You are on page 1of 21

ENSEFALOPATI

HEPATIKUM
Try Merdeka Puri
04104705047
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

ENSEFALOPATI HEPATIKUM

1
II.1 Pengertian Ensefalopati Hepatikum
Hati merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam mengatur
metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang
penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme
yaitu dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti aonia, berbagai jenis
hormon, obat-obat-an dan sebagainya.
Selain itu hati juga berperan sebagai penyimpanan bahan-bahan seperti
glikogen dan vitamin serta memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus.
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang
bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati
tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik
atau ensefalopati hepatik (EH).
Perjalanan klinis EH dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran
klinisnya dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka prevalensi
ensefalopati subklinis berkisar antara 30% - 88% pada pasien sirosis hati.
EH merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang umumnya terjadi karena
kadar protein yang tinggi di saluran pencernaan atau karena stress metabolik akut
(perdarahan saluran pencernaan, infeksi, dan gangguan elektrolit pada pasien
dengan portal-systemic shunting. Gejala-gejala yang muncul umumnya gejala
neuropsikiatrik (confusion, flapping tremor, koma). Diagnosis biasanya ditegakkan
berdasarkan gejala klinis.
1. Penurunan kesadaran sedang sammpai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bacterial yang jelas

II.2 Etiologi

2
EH dapat muncul pada hepatitis fulminan yang disebabkan oleh virus, obat-
obatan, atau racun, namun umumnya muncul pada sirosis atau penyakit kronik
lainnya saat terjadi kolateral portal-sistemik yang besar sebagai komplikasi dari
hipertensi portal.
Pada pasien dengan penyakit hati kronis, episode akut ensefalopati umumnya
dicetuskan oleh beberapa faktor, antara lain :
Jenis Penyebab
Excessive Intake protein dalam jumalah tinggi, pendarahan gastrointestinal
nitrogen seperti pada kondisi varises esophagus (dimana darah dalam
load keadaan tinggi protein, yang direabsorbsi oleh usus), gagal ginjal
(ketidakmampuan untuk mengekskresikan nitrogen yang
mengandung produk sisa seperti urea), konstipasi
Gangguan Hyponatraemia, hypokalaemia, yang biasanya terjadi pada
elektrolit pasien yang menggunakan diuretic, sering digunakan untuk
atau mengobati asites, alkalosis, hypoxia (insufficient oxygen levels),
metabolik dehydration
Obat- Sedatives seperti benzodiazepines (sering digunakan untuk
obatan menekan enxietas dan alcohol withdrawal), narkotik (sebagai
pain kellers), often used to suppress alcohol withdrawal or
anxiety disorder ), isoniazid ( sering digunakan untuk penyakit
infeksi paru)
Infection Pneumonia, infeksi saluran kemih , peritonitis bakteri spontan ,
Infeksi infeksi lain
Lain-lain pembedahan, perburukan dari penyakit hati, menyebabkan
kerusakan hati kerusakan hati (misalnya hepatitis alkoholik ,
hepatitis A )
idiopathik Pada 20-30% kasus, tidak ada penyebab yang jelas

EH dapat diklasifikasikan berdasarkan gangguan dari hepar, yaitu :


- tipe A : berhubungan dengan gangguan hepar akut

3
- tipe B : berhubungan dgn bypass portosistemik tanpa penyakit hepatoselular
intrinsik
- tipe C : berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal atau shunt
portosistemik. Pada kasus dengan penyakit hati kronik, PSE tipe ini dapat
muncul secara episodik atau bahkan menetap

II.3 Patofisiologi
Patogenesis EH sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena :
1. masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis.
2. heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda
dalam jaringan otak
3. ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan
biokimia saling berkaitan satu dengan lainnya.

Secara umum dikemukakan bahwa EH terjadi akibat akumulasi dari


sejumlah zat neuro-aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam
sirkulasi sitemik (Mullen, 2007)
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan :
1. Hipotesis Amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam
lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia
dirubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin pada sel
hati perivenus, sehingga jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi dapat
dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%), hati,
ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan
metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia
sebesar 5-10 kali lipat.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara in vitro akan mengubah
loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan menganggu
keseimbangan potensial aksi sel saraf. Di samping itu amonia dalam proses

4
detoksifikasi akan menekan eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan
glutamat.

2. Hipotesis Toksisitas Sinergik


Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti
merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain.
Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan
menghambat NaK-ATP-ase.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik
seperti gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen
serta penekanan aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat menyebabkan
koma hepatik reversibel.
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan
aktivitas otak dan enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase,
suksinat dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain
seperti amonia yang mengakibakan koma hepatikum. Senyawa-senyawa
tersebut akan memperkuat sifat-sifat neurotoksisitas dari amonia.
Inhibisi dari NaK-ATP-ase membran yang disebabkan amonia akan
berakibat pada edem cerebri dan pembengkakan dari astrosit. Pada otak
yang normal, astrosit menjaga hemato-enephalic barrier dan melakukan
fungsi detoksifikasi yaitu mengubah amonia menjadi glutamin. Jika kadar
amonia meningkat dari yang seharusnya, fungsi detoksifikasi tidak akan
maksimal dan hemato-encephalic barrier akan rusak.

3. Hipotesis Neurotansmiter Palsu


pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin dan nor-
adrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati, neurotrasmiter
otak akan diganti oeh neurotransmiter palsu seperti oktapamin dan
feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding doamin atau nor-adrenalin.
(Mullen, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah :

5
a. pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan
produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke
sirkulasi otak
b. pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam
amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan
isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino
aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena
penurunan ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan AAA
(Fisischer’ ratio) normal antara 3-3.5 akan menjadi lebih kecil dari 1.0.
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi
neurotransmiter pada susunan saraf.

4. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin.


Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang
dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada
terjadinya koma hepatik. Terjadi penurunan neurotransmiter yang memiliki
efek merangsang seperti glutamat, aspartat, dan dopamin sebagai akibat
meningkatnya amonia dan GABA yang menghambat transmisi impuls. Efek
GABA yang meningkat bukan karena influks yang meningkat ke dalam otak
tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu substansi
yang mirip benzodiazepin.

Tidak berfungsinya hati untuk mendetoksifikasi dikaitkan sebagai penyebab


dari timbulnya EH. Hal ini dapat muncul sebagai akibat dari gagal hati akut atau
gangguan hati kronis (seperti adiposis hepatica, sirosis hati, portocaval shunt).
Sehingga proses pembersihan pada hepar akan berkurang. Dalam hal ini, substansi
beracun seperti amonia, merkaptan (yang dibuat di saluran pencernaan oleh bakteri
pada makanan dan normalnya dibuang atau didetoksifikasi melalui hati) masuk ke
sirkulasi sistemik.

6
Pada EH jumlah dari substansi-substansi berikut ini meningkat dan oleh karena
itu diperkirakan substansi tersebut merupakan mediator untuk terjadinya EH :
- amonia
- merkaptan (berhubungan dengan foetor hepaticus)
- GABA
- Asam lemak rantai pendek
- Asam amino aromatik
- Osmolit (hasil dari kompensasi pelepasan dari astrosit)\

Faktor-faktor pemicu ensefalopati hepatik antara lain :


- perdarahan gastro-intestinal (1000 cc darah = 200 gr albumin)
- infeksi (berhubungan peningkatan proteolisis albumin)
- gangguan elektrolit (berhubungan dengan penggunaan diuretik)
- obstipasi
- intake protein yang berlebih
- alkalosis (peningkatan difusi amonia ke otak)
- iatrogenik (terapi dengan benzodiazepin, diuretik)

II.4 Gambaran Klinis


Pada umumnya berupa kelainan mental, kelainan neurologis, kelainan
parenkim hati serta kelainan laboratorium.
Sesuai perjalanan penyakit hati maka EH dapat dibedakan atas :
1. EH akut (fulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien hepatitis virus,
hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan hati akut pada
kehamilan, kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa faktor pencetus
(presipitasi).
Perjalanan penyakit eksplosif ditandai dengan delirium, kejang disertai
dengan edem otak. Dengan perawatan intensif angka kematian masih tinggi
sekitar 80%. Kematian terutama disebabkan edem serebral yang
patogenesisnya belum jelas, kemungkinan akibat perubahan permeabilitas

7
sawar otak dan inhibisi neuronal (Na+ dan K+) ATPase, serta perubahan
osmolar karena metabolisme amonia.
2. Pada penyakit hati kronik dengan EH portosistemik, perjalanan tidak
progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan
oleh beberapa faktor pencetus seperti azotemia, sedatif, analgesik,
perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik, kelebihan protein, infeksi,
obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik akan
dapat mencetuskan koma hepatik.

Ensefalopati mempunyai tingkatan-tingkatan yang bergradasi (West haven)


STAGE Cognition & Neuromuscular EEG
Behaviour Function
0 Asymptomatic None Frekuensi Alfa
(subclinical) (8.5-12
siklus/dtk)
1 Sleep disturbance Monotone voice 7-8 siklus/dtk
Impaired Tremor
concentration Poor handwriting
Depression, Constructional apraxia
anxiety, or
irritability
2 Drowsiness Ataxia 5-7 siklus/dtk
(Lethargy) Dysarthria
Disorientation Asterixis
Poor short-term Automatism (yawning,
memory blinking, sucking)
Disinhibited
behaviour
3 Somnolence Nystagmus 3-5 siklus/dtk
Confusion Muscular rigidity

8
Amnesia Hyperreflexia or
Anger, paranoia, or hyporeflexia
other bizzare
4 Coma Dilated pupils 3 siklus/dtk atau
Oculocephalic or negatif
oculovestibular
reflexes
Decebrate posturing

Gejala-gejala tersebut tidak akan muncul sampai fungsi otak terpengaruh.


Gejala yang muncul pada awal adalah constructional apraxia, di mana pasien tidak
mampu untuk menggambar hal-hal yang sederhana seperti bintang.
Agitasi dan mania dapat muncul tapi jarang terjadi. Defisit neurologis yang
terjadi bersifat simetris. Bau mulut yang khas dapat muncul dan tidak bergantung
pada grade dari EH.

II.5 Diagnosis
EH dapat ditegakkan berdasarkan :
- Pemeriksaan fisik  berdasarkan gejala klinis di atas
- Laboratorium
karena EH merupakan sindrom neuropsikiatrik non-spesifik, maka tes
biokemikal kurang memadai untuk menegakkan diagnosis. Yang paling
informatif adalah kadar amonia dalam darah. Amonia merupakan hasil akhir
dari metabolisme asam amino baik yang berasal dari dekarboksilasi protein
maupun hasil deaminasi glutamin pada usus dari hasil katabolisme protein
otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh hati dengan
pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi
peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik. Nilai
>100 g/100 ml dianggap abnormal.

9
Tingkat ensefalopati Kadar amonia dalam darah (gram/dl)
0 < 150
I 151-200
II 201-250
III 251-300
IV >300

- EEG
Terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang
per detik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12
Hz). Pemeriksaan ini kurang tepat dibandingkan dengan pemeriksaan
evoked potentials.
- Tes psikometri
Cara ini dapat membantu m enilai tingkat kemampuan intelektual pasien
yang mengalami EH subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan
mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak
mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Test)
yang dipergunakan secara luas pada ujian personal militer Amerika (Conn
HO, 1994) kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut Uji
Hubung Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT), dengan
menghubungakan angka-angka dari 1-25, kemudian diukur lama
penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik.

10
Uji Hubung Angka

Dengan UHA tingkat ensfalopati dibagi atas :


Tingkat Hasil UHA
ensefalopati (detik)
0 15-30
I 31-50
II 51-80
III 81-120
IV >120

II.6 Diagnosa Banding


1. koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural,
dan perdarahan epidural
3. tumor otak
4. koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma hipoglikemi,
koma hiperglikemi
5. epilepsi

11
II.7 Penatalaksanaan
Harus diperhatikan apakah EH yang terjadi adalah primer atau sekunder.
Pada EH primer, terjadinya ensepalopati adalah akibat kerusakan parenkim hati
yang berat tanpa adanya faktor pencetus (presipitasi), sedangkan pada EH sekunder
terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus.

Tujuan utama :
1. Memberikan dukungan perawatan suportif
2. Memperbaiki faktor-faktor pencetus
3. Mengurangi asupan nitrogen di dalam saluran cerna
4. Memberikan kebutuhan pengobatan jangka panjang

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka yang harus dilakukan adalah :


1. Mengobati penyakit dasar hati jika mungkin
2. Mengidentifikasi & menghilangkan faktor pencetus
3. Mencegah & mengurangi pembentukan/influks toksin nitrogen ke dalam
otak :
- Mengubah, menurunkan/menghentikan makanan yang mengandung
protein
Diet rendah protein ditingkatkan secara bertahap, misalnya dari 10
gram menjdi 20 gram sehariselama 3-5 hari disesuaikan dengan respon
klinis, dan bila keandaan telah stabil dapat diberikan rotein 40-60
gram/hari. Sumber protein terutama dari campuran asam amino rantai
cabang. Pemberian asam amino ini diharapkan akan menormalkan
keseimbangan asam amino sehingga neurotransmitter asli dan palsu
akan berimban dan kemungkinan dapat meningkatkan metabolisme
amonia di otot.
Tujuan pemberian asam amino rantai cabang pada koma hepatic antara
lain adalah :

12
1. untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat
fungsi hati
2. pemberian asam amino rantai cabang akan mengurangi asam
amino aromatic dalam darah
3. asam amino rantai cabang akan memperbaiki sintesis katekolamin
pada jaringan perifer
4. pemberian asam amino rantai cabang dengan dextrose hipertonik
akan mengurangi hiperaminosidemia
- Menggunakan laktulosa, antibiotik atau keduanya
Laktulosa merupakan disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh
usus halus yang terdiri dari galaktosa dan fruktosa, diuraikan bakteri di
usus besar dengan hasil akhir asam laktat, sehingga terjadi lingkungan
dengan pH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain
itu frekuensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu
transit protein di usus. Penggunaan laktulosa bersama antibiotika yang
tidak diabsorbsi usus seperti neomisin, akan memberikan hasil yang
lebih baik
Neomisin diberikan 2-4gram per hari baik secara oral atau secara
enema, walaupun pemberian oral lebih baik kecuali terdapat tanda-
tanda ileus. Metronidazol 4x250 mg perhari merupakan alternatif.
- Membersihkan saluran cerna bagian bawah
Upaya ini dilakukan agar darah sebagai sumber toksin nitrogen segera
dikeluarkan.
4. Upaya suportif dgn menjaga kecukupan masukkan kalori dan mengobati
komplikasi kegagalan hati

II.8 Prognosis
Pada EH sekunder, bila factor-faktor pencetus teratasi, maka dengan
pengobatan standar hamper 80% pasien akan kembali sadar.
Pada pasien dengan EH primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila
disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara EH akibat gagal hati

13
fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat pada
pusat-pusat kesehatan yang maju.
ANALISIS KASUS

Pada pasien ditemukan gejala klinis berupa batuk berdahak lama (6 bulan)

sebelumnya, disertai riwayat demam yang tidak terlalu tinggi, keringat pada malam

hari, penurunan berat badan, dan kadang sesak napas. Dari pemeriksaan spesifik

didapatkan temuan berupa adanya ronkhi basah sedang pada seluruh lapangan paru

kanan maupun kiri. Kombinasi riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik

disertai adanya hasil kultur dahak (++) di rumah sakit tempat pasien berobat

sebelumnya, serta riwayat minum obat paru (OAT) selama 2 bulan maka Pasien

dogolongkan sebagai kasus baru Tb paru BTA (++) on terapi OAT kategori 1 fase

intensif.

Berdasarkan anamnesis lebih lanjut, pada pasien didapatkan riwayat

meminum obat paru selama 2 bulan, setelah minum obat selama 1,5 bulan mata

pasien mulai terlihat kuning, BAK berwarna seperti teh tua. Semakin hari mata

pasien semakin kuning dan kuningnya menyebar hingga ke kulit tangan dan kaki

pasien. Sebelumnya pasien tidak pernah menderita penyakit kuning dan

dikeluarganya juga tidak ditemukan riwayat penyakit yang sama. Dilihat dari

gejala-gejala pasien dimana gejala-gejala seperti demam, kurang nafsu makan,

mual, nyeri perut, dan kemudian BAK berwarna teh tua disusul dengan timbul

kuning pada kulit dan mata, ditambah dengan penemuan dari pemeriksaan fisik

didapatkan adanya sklera ikterik pada kedua mata, hepatomegali 3 jari dibawah

14
arcus costae yang kenyal pada perabaan dengan permukaan rata dan tepi tajam,

yang terjadi setelah pasien meminum OAT, maka diagnosis sementara adalah

jaundice suspect hepatitis drug induce karena pengaruh pemakaian OAT.

Hepatomegali dan tenderness pada perabaan hati yang timbul pada pasien

dikarenakan hepatitis drug induce (OAT) dapat mempengaruhi fungi liver ketika

melakukan replikasi dalam hepatosit. Sistem imun seseorang kemudian akan

teraktivasi untuk memproduksi sebuah reaksi spesifik untuk mencoba melawan dan

mengeradikasi agen infeksius tersebut. Sebagai konsekuensinya, liver akan

pembesaran.

Dari anamnesis didapatkan 1 hari SMRS kesadaran pasien mengalami

penurunan, pasien menjadi sering gelisah, tidak bisa tidur. Pasien juga tidak bisa

menjawab pertanyaan yang diberikan, pasien hanya mau membuka matanya

melalui rangsangan berupa sentuhan (tepukan) di tubuhnya. Gerakan tangan pasien

juga mulai tidak terkendali, pasien sering menggerakkan tangannya tanpa maksud

yang jelas. Gejala-gejala sebelumnya seperti kuning, kencing berwarna coklat tua,

dan nafsu makan yang berkurang masih ditemukan pada pasien. Berdasarkan

pemeriksaan neurologis ditemukan adanya refleks patologis pada pasien.

Berdasarkan gejala yang dialami pasien disertai pemeriksaan fisik yang ada maka

pasien menderita ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepaticum merupakan suatu

syndrome neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit hati, mulai dari

gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan

koma.

15
Berdasarkan pemeriksaan laboraorium didapatkan leukosit sebesar

17.700/mm3, nilai tersebut mengalami peningkatan dari nilai normalnya.

Peningkatan nilai leukosit menandakan terjadinya infeksi yang bersifat sekunder

pada pasien ini. Infeksi ini terjadi lebih dikarenakan akibat daya imun pasien yang

semakin menurun karena pengaruh penyakit yang ada ditambah dengan kondisi

asupan gizi yang kurang, malnutrisi (RBW=88%)

Beberapa fungsi hati adalah menyaring darah, membuat empedu yaitu zat

yang digunakan untuk mengemulsi lemak, memproses dan mengikat lemak pada

pengangkutnya (protein) termasuk kolesterol, menyimpan gula, dan membantu

tubuh untuk mengangkut dan menghemat energi, membuat protein-protein penting

seperti albumin yang mengatur pengakutan cairan didalam darah dan ginjal,

protein-protein yang terlibat pada pembekuan darah, sebagai tempat metabolisme

obat-obatan seperti barbiturat, sedatif, and amfetamin, menyimpan besi, tembaga,

vitamin A dan D, dan beberapa dari vitamin B, memproduksi hormon eritropoetin

untuk merangsang pembentukan sel-sel darah, dan lain-lain.

Jika hati menjadi radang atau terinfeksi, maka kemampuannya untuk

melaksanakan fungsi-fungsi ini jadi melemah. Hal inilah yang menjelaskan

mengapa pada pasien ditemukan penurunan hemoglobin (Hb = 10,1 gr/dl)

AST (Aspartate Transaminase) atau SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase) adalah enzim yang ditemukan pada parenkim hati, sel darah merah,

ginjal, otot jantung, dan otot skeletal. Pada pasien didapatkan pengkatan kadar AST

(74 u/l)Level AST dapat meningkat pada kondisi hepatitis, sirosis hepatis,

hepatoselluler kasrsinoma.

16
Alkaline phosphatase pasien juga mengalami kenaikan sedikit yaitu 166

IU/l dimana nilai normalnya berkisar antara 40-150 IU/l. Alkaline phosphatase

biasanya naik pada keadaan duktus biliaris terblok misalnya pada kolestasis,

kolesistitis, kolangitis, sirosis hepatis, fatty liver, hepatitis, tumor hati, dan lain-lain.

Pada hepatitis peningkatan ALP tidak sebanyak ALT dan AST, namun pada

obstruksi duktus biliaris akibat batu empedu atau kanker peningkatan ALP akan

lebih signifikan dari AST dan ALT. Level ALP ditemukan lebih tinggi pada wanita

hamil dan anak-anak. ALP yang meningkat juga dapat menjadi tanda adanya

formasi tulang yang aktif misalnya pada Penyakit Paget karena ALP adalah produk

aktivitas osteoblas.

Kadar Ureum dan creatinin yang meningkat (ur = 111 mg/dl, Cr = 3 mg/dl)

dapat menandakan adanya penurunan dalam fungsi ginjal baik itu dalam hal

penyaringan maupun pembuangan.

Dari hasil pemeriksaan elektrolit didapatkan nilai kalium sebesar 2,2 mg/dl.

Nilai tersebut mengalami penurunan dari nilai normalnya yaitu 3,3 mg/dl-5,5mg/dl.

Sehingga pasien mengalami kondisi hipokalemia.

Pada pasien didapatkan bilirubin total 30,83 mg/dl, hasil ini mengalami

peningkatan dari nilai normal. Bilirubin adalah hasil pemecahan heme yaitu bagian

dari hemoglobin. Liver bertanggungjawab atas clearance dari bilirubin melalui

proses konjugasi agar lebih larut air untuk disekresi ke empedu kemudian diekskresi

ke lumen usus. Ikterus yang timbul pada pasien diakibatkan oleh proses peradangan

intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi. Fase ini terjadi di mana

penyakit kuning berkembang di tingkat bilirubin total melebihi 20 - 40 mg/l. Fase

17
ikterik biasanya dimulai dalam waktu 10 hari gejala awal didahului urin yang

berwarna coklat, sklera kuning, kemudian seluruh badan menjadi kuning.

Dari semua hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang ada

maka pasien ini didiagnosis dengan encephalopathy hepaticum grade III et causa

hepatitis drug induce (OAT) + Kasus baru TB paru BTA (++) on terapi OAT

kategori I fase Intensif dengan infeksi sekunder + hipokalemia + insuffisiensi ginjal.

Diagnosis bandingnya adalah encephalopathy hepaticum grade III et causa

hepatitis viral acute + Kasus baru TB paru BTA (++) on terapi OAT kategori I fase

Intensif dnegan infeksi sekunder + hipokalemia + insuffisiensi ginjal. Untuk

pemeriksaan lebih lanjut maka diperlukan pemeriksaan HbsAg, AntI HAV IgM,

Anti HCV, PT INR, foto thoraks PA, USG abdomen dan kultur serta resistensi

sputum.

Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-

medikamentosa. Non medikamentosa berupa tirah baring, Diet cair HATI I +

protein 20 gr/hari. Sedangkan medikamentosa meliputi pemberian KCL (IVFD

NaCl 0,9 %+ 2 flash KCL gtt XV kali/menitIVFD RL) untuk memperbaiki

kondisi hipokalemia,. IVFD drip Hepamerz 2 Amp dalam RL 500 gtt XV kali/

menit, pemberian selulosa 2x1 c yang bermanfaat dalam menciptakan lingkungan

dengan pH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain itu juga

membuat frekuensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit

protein di usus. Pasien juga diberikan OBH syrup untuk mengurangi batuk yang

dialaminya, serta diberikan antibiotic ceftriaxone untuk mengatasi infeksi sekunder

yang terjadi.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo, D.L, et all; Hepatic Encephalopathy in


Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. USA: McGraw-
Hill. 2006.
2. Herrine, Steven K. Portal-systemic Encephalopathy. Merck & CO.2009.
http://www.merck.com/mmpe/sec03/ch022/ch022g.html
3. J E J Krige, I J Beckingham . Portal hypertension -2. Ascites,
encephalopathy, and other conditions 22 In ABC Of Liver, Pancreas And
Gall Bladder. London : BMJ Books.2001. p. 22-24
4. Mullen, D Kevin. Pathogenesis. ClinicalManifestation, and diagnosis of
Hepatic Encephalopathy. 2007
5. Sheila, Sherlock. Chapter 20 : Drugs and liver in Diseases of the Liver and
Biliary System, 11th edition. Milan : Blackwell science. 2002. p 335-364
6. Sood, Gagan K. Porto-systemic Encephalopathy. Baylor College Medicine.
2010. http://emedicine.medscape.com/gastroenterology#liver
7. Zubir, Nasrul. Koma Hepatik in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, 4th
Edition. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006. p. 449-451.

20
21

You might also like