Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
salah satu cara untuk mempertahankan fungsi kognitif pada lansia adalah
dengan cara menstimulasi otak dan di istirahatkan dengan tidur, kegiatan seperti
membaca, mendengarkan berita dan cerita melalui media. Hal ini bertujuan agar
otak tidak beristirahat secara terus menerus serta permainan yang prosedurnya
membutuhkan konsentrasi atau atensi, orientasi (tepat waktu dan situasi). sss
.Brain gym adalah serangkaian gerak sederhana yang menyenangkan dan
digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar dengan menggunakan
keseluruhan otak berkaitan erat dengan peran otak yang dapat mengembangkan
kreatifitas. Gerakan brain gym atau senam otak adalah suatu sentuhan yang bisa
merangsang dan berfungsinya otak secara optimal yaitu lebih mengaktifkan
kemampuan otak kanan dan kiri, sehingga kerjasama antara belahan otak kanan
dan kiri bisa terjalin.brain gym juga sangat praktis karena bisa dilakukan dimana
saja kapan saja terutama pada lansia yang mengalami gangguan kognitif.
Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur yang
melaksanakan tugas pelayanan dan bimbingan sosial bagi lanjut usia. Ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hak menempati
UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Pasuruan, diantaranya adalah Berjenis
kelamin laki-laki atau perempuan berusia 60 tahun keatas, masuk UPT atas
kemauan sendiri dan tidak ada unsur paksaan, berbadan sehat tidak mempunyai
penyakit menular yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari Dokter,
Direkomendasi dari kantor sosial / Pemda setempat serta Calon klien dinyatakan
lulus seleksi oleh petugas UPT.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh mahasiswa di
UPT Pelayanan Tresna Werdha Pasuruan khususnya pada ruang Melati, Dahlia,
Seruni di dapatkan 10 orang dari 25 orang sampel atau 40% mengalami gangguan
kognitif, dan sebanyak 8 orang mengalami hipertensi, 2 orang mengalami asam
urat, 2 orang mengalami diabets melitus dan 2 orang mengalami katarak.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, maka gangguan kognitif menjadi
prioritas pertama.
..sss Hasil wawancara dengan klien dan petugas UPT diketahui masalah
gangguan kognitif yang dialami klien yang menyebabkan klien sering lupa benda
pribadi, jadwal yang bukan rutinitas, kesulitan mengingat seseorang.
Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan suatu penelitian untuk mengetahui Pengaruh Terapi Brain Gym
terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di Wisma Dahlia, Wisma Melati,
Dan Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan
1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh Terapi Brain Gym terhadap peningkatan fungsi
kognitif pada lansia di Wisma Dahlia, Wisma Melati, Dan Wisma Seruni
Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui kemampuan fungsi kognitif di Wisma Dahlia, Wisma Melati, dan
Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan sebelum
dilakukan Terapi Brain Gym .
2. Mengetahui Kemampuan fungsi kognitif di Wisma Dahlia, Wisma Melati, dan
Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan setelah
dilakukan terapi Brain Gym.
3. Mengetahui Pengaruh Terapi Brain Gym terhadap peningkatan fungsi kognitif
di Wisma Dahlia, Wisma melati, Dan Wisma Seruni UPT Pelayanan Sosial
Tresna Werda Pandaan.
1.4. Manfaat
1.4.1 Bagi Masyarakat UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Masyarakat Pelayanan Sosial Tresna Werda mendapatkan terapi brain
gym.
1.4.2 Bagi Petugas UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Melalui hasil asuhan keperawatan yang dilakukan oleh mahasiswa profesi
keperawatan Universitas Brawijaya ini, diharapkan Petugas UPT Pelayanan
Sosial Tresna Werdha mendapatkan data lebih rinci tentang gangguan kognitif
klien di Pelayanan Sosial Tresna Werda Pandaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat
dibandingkan populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan
hidup dan penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan
peningkatan populasiusia lanjut 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam
waktu 50 tahun; dari 600juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada
tahun 2050 (Setiati, Siti 2013).Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai
peringkat lima besarterbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010 dan akan
meningkat dua kali lipatmenjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup
penduduk Indonesia mencapai67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6
tahun pada tahun 2020-2025.Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun 1950-
1990 dan menjadi 8% saatini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi 13%
pada tahun 2025 dan menjadi 25%pada tahun 2050. Pada tahun 2050
seperempat penduduk Indonesia merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan
seperduabelas penduduk Indonesia saat ini (Abikusno N. 2007 dalam Setiati, Siti
2013).
j. Iatrogenic
Iatrogenics (iatrogenesis), karakteristik yang khas dari pasien geriatri
yaitu multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu
mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan
antara lain efek samping danefek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat
mengancam jiwa. Pemberian obatpada lansia haruslah sangat hati-hati dan
rasional karena obat akan dimetabolismedi hati sedangkan pada lansia terjadi
penurunan fungsi faal hati sehingga terkadangterjadi ikterus (kuning) akibat
obat. Selain penurunan faal hati juga terjadi penurunanfaal ginjal (jumlah
glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar obat dikeluarkan melalui
ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat
dikeluarkandengan baik dan dapat berefek toksik.
k. Insomnia
Insomnia, dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup
yangmenyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa
penyakit jugadapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan
hiperaktivitas kelenjarthyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga dapat
menyebabkan insomnia. Jamtidur yang sudah berubah juga dapat menjadi
penyebabnya.
l. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh)
Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) banyak hal
yangmempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut
seperti atrofithymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun
tidak begitubermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit
T tetap terbentukdi jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi
pertama pada tubuhseperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan
bersin -yang berfungsimengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas-
yang melemah. Hal yangsama terjadi pada respon imun terhadap antigen,
penurunan jumlah antibodi. Segalamekanisme tersebut berakibat terhadap
rentannya seseorang terhadap agen-agenpenyebab infeksi, sehingga
penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasienlansia.
m. Impotence
Impotency (Impotensi), ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual
padausia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti
gangguan hormon,syaraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya
penis dengan darahsehingga membesar, pada gangguan vaskuler seperti
sumbatan plak aterosklerosis(juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat
aliran darah sehingga penis tidakdapat ereksi. Penyebab lainnya adalah
depresi.
n. Irritable bowel
Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-)
sehinggamenyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit).
Penyebabnya tidak jelas,tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan
pada otot polos usus besar,penyeab lain yang mungkin adalah gangguan
syaraf sensorik usus, gangguan system syaraf pusat, gangguan psikologis,
stres, fermentasi gas yang dapat merangsangsyaraf, kolitis.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital.
2) Pemeriksaan fisik tekanan darah, dilaksanakan dalam keadaan tidur,
duduk dan berdiri, masing-masing dengan selang 1-2 menit, untuk
melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik.
3) Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan sistem ini
disesuaikan dengan tingkat kemampuan pemeriksa.Yang penting adalah
pemeriksaan secara sistem ini menghasilkan dapatan ada atau tidaknya
gangguan organ atau sistem.
4) Pemeriksaan fisik dengan urutan seperti pada anamnesis penilaian
sistem, yaitu :
Pemeriksaan susunan saraf pusat (Central Nervous System).
Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut.
Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis.
Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan abdomen perlu dilakukan
dengan cermat.
Pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, gerakan dan kelainan
sendisendi perlu diperiksa :sendi panggul, lutut dan kolumna
vertebralis.
Pemeriksaan kulit-integumen, juga perlu dilakukan. Pemeriksaan fisik
perlu dilengkapi dengan beberapa uji fisik seperti “get up and go”
(jarak 3 meter dalam waktu kira-kira 20 detik), mengambil benda di
lantai, beberapa tes keseimbangan, kekuatan, ketahanan, kelenturan,
koordinasi gerakan.Bila dapat mengamati cara berjalan (gait), adakah
sikap atau gerakan terpaksa.Pemeriksaan organ-sistem adalah
melakukan pemeriksaan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki
secara sistematis (Kuswardhani, RAT. 2011).
Pemeriksaan Tambahan (Penunjang) Pemeriksaan tambahan
disesuaikan dengan keperluan penegakan kepastian diagnosis, tetapi
minimal harus mencakup pemeriksaan rutin.
a) X-foto thorax, EKG
b) Laboratorium :- DL,UL, FL
Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan yang belum jelas
atau diperlukan tindakan diagnostik atau terapi, dapat dilakukan
konsultasi (rujukan) kepada subbagian atau disiplin lain, atau
pemeriksaan dengan alat yang lebih spesifik : FNB, EKG, CT-
Scan.
c. Pengkajian Imobilisasi
Dalam mengkaji imobilisasi, perlu dilakukan anamnesis menenai
riwayat penyakit sekarang, lamanya mengalami disabilitas, penyakit yang
dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi dan obat‐obatan yang dapat
menyebabkan imobilisasi. Keluhan nyeri, skrining depresi dan rasa takut jatuh
serta pengkajian lingkungan, termasuk kunjungan rumah bila perlu, penting
dilakukan. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa status kardiopulmonal,
pemeriksaanmuskuloskeletal yang mendetil misalnya kekuatan otot dan gerak
sendi, pemeriksaan status neurologis dan juga pemeriksaan kulit untuk
identifikasi ulkusdekubitus. Status imobilisasi pasien harus selalu dikaji secara
terus‐menerus(Rizka, 2015).
2.1.7 Penatalaksanaan
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan
berbagaI jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi
pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap
menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip
penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian
multi/interdisiplin yang mengedepankan pendekatan secara holistik (Setiati, Siti
2013).
a. Pengelolaan inkontinensia urin
Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis
besar dapat dikerjakan sebagai berikut (Simposium “Geriatric Syndromes:
Revisited” 2011):
a) Program rehabilitasi, antara lain:
Melatih perilaku berkemih.
Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).
Melatih respons kandung kemih.
Latihan otot-otot dasar panggul.
b) Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).
c) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.
d) Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau
keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.
e) Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk
kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan
penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.
b. Jatuh
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau
mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya.
Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri
dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik
dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus
karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak
pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoralsehingga diperlukan terapi
gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus
lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya
pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.
Faktor pelindung Terhadap Cedera Retak
Terapiestrogen
Berat badansetelah usia
Berjalanuntuk latihan
Asupankalsiumyang cukup
Pengobatan untuk gangguan berjalan
1. Manajemen gangguan berjalan termasuk peningkatan kemampuan
fungsional dan pengobatan penyakit tertentu,namun banyak kondisi
yang menyebabkan kelainan gaya berjalan hanya sebagian dapat
diobati.
2. Peningkatan substansial terjadi dalam pengobatan gangguan sekunder
untuk vitamin B12 dan folat, penyakit tiroid, radang sendi lutut, penyakit
Parkinson dan polineuropati inflamasi.
3. Peningkatan Sedang, tetapi dengan cacat sisa, dapat terjadi setelah
perawatanbedah untuk myelopathy serviks, stenosis lumbar, dan
hidrosefalus tekanan normal.
c. Sleep Disturbance
Pengobatan
a) Perawatan Non-farmakologis
Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang
mendasari,menghentikan atau mengubah obat, menghentikan
alkohol, kafein ataupenggunaan nikotin.
Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan tidur,
gunakankamar tidur untuk tidur saja, mengembangkan cerita tidur
untukmempromosikan keadaan pikiran, mengurangi tidursiang hari,
danmengembangkan latihan rutin sehari-hari.
b) Pengobatan farmakologis.
Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek pada
pasien yanglebih tua.
Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti
Temazepam(7,5-15mg), dengan jangka waktu maksimum dua mingg
uuntuk menghindariketergantungan.
Antihistamin dapat diterima untuk digunakan sesekali, namun cepat
kehilangankhasiat.
anti-depresan, misalnya, Trazadone, adalah pilihan yang baikuntuk
insomniakronis.
e. Pressure Ulcer
Pengobatan
1. Menilai seluruh aspek, bukan hanya ulkus karena tekanan, termasuk
kesehatan fisik, sakit, kesehatan psikososial, dan tekanan komplikasi
ulkus.
2. Mencoba untuk menggunakan langkah-langkah yang ditetapkan
penyembuhan luka (PUSH) (NPUAP, 1997).
3. Menjaga prinsip-prinsip perawatan luka yang relevan dengan ulkus
tekanan:
a. debridement luka
b. luka bersih
c. menggunakan solusi yang tidak membunuh sel-sel; jangan
menggunakan solusi yang yaitu sitotoksik hidrogen peroksida, Solusi
Dahenitu, atau Betadine
d. Mengairi luka, menggunakan kekuatan minimal
e. Tutup luka dengan bahan yang tepat
f. Delirium
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila
sumberdeliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika
agitasi yangberat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini
disebabkan karenabenzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan
yang memperburuk delirium.Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh
benzodiazepin adalah sedasi yangberlebihan yang dapat menyulitkan
penilaian status kesadaran pasien itu sendiri(Andri, Charles E. Damping,
2007).
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang
seringdipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol
digunakan karena profilefek sampingnya yang lebih disukai dan dapat
diberikan secara aman melalu jaluroral maupun parenteral. Dosis yang biasa
diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral(PO) atau intra muscular maupun intra
vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai5 mg tiap satu jam sampai total
kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelahpasien lebih baik
kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral makahaloperidol dapat
diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampaikondisi
deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala
ekstra piramidal daripada penggunaan oral (Andri, Charles E. Damping,
2007).
g. Infeksi
Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan masalah
karenameningkatkan bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia. Terapi
antibiotic tergantung pada kuman patogen yang didapati.
1. Gangguan pendengaran
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi
pendengaran dilakukandengan pemasangan alat bantu dengar (hearing
aid). Pemasangan alat bantudengar hasilnya akan lebih memuaskan
bila dikombinasikan dengan latihanmembaca ujaran (speech reading),
dan latihan mendengar (auditory training),prosedur pelatihan tersebut
dilakukan bersama ahli terapi wicara (speech therapist).Tujuan
rehabilitasi pendengaran adalah memperbaiki efektifitas pasien dalam
komunikasi sehari-hari. Pembentukan suatu program rehabilitasi untuk
mencapai tujuan ini tergantung pada penilaian menyeluruh terhadap
gangguan komunikasipasien secara individual serta kebutuhan
komunikasi sosial dan pekerjaan.Partisipasi pasien ditentukan oleh
motivasinya. Oleh karena komunikasi adalah suatuproses yang
melibatkan dua orang atau lebih, maka keikutsertaan keluarga
atauteman dekat dalam bagian-bagian tertentu dari terapi terbukti
bermanfaat.
Membaca gerak bibir dan latihan pendengaran merupakan
komponentradisional dari rehabilitasi pendengaran. Pasien harus
dibantu untuk memanfaatkansecara maksimal isyarat-isyarat visual
sambil mengenali beberapa keterbatasandalam membaca gerak bibir.
Selama latihan pendengaran, pasien dapat melatihdiskriminasi bicara
dengan cara mendengarkan kata-kata bersuku satu dalamlingkungan
yang sunyi dan yang bising. Latihan tambahan dapat dipusatkan
padalokalisasi, pemakaian telepon, cara-cara untuk memperbaiki rasio
sinyal-bising danperawatan serta pemeliharaan alat bantu
dengar.Program rehabilitasi dapat bersifat perorangan ataupun dalam
kelompok.Penyuluhan dan tugas-tugas khusus paling efektif bila
dilakukan secara perorangan,sedangkan program kelompok memberi
kesempatan untuk menyusun berbagai tipesituasi komunikasi yang
dapat dianggap sebagai situasi harian normal untuk tujuanperagaan
ataupun pengajaran.
Pasien harus dibantu dalam mengembangkan kesadaran terhadap
isyarat-isyarat lingkungan dan bagaimana isyarat-isyarat tersebut dapat
membantu kekurangan informasi dengarnya. Perlu diperagakan
bagaimana struktur bahasa menimbulkan hambatan-hambatan tertentu
pada pembicara. Petunjuk lingkungan, ekspresi wajah, gerakan tubuh
dan sikap alami cenderung melengkapi pesan yang diucapkan. Bila
informasi dengar yang diperlukan untuk memahami masih belum
mencukupi, maka petunjuk-petunjuk lingkungan dapat mengisi
kekurangan ini. Seluruh aspek rehabilitasi pendengaran harus
membantu pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif dengan
lingkungannya. (George L Adams,et al.,1997)
2. Depresi
Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan
dan kepribadianmasing masing. Pada depresi ringan dan sedang,
psikoterapi merupakan tatalaksana yang sering dilakukan dan berhasil.
Akan tetapi, pada kasus tertentu ataupada depresi berat, psikoterapi
saja tidak cukup, diperlukan farmakoterapi. Banyakorang membutuhkan
dukungan dari orang-orang terdekat terutama keluarga danteman,
keikutsertaan dalam kegiatan kelompok, atau berkonsultasi dengan
tenagaprofesional untuk mengatasi depresi. Selain itu, mengatasi
masalah terisolasi ketikamemasuki usia lanjut merupakan salah satu
bagian penting dalam penyembuhandan dapat mencegah episode
kekambuhan penyakit. Banyak penelitianmenunjukkan bahwa aktif
dalam kegiatan kelompok di lingkungan merupakan bagian penting
dalam kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas hidup.
Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat
antidepresan, tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya
mengurangi gejala, dan tidak menyembuhkan. Antidepresan bekerja
dengan cara menormalkanneurotransmiter di otak yang memengaruhi
mood, seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Antidepresan harus
digunakan pada lansia dengan depresi mayor danselective serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan obat pilihan pertama.Beberapa
obat antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan
dan kekurangan tiap golongan ada pada tabel 6. Pemilihan obat
tersebut per individu dengan pertimbangan efek samping dari tiap
golongan. Pengobatan mono terapi dengan dosis minimal digunakan
pada awal terapi, dievaluasi apabila tidak ada perubahan bermakna
dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespons pada pengobatan
awal perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan dapat
dipertimbangkan penggunaan dua golongan antidepresan.
Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan, obat
harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy)
selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila
kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi
pengobatan tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan
hingga 80%. Penghentian antidepresan harus dilakukan secara
bertahap agar tidak menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas,
nyeri kepala, mialgia, dan gejala mirip fl u (fl u-like symptoms). Lansia
yang sering kambuh memerlukan terapi perawatan dosis penuh terapi
selama hidupnya. Selain farmakoterapi dengan obat antidepresan,
psikoterapi (talk therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati
berbagai jenis depresi. Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog
terlatih, pekerja sosial, atau konselor. Pendekatan psikoterapi dibagi
dua, yaitu cognitive-behavioral therapy (CBT) dan interpersonal therapy.
CBT terfokus pada cara baru berpikir untuk mengubah perilaku, terapis
membantu penderita mengubah pola negatif atau pola tidak produktif
yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi. Interpersonal therapy
membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi keadaan dan
hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi. Banyak
penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan
memahami cara menangani faktor penyebab depresi, terutama pada
depresi ringan; jika depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena
akan menimbulkan depresi berulang.
h. Imobilisasi
1) Pencegahan komplikasi imobilisasi
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan
farmakologik dan non farmakologik.
Non Farmakologis
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik
danlatihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah
baring total,perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur
Selain itu,mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari
tempat tidur kekursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara
bertahap.Untukmencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus
dilakukan adalahmenghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas
tekanan pada kulit.
Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 300, penggunaan
kasur antidekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien
dengan kursiroda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan
dari duduk. Melatihpergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan
ke kanan serta mencegahterjadinya gesekan juga dapat mencegah
dekubitus.Pemberian minyaksetelah mandi atau mengompol dapat
dilakukan untuk mencegah maserasi.Kontrol tekanan darah secara
teratur dan penggunaan obat‐obatan yangdapat menyebabkan
penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perludilakukan untuk
mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan
yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinyakonstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan
pengkajian terhadapkebiasaan buang air besar pasien. Pemberian
nutrisi yang adekuat perludiperhatikan untuk mencegah terjadinya
malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Farmakologis
Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama
pencegahanterhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan
yaitu Low doseheparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH)
merupakanprofilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri
dengan imobilisasiharus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan
interaksi dengan obatlain.
i. Komplikasi
Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem
pernafasan misalnyapenurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia.
komplikasi endokrin dan ginjal,peningkatan diuresis, natriuresis dan
pergeseran cairan ekstraseluler, intoleransiglukosa, hiperkalsemia dan
kehilangan kalsium, batu ginjal serta keseimbangannitrogen negatif
Komplikasi gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia,konstipasi
dan luka tekan (ulkus dekubitus). Pada sistem saraf pusat, dapat
terjadideprivasi sensorik, gangguan keseimbangan dan koordinasi (Rizka,
2015).
2.2.6 Indikasi
Brain gym dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.
Brain gym dapat dilakukan pada anak-anak usia sekolah yang mengalami
kesulitan dalam menghapal angka/numerik/matematika. Brain gym ini juga dapat
dilakukan pada lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau demensia, juga
pada lansia yang mengalami penyakit Alzheimer.
2.2.7 Persiapan
1. Brain gym dapat digabung atau dihantarkan dengan musik yang
menyenangkan, berirama tenang atau disukai anak, sehingga membuat anak
lebih rileks.
2. Membuat situasi ruangan yang menyenangkan dan nyaman untuk anak
3. Gunakan baju yang nyaman untuk bergerak.
4. Karena tubuh kita 70% lebih mengandung air, maka minum air putih sebagai
langkah pendahuluan sangat disarankan.
5. Pemimpin kelompok/ orangtua harus dalam keadaan rileks dan
menyenangkan saat memberikan pelatihan kepada anak.
6. Mintalah agar semua peserta duduk dalam lingkaran sehingga mereka bisa
saling berhadapan, diatas lantai, atau kursi. Kemudian, pemimpin kelompok
memulai proses yang akan menjadi ritual.
2. Dimensi Pemfokusan
Fokus adalah kemampuan menyeberangi garis tengah partisipasi yang
memisahkan bagian belakang dan depan tubuh, dan juga bagian belakang
(occipital) dan depan otak (frontal lobe). Perkembangan refleks antara otak
bagian belakang dan bagian depan yang mengalami fokus kurang
(underfocused) disebut kurang perhatian, kurang mengerti, terlambat bicara,
atau hiperaktif. Kadangkala perkembangan refleks antara otak bagian depan
dan belakang mengalami fokus lebih (overfocused) dan berusaha terlalu keras.
Gerakan-gerakan yang membantu melepaskan hambatan fokus adalah
aktivitas integrasi de-pan/ belakang. Gerakan untuk mengintegrasikan otak
depan dan otak belakang adalah Gerakan Meregangkan Otot, dengan contoh
sebagai berikut :
3. Dimensi Pemusatan
Pemusatan adalah kemampuan untuk menyeberangi garis pisah antara
bagian atas dan bawah tubuh dan mengaitkan fungsi dari bagian atas dan
bawah otak, bagian tengah sistem limbis (mid brain) yang berhubungan dengan
informasi emosional serta otak besar(cerebrum) untuk berpikir yang abstrak.
Ketidakmampuan untuk mempertahankan pemusatan ditandai dengan
ketakutan yang tak beralasan, ketidakmampuan untuk menyatakan emosi.
Otak mempunyai milyaran sel kecil yang disebut neuron yang
dihubungkan dengan jalurjalur syaraf. Gerakan-gerakan yang menyambungkan
hubungan syaraf tersebut adalah gerakan-gerakan meningkatkan energi dan
penguatan sikap yang merupakan bagian dari pemusatan.
Air (Water)
Air merupakan pembawa energi listrik yang sangat baik. Dua per tiga
tubuh manusia terdiri dari air. Air dapat mengaktifkan otak untuk hubungan
elektro kimiawi yang efisien antara otak dan sistem saraf, menyimpan, dan
menggunakan kembali informasi secara efisien. Minum air yang cukup sangat
bermanfaat sebelum menghadapi test atau kegiatan lain yang menimbulkan
stress. Kebutuhan air adalah kira-kira 2 % dari berat badan per hari.
Fungsinya :
a. Konsentrasi meningkat (mengurangi kelelahan mental)
b. Melepaskan stres, meningkatkan konsentrasi dan keterampilan sosial.
c. Kemampuan bergerak dan berpartisipasi meningkat.
d. Koordinasi mental dan fisik meningkat (Mengurangi berbagai kesulitan
yang berhubungan dengan perubahan neurologis)
Fungsinya :
a. Mengaktifkan bagian depan otak guna
menyeimbangkan stres yang berhubungan
dengan ingatan tertentu, situasi, orang, tempat
dan ketrampilan
b. Menghilangkan refleks
Gambar 15. Titik Positif c. Menenangkan pada saat menghadapi tes di
(Positive Point) sekolah dan dalam penyesuaian sehari-hari.
BAB III
METODE DAN TELAAH JURNAL
Tabel 3.2. diperoleh rata-rata nilai pre test nilai fungsi kognitif kelompok
eksperimen lebih tinggi (19,00) dibandingkan kelompok kontrol (18,50), sedangkan
pada nilai rata-rata nilai post test nilai fungsi kognitif kelompok eksperimen lebih
tinggi (21,80) dibanding dengan kelompok kontrol (19,10). Berdasarkan nilai skor
yang diperoleh responden kemudian dilakukan kategorisasi nilai fungsi kognitif
sesuai dengan definisi operasional yaitu berupa skala numerik.
1. Uji Normalitas Data
Pengujian normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Suatu data dinyatakan normal jika memiliki nilai probabilitas (p-value) lebih
besar dari 0,05. Hasil uji normalitas data variable pengetahuan ditampilkan
pada table 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.3. Hasil Uji Normalitas Data
Berdasarkan tabel 3.4. diperoleh nilai p-value = 0.704 > 0,05, hal ini
menunjukkan bahwa Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat
perbedaan kemampuan kognitif lansia antara kelompok eksperimen dan
kelompok control sebelum dilakukan terapi senam Brain Gym pada lansia di
posyandu lansia Desa Pucangan kartasura
3. Rata-rata Pre Test dan PostTest Fungsi Kognitif kelompok Eksperimen
dan Kontrol.
Untuk mengetahui nilai ratarata pretest dan posttest fungsi kognitif
kelompok eksperimen dan kontrol menggunakan uji statistic paired sample t-
testditampilkan dalam tabel 3.5
Tabel 3.5 Rata-rata antara pre test dan posttest fungsi kognitif
kelompok eksperimen dan kontrol.
Tabel 3.5. diperoleh hasil uji paired simple t-test pada kelompok
eksperimen nilai p-value = 0,002 <0,05, hal ini menunjukkan Ho ditolak,
sehingga disimpulkan ada perbedaan rata-rata nilai fungsi kognitif responden
pada kelompok eksperimen antara sebelum dan sesudah mendapatkan terapi
brain gym. Hasil uji paired simple t-testpada kelompok kontrol diperoleh nilai
p-value = 0,024 < 0,05, sehingga Ho tolak, sehingga dapat disimpulkan tidak
ada perbedaan rata-rata nilai fungsi kognitif responden pada kelompok
kontrol.
4. Uji beda rata-rata kognitif lansia antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol setelah dilakukan terapi Brain Gym.
Hasil uji beda pengaruh terapi brain gym terhadap peningkatan fungsi
kognitif lanjut usia di Posyandu Lanjut Usia Kelurahan Pucangan Kartasura
antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol ditampilkan pada tabel
3.6
Tabel 3.6.Uji beda rata-rata kemampuan Kognitif lansia antara
kelompok eksperimen dengan kelompok control setelah terapi
Brain Gym di Desa Pucangan.
Berdasarkan tabel 3.6 diperoleh nilai p-value = 0.038 > 0,05, hal ini
menunjukkan bahwa Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan
kemampuan kognitif lansia antara kelompok eksperimen dan kelompok control
setelah dilakukan terapi senam Brain Gym pada lansia di posyandu lansia Desa
Pucangan kartasura.
3.1.5 Pembahasan
A. Tingkat Kognitif Lansia Sebelum Dilakukan Brain Gym
Fungsi kognitif lansia pada responden kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi Brain Gym, didapatkan bahwa
dari 10 reponden paling banyak dalam status fungsi kognitif kategori probable
6 orang (60%). Sedangkan responden dengan status fungsi kognitif kategori
definitif 4 orang (40%). Lansia dalam status fungsi kognitif probable mayoritas
berusia 65 tahun. Sedangkan lansia dalam status fungsi kognitif definitive
mayoritas berusia 70 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat menunjukkan
bahwa sebagian besar lansia telah mengalami penurunan fungsi kognitif.
Padila, (2013) menyebutkan semakin bertambahnya umur manusia, terjadi
proses penuaan secara generatif yang berdampak pada perubahan-
perubahan pada manusia, salah satunya adalah perubahan fungsi kognitif.
Perubahan fungsi kognitif terjadi pada memory, IQ (Intelegent quocient),
kemampuan belajar, kemampuan pemahaman, pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, kebijaksanaan dan kinerja.
3.2.4 Pembahasan
Lansia mengalami kemunduran sel karena proses penuaan yang berakibat
kelemahan organ, kemunduran fisik, dan timbulnya penyakit degeneratif. Pada
umumnya setelah orang memasuki masa lansia maka ia akan mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Kognitif adalah kemampuan pengenalan
dan penafsiran seseorang terhadap lingkungan berupa perhatian, bahasa,
memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan. Para ilmuwan telah melakukan
penelitiandan menyimpulkan bahwa masyarakat yang mengalami penurunan
fungsi kognitif harus membuat prioritas utama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi disertai dengan berada distrata sosial
yang lebih tinggi diasumsikan dapat mengurangi penurunan kognitif
(Ahmad,2006). Berdasarkan data demografi hasil penelitian, lansia yang
mempunyai riwayat pendidikan lebih tinggi mempunyai nilai MMSE yang lebih baik
dari pada lansia yang memiliki pendidikan lebih rendah. Lansia yang memiliki nilai
MMSE baik dan cukup sebagian besar mempunyai riwayat pendidikan Sekolah
Dasar (SD) atau Sekolah Rakyat (SR).
Lansia memang cenderung mengalami penurunan fungsi memori, namun
Lesmana (2006) mengatakan bahwa penelitian menunjukkan perbendaharaan
kata lebih baik pada orang usia 70 tahun daripada 30 tahun. Batasan umur juga
memengaruhi dari tingkat fungsi kognitif lansia. Pada penelitian ini dari 30
responden yang didapat mayoritas berumur antara 60–67 tahun dengan kategori
fungsi kognitif cukup dan kurang. Menurut Lesmana, (2006) pengalaman
pekerjaan dahulu mempunyai dampak pada kualitas proses berpikir lansia. Pada
penelitian ini hampir setengah lansia mempunyai riwayat pekerjaan sebagai
petani, buruh tani, koperasidan tukang masak. Mereka masuk dalam kategori
fungsi kognitif kurang. Sedangkan lansia yang mempunyai riwayat pekerjaan lebih
baik (swasta), termasuk dalam kategori cukup. Peningkatan fungsi kognitif lebih
dominan terjadi pada lansia berumur 60–67 Tabel 2. Tingkat fungsi kognitif lansia
di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Lamongan Perlakuan Kontrol Perlakuan
Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Rerata 1,20 2,00 1,40 1,07 2,00 1,07SD 0,41
0,65 0,63 0,26 0,65 0,26p = 0,001 p = 0,025 p = 0,001 Wilcoxon Signed Rank Test
Wilcoxon Signed Rank Test Mann-Whitney U-Test Keterangan: SD = Standar
Deviasi p = signifikansi tahun, mempunyai riwayat pendidikan SD dan mempunyai
riwayat pekerjaan swasta. Rerata kenaikan skor MMSE mencapai 3–5, jika
dibandingkan dengan lansia berumur 67–75 tahun dan mempunyai riwayat
pendidikan tidak sekolah terjadi penurunan skor MMSE mencapai 1–4. Otak besar
jika dibelah menjadi otak kiri dan kanan dan dilihat dari atas tampak dipisahkan
oleh lekukan yang dalam dan memanjang disebut fissura longitudinalis. Pada
dasar lekukan terdapat sekumpulan serat yang menghubungkan kedua belahan
otak dan disebut dengan corpus callosum dan di juluki sebagai ”jembatan emas
atau golden bridge”. Senam otak dapat mencapai brain exrcise melalui gerakan
crossing the midline. Gerakan tubuh, kepala dan bola mata yang menyilang garis
tengah tubuh dapat meningkatkan potensi otak (Sidiarto, 2004).
Lansia mengalami penurunan berat otak berkisar sampai 10% pada usia
30–70 tahun. Volume otak yang berkurang sejalan dengan penuaan memengaruhi
penyusutan neuron sel-sel otak. Penyusutan neuron ini akan memengaruhi kinerja
dari korteks serebri. Sebagian besar penyimpanan informasi dan proses berpikir
terjadi di dalam korteks serebri. Penyimpanan informasi merupakan proses yang
disebut daya ingat (memori). Penurunan kemampuan korteks serebri akan
mengakibatkan gangguan sistem transmisi neurotransmitter yang dapat
mengakibatkan gangguan mental dan perilaku sehingga berakibat pada
penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif lansia dapat diberikan terapi
senam otak. Di dalam aplikasi metode senam otak terdapat dimensi pemusatan
untuk sistem limbis (midbrain) dan otak besar (cerebral cortex) (Dennison, 2008).
Di dalam korteks serebri terdapat area fungsional yang membagi fungsi dari
masing-masing hemisfer kanan dan kiri. Brain gym mengoptimalkan otak belahan
kanan yang secara garis besar bertugas mengontrol badan bagian kiri, serta
berfungsi untuk intuitif, merasakan, bermusik, menari, kreatif, dan melihat
keseluruhan. Otak kanan juga mendorong manusia untuk bersosialisasi,
komunikasi, interaksi dengan manusia lain, serta pengendalian emosi. Pada otak
kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan,
dan ekspresi tubuh. Otak belahan kiri secara garis besar bertugas mengatur
badan bagian kanan yang berfungsi untuk berpikir logis, rasional, menganalisis,
kemampuan menulis dan membaca, berbicara, berorientasi pada waktu, dan hal-
hal yang rinci. Otak kiri juga merupakan pusat matematika (Sapardjiman, 2003).
Dalam pertemuan dari berbagai area interpretasi sensorik ini terutama
berkembang pada sisi otak yang dominan yaitu sebelah sisi kiri pada hampir
semua orang dan area ini sangat berperan pada fungsi otak yang lebih tinggi
dalam bagian setiap korteks serebri, fungsi ini kita sebut ”berpikir”. Untuk proses
berpikir, pemahaman bahasa dan pola ingatan pada area fungsional korteks
serebri terdapat di area wernicke. Bila Area wernicke pada hemisfer dominan
seorang yang tumbuh dengan baik mengalami kerusakan, maka penderita akan
kehilangan hampir seluruh fungsi berpikir, pola ingatan yang berhubungan dengan
bahasa (Guyton dan Hall, 1997).
Senam otak sendiri bertujuan untuk menjaga keseimbangan kinerja antara
otak kanan dan kiri tetap optimal. Senam otak memberikan stimulus perbaikan
pada seratserat di corpus callosum yang menyediakan banyak hubungan saraf
dua arah antara area kortikal kedua hemisfer otak, termasuk hypokampus dan
amygdala. Gerakan senam otak mengaktifkan kembali hubungan sarafantara
tubuh dan otak sehingga memudahkan aliran energi elektromagnetik ke seluruh
tubuh.Gerakan ini menunjang perubahan elektrik dan kimiawi yang berlangsung
pada semua kejadian mental dan fisik (Dennison, 2008). Peranan hipokampus
dalam konsolidasi sebagai sistem referensi silang, yang mengkaitkan aspek
memori tertentu yang disimpan dibagian otak yang terpisah sehingga dapat
meningkatkan kandungan asam nukleat dalam perubahan memori neuron. Sinaps
berpengaruh dalam mengolah informasi atau data yang diterima sehingga
manusia akan menyimpan informasi dalam memorinya. Penyimpanan informasi
merupakan proses yang kita sebut daya ingat dan juga merupakan fungsi dari
sinaps. Sinaps adalah tempat hubungan Senam Otak Meningkatkan Fungsi
Kognitif Lansia (Ah. Yusuf) satu neuron dengan neuron berikutnya. Sinaps
merupakan suatu tempat yang menguntungkan untuk mengatur penghantaran
perintah. Sinaps juga berfungsi menghantarkan informasi dari satu neuron ke
neuron yang lain dengan mudah. Perbaikan fungsi sinaps dapat memengaruhi
kinerja korteks serebri yang terlibat dalam proses informasi baru sebagai jalan
menuju korteks untuk penyimpanan memori secara permanen. Korteks Serebri
merupakan lapisan luar otak yang terlibat dalam proses kognisi tingkat tinggi yang
dapat diikuti oleh peningkatan fungsi kognitif yang lain seperti orientasi, registrasi,
perhatian dan berhitung, menyebut kembali (recall), dan bahasa. Fungsi kognitif
merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, mengolah, menyimpan dan
menggunakan kembali semua masukan sensorik secara baik. Fungsi kognitif
terdiri dari unsur memperhatikan (atensi), mengingat (memori), berkomunikasi
(bahasa), bergerak (motorik) dan merencanakan/ melaksanakan keputusan
(eksekutif) (Gallo, 1998). Gangguan kognitif adalah suatu gangguan fungsi luhur
otak berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa
serta fungsi intelektual (Setyopranoto et al., 2000). Dampak positif senam otak
pada lansia, setelah 2 bulan pelaksanaan senam otak terjadi peningkatan fungsi
memori (kognitif), konsentrasi (kecerdasan), atensi dan kewaspadaan untuk
mengurangi pikun (Lihardo, 2005).
BAB IV
HASIL PENERAPAN JURNAL UPT PSTW PANDAAN
4.1 Hasil Pengkajian Kliendi 3 wisma pada Tanggal 10-11 Desember 2018
Jelaskan proses pengkajiannya (jumlah responden, waktu, metode pengkajian)
4.1.1 Analisa karakteristik usiaklien di UPT PSTW Pasuruan
Usia Lansia
Elderly (60-74) Old (75-90)
23
Jumlah Lansia
Chart 4.1.1.
Karakteristik usia klien
0
Hipertensi Asam Urat gangguan pndengaran gangguan pengeluaran urin
2.5
1.5
0.5
0
Hipertensi DM glukoma asam urat
Diagram
4.1.3 Prevalensi Penyakit di wisma Melati
Diagram 4.4.1
Kemampuan ADL klien
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 desember 2018
b. Kualitas Tidur
Kualitas tidur
Sangat baik
8.00% Baik
Kurang
28.00%
Sangat kurang
64.00%
Diagram 4.4.2
Kualitas Tidur klien
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018
Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa dari wisma
kelolaalan (seruni, kemuning, dan mawar) sebagian besar memiliki kualitas tidur
yang baik yakni 16 orang (64%), sejumlah 7 orang (28%) memiliki kualitas tidur
yang kurang dan sejumlah 2 orang (8%) memiliki kualitas tidur yang sangat
kurang.
MMSE
32.00%
Diagram
4.5.1 Status Mental Klien
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018
b. Pengkajian depresi
GDS
Depresi Ringan
28.00% Depresi Sedang
72.00%
Sumber data: hasil pengkajian mahasiswa pada tanggal 10-11 Desember 2018
Berdasarkan diagram diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
klien di wisma kemuning, mawar dan seruni mengalami depresi ringan. Terlihat
sebanyak 72% memiliki memiliki tingkat depresi ringan dan sebanyak 28%
memiliki tingkat depresi sedang.
Agama Klien
4.00% Islam =
24
Kristen =
1
96.00%
4.5 Fungsi Spiritual klien
pada 3 wisma (seruni, dahlia, melati)
Diagram 4.7.1 Agama Klien
Skor Adaptation
12
6
4
Skor Growth
13
7
5
Skor Affection
12
7
6
Skor Resolve
16
5
4
Berdasark
an diagram diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar klien fungsi adaptation
berat sebanyak 6 orang (24%), sedang sebanyak 7 orang (28%), dan baik sebanyak
12 orang (48%).
Sumber data:Berdasarkan hasil pengkajian mahasiswa menggunakan kuesioner
APGAR skor APGAR Poin Resolve
Daftar Pusaka
Darmojo, 2006. Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Darmojo, 1999. Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Denisson, P. E &Denisson,G. (2006). Buku Panduan Lengkap Brain Gym Senam Otak.
Jakarta : Grasindo.
Franc, Adri Y. (2012). Memaksimalkan Otak Melalui Senam Otak (Brain Gym). Yogyakarta
: Tranova Books.
Gallo, J. J., et al., 1998. Buku Saku Gerontologi edisi 2. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C., 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 3. Jakarta:EGC.
Hawari, D., 2003. IQ, EQ, CQ, dan SQ Kriteria Sumber Daya Manusia
(Pemimpin)Berkualitas. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Juliani, 2008. Ilmu Psikologi, (online), (http://www.ilmupsikologi.com/?p=11.,
diaksestanggal 22 November 2008 jam 05.12 WIB).
Kompas, 2004. Berita Penurunan Ingatan Pada Lansia, (online),
(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0410/28/ilpeng/1352062.htm., diakses
Tanggal24 November 2008 jam 05.35 WIB).
Lesmana, 2006. Mengasah Otak pada Lansia, (online),
(http://trisna19.wordpress.com/2008/04/02/mengasah-otak-padasaat-lanjut-usia/.
Diakses tanggal21 November 2008 jam 06.56 WIB).
Lihardo, J., 2005. Penurunan Kognitif pada Lansia, (online), (http://www.info-
sehat.com/inside_level2.asp?artid=1285&secid=55&intid=6., diakses tanggal
20November jam 05.15 WIB).
Lumbantobing, S.M., 2001. Kecerdasan pada Usia Lanjut dan Dimensia. Jakarta:Fakultas
Kedokteran UniversitasIndonesia.
Lumbantobing, S.M., 2001. Neurogeriatri. Jakarta: Penerbit FKUI, hlm. 158–170.
Markam,et al. (2005).Latihan Vitalisasi Otak. Grasindo.Jakarta.
Nuryana, Aryani dan setiyo Purwanto. Efektifitas Brain Gym Ddalam Meningkatkan
Konsentrasi Belajar Pada Anak. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 12, No. 1,88-
99. Surakarta:UMS
Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Reed, Stephen K. (2011). Kognisi Teori dan Aplikasi (Edisi 7)(Aliya Tusyani, Penerjemah).
Jakarta: Salemba Humanika.
Sapardjiman, K., 2003. Senam Otak Merangsang Kecerdasan Lansia, (online),
(http://.depkes.go.id/index.php?
option=articles&task=viewarticle&artid=111&itemid=3., diakses tanggal 20
November 2008jam 05.00 WIB).
Setyopranoto et al., 2000. Peranan Stroke Iskemik Akut terhadap TimbulnyaGangguan
Fungsi Kognitif di RSUDDr. Sardjito Yogyakarta. Berkala NeuroSains 2(1), 34–227.
Sidiarto, L.D., 2004. Rekreasi Terapeutik untukWarga Senior. Disampaikan
dalamSemiloka Kesehatan dan KesejahteraanSosial Lansia, Cimahi 21
Februari2004.
Stanley, M., 2006. Perawatan pada Lansia. Jakarta: EGC.
Suardiman. S. P. (2011). Psikologi Lanjut Usia.Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Watson, R., 2003. Perawatan pada Lansia.Jakarta: EGC.