertambahnya jumlah penduduk
tersebut maka jumlah lansia di Indonesia juga semakin meningkat.
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas,
baik pria maupun wanita (Kushariyadi, 2014). Menurut Effendi dan Makhfudli
(2012), lanjut usia adalah seseorang yang berusia 65 tahun keatas. Lansia sendiri
bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu
proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stres lingkungan (Efendi, 2009). Jadi, menurut Kelompok,
lansia adalah seseorang pria atau wanita yang telah berusia 60 tahun keatas yang
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah
penduduk berusia 60 tahun keatas semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Persentase jumlah populasi lansia pada tahun 2000 sebesar 7,18% dari seluruh
penduduk di Indonesia. Angka ini meningkat menjadi 7,56% pada tahun 2010 dan
pada tahun 2011 menjadi 7,58% dari seluruh penduduk di Indonesia, dan
diperkirakan meningkat mencapai 30-40 juta pada tahun 2020 (Pradita, 2017;
Pambudi dkk, 2017). Pada tahun 2018, jumlah lansia diperkirakan mencapai
7,72% dari jumlah penduduk di Indonesia (271,1 juta jiwa) atau dapat dikatakan
jumlah lansia diperkirakan 20.928.920 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk lansia
ini antara lain disebabkan karena tingkat sosial ekonomi masyarakat yang
meningkat, Kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan tingkat pengetahuan
masyarakat yang meningkat (Deputi 1 menkokesra, 2008). Selain itu, peningkatan
jumlah lansia juga disebabkan karena adanya peningkatan angka kelahiran dan
angka harapan hidup.
Semakin bertambah usia seseorang, maka kemampuan untuk berinteraksi
dan memiliki keterkaitan dengan orang lain biasanya akan semakin mengalami
penurunan fungsi kognitif.
Jelaskan terkait penurunan fungsi kognitif

salah satu cara untuk mempertahankan fungsi kognitif pada lansia adalah
dengan cara menstimulasi otak dan di istirahatkan dengan tidur, kegiatan seperti
membaca, mendengarkan berita dan cerita melalui media. Hal ini bertujuan agar
otak tidak beristirahat secara terus menerus serta permainan yang prosedurnya
membutuhkan konsentrasi atau atensi, orientasi (tepat waktu dan situasi). sss
.Brain gym adalah serangkaian gerak sederhana yang menyenangkan dan
digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar dengan menggunakan
keseluruhan otak berkaitan erat dengan peran otak yang dapat mengembangkan
kreatifitas. Gerakan brain gym atau senam otak adalah suatu sentuhan yang bisa
merangsang dan berfungsinya otak secara optimal yaitu lebih mengaktifkan
kemampuan otak kanan dan kiri, sehingga kerjasama antara belahan otak kanan
dan kiri bisa terjalin.brain gym juga sangat praktis karena bisa dilakukan dimana
saja kapan saja terutama pada lansia yang mengalami gangguan kognitif.
Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur yang
melaksanakan tugas pelayanan dan bimbingan sosial bagi lanjut usia. Ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hak menempati
UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Pasuruan, diantaranya adalah Berjenis
kelamin laki-laki atau perempuan berusia 60 tahun keatas, masuk UPT atas
kemauan sendiri dan tidak ada unsur paksaan, berbadan sehat tidak mempunyai
penyakit menular yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari Dokter,
Direkomendasi dari kantor sosial / Pemda setempat serta Calon klien dinyatakan
lulus seleksi oleh petugas UPT.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh mahasiswa di
UPT Pelayanan Tresna Werdha Pasuruan khususnya pada ruang Melati, Dahlia,
Seruni di dapatkan 10 orang dari 25 orang sampel atau 40% mengalami gangguan
kognitif, dan sebanyak 8 orang mengalami hipertensi, 2 orang mengalami asam
urat, 2 orang mengalami diabets melitus dan 2 orang mengalami katarak.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, maka gangguan kognitif menjadi
prioritas pertama.
..sss Hasil wawancara dengan klien dan petugas UPT diketahui masalah
gangguan kognitif yang dialami klien yang menyebabkan klien sering lupa benda
pribadi, jadwal yang bukan rutinitas, kesulitan mengingat seseorang.
Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan suatu penelitian untuk mengetahui Pengaruh Terapi Brain Gym
terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di Wisma Dahlia, Wisma Melati,
Dan Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimanakah Pengaruh Terapi Brain Gym terhadap peningkatan fungsi
kognitif pada lansia di Wisma Dahlia, Wisma Melati, Dan Wisma Seruni UPT
Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan?

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh Terapi Brain Gym terhadap peningkatan fungsi
kognitif pada lansia di Wisma Dahlia, Wisma Melati, Dan Wisma Seruni
Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui kemampuan fungsi kognitif di Wisma Dahlia, Wisma Melati, dan
Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan sebelum
dilakukan Terapi Brain Gym .
2. Mengetahui Kemampuan fungsi kognitif di Wisma Dahlia, Wisma Melati, dan
Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan setelah
dilakukan terapi Brain Gym.
3. Mengetahui Pengaruh Terapi Brain Gym terhadap peningkatan fungsi kognitif
di Wisma Dahlia, Wisma melati, Dan Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial
Tresna Werda Pandaan.

1.4. Manfaat
1.4.1 Bagi Masyarakat UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Masyarakat Pelayanan Sosial Tresna Werda mendapatkan terapi brain
gym.
1.4.2 Bagi Petugas UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Melalui hasil asuhan keperawatan yang dilakukan oleh mahasiswa profesi
keperawatan Universitas Brawijaya ini, diharapkan Petugas UPT Pelayanan
Sosial Tresna Werdha mendapatkan data lebih rinci tentang gangguan kognitif
klien di Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan.

1.4.3 Bagi Mahasiswa


Mahasiswa mendapat pengalaman dan ilmu tentang penatalaksanaan
terhadap ganguan kognitif yang berbasis intervensi di lapangan.

1.4.4 Bagi Institusi


Sebagai bahan referensi atau masukan bagi perlembangan ilmu kesehatan
untuk mengetahui pengaruh Brain gym terhadap peningkatan fungsi kognitif
pada lansia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP SINDROM GERIATRIK


2.1.1 Definisi Geriatric Syndrome
Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala dan atau tanda klinis, dari
satu atau lebih penyakit yang sering dijumpai pada pasien geriatric. Tampilan klinis
yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis. Sindrom
geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia, ketergantungan
fungsional, dan jatuh.Sindrom geriatrik menampilkan banyak fitur fitur umum.
Keadaan lansia sangat umum yaitu lemah. Efeknya pada kualitas hidup dan cacat
substansial. Sering gejala utama tidak berhubungan dengan kondisi patologis
tertentu yang mendasari perubahan status kesehatan. Sebagai contoh, ketika
infeksi yang melibatkan saluran kemih menyebabkan delirium, itu adalah
perubahan fungsi saraf dalam bentuk perubahan kognitif dan perilaku yang
memungkinkan diagnosis delirium dan menentukan hasil fungsional yang banyak.
Karena sindrom ini melibatkan banyak sistem organ, diperlukan perencanaan dan
pemberian perawatan klinis.
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk:
The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan
jatuh), Intelectualimpairement (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence
(impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition
(malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder
(gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing,vision and smell (gangguan
pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006 dalam AA Dini,
2013).

2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat
dibandingkan populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan
hidup dan penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan
peningkatan populasiusia lanjut 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam
waktu 50 tahun; dari 600juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada
tahun 2050 (Setiati, Siti 2013).Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai
peringkat lima besarterbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010 dan akan
meningkat dua kali lipatmenjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup
penduduk Indonesia mencapai67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6
tahun pada tahun 2020-2025.Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun 1950-
1990 dan menjadi 8% saatini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi 13%
pada tahun 2025 dan menjadi 25%pada tahun 2050. Pada tahun 2050
seperempat penduduk Indonesia merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan
seperduabelas penduduk Indonesia saat ini (Abikusno N. 2007 dalam Setiati, Siti
2013).

2.1.3 Klasifikasi Geriatric Syndrome


Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk:
The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan
jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence
(impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition
(malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder
(gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and smell (gangguan
pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006).
a. Imobilisasi
Didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3
hari atau lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah
adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidak seimbangan, dan masalah
psikologis. Beberapa informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas
yang menyebabkan imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan
mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan untuk mengeliminasi masalah
iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi.
b. Instability (Instabilitas dan Jatuh)
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan
jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko
ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia
lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati
berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi
fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu,
sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman
seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et
al., 2008; Cigolle et al., 2007).
c. Incontinence (Inkontinensia Urin dan Alvi)
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan
masalah sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin merupakan salah satu
sindroma geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu
dari tiga wanita dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami inkontinensia
urin. Inkontinensia urin merupakan fenomena yang tersembunyi, disebabkan
oleh keengganan pasien menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak
dokter jarang mendiskusikan hal ini kepada pasien (Kane etal., 2008; Cigolle
et al., 2007). International Consultation on Incontinence, WHO mendefinisikan
Faecal Incontinence sebagai hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang
merupakan masalah sosial atau higienis. Definisi lain menyatakan,
Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan
untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus. Kejadian inkontinensia
alvi/fekal lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin (Kane et al., 2008).
d. Intelectual Impairement (Gangguan Intelektual Seperti Demensia dan
Delirium)
Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada
pasienlanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan
fungsiintelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak,
yang tidakberhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak
hanya masalahpada memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan
untuk mengenal,berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu
dan juga kehilangan polasentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya
aktivitas (Geddes et al.,2005;Blazer et al., 2009).
e. Infection (infeksi)
Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan
kematianno. 2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat
beberapa halantara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup
banyak, menurunnya dayatahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya
komunikasi usia sehinggasulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda
infeksi secara dini. Ciri utama padasemua penyakit infeksi biasanya ditandai
dengan meningkatnya temperatur badan,dan hal ini sering tidak dijumpai pada
usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang terinfeksisering tidak disertai peningkatan
suhu badan, malah suhu badan dibawah 36OC lebihsering dijumpai. Keluhan
dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupakonfusi/delirium
sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badanmenjadi lemas,
dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usialanjut
(Kane et al., 2008).
f. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman)
Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada geriatri.
Prevalensi gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat dari 21%
pada kelompok usia 70 tahun sampai 39% pada kelompok usia 85 tahun.
Pada dasarnya, etiologi gangguan pendengaran sama untuk semua umur,
kecuali ditambah presbikusis untuk kelompok geriatri. Otosklerosis biasanya
ditemui pada usia dewasa muda, ditandai dengan terjadinya remodeling
tulang di kapsul otik menyebabkan gangguan pendengaran konduktif, dan jika
penyakit menyebar ke telinga bagian dalam, juga dapat menimbulkan
gangguan sensorineural. Penyakit Ménière adalah penyakit telinga bagian
dalam yang menyebabkan gangguan pendengaran berfluktuasi, tinnitus dan
pusing. Gangguan pendengaran karena bising yang disebabkan oleh energi
akustik yang berlebihan yang menyebabkan trauma permanen pada sel-sel
rambut. Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan pada geriatri
disebabkan oleh degenerasi dari organ korti, dan ditandai gangguan
pendengaran dengan frekuensi tinggi. Pada pasien juga ditemui adanya
gangguan pendengaran sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi.
Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatric adalah dengan
cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan bedah berupa
implantasi koklea (Salonen, 2013). Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut
secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya
perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul
dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya. Masalah
polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan oleh berbagai hal
yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat diresepkan oleh
beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan
pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek
samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip
pemberian obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui
riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan obat sebelum waktunya,
jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali obat yang digunakan, mulai
dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati sesuai patokan, beri
dorongan supaya patuh berobat dan hatihati mengguakan obat baru (Setiati
dkk.,2006).
g. Isolation (Depression)
Isolation (terisolasi) dan depresi, penyebab utama depresi pada usia
lanjut adalah kehilangan seseorang yan disayangi, pasangan hidup, anak,
bahkan binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari
lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga
yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien
akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat
melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang berkepajangan
h. Inanition (malnutrisi)
Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi pada usia lanjut
karena kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak disengaja.
Anoreksia pada usia lanjut merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan
asupan makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak
diinginkan (Kane etal., 2008). Pada pasien, kekurangan nutrisi disebabkan
oleh keadaan pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan
nafsu makan pasien.
i. Impecunity (kemiskinan)
Impecunity (kemiskinan), usia lansia dimana seseorang menjadi
kurang produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik
untuk beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya
mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang
lansia masih dapat bekerja,hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang
harus dikurangi sesuai dengan kemampuannya, terbukti bahwa seseorang
yang tetap menggunakan otaknya hingga usia lanjut dengan bekerja,
membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” . Selain masalah finansial,
pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi sosialpun
berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi.

j. Iatrogenic
Iatrogenics (iatrogenesis), karakteristik yang khas dari pasien geriatri
yaitu multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu
mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan
antara lain efek samping danefek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat
mengancam jiwa. Pemberian obatpada lansia haruslah sangat hati-hati dan
rasional karena obat akan dimetabolismedi hati sedangkan pada lansia terjadi
penurunan fungsi faal hati sehingga terkadangterjadi ikterus (kuning) akibat
obat. Selain penurunan faal hati juga terjadi penurunanfaal ginjal (jumlah
glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar obat dikeluarkan melalui
ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat
dikeluarkandengan baik dan dapat berefek toksik.
k. Insomnia
Insomnia, dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup
yangmenyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa
penyakit jugadapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan
hiperaktivitas kelenjarthyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga dapat
menyebabkan insomnia. Jamtidur yang sudah berubah juga dapat menjadi
penyebabnya.
l. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh)
Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) banyak hal
yangmempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut
seperti atrofithymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun
tidak begitubermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit
T tetap terbentukdi jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi
pertama pada tubuhseperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan
bersin -yang berfungsimengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas-
yang melemah. Hal yangsama terjadi pada respon imun terhadap antigen,
penurunan jumlah antibodi. Segalamekanisme tersebut berakibat terhadap
rentannya seseorang terhadap agen-agenpenyebab infeksi, sehingga
penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasienlansia.
m. Impotence
Impotency (Impotensi), ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual
padausia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti
gangguan hormon,syaraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya
penis dengan darahsehingga membesar, pada gangguan vaskuler seperti
sumbatan plak aterosklerosis(juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat
aliran darah sehingga penis tidakdapat ereksi. Penyebab lainnya adalah
depresi.
n. Irritable bowel
Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-)
sehinggamenyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit).
Penyebabnya tidak jelas,tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan
pada otot polos usus besar,penyeab lain yang mungkin adalah gangguan
syaraf sensorik usus, gangguan system syaraf pusat, gangguan psikologis,
stres, fermentasi gas yang dapat merangsangsyaraf, kolitis.

2.1.4 Etiologi Dan Faktor Resiko


a. Imobilisasi
Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama
imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyakit Parkinson, artritis
reumatoid, gout, dan obat‐obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat
menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis,
osteomalasia, Paget’s disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi
(osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia, pseudoclaudication)
atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Gangguan fungsi
kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti
pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi.
Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan
dapatpula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat
tidur baik di rumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat
misalnya obat hipnotik dan sedatif dapat pula menyebabkan gangguan
mobilisasi.
b. Instability (Instabilitas Dan Jatuh)
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa
faktor, antara lain:(Kane, 1994; Reuben, 1996; Tinetti,1992; Campbell, 1987,
Brocklehurst, 1987).
1) Kecelakaan (merupakan penyebab utama)
- Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung.
- Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan
akibat proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-
benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh.
2) Nyeri kepala dan/atau vertigo
3) Hipotensiorthostatic:
- Hipovolemia / curah jantung rendah
- Disfungsi otonom terlalu lama berbaring
- Pengaruh obat-obat hipotensI
4) Obat-obatan
- Diuretik / antihipertensi
- Antidepresan trisiklik
- Sedativa
- Antipsikotik
- Obat-obat hipoglikemik
- Alkohol
5) Proses penyakit yang spesifik, misalnya:
- Aritmia
- Stenosis
- Stroke
- Parkinson
- Spondilosis
- Serangan kejang
6) Idiopatik (tidak jelas sebabnya)
7) Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba):
- Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
- Terbakar matahari
c. Incontinence (Inkontinensia Urin Dan Alvi)
Pada lansia biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada
lansia terjadi proses enua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh
organ tubuh termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia mengalami
inkontinensia urin. Perubahan ini diantaranya adalah melemahnya otot dasar
panggul yang menjaga kandung kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya
kontraksi abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan
berkeih sebelum waktunya dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung
kemih yang tidak sempurna menyebabkan urine di dalam kanddung kemih
yang cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit saja sudah
merangsang untuk berkeih. Hipertrofi prostat juga dapat mengakibatkan
banyaknya sisa air kemih di kandung keih sebagai akibat pengosongan yang
tidak sempurna (Setiati,2000)
d. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan danpenciuman)
Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat dari
prosesdegenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan dengan
faktor-faktorherediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi,
bising, gaya hidupatau bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran
secara berangsurmerupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor
tersebut diatas. Biasanyaterjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progesifitas
penurunan pendengarandipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-
laki lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.
Kornea, lensa iris, aquous humormvitorous humor akan
mengalamiperubahan seiring bertambahnya usia, karena bagian utama yang
mengalamiperubahan/penurunan sensifitas yang menyebabkan lensa pada
mata, produksiaquosus humor juga mengalami penurunan tetapi tidak terlalu
terpengaruh terhadapkeseimbangan dan tekanan intra okuler lensa umum.
Bertambahnya usia akanmempengarui fungsi organ pada mata seseorang
yang ber usia 60 tahun, fungsikerja pupil akan mengalami penurunan 2/3 dari
pupil orang dewasa atau muda,penurunan tersebut meliputi ukuran –
ukuranpupil dan kemampuan melihat dari jarakjauh. Proses akomodasi
merupakan kemampuan untukmelihat benda – benda darijarak dekat maupun
jauh. Akomodasi merupakan hasil koordinasi atas ciliary bodydan otot – otot,
apabila seseorang mengalamipenurunan daya akomodasimakaorang tersebut
disebut presbiopi (Brantas1984.wordpress.com, 2009 ).

2.1.5 Manifestasi Klinis


Semakin bertambah usia seseorang semakin banyak terjadi perubahan
pada berbagai sistem dalam tubuh. Perubahan yang terjadi cenderung mengarah
pada penurunan berbagai fungsi tersebut. Pada sistem saraf pusat terjadi
pengurangan massa otak, aliran darah otak, densitas koneksi dendritik, reseptor
glukokortikoid hipokampal, dan terganggunya autoregulasi perfusi. Timbul
proliferasi astrosit dan berubahnya neurotransmiter, termasuk dopamin dan
serotonin. Terjadi peningkatan aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya
proses sentral dan waktu reaksi. Pada fungsi kognitif terjadi penurunan
kemampuan meningkatkan fungsi intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi
saraf di otak yang menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi
hilang selama transmisi; berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi
baru dan mengambil informasi dari memori. Kemampuan mengingat kejadian
masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja
terjadi. Pada fungsi penglihatan terjadi gangguan adaptasi gelap; pengeruhan
pada lensa; ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat
(presbiopia); berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi. Hilangnya
nada berfrekuensi tinggi secara bilateral timbul pada funsgsi pendengaran. Di
samping itu pada usia lanjut terjadi kesulitan untuk membedakan sumber bunyi
dan terganggunya kemampuan membedakan target dari noise.
Pada sistem kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung
(pacemaker) di nodus SA berkurang; terjadi hipertrofi atrium kiri; kontraksi dan
relaksasi ventrikel kiri bertambah lama; respons inotropik, kronotropik, terhadap
stimulasi beta-adrenergik berkurang; menurunnya curah jantung maksimal;
peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular perifer. (
Pada fungsi paru-paru terjadi penurunan forced expiration volume 1 second (FEVI)
dan forced volume capacity (FVC); berkurangnya efektivitas batuk dan fungsi silia
dan meningkatnya volume residual. Adanya ‘ventilation-perfusion mismatching’
yang menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya usia : 100 – (0,32 x
umur). Pada fungsi gastrointestinal terjadi penururan ukuran dan aliran darah ke
hati, terganggunya bersihan (clearance) obat oleh hati sehingga membutuhkan
metabolisme fase I yang lebih ekstensif. Terganggunya respons terhadap cedera
pada mukosa lambung, berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik,
berkurangnya kontraksi kolon yang efektif dan absorpsi kalsium. Menurunnya
bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi glomerulus (GFR) 10
ml/dekade terjadi dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Penurunan
massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan peningkatan relatif
perfusi nefron jukstamedular. Aksentuasi pelepasan anti diuretichormone (ADH)
sebagai respons terhadap dehidrasi berkurang dan meningkatnya ketergantungan
prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi. Pada saluran kemih dan
kelamin timbul perpanjangan waktu refrakter untuk ereksi pada pria, berkurangnya
intensitas orgasme pada pria maupun wanita, berkurangnya sekresi prostat di urin
dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna serta peningkatan volume
residual urin. Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1
mg/dl/dekade; gula darah postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade). Insulin serum
meningkat, HbA1C meningkat, IGF-1 berkurang. Penurunan yang bermakna pada
dehidroepiandrosteron (DHEA), hormon T3, testosteron bebas maupun yang
bioavailable, dan produksi vitamin D oleh kulit serta peningkatan hormon paratiroid
(PTH). Ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium.
Pada sistem saraf perifer lanjut usia mengalami hilangnya neuron motor
spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki, berkurangnya sensitivitas
termal (hangatdingin), berkurangnya amplitudo aksi potensial yang termielinasi
dan meningkatnya heterogenitas selaput akson myelin. Massa otot berkurang
secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya serat otot. Efek penuaan
paling kecil pada otot diafragma; berkurangnya sintesis rantai berat miosin,
inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit otot dan berkurangnya laju basal
metabolic (berkurang 4%/dekade setelah usia 50).
Pada sistem imun terjadi penurunan imunitas yang dimediasi sel,
rendahnya produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya
hipersensitivitas tipe lambat, berkurangnya produksi sel B oleh sumsum tulang;
dan meningkatnya IL-6 dalam sirkulasi. Pada umumnya lansia mengalami depresi
ditandai oleh mood depresimenetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau
aktivitas sehari-hari, dan dapatberpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri.
Pada lansia gejala depresi lebihbanyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik,
gangguan kognitif, dan disabilitas.Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia
depresi akan membaik setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat
menyerupai gangguan kognitifseperti demensia, sehingga dua hal tersebut perlu
dibedakan. Para lansia depresisering menunjukkan keluhan nyeri fisik tersamar
yang bervariasi, kecemasan, danperlambatan berpikir. Perubahan pada lansia
depresi dapat dikategorikan menjadiperubahan fisik, perubahan dalam pemikiran,
perubahan dalam perasaan, danperubahan perilaku.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


a. Pemeriksaan Diagnostik
Assessmen Geriatri komprehensif mencakup: kesehatanfisik, mental,
status fungsional, kegiatan sosial, dan lingkungan.Tujuan asesmen ialah
mengetahui kesehatan penderita secara holistic supaya dapat
memberdayakan kemandirian penderita selama mungkin dan mencegah
disabilitas-handicap diwaktu mendatang. Asesmen ini bersifat tidak sekedar
multi-disiplin tetapi interdisiplin dengan koordinasi serasi antar disiplin dan
lintas pelayanan kesehatan (Forciea MA. 2004, Darmojo BR, 2010).
Anamnesis dilengkapi dengan berbagai gangguan yang terdapat : menelan,
masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak yang
terbataspada anggota badan dan lain-lain.
a) Penilaian sistem : Penilaian system dilaksanakan secara urut, mulai dari
system syaraf
b) pusat, saluran nafas atas dan bawah, kardiovaskular, gastrointestinal
(seperti inkontinensia alvi, konstipasi), urogenital (seperti inkontinensia
urin). Dapat dikatakan bahwa penampilan penyakit dan keluhan
penderita tidak tentu berwujud sebagai penampilan organ yang
terganggu.
c) Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok,
minum alkohol).
d) Anamnesis Lingkungan perlu meliputi keadaan rumah tempat tinggal.
e) Review obat-obat yang telah dan sedang digunakan perlu sekali
ditanyakan, bila perlu, penderita atau keluarganya.
f) Ada tidaknya perubahan perilaku. Anamnesis Nutrisi: (Martono H. 2004)
1) Pada gizi perlu diperhatikan :
 Keseimbangan (baik jumlah kalori maupun makronutrien)
 Cukup mikronutrien (vitamin dan mineral)
 Perlu macam makanan yang beranekaragam.
 Kalori berlebihan atau dikurangi disesuaikan dengan kegiatan
AHSnya, dengan tujuan mencapai berat badan ideal.
 Keadaan gigi geli, mastikasi dan fungsi gastro-intestinal.
 Apakah ada penurunan atau kenaikan berat badan.
2) Pengkajian Nutrisi (Kuswardhani, RAT. 2011) Pengkajian nutrisi
dilakukan dengan memeriksa indeks massa tubuh. Rumus Indeks
Masa Tubuh (IMT) : Berat Badan (kg)
[Tinggi Badan (m)2] IMT : 18 – 23 (normal)
Rumus Tinggi Badan Populasi Geriatri :
Pria : TB = 59.01 + (2.08 X Tinggi Lutut)
Wanita : TB = 75.00 + (1.91 X Tinggi Lutut) – (0.17 X Umur).
(Depkes RI, 2005)

b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital.
2) Pemeriksaan fisik tekanan darah, dilaksanakan dalam keadaan tidur,
duduk dan berdiri, masing-masing dengan selang 1-2 menit, untuk
melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik.
3) Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan sistem ini
disesuaikan dengan tingkat kemampuan pemeriksa.Yang penting adalah
pemeriksaan secara sistem ini menghasilkan dapatan ada atau tidaknya
gangguan organ atau sistem.
4) Pemeriksaan fisik dengan urutan seperti pada anamnesis penilaian
sistem, yaitu :
 Pemeriksaan susunan saraf pusat (Central Nervous System).
 Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut.
 Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis.
 Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan abdomen perlu dilakukan
dengan cermat.
 Pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, gerakan dan kelainan
sendisendi perlu diperiksa :sendi panggul, lutut dan kolumna
vertebralis.
 Pemeriksaan kulit-integumen, juga perlu dilakukan. Pemeriksaan fisik
perlu dilengkapi dengan beberapa uji fisik seperti “get up and go”
(jarak 3 meter dalam waktu kira-kira 20 detik), mengambil benda di
lantai, beberapa tes keseimbangan, kekuatan, ketahanan, kelenturan,
koordinasi gerakan.Bila dapat mengamati cara berjalan (gait), adakah
sikap atau gerakan terpaksa.Pemeriksaan organ-sistem adalah
melakukan pemeriksaan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki
secara sistematis (Kuswardhani, RAT. 2011).
 Pemeriksaan Tambahan (Penunjang) Pemeriksaan tambahan
disesuaikan dengan keperluan penegakan kepastian diagnosis, tetapi
minimal harus mencakup pemeriksaan rutin.
a) X-foto thorax, EKG
b) Laboratorium :- DL,UL, FL
Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan yang belum jelas
atau diperlukan tindakan diagnostik atau terapi, dapat dilakukan
konsultasi (rujukan) kepada subbagian atau disiplin lain, atau
pemeriksaan dengan alat yang lebih spesifik : FNB, EKG, CT-
Scan.

c. Pengkajian Imobilisasi
Dalam mengkaji imobilisasi, perlu dilakukan anamnesis menenai
riwayat penyakit sekarang, lamanya mengalami disabilitas, penyakit yang
dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi dan obat‐obatan yang dapat
menyebabkan imobilisasi. Keluhan nyeri, skrining depresi dan rasa takut jatuh
serta pengkajian lingkungan, termasuk kunjungan rumah bila perlu, penting
dilakukan. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa status kardiopulmonal,
pemeriksaanmuskuloskeletal yang mendetil misalnya kekuatan otot dan gerak
sendi, pemeriksaan status neurologis dan juga pemeriksaan kulit untuk
identifikasi ulkusdekubitus. Status imobilisasi pasien harus selalu dikaji secara
terus‐menerus(Rizka, 2015).

2.1.7 Penatalaksanaan
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan
berbagaI jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi
pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap
menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip
penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian
multi/interdisiplin yang mengedepankan pendekatan secara holistik (Setiati, Siti
2013).
a. Pengelolaan inkontinensia urin
Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis
besar dapat dikerjakan sebagai berikut (Simposium “Geriatric Syndromes:
Revisited” 2011):
a) Program rehabilitasi, antara lain:
Melatih perilaku berkemih.
Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).
Melatih respons kandung kemih.
Latihan otot-otot dasar panggul.
b) Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).
c) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.
d) Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau
keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.
e) Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk
kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan
penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

b. Jatuh
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau
mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya.
Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri
dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik
dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus
karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak
pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoralsehingga diperlukan terapi
gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus
lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya
pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.
Faktor pelindung Terhadap Cedera Retak
Terapiestrogen
Berat badansetelah usia
Berjalanuntuk latihan
Asupankalsiumyang cukup
Pengobatan untuk gangguan berjalan
1. Manajemen gangguan berjalan termasuk peningkatan kemampuan
fungsional dan pengobatan penyakit tertentu,namun banyak kondisi
yang menyebabkan kelainan gaya berjalan hanya sebagian dapat
diobati.
2. Peningkatan substansial terjadi dalam pengobatan gangguan sekunder
untuk vitamin B12 dan folat, penyakit tiroid, radang sendi lutut, penyakit
Parkinson dan polineuropati inflamasi.
3. Peningkatan Sedang, tetapi dengan cacat sisa, dapat terjadi setelah
perawatanbedah untuk myelopathy serviks, stenosis lumbar, dan
hidrosefalus tekanan normal.

c. Sleep Disturbance
Pengobatan
a) Perawatan Non-farmakologis
Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang
mendasari,menghentikan atau mengubah obat, menghentikan
alkohol, kafein ataupenggunaan nikotin.
Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan tidur,
gunakankamar tidur untuk tidur saja, mengembangkan cerita tidur
untukmempromosikan keadaan pikiran, mengurangi tidursiang hari,
danmengembangkan latihan rutin sehari-hari.
b) Pengobatan farmakologis.
Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek pada
pasien yanglebih tua.
Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti
Temazepam(7,5-15mg), dengan jangka waktu maksimum dua mingg
uuntuk menghindariketergantungan.
Antihistamin dapat diterima untuk digunakan sesekali, namun cepat
kehilangankhasiat.
anti-depresan, misalnya, Trazadone, adalah pilihan yang baikuntuk
insomniakronis.

d. Pencegahan Komplikasi Imobilisasi


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan
farmakologik dan non farmakologik. Upaya non farmakologis yang dapat
dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara
teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi
secara teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa
turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan
fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Untuk mencegah terjadinya
dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab
terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan
perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau
menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat
dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih
pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta
mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian
minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah
maserasi. Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐
obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi
dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan
cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan
pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi
yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada
pasien imobilisasi.
Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama
pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu
Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH)
merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri
denganimobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan
interaksi dengan obat lain (Rizka, 2015).

e. Pressure Ulcer
Pengobatan
1. Menilai seluruh aspek, bukan hanya ulkus karena tekanan, termasuk
kesehatan fisik, sakit, kesehatan psikososial, dan tekanan komplikasi
ulkus.
2. Mencoba untuk menggunakan langkah-langkah yang ditetapkan
penyembuhan luka (PUSH) (NPUAP, 1997).
3. Menjaga prinsip-prinsip perawatan luka yang relevan dengan ulkus
tekanan:
a. debridement luka
b. luka bersih
c. menggunakan solusi yang tidak membunuh sel-sel; jangan
menggunakan solusi yang yaitu sitotoksik hidrogen peroksida, Solusi
Dahenitu, atau Betadine
d. Mengairi luka, menggunakan kekuatan minimal
e. Tutup luka dengan bahan yang tepat
f. Delirium
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila
sumberdeliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika
agitasi yangberat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini
disebabkan karenabenzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan
yang memperburuk delirium.Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh
benzodiazepin adalah sedasi yangberlebihan yang dapat menyulitkan
penilaian status kesadaran pasien itu sendiri(Andri, Charles E. Damping,
2007).
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang
seringdipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol
digunakan karena profilefek sampingnya yang lebih disukai dan dapat
diberikan secara aman melalu jaluroral maupun parenteral. Dosis yang biasa
diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral(PO) atau intra muscular maupun intra
vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai5 mg tiap satu jam sampai total
kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelahpasien lebih baik
kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral makahaloperidol dapat
diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampaikondisi
deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala
ekstra piramidal daripada penggunaan oral (Andri, Charles E. Damping,
2007).
g. Infeksi
Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan masalah
karenameningkatkan bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia. Terapi
antibiotic tergantung pada kuman patogen yang didapati.
1. Gangguan pendengaran
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi
pendengaran dilakukandengan pemasangan alat bantu dengar (hearing
aid). Pemasangan alat bantudengar hasilnya akan lebih memuaskan
bila dikombinasikan dengan latihanmembaca ujaran (speech reading),
dan latihan mendengar (auditory training),prosedur pelatihan tersebut
dilakukan bersama ahli terapi wicara (speech therapist).Tujuan
rehabilitasi pendengaran adalah memperbaiki efektifitas pasien dalam
komunikasi sehari-hari. Pembentukan suatu program rehabilitasi untuk
mencapai tujuan ini tergantung pada penilaian menyeluruh terhadap
gangguan komunikasipasien secara individual serta kebutuhan
komunikasi sosial dan pekerjaan.Partisipasi pasien ditentukan oleh
motivasinya. Oleh karena komunikasi adalah suatuproses yang
melibatkan dua orang atau lebih, maka keikutsertaan keluarga
atauteman dekat dalam bagian-bagian tertentu dari terapi terbukti
bermanfaat.
Membaca gerak bibir dan latihan pendengaran merupakan
komponentradisional dari rehabilitasi pendengaran. Pasien harus
dibantu untuk memanfaatkansecara maksimal isyarat-isyarat visual
sambil mengenali beberapa keterbatasandalam membaca gerak bibir.
Selama latihan pendengaran, pasien dapat melatihdiskriminasi bicara
dengan cara mendengarkan kata-kata bersuku satu dalamlingkungan
yang sunyi dan yang bising. Latihan tambahan dapat dipusatkan
padalokalisasi, pemakaian telepon, cara-cara untuk memperbaiki rasio
sinyal-bising danperawatan serta pemeliharaan alat bantu
dengar.Program rehabilitasi dapat bersifat perorangan ataupun dalam
kelompok.Penyuluhan dan tugas-tugas khusus paling efektif bila
dilakukan secara perorangan,sedangkan program kelompok memberi
kesempatan untuk menyusun berbagai tipesituasi komunikasi yang
dapat dianggap sebagai situasi harian normal untuk tujuanperagaan
ataupun pengajaran.
Pasien harus dibantu dalam mengembangkan kesadaran terhadap
isyarat-isyarat lingkungan dan bagaimana isyarat-isyarat tersebut dapat
membantu kekurangan informasi dengarnya. Perlu diperagakan
bagaimana struktur bahasa menimbulkan hambatan-hambatan tertentu
pada pembicara. Petunjuk lingkungan, ekspresi wajah, gerakan tubuh
dan sikap alami cenderung melengkapi pesan yang diucapkan. Bila
informasi dengar yang diperlukan untuk memahami masih belum
mencukupi, maka petunjuk-petunjuk lingkungan dapat mengisi
kekurangan ini. Seluruh aspek rehabilitasi pendengaran harus
membantu pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif dengan
lingkungannya. (George L Adams,et al.,1997)
2. Depresi
Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan
dan kepribadianmasing masing. Pada depresi ringan dan sedang,
psikoterapi merupakan tatalaksana yang sering dilakukan dan berhasil.
Akan tetapi, pada kasus tertentu ataupada depresi berat, psikoterapi
saja tidak cukup, diperlukan farmakoterapi. Banyakorang membutuhkan
dukungan dari orang-orang terdekat terutama keluarga danteman,
keikutsertaan dalam kegiatan kelompok, atau berkonsultasi dengan
tenagaprofesional untuk mengatasi depresi. Selain itu, mengatasi
masalah terisolasi ketikamemasuki usia lanjut merupakan salah satu
bagian penting dalam penyembuhandan dapat mencegah episode
kekambuhan penyakit. Banyak penelitianmenunjukkan bahwa aktif
dalam kegiatan kelompok di lingkungan merupakan bagian penting
dalam kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas hidup.
Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat
antidepresan, tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya
mengurangi gejala, dan tidak menyembuhkan. Antidepresan bekerja
dengan cara menormalkanneurotransmiter di otak yang memengaruhi
mood, seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Antidepresan harus
digunakan pada lansia dengan depresi mayor danselective serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan obat pilihan pertama.Beberapa
obat antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan
dan kekurangan tiap golongan ada pada tabel 6. Pemilihan obat
tersebut per individu dengan pertimbangan efek samping dari tiap
golongan. Pengobatan mono terapi dengan dosis minimal digunakan
pada awal terapi, dievaluasi apabila tidak ada perubahan bermakna
dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespons pada pengobatan
awal perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan dapat
dipertimbangkan penggunaan dua golongan antidepresan.
Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan, obat
harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy)
selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila
kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi
pengobatan tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan
hingga 80%. Penghentian antidepresan harus dilakukan secara
bertahap agar tidak menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas,
nyeri kepala, mialgia, dan gejala mirip fl u (fl u-like symptoms). Lansia
yang sering kambuh memerlukan terapi perawatan dosis penuh terapi
selama hidupnya. Selain farmakoterapi dengan obat antidepresan,
psikoterapi (talk therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati
berbagai jenis depresi. Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog
terlatih, pekerja sosial, atau konselor. Pendekatan psikoterapi dibagi
dua, yaitu cognitive-behavioral therapy (CBT) dan interpersonal therapy.
CBT terfokus pada cara baru berpikir untuk mengubah perilaku, terapis
membantu penderita mengubah pola negatif atau pola tidak produktif
yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi. Interpersonal therapy
membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi keadaan dan
hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi. Banyak
penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan
memahami cara menangani faktor penyebab depresi, terutama pada
depresi ringan; jika depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena
akan menimbulkan depresi berulang.

h. Imobilisasi
1) Pencegahan komplikasi imobilisasi
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan
farmakologik dan non farmakologik.
Non Farmakologis
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik
danlatihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah
baring total,perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur
Selain itu,mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari
tempat tidur kekursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara
bertahap.Untukmencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus
dilakukan adalahmenghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas
tekanan pada kulit.
Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 300, penggunaan
kasur antidekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien
dengan kursiroda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan
dari duduk. Melatihpergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan
ke kanan serta mencegahterjadinya gesekan juga dapat mencegah
dekubitus.Pemberian minyaksetelah mandi atau mengompol dapat
dilakukan untuk mencegah maserasi.Kontrol tekanan darah secara
teratur dan penggunaan obat‐obatan yangdapat menyebabkan
penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perludilakukan untuk
mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan
yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinyakonstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan
pengkajian terhadapkebiasaan buang air besar pasien. Pemberian
nutrisi yang adekuat perludiperhatikan untuk mencegah terjadinya
malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Farmakologis
Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama
pencegahanterhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan
yaitu Low doseheparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH)
merupakanprofilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri
dengan imobilisasiharus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan
interaksi dengan obatlain.

i. Komplikasi
Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem
pernafasan misalnyapenurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia.
komplikasi endokrin dan ginjal,peningkatan diuresis, natriuresis dan
pergeseran cairan ekstraseluler, intoleransiglukosa, hiperkalsemia dan
kehilangan kalsium, batu ginjal serta keseimbangannitrogen negatif
Komplikasi gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia,konstipasi
dan luka tekan (ulkus dekubitus). Pada sistem saraf pusat, dapat
terjadideprivasi sensorik, gangguan keseimbangan dan koordinasi (Rizka,
2015).

2.2 KONSEP PERUBAHAN KOGNITIF PADA LANSIA

2.2 KONSEP DASAR BRAIN GYM


2.2.1 Definisi Brain Gym
Brain Gym adalah senam otak yang bertujuan untuk memicu otak agar
tidak kehilangan daya intelektualnya dan awareness-nya. Senam otak adalah
senam ringan yang dilakukan dengan gerakan menyilang, agar terjadi harmonisasi
dan optimalisasi kinerja otak kanan dan otak kiri. (Budhi, 2010). Sedangkan Brain
gym menurut Dennison (2008) adalah program pelatihan otak yang dikembangkan
oleh Paul E. Dennison dan Gail E. Dennison sejak tahun 1970. Program ini
awalnya dirancang untuk mengatasi gangguan belajar pada anak-anak dan orang
dewasa.
Brain Gym adalah serangkaian latihan gerak yang sederhana untuk
memudahkan kegiatan belajar dan penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari.Brain
Gym adalah serangkaian gerak sederhana yang menyenangkan dan digunakan
para murid di Educational Kinesiology (Edu-K) untuk meningkatkan kemampuan
belajar mereka dengan menggunakan keseluruhan otak (Paul & Gail, 2002).
Gerakan-gerakan ini membuat segala macam pelajaran menjadi lebih
mudah, dan terutama sangat bermanfaat bagi kemampuan akademik.Educational
Kinesiology adalah suatu sistem yang dapat mengubah semua pelajar, umur
berapa saja, dengan cara menarik keluar atau menampilkan potensi yang terkunci
di dalam tubuhnya, melalui gerakan-gerakan sederhana yang memungkinkan
orang menguasai bagian otak yang semula terkunci tersebut.

2.2.2 Sejarah Perkembangan Brain Gym


Senam otak ini ditemukan oleh Paul E. Denisson Ph.D, seorang ahli otak
dan pelopor dalam penerapan penelitian otak dari lembaga Educational
Kinesiology Amerika Serikat bersama istrinya Gail E. Denisson seorang mantan
penari pada tahun 1970. Awalnya Brain Gym digunakan oleh siswa-siswa Paul E.
Denisson Ph.D. di Educational Kinesiology (Edu K) yaitu anak-anak yang
mengalami sakit ADD (Attention Deficit Disorder), hiperaktif, kerusakan otak, yang
mengalami kesulitan konsentrasi dan depresi , namun dalam perkembangan
selanjutnya Brain gym digunakan untuk bermacam-macam kegunaan. Bahkan
orang yang lanjut usia yang sudah kehilangan kewaspadaan serta refleksnya,
dapat dibangkitkan kembali lewat Brain Gym untuk meningkatkan pengalaman
belajar dengan keseluruhan otak.
Di Amerika dan Eropa Brain Gym sudah populer, karena terbukti
manfaatnya dan juga gerakan- gerakan yang mudah dilakukan. Di Indonesia Brain
Gym belum populer, buku Brain Gym sendiri baru dapat dinikmati oleh pembaca di
Indonesia sejak Juni 2002.

2.2.3 Prinsip Brain Gym


Menurut Dr. Ruswaldi Munir, Sp.KO., Brain gym tidak saja akan
memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak, tetapi juga gerakan-gerakan yang
bisa merangsang kerja dan berfungsinya otak secara optimal. Pada Brain gym
akan didapatkan kebugaran otak yang ditandai dengan aliran darah menuju otak
lancar atau pasokan Volume O2 maksimal memadai. Volume O2 maksimal
merupakan kemampuan pengambilan oksigen oleh jantung dan paru-paru,
sehingga aliran darah ke semua jaringan tubuh termasuk otak lebih banyak dan
mempengaruhi otak untuk bekerja maksimal.
Gerakan Brain Gym dibuat untuk menstimulasi (dimensi lateralitas),
meringankan (dimensi pemfokusan), atau merelaksasi (dimensi pemusatan) siswa
yang terlibat dalam situasi belajar tertentu. Otak manusia seperti hologram, terdiri
dari tiga dimensi dengan bagian-bagian yang saling berhubungan sebagai satu
kesatuan. Pelajaran lebih mudah diterima apabila mengaktifkan sejumlah panca
indera daripada hanya diberikan secara abstrak saja. Akan tetapi otak manusia
juga spesifik tugasnya, untuk aplikasi gerakan Brain Gym dipakai istilah dimensi
lateralitas untuk belahan otak kiri dan kanan, dimensi pemfokusan untuk bagian
belakang otak (batang otak atau brainstem) dan bagian depan otak (frontal lobes),
serta dimensi pemusatan untuk sistem limbis (midbrain), dan otak besar (cerebral
cortex).
Paul Dennison, pelopor dalam bidang penelitian otak terapan menemukan
bahwa urutan tertentu dari gerakan-gerakan lengan dan kaki akan memberikan
sinyal pada otak untuk menyeimbangkan kegiatan-kegiatan belahan otak kanan
dan kiri, membantu menguatkan integrasi dan komunikasi diantara keduanya.
Gerakan-gerakan sederhana latihan senam otak (brain gym) dapat
menyeimbangkan kembali fungsi-fungsi otak dan dapat mengisi ulang tenaga.
(Barbara Prashnig, 2012).
2.2.4 Tujuan Brain Gym
Kegiatan brain gym bertujuan untuk mengintregasikan setiap bagian otak
untuk membuka bagian otak yang sebelumnya tertutup atau terhambat.
Ketidakselarasan kerja otak juga akan mengakibatkan anak mengalami berbagai
hambatan, terutama pada proses belajar. Gerakan Brain Gym apabila dilakukan
secara teratur dapat menurunkan kecemasan saat menghadapi ujian, mengatasi
lupa karena gugup, dan memberikan rasa tenang dan nyaman bagi anak.

2.2.5 Manfaat Brain Gym


Menurut Ayinosa (2009), selain dapat meningkatkan kemampuan belajar,
Brain Gym dapat memberikan beberapa manfaat yaitu berupa: (1) Stress
emosional berkurang dan pikiran lebih jernih; (2) Hubungan antarmanusia dan
suasana belajar/kerja lebih relaks dan senang; (3) Kemampuan berbahasa dan
daya ingat meningkat; (4) Orang menjadi lebih bersemangat, lebih kreatif, dan
efisien; (5) Orang merasa lebih sehat karena stress berkurang; dan (6) Prestasi
belajar dan bekerja meningkat.
Sedangkan menurut Fanny (2009), banyak manfaat yang bisa diperoleh
dengan melakukan Brain Gym. Gerakan-gerakan ringan dengan permainan
melalui olah tangan dan kaki dapat memberikan rangsangan atau stimulus pada
otak. Gerakan yang menghasilkan stimulus itulah yang dapat meningkatkan
kemampuan kognitif (kewaspadaan, konsentrasi, kecepatan, persepsi, belajar,
memori, pemecahan masalah, dan kreativitas), menyelaraskan kemampuan
beraktivitas dan berfikir pada saat yang bersamaan, meningkatkan keseimbangan
atau harmonisasi antara kontrol emosi dan logika, mengoptimalkan fungsi kinerja
panca indera, menjaga kelenturan dan keseimbangan tubuh, meningkatkan daya
ingat dan pengulangan kembali terhadap huruf/angka (dalam waktu 10 minggu),
meningkatkan ketajaman pendengaran dan penglihatan, mengurangi kesalahan
membaca, memori, dan kemampuan komperhensif pada kelompok dengan
gangguan bahasa, hingga mampu meningkatkan respon terhadap rangsangan
visual.
Orang yang sulit belajar, akan berusaha terlalu keras sehingga terjadi
stress di otak sehingga mekanisme integrasi otak melemah sehingga bagian-
bagian otak tertentu kurang berfungsi. Mengatasi hal diatas dapat dilakukan
dengan tes otot dan Brain Gym. Test otot berguna untuk mengetahui hambatan-
hambatan di dalam tubuh yang berpengaruh pada kemampuan belajar dan daya
tangkap. Brain Gym membuka bagian-bagian otak yang sebelumnya tertutup atau
terhambat sehingga kegiatan belajar atau bekerja dapat menggunakan seluruh
otak atau whole brain learning (Ayinosa, 2009).
Brain Gym dapat mengaktifkan otak sehingga mampu berfungsi dengan
lebih baik. Brain Gym telah diakui sebagai salah satu teknik belajar yang paling
baik oleh “National Learning Foundation USA” (Ayinosa, 2009) karena Brain Gym
ini memberikan keuntungan yaitu : (1) Memungkinkan belajar dan bekerja tanpa
stress; (2) Dapat dilakukan dalam waktu singkat yaitu kurang dari 5 menit; (3)
Tidak memerlukan bahan atau tempat yang khusus; (4) Dapat dipakai dalam
semua situasi belajar/bekerja juga dalam kehidupan sehari-hari; (5) Meningkatkan
kepercayaan diri; (6) Menunjukkan hasil dengan segera; (7) Sangat efektif dalam
penanganan seorang yang mengalami hambatan dan stress belajar; (8)
Memandirikan seorang dalam belajar dan mengaktifkan seluruh potensi dan
keterampilan yang dimiliki oleh seseorang.

2.2.6 Indikasi
Brain gym dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.
Brain gym dapat dilakukan pada anak-anak usia sekolah yang mengalami
kesulitan dalam menghapal angka/numerik/matematika. Brain gym ini juga dapat
dilakukan pada lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau demensia, juga
pada lansia yang mengalami penyakit Alzheimer.

2.2.7 Persiapan
1. Brain gym dapat digabung atau dihantarkan dengan musik yang
menyenangkan, berirama tenang atau disukai anak, sehingga membuat anak
lebih rileks.
2. Membuat situasi ruangan yang menyenangkan dan nyaman untuk anak
3. Gunakan baju yang nyaman untuk bergerak.
4. Karena tubuh kita 70% lebih mengandung air, maka minum air putih sebagai
langkah pendahuluan sangat disarankan.
5. Pemimpin kelompok/ orangtua harus dalam keadaan rileks dan
menyenangkan saat memberikan pelatihan kepada anak.
6. Mintalah agar semua peserta duduk dalam lingkaran sehingga mereka bisa
saling berhadapan, diatas lantai, atau kursi. Kemudian, pemimpin kelompok
memulai proses yang akan menjadi ritual.

2.2.8 Prosedure Pelaksanaan


1. Waktu yang Dibutuhkan dalam Brain Gym
Brain gym juga sangat praktis, karena bisa dilakukan di mana saja, kapan saja
oleh siapa saja. Porsi latihan yang tepat adalah sekitar 10-15 menit, sebanyak
2-3 kali dalam sehari.

2. Batasan Usia dalam Brain Gym


Brain gym tidak saja berguna untuk anak-anak, juga dapat dilakukan oleh
segala umur baik lansia, dewasa, maupun remaja.
3. Aturan dalam Brain Gym
Menurut Ag Masykur & Fathani (2008), sebelum memulai brain
gymharus menjalani PACE. PACE adalah empat keadaan yang diperlukan,
untuk dapat belajar dan berpikir dengan menggunakan seluruh otak. PACE
merupakan singkatan dari positif, aktif, clear (jelas), dan energetis. Untuk
menjalankan PACE ini, harus memulainya dengan energetis (minum air), clear
(melakukan pijat saklar otak), aktif (melakukan gerakan silang), positif
(melakukan kiat rileks), dan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan senam yang
lain.
Brain Gym adalah gerakan repatterning yang memerlukan pengulangan
dan konsentrasi. Sebaiknya lakukan 3 kali dalam sehari yang disesuaikan
dengan rutinitas anak, misalnya pada saat pagi hari, sesudah mandi, siang
hari sesudah istirahat siang, dan sore hari. Selain itu, di setiap gerakan juga
terdapat pengulangan gerakan. Sebaiknya gerakan dilakukan dalam keadaan
rileks. Hindari memaksa anak yang berakibat kehilangan minat.
Pada anak-anak, Brain gym bisa dilakukan dalam konteks bermain.
Orang tua juga harus merasa nyaman, tenang, dan aman ketika memandu
anak. Sehingga gerakan dapat mudah diikuti anak. Mulailah dengan langkah-
langkah sederhana. Ajak anak mempelajari gerakan per gerakan dalam
jangka waktu tertentu. Misalnya pengulangan satu gerakan di minggu
pertama, lalu gerakan berikutnya di minggu ke-2, dan sebagainya.
2.2.9 Gerakan pada Brain Gym
Menurut Denisson (2008,) otak dibagi ke dalam tiga fungsi sehingga
gerakan pada senam otak dibagi berdasarkan 3 fungsi tersebut.
1. Dimensi Lateralis
Sisi tubuh manusia dibagi dalam sisi kiri dan sisi kanan. Otak bagian kiri
aktif bila sisi kanan tubuh digerakkan dan otak bagian kanan aktif apabila sisi
kiri tubuh digerakkan. Kemampuan belajar paling tinggi apabila kedua belahan
otak bekerja sama dengan baik. Gerakan menyeberang garis tengah
mengaktifkan kerjasama tersebut. Gerakan untuk menyeberang garis tengah
menyangkut: Sikap positif, mendengar, melihat menulis, bergerak. Beberapa
contoh gerakan Dimensi lateralitas yaitu :
Gerakan menyeberang garis tengah (Midline Movements)

Gambar di atas menjelaskan tentang kedua belahan otak. Belahan kiri


aktif bila menggunakan badan sisi kanan. Belahan kanan aktif bila
menggunakan badan sisi kiri. Membayangkan huruf X akan memberitahu otak
untuk menggunakan kedua bagian pada saat yang sama. GERAKAN
MENYEBERANG GARIS TENGAH membantu menggunakan kedua belahan
otak secara bersamaan dan harmonis.

Gerakan Silang (Cross Crawl)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Menggerakkan tangan kanan bersamaan dengan
kaki kiri dan kaki kiri dengan tangan kanan.
Bergerak ke depan, ke samping, ke belakang,
atau jalan di tempat. Untuk menyeberang garis
tengah sebaiknya tangan menyentuh lutut yang
berlawanan.
Fungsinya :
a. Meningkatkan koordinasi kiri/kanan
b. Memperbaiki pernafasan dan stamina
c. Memperbaiki koordinasi dan kesadaran tentang
Gambar 1. Gerakan Silang
ruang dan gerak.
(Cross Crawl)
d. Memperbaiki pendengaran dan penglihatan.

Delapan Tidur (Lazy 8)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Gerakan dengan membuat angka delapan tidur di
udara, tangan mengepal dan jari jempol ke atas,
dimulai dengan menggerakkan kepalan ke
sebelah kiri atas dan membentuk angka delapan
tidur. Diikuti dengan gerakan mata melihat ke
ujung jari jempol. Buatlah angka 8 tidur 3 kali
setiap tangan dan dilanjutkan 3 kali dengan kedua
tangan.
Fungsinya :
a. Melepaskan ketegangan mata, tengkuk, dan
Gambar 2.8 Tidur (Lazy 8) bahu pada waktu memusatkan perhatian dan
meningkatkan kedalaman persepsi
b. Meningkatkan pemusatan, keseimbangan dan
koordinasi.

Coretan Ganda (Double doodle)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Menggambar dengan kedua tangan pada saat
yang sama, ke dalam, ke luar, ke atas dan ke
bawah. Coretan ganda dalam bentuk nyata seperti
: lingkaran, segitiga, bintang, hati, dsb. Lakukan
dengan kedua tangan.
Fungsinya :
a. Kesadaran akan kiri dan kanan.
b. Memperbaiki penglihatan perifer
c. Kesadaran akan tubuh, koordinasi, serta
keterampilan khusus tangan dan mata.
d. Memperbaiki kemampuan olahraga dan
Gambar 3. Coretan Ganda
(Double doodle) keterampilan gerakan.

2. Dimensi Pemfokusan
Fokus adalah kemampuan menyeberangi garis tengah partisipasi yang
memisahkan bagian belakang dan depan tubuh, dan juga bagian belakang
(occipital) dan depan otak (frontal lobe). Perkembangan refleks antara otak
bagian belakang dan bagian depan yang mengalami fokus kurang
(underfocused) disebut kurang perhatian, kurang mengerti, terlambat bicara,
atau hiperaktif. Kadangkala perkembangan refleks antara otak bagian depan
dan belakang mengalami fokus lebih (overfocused) dan berusaha terlalu keras.
Gerakan-gerakan yang membantu melepaskan hambatan fokus adalah
aktivitas integrasi de-pan/ belakang. Gerakan untuk mengintegrasikan otak
depan dan otak belakang adalah Gerakan Meregangkan Otot, dengan contoh
sebagai berikut :

Burung Hantu (The Owl)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Urutlah otot bahu kiri dan kanan. Tarik napas
saat kepala berada di posisi tengah,
kemudian embuskan napas ke samping atau
ke otot yang tegang sambil relaks. Ulangi
gerakan dengan tangan kiri.
Fungsinya :
a. Melepaskan ketegangan tengkuk dan
bahu yang timbul karena stress.
b. Menyeimbangkan otot leher dan tengkuk
(Mengurangi sikap tubuh yang terlalu
condong ke depan)
c. Menegakkan kepala (Membantu
mengurangi kebiasaan memiringkan
kepala atau bersandar pada siku

Gambar 4. Burung Hantu


(The Owl)

Mengaktifkan Tangan (The Active Arm)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Luruskan satu tangan ke atas, tangan yang lain ke
samping kuping memegang tangan yang ke atas.
Buang napas pelan, sementara otot-otot diaktifkan
dengan mendorong tangan keempat jurusan
(depan, belakang, dalam dan luar), sementara
tangan yang satu menahan dorongan tsb.
Fungsinya :
a. Peningkatan fokus dan konsentrasi tanpa fokus
berlebihan
b. Pernafasan lebih lancar dan sikap lebih santai
c. Peningkatan energi pada tangan dan jari

Gambar 5. Mengaktifkan Tangan


(The Active Arm)

Lambaian Kaki (The Footflex)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Cengkeram tempat-tempat yang terasa sakit di
pergelangan kaki, betis dan belakang lutut, satu
persatu, sambil pelan-pelan kaki dilambaikan atau
digerakkan ke atas dan ke bawah.
Fungsinya :
a. Sikap tubuh yang lebih tegak dan relaks
b. Lutut tidak kaku lagi
c. Kemampuan berkomunikasi dan memberi
respon meningkat

Gambar 6. Lambaian Kaki


(The Footflex)
Luncuran Gravitasi (The Gravitational glider)
Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Duduk di kursi dan silangkan kaki. Tundukkan
badan dengan tangan ke depan bawah, buang
nafas waktu turun dan ambil nafas waktu naik.
Ulangi 3 x, kemudian ganti kaki.
Fungsinya :
a. Merelakskan daerah pinggang, pinggul dan
sekitarnya.
b. Tubuh atas dan bawah bergerak sebagai satu
kesatuan
Gambar 7. Luncuran Gravitasi
(The Gravitational glider)

Pasang kuda-Kuda (Grounder)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Mulai dengan kaki terbuka. Arahkan kaki kanan
ke kanan, dan kaki kiri tetap lurus ke depan.
Tekuk lutut kanan sambil buang napas, lalu
ambil napas waktu lutut kanan diluruskan
kembali. Pinggul ditarik ke atas. Gerakan ini
untuk menguatkan otot pinggul (bisa dirasakan
di kaki yang lurus) dan membantu kestabilan
punggung. Ulangi 3x, kemudian ganti dengan
Gambar 8. Pasang kuda-
kaki kiri.
Kuda
Fungsinya :
(Grounder)
a. Keseimbangan dan kestabilan lebih besar
b. Konsentrasi dan perhatian meningkat
c. Sikap lebih mantap dan relaks

3. Dimensi Pemusatan
Pemusatan adalah kemampuan untuk menyeberangi garis pisah antara
bagian atas dan bawah tubuh dan mengaitkan fungsi dari bagian atas dan
bawah otak, bagian tengah sistem limbis (mid brain) yang berhubungan dengan
informasi emosional serta otak besar(cerebrum) untuk berpikir yang abstrak.
Ketidakmampuan untuk mempertahankan pemusatan ditandai dengan
ketakutan yang tak beralasan, ketidakmampuan untuk menyatakan emosi.
Otak mempunyai milyaran sel kecil yang disebut neuron yang
dihubungkan dengan jalurjalur syaraf. Gerakan-gerakan yang menyambungkan
hubungan syaraf tersebut adalah gerakan-gerakan meningkatkan energi dan
penguatan sikap yang merupakan bagian dari pemusatan.
Air (Water)
Air merupakan pembawa energi listrik yang sangat baik. Dua per tiga
tubuh manusia terdiri dari air. Air dapat mengaktifkan otak untuk hubungan
elektro kimiawi yang efisien antara otak dan sistem saraf, menyimpan, dan
menggunakan kembali informasi secara efisien. Minum air yang cukup sangat
bermanfaat sebelum menghadapi test atau kegiatan lain yang menimbulkan
stress. Kebutuhan air adalah kira-kira 2 % dari berat badan per hari.
Fungsinya :
a. Konsentrasi meningkat (mengurangi kelelahan mental)
b. Melepaskan stres, meningkatkan konsentrasi dan keterampilan sosial.
c. Kemampuan bergerak dan berpartisipasi meningkat.
d. Koordinasi mental dan fisik meningkat (Mengurangi berbagai kesulitan
yang berhubungan dengan perubahan neurologis)

Sakelar Otak (Brain Buttons)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Sakelar otak (jaringan lunak di bawah tulang
selangka di kiri dan kanan tulang dada), dipijat
dengan satu tangan, sementara tangan yang lain
memegang pusar.
Fungsinya :
a. Keseimbangan tubuh kanan dan kiri
b. Tingkat energi lebih baik
c. Memperbaiki kerjasama kedua mata (bisa
meringankan stres visual, juling atau
pandangan yang terus-menerus)
d. Otot tengkuk dan bahu lebih relaks

Gambar 9. Sakelar Otak


(Brain Buttons)

Tombol Bumi (Earth Buttons)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Letakkan dua jari dibawah bibir dan tangan yang
lain di pusar dengan jari menunjuk ke ba-
wah.Ikutilah dengan mata satu garis dari lantai
ke loteng dan kembali sambil bernapas dalam-
dalam. Napaskan energi ke atas, ke tengah-
tengah badan.
Fungsinya :
a. Kesiagaan mental (Mengurangi kelelahan
Gambar 10. Tombol Bumi mental)
(Earth Buttons) b. Kepala tegak (tidak membungkuk)
c. Pasang kuda-kuda dan koordinasi seluruh
tubuh

Tombol imbang (Balance Buttons)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Sentuhkan 2 jari ke belakang telinga, di lekukan
tulang bawah tengkorak dan letakkan tangan
satunya di pusar. Kepala sebaiknya lurus ke
depan, sambil nafas dengan baik selama 1 menit.
Kemudian sentuh belakang kuping yang lain.
Fungsinya :
a. Perasaan enak dan nyaman
b. Mata, telinga dan kepala lebih tegak lurus pada
bahu
c. Mengurangi fokus berlebihan pada sikap tubuh
Gambar 11. Tombol imbang
(Balance Buttons)

Tombol Angkasa (Space Buttons)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Letakkan 2 jari di atas bibir dan tangan lain pada
tulang ekor selama 1 menit, nafaskan energi ke
arah atas tulang punggung.
Gambar 12. Tombol Angkasa Fungsinya :
(Space Buttons) a. Kemampuan untuk relaks
b. Kemampuan untuk duduk dengan nyaman
c. Lamanya perhatian meningkat
Pasang Telinga (The Tinking Cap)
Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Pijit daun telinga pelan-pelan, dari atas sampai ke
bawah 3x sampai dengan 5x.
Fungsinya :
a. Energi dan nafas lebih baik
b. Otot wajah, lidah dan rahang relaks.
c. Fokus perhatian meningkat
d. Keseimbangan lebih baik

Gambar 13. Pasang Telinga


(The Tinking Cap)

Kait relaks (Hook-Ups)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Pertama, letakkan kaki kiri di atas kaki kanan, dan
tangan kiri di atas tangan kanan dengan posisi
jempol ke bawa, jari-jari kedua tangan saling
menggenggam, kemudian tarik kedua tangan ke
arah pusat dan terus ke depan dada. Tutuplah
mata dan pada saat menarik napas lidah
ditempelkan di langit-langit mulut dan dilepaskan
lagi pada saat menghembuskan napas. Tahap
kedua, buka silangan kaki, dan ujung-ujung jari
Gambar 14. Kait relaks
kedua tangan saling bersentuhan secara halus, di
(Hook-Ups)
dada atau dipangkuan, sambil bernapas dalam 1
menit lagi.
Fungsinya :
a. Keseimbangan dan koordinasi meningkat
b. Perasaan nyaman terhadap lingkungan sekitar
(Mengurangi kepekaan yang berlebihan)
c. Pernafasan lebih dalam

Titik Positif (Positive Point)


Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya
Cara melakukan gerakan :
Sentuhlah titik positif dengan kedua ujung jari
tangan selama 30 detik sampai dengan 30 menit.

Fungsinya :
a. Mengaktifkan bagian depan otak guna
menyeimbangkan stres yang berhubungan
dengan ingatan tertentu, situasi, orang, tempat
dan ketrampilan
b. Menghilangkan refleks
Gambar 15. Titik Positif c. Menenangkan pada saat menghadapi tes di
(Positive Point) sekolah dan dalam penyesuaian sehari-hari.
BAB III
METODE DAN TELAAH JURNAL

3.1 JURNAL UTAMA


3.1.1 Identitas Jurnal
1. Authors : Abdullah Hanafi, Agus Sudaryanto, Dian Nur Wulanningrum
2. Title : Pengaruh Terapi Brain Gym Terhadap Peningkatan Fungsi
Kognitif Pada Lanjut Usia Di Posyandu LanjutUsia Desa
Pucangan Kartasura
3. Source : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
4. Publisher : http://www.ums.ac.id
5. Publication Type : Article Journal
6. Language : Indonesia

3.1.2 Latar Belakang


Proses menua atau aging adalah suatu proses alami pada semua makhluk
hidup. Menjadi tua (aging) merupakan proses perubahan biologis secara terus
menerus yang dialami manusia pada semua tingkat umur dan waktu. Masa usia
lanjut memang masa yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun khususnya bagi
yang dikaruniai umur panjang, yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah
menghambat proses menua agar tidak terlalu cepat, karena pada hakikatnya
dalam proses menua terjadi suatu kemunduran atau penurunan (Suardiman,
2011).Di Indonesia jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih
19 juta, usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 sebesar 23,9 juta
(9,77%), usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan
sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Dari jumlah
tersebut, pada tahun 2010, jumlah penduduk Lansia yang tinggal di perkotaan
sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di perdesaan sebesar 15.612.232
(9,97%) (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2009).
Dapat kita ketahui jumlah lansia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini dipengaruhi oleh majunya pelayanan kesehatan, menurunnya
angka kematian bayi dan anak, perbaikan gizidan sanitasi dan meningkatnya
pengawasan terhadap penyakit infeksi. Dapat di simpulkan seiring dengan angka
peningkatan orang usia lanjut, maka angka lansia yang mengalami penurunan
fungsi kognitif juga meningkat. Salah satu cara untuk mempertahankan fungsi
kognitif pada lansia adalah dengan cara menstimulasi otak dan diistirahatkan
dengan tidur, kegiatan seperti membaca, mendengarkan berita dan cerita melalui
media sebaiknya dijadikan sebuah kebiasaan hal ini bertujuan agar otak tidak
beristirahat secara terus menerus serta permainan yang prosedurnya
membutuhkan konsentrasi atau atensi, orientasi (tempat, waktu, dan situasi) dan
memori. Menurut para ahli senam otak dari lembaga di Educational Kinesiology
Amerika Serikat Paul E.Denisson Ph.,D., meski sederhana, Brain Gym mampu
meningkatkan kemampuan kognitif Lansia. Gerakan–gerakan dalam Brain Gym
digunakan oleh para murid di Educational Kinesiology,USA (Franc, 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh dari puskesmas Kelurahan Pucangan
Kartasura, pada Bulan Februari 2014, data terakhir jumlah lansia di Kelurahan
Pucangan sebanyak 1.194 lansia dan khusus lanjut usia yang berusia 65 -70
tahun sebanyak 286 orang lansia, yang terbagi dalam 12 posyandu. Berdasarkan
survei pendahuluan terhadap 10 lansia usia diatas 65 tahun yang melakukan test
Mini Mental State Examination (MMSE) didapatkan hasil, 6 lansia mengalami
Definitif Kognitif (Berat), 2 orang mengalami problem kognitif (Sedang) dan 2
orang lansia tidak mengalami gangguan fungsi kognitif (Normal). Tujuan dari
penelitian ini yaitu Untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi brain gym
terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia diposyandu lansia kelurahan
pucangan kartasura.

3.1.3 Metode Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, dimana rancangan
yang digunakan penelitian dalah True Quasi Experimen Design dengan Pretest-
Posttest Control Grup Design. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 286 orang
lansia yang berusia 65 -70 tahun. yang di bagi dalam 2 kelompok eksperimen dan
kontrol dan mengalami gangguan fungsi kognitif. Waktu penelitian dilakukan pada
tanggal 2 – 8 Juli 2014. Variabel independen dalam penelitian ini adalah senam
otak Brain Gym yang akan dilakukan kepada lansia yang berusia 65-70 tahun
yang mengalami gangguan fungsi kognitif.
Variabel dependen adalah Variabel dependent dalam penelitian ini adalah
peningkatan fungsi kognitif pada lansia yang berusia 65-70 tahun yang mengalami
gangguan fungsi kognitif yang telah diberi Brain Gym dan dilakukan setiap hari
selama satu minggu. Analisa data menggunakan uji paired sample t-test.

3.1.4 Hasil Penelitian


Karakteristik responden dalam penelitian ini membahas tentang umur dan
jenis kelamin pada lansia diposyandu lansia Desa Pucangan, Kartasura yang
terbagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan
dengan pemberian intervensi senam otak (brain gym) dan kelompok control tanpa
diberikan perlakuan.
Tabel 3.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden menurut
kelompok umur dan jenis kelamin

Dari tabel 3.1. diperoleh distribusi umur responden pada kelompok


eksperimen mayoritas mempunyai umur 65 tahun yaitu sebanyak 6 orang (60%),
sedangkan pada distribusi umur responden pada kelompok kontrol mayoritas
mempunyai umur 65 tahun yaitu sebanyak 4 orang (40%).Fungsi kognitif pada
lansia yang berusia lebih dari 60 tahun yang mengalami gangguan fungsi kognitif
yang telah diberi Brain Gym diperoleh dari lembar observasi MMSE Brain Gym
Training baik dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan senam otak. Besaran nilai
fungsi kognitif pada lansia antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
ditampilkan dalam tabel 3.2.
Tabel 3.2 Nilai Rata-rata fungsi kognitif pada lansia di Desa
Pucangan Kartasura

Tabel 3.2. diperoleh rata-rata nilai pre test nilai fungsi kognitif kelompok
eksperimen lebih tinggi (19,00) dibandingkan kelompok kontrol (18,50), sedangkan
pada nilai rata-rata nilai post test nilai fungsi kognitif kelompok eksperimen lebih
tinggi (21,80) dibanding dengan kelompok kontrol (19,10). Berdasarkan nilai skor
yang diperoleh responden kemudian dilakukan kategorisasi nilai fungsi kognitif
sesuai dengan definisi operasional yaitu berupa skala numerik.
1. Uji Normalitas Data
Pengujian normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Suatu data dinyatakan normal jika memiliki nilai probabilitas (p-value) lebih
besar dari 0,05. Hasil uji normalitas data variable pengetahuan ditampilkan
pada table 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.3. Hasil Uji Normalitas Data

Hasil uji normalitas diketahui bahwa kedua data penelitian memiliki


nilai probabilitas (p value) lebih besar dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan
bahwa data penelitian tersebut berdistribusi normal. Oleh karena itu untuk
menganalisis dalam rangka pembuktian hipotesis menggunakan analisis
paired-sample t-test.
2. Uji beda rata-rata kemampuan kognitif lansia antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dilakukan Brain Gym
Hasil uji beda rata-rata fungsi kognitif kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol sebelum dilakukan terapi brain gym ditampilkan pada tabel
3.4.
Tabel 3.4 Uji beda rata-rata kemampuan Kognitif lansia antara
kelompok eksperimen dengan kelompok control sebelum
terapi Brain Gym di Desa Pucangan

Berdasarkan tabel 3.4. diperoleh nilai p-value = 0.704 > 0,05, hal ini
menunjukkan bahwa Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat
perbedaan kemampuan kognitif lansia antara kelompok eksperimen dan
kelompok control sebelum dilakukan terapi senam Brain Gym pada lansia di
posyandu lansia Desa Pucangan kartasura
3. Rata-rata Pre Test dan PostTest Fungsi Kognitif kelompok Eksperimen
dan Kontrol.
Untuk mengetahui nilai ratarata pretest dan posttest fungsi kognitif
kelompok eksperimen dan kontrol menggunakan uji statistic paired sample t-
testditampilkan dalam tabel 3.5
Tabel 3.5 Rata-rata antara pre test dan posttest fungsi kognitif
kelompok eksperimen dan kontrol.

Tabel 3.5. diperoleh hasil uji paired simple t-test pada kelompok
eksperimen nilai p-value = 0,002 <0,05, hal ini menunjukkan Ho ditolak,
sehingga disimpulkan ada perbedaan rata-rata nilai fungsi kognitif responden
pada kelompok eksperimen antara sebelum dan sesudah mendapatkan terapi
brain gym. Hasil uji paired simple t-testpada kelompok kontrol diperoleh nilai
p-value = 0,024 < 0,05, sehingga Ho tolak, sehingga dapat disimpulkan tidak
ada perbedaan rata-rata nilai fungsi kognitif responden pada kelompok
kontrol.
4. Uji beda rata-rata kognitif lansia antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol setelah dilakukan terapi Brain Gym.
Hasil uji beda pengaruh terapi brain gym terhadap peningkatan fungsi
kognitif lanjut usia di Posyandu Lanjut Usia Kelurahan Pucangan Kartasura
antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol ditampilkan pada tabel
3.6
Tabel 3.6.Uji beda rata-rata kemampuan Kognitif lansia antara
kelompok eksperimen dengan kelompok control setelah terapi
Brain Gym di Desa Pucangan.

Berdasarkan tabel 3.6 diperoleh nilai p-value = 0.038 > 0,05, hal ini
menunjukkan bahwa Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan
kemampuan kognitif lansia antara kelompok eksperimen dan kelompok control
setelah dilakukan terapi senam Brain Gym pada lansia di posyandu lansia Desa
Pucangan kartasura.
3.1.5 Pembahasan
A. Tingkat Kognitif Lansia Sebelum Dilakukan Brain Gym
Fungsi kognitif lansia pada responden kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi Brain Gym, didapatkan bahwa
dari 10 reponden paling banyak dalam status fungsi kognitif kategori probable
6 orang (60%). Sedangkan responden dengan status fungsi kognitif kategori
definitif 4 orang (40%). Lansia dalam status fungsi kognitif probable mayoritas
berusia 65 tahun. Sedangkan lansia dalam status fungsi kognitif definitive
mayoritas berusia 70 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat menunjukkan
bahwa sebagian besar lansia telah mengalami penurunan fungsi kognitif.
Padila, (2013) menyebutkan semakin bertambahnya umur manusia, terjadi
proses penuaan secara generatif yang berdampak pada perubahan-
perubahan pada manusia, salah satunya adalah perubahan fungsi kognitif.
Perubahan fungsi kognitif terjadi pada memory, IQ (Intelegent quocient),
kemampuan belajar, kemampuan pemahaman, pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, kebijaksanaan dan kinerja.

B. Tingkat Kognitif Lansia Setelah Dilakukan Brain Gym di posyandu lansia


Desa Pucangan, Kartasura.
Peningkatan fungsi kognitif lansia pada responden kelompok
eksperimen setelah dilakukan intervensi Brain Gym, didapatkan bahwa dari 10
reponden paling banyak dalam status fungsi kognitif kategori probable 6 orang
(60%). Fungsi kognitif sesudah diberikan intervens Brain Gym pada definitif
menurun menjadi 1 orang (post test). Fungsi kognitif kategori probable dari
pre test 6 dan pada post test tetap 6 orang, sedangkan kognitif kategori
normal meningkatmenjadi 3 orang (post test).Meskipun terdapat
peningkatanstatus fungsi kognitif tetapi sebagian besar responden masih
dalam kategori probable. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat di
diketahui bahwa terdapat peningkatan fungsi kognitif pada lansia setelah
dilakukan Brain Gym.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi Brain Gym yang dilakukan
secara rutin dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lansia. Markam (2005)
mengemukakan bahwa pemeliharaan otak secara fungsional dapat dilakukan
dengan berbagai proses belajar, di antaranya dengan belajar gerak, belajar
mengingat, belajar merasakan dan sebagainya. Semua proses belajar
tersebut akan selalu merangsang pusat-pusat otak (brain learning
stimulation), yang di dalamnya terdapat pusat-pusat yang mengurus berbagai
fungsi tubuh. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Dennison (2006)
bahwa senam otak (Brain Gym) adalah serangkaian gerak sederhana yang
menyenangkan dan digunakan dari berbagai usia dan gerakan-gerakan pada
brain semua bagian otak untuk meningkatkan kemampuan kognitif. Terdapat
kekurangan yang menjadikan hasil dari penelitian ini kurang memperoleh hasil
maksimal yaitu pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada saat bulan puasa
sehingga kemungkinan besar responden dalam melakukan latihan senam
Brain Gym kurang berkonsentrasi. Konsentrasi didukung oleh kondisi fisik
atau kondisi biologis seseorang yang masih sangat berpengaruh pada kondisi
psikologis orang tersebut, sehingga peneliti tidak dapat menentukan kondisi
yang baik saat pelatihan pada masing-masing subjek (Nuryana, 2010).
Setelah membandingkan teori dengan hasil penelitian yang ada, maka
peneliti berpendapat bahwa kegiatan senam otak yang dilakukan secara
teratur dapat mengaktifkan tiga dimensi otak. Dimensi pemusatan dapat
meningkatkan aliran darah ke otak, meningkatkan penerimaan oksigen
(mengharmonisasikan emosi dan pikiran rasional), dimensi lateralis akan
menstimulasi koordinasi kedua belahan otak yaitu otak kanan dan otak kiri
(memperbaiki pernafasan, stamina, melepaskan keregangan, mengurangi
kelelahan dan lain-lain), dimensi pemfokusan untuk melepaskan hambatan
fokus dari otak (memperbaiki kurang perhatian, kurang konsentrasi dan
lainlain) sehingga dapat menyebabkan fungsi kognitif lansia meningkat.
Sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa senam otak Brain Gym dapat
meningkatkan fungsi kognitif lansia sehingga dapat bermanfaat dalam
meminimalkan penurunan fungsi kognitif.
3.1.6 Simpulan Dan Saran
A. Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah :
1. Hasil pre test fungsi kognitif pada kelompok eksperimen
maupun kelompok control mayoritas Problem yaitu masing-masing 40,0%
pada kelompok eksperimen dan 60,0% pada kelompok kontrol. Hasil post
test fungsi kognitif responden kelompok eksperimen maupun kelompok
control mayoritas pada kategori Problem yaitu masing-masing sebesar
60,0% pada kelompok eksperimen dan 60% pada kelompok kontrol.
2. Ada perbedaan rata-rata nilai fungsi kognitif responden
pada kelompok kontrol antara sebelum dan sesudah mendapatkan terapi
brain gym (kelompok eksperimen = 0,002 dan kelompok kontrol = 0,024).
3. Terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok control setelah intervensi Brain Gym
dilakukan (p-value = 0,038).
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang diambil, peneliti memberikan saran
1. Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan terapi Brain Gym menjadi kegiatan rutin kelompok lansia
sebagai tindakan untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia.
2. Bagi institusi pendidikan keperawatan
Institusi pendidikan keperawatan, hendaknya memasukan Brain Gym
atau latihan otak dalam program perencanaan kegiatan di institusi
kesehatan misalnya di puskesmas maupun di posyandu lansia.
3. Bagi Peneliti selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
kelanjutan penelitian. Dan untuk kesempurnaan penelitian ini hendaknya
dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan
fungsi kognitif.
3.2 JURNAL PEMBANDING
3.2.1 Identitas Jurnal
1. Authors : Ah. Yusuf, Retno Indarwati, Arifudin Dwi Jayanto
2. Title : SENAM OTAK MENINGKATKAN FUNGSI KOGNITIF LANSIA
(Brain Gym Improves Cognitive Function for Elderly)
3. Source : Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Kampus C
Mulyorejo Surabaya
4. Publisher : https://www.researchgate.net/publication/327392930
5. Publication Type : Article Journal
6. Language : Indonesia

3.2.2 Latar Belakang


Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologi, berlangsung secara
alamiah, terus-menerus dan berkelanjutan yang dapat menyebabkan perubahan
anatomis, fisiologis, biokemis pada jaringan tubuh sehingga memengaruhi fungsi,
kemampuan badan dan jiwa (Constantinides, 1994 dalam Darmojo, 1999). Lansia
mengalami kemunduran sel karena proses penuaan yang berakibat kelemahan
organ, kemunduran fisik dan penyakit degeneratif. Kemampuan kognitif yang
menurun sering dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar
terjadi pada mereka yang berusia lanjut. Penurunan kemampuan kognitif tersebut
ditandai dengan banyak lupa merupakan salah satu gejala awal kepikunan yang
terjadi pada lansia. Dampak lanjut dari kemunduran fungsi kognitif umumnya akan
terjadi demensia. Demensia merupakan penyakit degenerative akibat kematian sel
yang meliputi kemunduran daya ingat dan proses berpikir. Menurut Kitchin (1994)
kemampuan kognitif merupakan kemampuan mental untuk mengonstruksikan atau
mampu memprediksikan suatu lingkungan, serta menciptakan suatu matriks dari
berbagai pengalaman lingkungan di mana pengalaman baru dapat diintegrasikan
ke dalamnya (Kompas, 2004).
Pada beberapa lansia proses penuaan menjadi sebuah beban. Lansia juga
mulai kehilangan kemandirian, baik secara fisik misal keterbatasan gerak, dan
secara psikologis misal kerusakan kognitif (Watson, 2003). Pada umumnya
setelah orang memasuki lansia makaakan mengalami penurunan fungsi kognitif
dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, orientasi, pemahaman,
pengertian dan perhatian, sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia
menjadi makin lambat. Berdasarkan beberapa penelitian, penurunan kognitif pada
usia lanjut yang berumur kurang lebih 75 tahun terjadi penurunan fungsi kognitif
25% (Silvia, 2008). Brain gym (senam otak) merupakan latihan yang terangkai dari
gerakan tubuh yang dinamis, yang memungkinkan keseimbangan aktivitas kedua
belahan otak secara bersamaan. Gerakan ini merangsang seluruh bagian otak
untuk bekerja. Senam otak, mengaktifkan tiga dimensi, yakni lateralitas
komunikasi, pemfokusan-pemahaman, dan pemusatan-pengaturan (Dennison,
2002). Dampak positif senam otak pada lansia, setelah 2 bulan pelaksanaan
senam otak terjadi peningkatan fungsi memori, konsentrasi, atensi dan
kewaspadaan untuk mengurangi pikun (Lihardo, 2005). Penelitian tentang
pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif belum pernah
dilakukan. Umur harapan hidup di Indonesia tahun 2000 mencapai lebih dari 70
tahun (Darmojo, 1999). Jumlah usia lanjut pada tahun 2000 sebesar 7,28% dan
diproyeksikan sebesar 11,34% pada tahun 2020 (BPS, 1992). Data USA-Bureau
of the Census, menyatakan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan
warga lansia terbesar di dunia, antara tahun 1990–2025, yaitu sebesar 414%
(Kinsella& Taeuber, 1993 dalam Darmojo, 2006). Menurut penelitian di Inggris
terhadap 10.255 orang, terdapat lansia dengan gangguan fisik seperti anthrosis
atau gangguan sendi (55%), keseimbangan berdiri (50%), fungsi kognitif pada
susunan saraf pusat (45%), penglihatan (35%), pendengaran (35%), kelainan
jantung (20%), sesak napas (20%), serta gangguan miksi (ngompol) (10%)
(Sulianti, 2000). Darmojo mengatakan, para lansia umumnya mengalami
kemunduran mental-psikologik. Hasil penelitiannya pada tahun 1997
menunjukkan, mereka yang mengalami penurunan daya ingat (kognitif) mencapai
50,3 persen, kesepian (20,4), sulit tidur (21,3), dan depresi (4,2). Itu semua
merupakan gejala dini kelainan mental (demensia) alzheimer.
Berdasarkan data di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Lamongan
didapatkan, bahwa sampai bulan November tahun 2008 jumlah penghuni panti
sebanyak 47 lansia. Berdasarkan tes MMSE yang dilakukan untuk mengetahui
kemampuan kognitif lansia, didapatkan hasil sebanyak 30 lansia yang mengalami
penurunan kognitif sampai usia 75 tahun. Korteks serebral adalah daerah otak
yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Perubahan dalam sistem
neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial
10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Sistem neurologis terutama
otak adalah suatu faktor utama dalam penuaan yang adaptif. Neuron menjadi
semakin kompleks dan tumbuh seiring kita dewasa, tetapi neuron tersebut tidak
dapat mengalami regenerasi. Penelitian yang dilakukan dewasa ini pada otak
menunjukkan bahwa walaupun neuron mengalami kematian, hubungan di antara
sel yang tersisa meningkat dan mengisi kekosongan tersebut. Keadaan ini
mendukung kemampuan lansia untuk terus terlibat dalam tugas kognitif seperti
yang dilakukannya pada beberapa tahun sebelumnya, walaupun secara perlahan.
Perubahan struktural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun
bagian lain dari sistem saraf pusat (SSP) juga terpengaruh. Perubahan ukuran
otak yang diakibatkan oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak
(Stanley, 2006). Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada penuaan
antara umur 30 sampai 70 tahun (Darmojo, 2006). Dari banyak penelitian diterima
secara luas bahwa kecepatan memproses informasi mengalami penurunan pada
masa dewasa akhir.
Penelitian lain membuktikan bahwa orang dewasa lanjut kurang mampu
mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatannya.
Kecepatan memproses informasi secara pelan-pelan memang akan
mengalamipenurunan pada masa dewasa akhir, namunfaktor individual
differences juga berperan dalam hal ini. Denney (1986) menyatakan bahwa
kebanyakan tes kemampuan mengingat dan memecahkan masalah mengukur
bagaimana orang dewasa lanjut melakukan aktivitas yang abstrak atau sederhana
(Juliani, 2008).
Orang yang mengalami gangguan pada system transmisi
(neurotransmitter) sel-sel saraf pusat otak nantinya dapat mengakibatkan
gangguan mental dan perilaku (mental disorder andbehaviour disorder) salah satu
akibatnya adalah Senam Otak Meningkatkan Fungsi Kognitif Lansia (Ah. Yusuf)
melemahnya fungsi kognitif yang meliputi kemampuan memecahkan masalah,
memori, perhatian dan bahasa sumber daya manusia yang bersangkutan
(Dadang, 2003). Dari penelitian diketahui bahwa ada fungsi otak yang sedikit saja
mengalami perubahan atau tidak mengalami perubahan dengan melanjutnya usia,
misalnya dalam menyimpan (storage) informasi (Lumbantobing, 2001). Tidak
hanya terdapat di Indonesia, kebanyakan orang di dunia memang hidup dengan
mengandalkan otak kiri. Jumlah mereka ada sekitar 80 sampai 85 persen.
Sebagian di antaranya memang tidak didominasi otak kiri saja, tetapi campuran
antara keduanya. Sisanya, 15–20 persen adalah para pengguna otak kanan.
Penurunan kognitif ini dapat diperbaiki dengan diberikan senam otak. Biasanya
latihan ini yang dianjurkan empat kali seminggu, masing-masing sekitar 15–20
menit.
Brain Gym mengoptimalkan otak belahan kanan secara garis besar
bertugas mengontrol badan bagian kiri, serta berfungsi untuk intuitif, merasakan,
bermusik, menari, kreatif, dan melihat keseluruhan. Otak kanan juga mendorong
manusia untuk bersosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain, serta
pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif,
kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh. Otak belahan kiri
secara garis besar bertugas mengatur badan bagian kanan yang berfungsi untuk
berpikir logis, rasional, menganalisis, kemampuan menulis dan membaca,
berbicara, berorientasi pada waktu, dan hal-hal yang rinci. Otak kiri juga
merupakan pusat matematika (Sapardjiman, 2003). Brain Gym bukanlah suatu
terapi melainkan suatu metode untuk membantu mengakses potensi otak. Prinsip
dasarnya adalah bagaimana bergerak itu bisa menstimulasi otak. Gerakan senam
otak bisa membantu menyeimbangkan kedua belahan otak, mempertajam
konsentrasi, meredakan ketegangan otot (relaksasi), mempertajam daya ingat.
Dampak senam otak tidak saja akan memperlancar aliran darah dan oksigen ke
otak, tetapi juga merangsang kedua belahan otak untuk bekerja (Sapardjiman,
2003). Menurut Sapardjiman (2003), senam otak merupakan latihan yang
terangkai dari gerakan tubuh yang dinamis, yang memengaruhi keseimbangan
aktivitas kedua belahan otak secara bersamaan.
3.2.3 Metode Penelitan
Desain penelitian yang digunakan adalah quasy-experiment pre-post test
control groupdesign. Populasi di dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang
tinggal di Panti Werdha sebanyak 47 lansia. Sampel sebanyak 30 lansia diambil
dengan purposive sampling dengan kriteria lansia berumur 60–75 tahun serta
sehatfisik dan mental. Variabel independen dalam penelitian ini metode senam
otak (Brain Gym), sedangkan variabel dependen yang digunakan fungsi kognitif
lansia. Penelitian ini akan dilaksanakan di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Lamongan pada tanggal 17 Desember 2008 sampai dengan 18 Januari 2009.
Proses pengambilan dan pengumpulan data selama penelitian diperoleh dengan
melakukan observasi. Instrumen yang digunakan untuk menilai fungsi kognitif
adalahMini Mental State Examination (MMSE).Setyopranoto & Lamsudin (1999)
dalam Santi Martini (2005) menyebutkan bahwa dalam tes MMSE ini terdapat lima
domain dari fungsi kognitif yang dinilai yaitu orientasi, registrasi, perhatian dan
berhitung serta kemampuan bahasa. Menurut McDowell et al. (1996), tes MMSE
terdiri atas 11 item yang dibagi dalam dua bagian, bagian pertama meliputi respon
verbal terhadap orientasi, memori, dan perhatian.
Bagian kedua meliputi membaca dan menulis serta kemampuan mencakup
nama, mengikuti perintah secara verbal dan tertulis, menulis kalimat, menggambar
kembali suatu poligon (Tabel 1). Nilai MMSE 27–30 = fungsi kognitif baik, nilai
MMSE 22–26 = fungsi kognitif cukup, nilai MMSE <21 = fungsi kognitif kurang.
Senam otak (Brain Gym) diajarkan kepada responden berdasarkan Standar
Operasional Prosedur (SOP). Senam otak diberikan sebanyak 4 kali dalam
seminggu selama 1 bulan dengan durasi waktu tiap pertemuan 15–20 menit.
Senam otak dilaksanakan secara berkelompok yang beranggotakan 15 orang
dengan dipimpin peneliti dan didampingi oleh pegawai panti. Post-test dilakukan
setelah 1 bulan untuk mengetahui perbedaan fungsi kognitif pada kelompok
perlakuan. Data yang telah diperoleh diuji menggunakan uji statistik wilcoxon
signed rank test dan mann-whitney u test untuk mengetahui perbedaan pos test
tingkat fungsi kognitif kelompok perlakuan dengan kelompok control dengan
tingkat kemaknaan α ≤ 0,05.

3.2.4 Hasil Penelitian


Distribusi tingkat fungsi kognitif pada lansia sebelum diberi senam otak (pre
test) pada kelompok perlakuan mayoritas yaitu sebanyak 12 lansia (80%)
mempunyai tingkat fungsi kognitif kurang, 20% cukup dan tidak ada lansia dengan
fungsi kognitif baik. Hasil pre test tingkat fungsi kognitif pada kelompok kontrol
juga didapatkan sebagian besar mempunyai tingkat fungsi kognitif kurang yaitu
sebanyak 10 lansia (66%), 27% cukup dan 7% lansia dengan fungsi kognitif baik.
Setelah diberikan perlakuan berupa senam otak selama 1 bulan terlihat
peningkatan fungsi kognitif lansia pada kelompok perlakuan. Jumlah lansia
dengan fungsi kognitif cuku meningkat menjadi 60%, sebanyak 20% lansia
mengalami peningkatan fungsi kognitif menjadi baik dan fungsi kognitif kurang
masih tetap ada sebanyak 20%. Hal yang berlawanan terlihat pada kelompok
kontrol yang tidak diberikan perlakuan berupa senam otak. Sebanyak 14 lansia
(93%) mempunyai fungsi kognitif kurang, hanya 7% lansia dengan fungsi kognitif
cukup dan tidak ada lansia dengan fungsi kognitif baik. Berdasarkan data tersebut,
hasil perhitungan uji statistik wilcoxon signed rank test menunjukkan ada pengaruh
senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia pada kelompok perlakuan.
Sedangkan hasil uji mann-whitney u-test menunjukkan perbedaan tingkat fungsi
kognitif lansia yang melakukan senam otak dan yang tidak melakukan senam otak.
(Tabel 2).

3.2.4 Pembahasan
Lansia mengalami kemunduran sel karena proses penuaan yang berakibat
kelemahan organ, kemunduran fisik, dan timbulnya penyakit degeneratif. Pada
umumnya setelah orang memasuki masa lansia maka ia akan mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Kognitif adalah kemampuan pengenalan
dan penafsiran seseorang terhadap lingkungan berupa perhatian, bahasa,
memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan. Para ilmuwan telah melakukan
penelitiandan menyimpulkan bahwa masyarakat yang mengalami penurunan
fungsi kognitif harus membuat prioritas utama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi disertai dengan berada distrata sosial
yang lebih tinggi diasumsikan dapat mengurangi penurunan kognitif
(Ahmad,2006). Berdasarkan data demografi hasil penelitian, lansia yang
mempunyai riwayat pendidikan lebih tinggi mempunyai nilai MMSE yang lebih baik
dari pada lansia yang memiliki pendidikan lebih rendah. Lansia yang memiliki nilai
MMSE baik dan cukup sebagian besar mempunyai riwayat pendidikan Sekolah
Dasar (SD) atau Sekolah Rakyat (SR).
Lansia memang cenderung mengalami penurunan fungsi memori, namun
Lesmana (2006) mengatakan bahwa penelitian menunjukkan perbendaharaan
kata lebih baik pada orang usia 70 tahun daripada 30 tahun. Batasan umur juga
memengaruhi dari tingkat fungsi kognitif lansia. Pada penelitian ini dari 30
responden yang didapat mayoritas berumur antara 60–67 tahun dengan kategori
fungsi kognitif cukup dan kurang. Menurut Lesmana, (2006) pengalaman
pekerjaan dahulu mempunyai dampak pada kualitas proses berpikir lansia. Pada
penelitian ini hampir setengah lansia mempunyai riwayat pekerjaan sebagai
petani, buruh tani, koperasidan tukang masak. Mereka masuk dalam kategori
fungsi kognitif kurang. Sedangkan lansia yang mempunyai riwayat pekerjaan lebih
baik (swasta), termasuk dalam kategori cukup. Peningkatan fungsi kognitif lebih
dominan terjadi pada lansia berumur 60–67 Tabel 2. Tingkat fungsi kognitif lansia
di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Lamongan Perlakuan Kontrol Perlakuan
Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Rerata 1,20 2,00 1,40 1,07 2,00 1,07SD 0,41
0,65 0,63 0,26 0,65 0,26p = 0,001 p = 0,025 p = 0,001 Wilcoxon Signed Rank Test
Wilcoxon Signed Rank Test Mann-Whitney U-Test Keterangan: SD = Standar
Deviasi p = signifikansi tahun, mempunyai riwayat pendidikan SD dan mempunyai
riwayat pekerjaan swasta. Rerata kenaikan skor MMSE mencapai 3–5, jika
dibandingkan dengan lansia berumur 67–75 tahun dan mempunyai riwayat
pendidikan tidak sekolah terjadi penurunan skor MMSE mencapai 1–4. Otak besar
jika dibelah menjadi otak kiri dan kanan dan dilihat dari atas tampak dipisahkan
oleh lekukan yang dalam dan memanjang disebut fissura longitudinalis. Pada
dasar lekukan terdapat sekumpulan serat yang menghubungkan kedua belahan
otak dan disebut dengan corpus callosum dan di juluki sebagai ”jembatan emas
atau golden bridge”. Senam otak dapat mencapai brain exrcise melalui gerakan
crossing the midline. Gerakan tubuh, kepala dan bola mata yang menyilang garis
tengah tubuh dapat meningkatkan potensi otak (Sidiarto, 2004).
Lansia mengalami penurunan berat otak berkisar sampai 10% pada usia
30–70 tahun. Volume otak yang berkurang sejalan dengan penuaan memengaruhi
penyusutan neuron sel-sel otak. Penyusutan neuron ini akan memengaruhi kinerja
dari korteks serebri. Sebagian besar penyimpanan informasi dan proses berpikir
terjadi di dalam korteks serebri. Penyimpanan informasi merupakan proses yang
disebut daya ingat (memori). Penurunan kemampuan korteks serebri akan
mengakibatkan gangguan sistem transmisi neurotransmitter yang dapat
mengakibatkan gangguan mental dan perilaku sehingga berakibat pada
penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif lansia dapat diberikan terapi
senam otak. Di dalam aplikasi metode senam otak terdapat dimensi pemusatan
untuk sistem limbis (midbrain) dan otak besar (cerebral cortex) (Dennison, 2008).
Di dalam korteks serebri terdapat area fungsional yang membagi fungsi dari
masing-masing hemisfer kanan dan kiri. Brain gym mengoptimalkan otak belahan
kanan yang secara garis besar bertugas mengontrol badan bagian kiri, serta
berfungsi untuk intuitif, merasakan, bermusik, menari, kreatif, dan melihat
keseluruhan. Otak kanan juga mendorong manusia untuk bersosialisasi,
komunikasi, interaksi dengan manusia lain, serta pengendalian emosi. Pada otak
kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan,
dan ekspresi tubuh. Otak belahan kiri secara garis besar bertugas mengatur
badan bagian kanan yang berfungsi untuk berpikir logis, rasional, menganalisis,
kemampuan menulis dan membaca, berbicara, berorientasi pada waktu, dan hal-
hal yang rinci. Otak kiri juga merupakan pusat matematika (Sapardjiman, 2003).
Dalam pertemuan dari berbagai area interpretasi sensorik ini terutama
berkembang pada sisi otak yang dominan yaitu sebelah sisi kiri pada hampir
semua orang dan area ini sangat berperan pada fungsi otak yang lebih tinggi
dalam bagian setiap korteks serebri, fungsi ini kita sebut ”berpikir”. Untuk proses
berpikir, pemahaman bahasa dan pola ingatan pada area fungsional korteks
serebri terdapat di area wernicke. Bila Area wernicke pada hemisfer dominan
seorang yang tumbuh dengan baik mengalami kerusakan, maka penderita akan
kehilangan hampir seluruh fungsi berpikir, pola ingatan yang berhubungan dengan
bahasa (Guyton dan Hall, 1997).
Senam otak sendiri bertujuan untuk menjaga keseimbangan kinerja antara
otak kanan dan kiri tetap optimal. Senam otak memberikan stimulus perbaikan
pada seratserat di corpus callosum yang menyediakan banyak hubungan saraf
dua arah antara area kortikal kedua hemisfer otak, termasuk hypokampus dan
amygdala. Gerakan senam otak mengaktifkan kembali hubungan sarafantara
tubuh dan otak sehingga memudahkan aliran energi elektromagnetik ke seluruh
tubuh.Gerakan ini menunjang perubahan elektrik dan kimiawi yang berlangsung
pada semua kejadian mental dan fisik (Dennison, 2008). Peranan hipokampus
dalam konsolidasi sebagai sistem referensi silang, yang mengkaitkan aspek
memori tertentu yang disimpan dibagian otak yang terpisah sehingga dapat
meningkatkan kandungan asam nukleat dalam perubahan memori neuron. Sinaps
berpengaruh dalam mengolah informasi atau data yang diterima sehingga
manusia akan menyimpan informasi dalam memorinya. Penyimpanan informasi
merupakan proses yang kita sebut daya ingat dan juga merupakan fungsi dari
sinaps. Sinaps adalah tempat hubungan Senam Otak Meningkatkan Fungsi
Kognitif Lansia (Ah. Yusuf) satu neuron dengan neuron berikutnya. Sinaps
merupakan suatu tempat yang menguntungkan untuk mengatur penghantaran
perintah. Sinaps juga berfungsi menghantarkan informasi dari satu neuron ke
neuron yang lain dengan mudah. Perbaikan fungsi sinaps dapat memengaruhi
kinerja korteks serebri yang terlibat dalam proses informasi baru sebagai jalan
menuju korteks untuk penyimpanan memori secara permanen. Korteks Serebri
merupakan lapisan luar otak yang terlibat dalam proses kognisi tingkat tinggi yang
dapat diikuti oleh peningkatan fungsi kognitif yang lain seperti orientasi, registrasi,
perhatian dan berhitung, menyebut kembali (recall), dan bahasa. Fungsi kognitif
merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, mengolah, menyimpan dan
menggunakan kembali semua masukan sensorik secara baik. Fungsi kognitif
terdiri dari unsur memperhatikan (atensi), mengingat (memori), berkomunikasi
(bahasa), bergerak (motorik) dan merencanakan/ melaksanakan keputusan
(eksekutif) (Gallo, 1998). Gangguan kognitif adalah suatu gangguan fungsi luhur
otak berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa
serta fungsi intelektual (Setyopranoto et al., 2000). Dampak positif senam otak
pada lansia, setelah 2 bulan pelaksanaan senam otak terjadi peningkatan fungsi
memori (kognitif), konsentrasi (kecerdasan), atensi dan kewaspadaan untuk
mengurangi pikun (Lihardo, 2005).

3.1.5 Kesimpulan dan Saran


A. Simpulan
Gerakan senam otak mengaktifkan kembali hubungan saraf antara tubuh
danotak sehingga memudahkan aliran energy elektromagnetik ke seluruh tubuh.
Senam otak dapat menjaga keseimbangan kinerja antara otak kanan dan kiri tetap
optimal dengan memberikan stimulus perbaikan pada serat serat di corpus
callosum dan beberapa struktur otak termasuk hipokampus dan amigdala
sehingga dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lansia.
B. Saran
Senam otak dapat dijadikan protap oleh pihak panti untuk menoptimalkan
kembali fungsi kognitif yang cenderung menurun pada masa usia lansia. Perlu
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak lain senam otak misalnya
terhadap stres pada lansia.

BAB IV
HASIL PENERAPAN JURNAL UPT PSTW PANDAAN

4.1 Hasil Pengkajian Kliendi 3 wisma pada Tanggal 10-11 Desember 2018
Jelaskan proses pengkajiannya (jumlah responden, waktu, metode pengkajian)
4.1.1 Analisa karakteristik usiaklien di UPT PSTW Pasuruan

Usia Lansia
Elderly (60-74) Old (75-90)
23

Jumlah Lansia
Chart 4.1.1.
Karakteristik usia klien

Sumber data:Buku Registrasi UPT. Pelayanan Sosial Tresna Werdha


Berdasarkan buku registrasi UPT PSTW Pasuruan jumlah klien yang
digolongkan sebagai lanjut usia (60-74th) sebanyak 23 orang, usia tua (75-90th)
sebanyak 2 orang.
4.1.2 Analisis karakteristik jenis kelamin dan lama tinggal di UPT PSTW Pasuruan
Tabel 4.1.2. Karakteristik jenis kelamin klien
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018
Karakteristik Responden Frekuensi (n) Presentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 17 78%
Perempuan 8 22%
Berdasarkan tabel diatas dapat dinyatakan bahwa sebagian besar klien di 3 wisma
(Seruni, Dahlia, Melati) berjenis kelamin laki-laki yakni 17 orang (78%) dan hanya 8 orang
(22%) berjenis kelamin perempuan.

4.1.3 Analisis karakteristik lama klien tinggal di UPT PSTW Pasuruan


Tabel 4.1.3. Karakteristik lama klien tinggal di UPT
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018
Karakteristik Responden Frekuensi (n) Presentase (%)
Lama tinggal di panti
0-5 tahun 17 78%
6-10 tahun 4 11%
> 10 tahun 4 11%
Berdasarkan tabel diatas dapat dinyatakan bahwa hasil sebagian besar lama
tinggal di panti 0-5 tahun 17 orang (78%), 6-10 tahun 4 orang (11%), dan > 10 tahun 4
orang (11%).

4.2 Data Kesehatan Saat Ini


a. Data Kesehatan saat ini di Wisma Seruni bulan Desember 2018
Data Kesehatan di Wisma Seruni Bulan Desember 2018
6

0
Hipertensi Asam Urat gangguan pndengaran gangguan pengeluaran urin

Diagram 4.1.3 Data kesehatan di wisma Seruni

Sumber data: data rekam medis poliklinik UPT PSTW Pasuruan


Berdasarkan diagram di atas,dapat diketahui bahwa dari wisma Seruni
penyakit terbanyak adalah hipertensi yakni 5 orang (55,5%), asam urat 1 orang
(11,1%), gangguan pendengaran 2 orang (22,2%). Dan gangguan pengeluaran
urin 4 orang (44,4%)

b. Prevalensi penyakit di wisma Kemuning bulan Desember 2018


Diagram 4.1.3 Prevalensi Penyakit di wisma Dahlia
Prevalensi Penyakit di Wisma Dahlia bulan Desember 2018
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Hipertensi asam urat DM katarak

Sumber data: data rekam medis poliklinik UPT PSTW Pasuruan


Berdasarkan diagram di atas,dapat diketahui bahwa dari wisma Dahlia
penyakit terbanyak adalah Hipertensi yakni 8 orang, asam urat yakni 2 orang
(25%), DM yakni 2 orang (25%), dan gangguan penglihatan/katarak 2 orang
(38%).

c. Prevalensi penyakit di wisma Mawar bulan Desember 2018


Prevalensi Penyakit di Wisma Melati Bulan Desember 2018
3.5

2.5

1.5

0.5

0
Hipertensi DM glukoma asam urat
Diagram
4.1.3 Prevalensi Penyakit di wisma Melati

Sumber data: data rekam medis poliklinik UPT PSTW Pasuruan


Berdasarkan diagram di atas,dapat diketahui bahwa dari wisma Melati
penyakit terbanyak adalah hipertensi yakni 3 orang (38%), DM yakni 1 orang
(13%), Glukoma yakni 1 orang (13%) dan asam urat yakni 1 orang (13%).

4.3 Fungsi Kemandirian (Biologis)


a. Kemampuan ADL
Kemampuan ADL
Mandiri
Ketergantungan ringan
28.00% Ketergantungan sedang
Ketergantungan berat
Ketergantungan total
72.00%

Diagram 4.4.1
Kemampuan ADL klien

Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 desember 2018

Berdasarkan diagram di atas,dapat diketahui bahwa dari wisma kelolaalan


(seruni, kemuning, dan mawar) sebagian besar mandiri dalam melakukan
aktivitas sehari-hari yakni 18 orang (72%) dan sebanyak 7 orang (28%) memiliki
ketergantungan ringan.

b. Kualitas Tidur

Kualitas tidur

Sangat baik
8.00% Baik
Kurang
28.00%
Sangat kurang
64.00%

Diagram 4.4.2
Kualitas Tidur klien
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018
Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa dari wisma
kelolaalan (seruni, kemuning, dan mawar) sebagian besar memiliki kualitas tidur
yang baik yakni 16 orang (64%), sejumlah 7 orang (28%) memiliki kualitas tidur
yang kurang dan sejumlah 2 orang (8%) memiliki kualitas tidur yang sangat
kurang.

4.4 Fungsi Intelektual (Psikologis)


a. Status Mental klien

MMSE

Tidak ada gangguan


28.00% Kognitif = 7
Gangguan Kognitif Sedang
40.00% =8
Gangguan Kognitif Berat =
10

32.00%

Diagram
4.5.1 Status Mental Klien
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan jika sebagian besar klien di


wisma seruni, dahlia, melatimengalami gangguan kognitif. Terlihat sebanyak 10
orang dari 25 orang sample atau 40% mengalami gangguan kognitif.

b. Pengkajian depresi

GDS
Depresi Ringan
28.00% Depresi Sedang

72.00%

Diagram 4.5.2 Hasil


Pengkajian GDS

Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018
Berdasarkan diagram diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
klien di wisma kemuning, mawar dan seruni mengalami depresi ringan. Terlihat
sebanyak 72% memiliki memiliki tingkat depresi ringan dan sebanyak 28%
memiliki tingkat depresi sedang.

Agama Klien

4.00% Islam =
24
Kristen =
1

96.00%
4.5 Fungsi Spiritual klien
pada 3 wisma (seruni, dahlia, melati)
Diagram 4.7.1 Agama Klien

Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar klien


menganut agama Islam sebanyak 96% (24 orang). Untuk agama Islam terdapat
kegiatan solat berjamaah di masjid setiap hari, pengajian rutin setiap jumat keliling
wisma, dan untuk katolik terdapat bimbingan keagamaan setiap hari jumat.

Skor Adaptation
12

berat sedang baik


4.6 Fungsi
psikososial (Hubungan interpersonal)

Sumber data:Berdasarkan hasil pengkajian mahasiswa menggunakan kuesioner


APGAR skor APGAR Poin Adaptasi

Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar klien


fungsi adaptationberat sebanyak 5 orang (20%), sedang sebanyak 8 orang (32%),
dan baik sebanyak 12 orang (48%).
Skor Partnership
15

6
4

berat sedang baik

Sumber data: Berdasarkan hasil pengkajian mahasiswa menggunakan kuesioner


APGAR skor APGAR Poin Partnership

Skor Growth
13

7
5

berat sedang baik


Berdasar
kan diagram diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar klien fungsi adaptation
berat sebanyak 4 orang (16%), sedang sebanyak 6 orang (24%), dan baik sebanyak
15 orang (60%).
Sumber data:Berdasarkan hasil pengkajian mahasiswa menggunakan kuesioner
APGAR skor APGAR Poin Growth

Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar klien


fungsi adaptation berat sebanyak 5 orang (20%), sedang sebanyak 7 orang (28%),
dan baik sebanyak 13 orang (52%).

Skor Affection
12

7
6

Sumber data:Berdasarkan hasil pengkajian mahasiswa menggunakan kuesioner


APGAR skor APGAR Poin Affection

Skor Resolve
16

5
4

Berdasark
an diagram diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar klien fungsi adaptation
berat sebanyak 6 orang (24%), sedang sebanyak 7 orang (28%), dan baik sebanyak
12 orang (48%).
Sumber data:Berdasarkan hasil pengkajian mahasiswa menggunakan kuesioner
APGAR skor APGAR Poin Resolve

Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar klien


fungsi adaptation berat sebanyak 5 orang (20%), sedang sebanyak 4 orang (16%),
dan baik sebanyak 16 orang (64%).

Tambahkan analisa data, rencana intervensi, implementasi dan hasil evaluasi


BAB IV: pembahasan
BAB V: penutup

Daftar Pusaka
Darmojo, 2006. Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Darmojo, 1999. Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Denisson, P. E &Denisson,G. (2006). Buku Panduan Lengkap Brain Gym Senam Otak.
Jakarta : Grasindo.
Franc, Adri Y. (2012). Memaksimalkan Otak Melalui Senam Otak (Brain Gym). Yogyakarta
: Tranova Books.
Gallo, J. J., et al., 1998. Buku Saku Gerontologi edisi 2. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C., 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 3. Jakarta:EGC.
Hawari, D., 2003. IQ, EQ, CQ, dan SQ Kriteria Sumber Daya Manusia
(Pemimpin)Berkualitas. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Juliani, 2008. Ilmu Psikologi, (online), (http://www.ilmupsikologi.com/?p=11.,
diaksestanggal 22 November 2008 jam 05.12 WIB).
Kompas, 2004. Berita Penurunan Ingatan Pada Lansia, (online),
(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0410/28/ilpeng/1352062.htm., diakses
Tanggal24 November 2008 jam 05.35 WIB).
Lesmana, 2006. Mengasah Otak pada Lansia, (online),
(http://trisna19.wordpress.com/2008/04/02/mengasah-otak-padasaat-lanjut-usia/.
Diakses tanggal21 November 2008 jam 06.56 WIB).
Lihardo, J., 2005. Penurunan Kognitif pada Lansia, (online), (http://www.info-
sehat.com/inside_level2.asp?artid=1285&secid=55&intid=6., diakses tanggal
20November jam 05.15 WIB).
Lumbantobing, S.M., 2001. Kecerdasan pada Usia Lanjut dan Dimensia. Jakarta:Fakultas
Kedokteran UniversitasIndonesia.
Lumbantobing, S.M., 2001. Neurogeriatri. Jakarta: Penerbit FKUI, hlm. 158–170.
Markam,et al. (2005).Latihan Vitalisasi Otak. Grasindo.Jakarta.
Nuryana, Aryani dan setiyo Purwanto. Efektifitas Brain Gym Ddalam Meningkatkan
Konsentrasi Belajar Pada Anak. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 12, No. 1,88-
99. Surakarta:UMS
Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Reed, Stephen K. (2011). Kognisi Teori dan Aplikasi (Edisi 7)(Aliya Tusyani, Penerjemah).
Jakarta: Salemba Humanika.
Sapardjiman, K., 2003. Senam Otak Merangsang Kecerdasan Lansia, (online),
(http://.depkes.go.id/index.php?
option=articles&task=viewarticle&artid=111&itemid=3., diakses tanggal 20
November 2008jam 05.00 WIB).
Setyopranoto et al., 2000. Peranan Stroke Iskemik Akut terhadap TimbulnyaGangguan
Fungsi Kognitif di RSUDDr. Sardjito Yogyakarta. Berkala NeuroSains 2(1), 34–227.
Sidiarto, L.D., 2004. Rekreasi Terapeutik untukWarga Senior. Disampaikan
dalamSemiloka Kesehatan dan KesejahteraanSosial Lansia, Cimahi 21
Februari2004.
Stanley, M., 2006. Perawatan pada Lansia. Jakarta: EGC.
Suardiman. S. P. (2011). Psikologi Lanjut Usia.Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Watson, R., 2003. Perawatan pada Lansia.Jakarta: EGC.

You might also like