You are on page 1of 5

Sabtu, 22 Desember 2012

HADIS “AQIQAH
DIBAGIKAN MASAK”
oleh Amin Saefullah
Muchtar
Kebolehan daging aqiqah dibagikan dalam keadaan
masak didasarkan pada hadis sebagai berikut:
Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan melalui Abdul Malik,
dari Atha, dari Abu Kurz, dari Ummu Kurz, ia berkata:
‫غالَ ُما‬ُ ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ‫ع ْب ِد‬َ ُ ‫ام َرأَة‬ْ ‫ت‬ ْ ‫إن َولَ َد‬ ْ ‫من ب ِْن أ َ ِبي بَ ْك ٍر‬ِ ْ‫الرح‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ام َرأَة ٌ ِم ْن أ َ ْه ِل‬ ْ ‫ت‬ ْ َ‫قَال‬
‫ع ْن‬َ ‫ان َو‬ ِ َ ‫ع ْن ْالغُ َال ِم شَات‬
ِ َ ‫ان ُم َكافَأَت‬ َ ُ‫سنَّة‬ ُّ ‫شةُ ََل بَ ْل ال‬َ ِ‫عائ‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫ورا فَقَال‬ ً ‫ع ْنهُ َج ُز‬ َ ‫نَ َح ْرنَا‬
‫صد َُّق يَ ْفعَ ُل ذ ِل َك‬ َ َ ‫ط ِع ُم َويَت‬ْ ُ‫ظ ٌم فَيَأ ْ ُك ُل َوي‬ ْ ‫ع‬
َ ‫س ُر لَ َها‬
َ ‫ُوَل َو ََل يُ ْك‬
ً ‫طبَ ُخ ُجد‬ ْ ُ‫اريَ ِة شَاة ٌ ي‬ ِ ‫ْال َج‬
َ‫ع ْش َرة َ فَإِ ْن لَ ْم يَ ْفعَ ْل فَ ِفي إحْ َدى َو ِع ْش ِرين‬ َ َ‫سا ِبعِ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْفعَ ْل فَ ِفي أ َ ْربَعَة‬َّ ‫فِي ْاليَ ْو ِم ال‬
Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin
Abu Bakar berkata jika istri Abdurrahman melahirkan
anak laki-laki, kami akan menyembelih kambing. Maka
Aisyah berkata, “Tidak perlu, bahkan sunah (yaitu) dua
kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk
anak perempuan. Dimasak anggota badannya dan
tidak dihancurkan tulang-tulangnya, lalu makan,
dibagikan dan disadaqahkan. Hal itu dilakukan pada
hari ke-7, jika tidak bisa pada hari ke-14, jika tidak bisa
pada hari ke-21” Lihat, Musnad Ishaq bin Rahawaih,
III:692, No. hadis 1292
Keterangan:
1. Hadis di atas dikategorikan sebagai hadis mauquf
(ucapan Aisyah)
2. Pada hadis ini digunakan ungkapan yuthbakhu
judulan. Artinya aqiqah itu dimasak sepenggal-
sepenggal. Dengan demikian, menurut hadis ini aqiqah
itu dimasak dengan cara “seanggota-seanggota
badannya”, tidak boleh direcah sehingga anggota-
anggotanya terpotong-potong, tidak boleh pula
tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.
Namun dalam riwayat al-Hakim melalui Muhamad bin
Ya’qub as-Syaibani, dari Ibrahim bin Abdullah, dari
Yazid bin Harun, dari Abdul Malik bin Abu Sulaiman,
dari Atha, dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka
berdua berkata:
‫الرحْ َم ِن نَ َح ْرنَا‬ َ ُ ‫ام َرأَة‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ ْ ‫ت‬ ْ ‫إن َولَ َد‬ ْ ‫من ب ِْن أ َ ِبي بَ ْك ٍر‬ ِ ْ‫الرح‬ َ ‫ام َرأَة ٌ ِم ْن آ ِل‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ ْ ‫ت‬ ْ ‫نَذَ َر‬
‫ع ْن‬َ ‫ان َو‬ ِ َ ‫ع ْن ْالغُ َال ِم شَات‬
ِ َ ‫ان ُم َكافَأَت‬ َ ‫ض ُل‬ َ ‫سنَّةُ أ َ ْف‬
ُّ ‫ بَ ْل ال‬،‫شةُ ََل‬ َ ِ‫عائ‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫ورا فَقَال‬ ً ‫َج ُز‬
‫اك‬َ َ‫صد َُّق َو ْليَ ُك ْن ذ‬َ َ ‫ط ِع ُم َويَت‬ْ ُ‫ظ ٌم فَيَأ ْ ُك ُل َوي‬ْ ‫ع‬
َ ‫س ُر لَ َها‬ َ ‫ُوَل َو ََل يُ ْك‬
ً ‫ط ُع ُجد‬ ِ ‫ْال َج‬
َ ‫اريَ ِة شَاة ٌ ت ُ ْق‬
َ‫عش ََر فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فَ ِفي إحْ َدى َو ِع ْش ِرين‬ َ َ‫سا ِبعِ فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فَ ِفي أ َ ْربَعَة‬َّ ‫يَ ْو َم ال‬
Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin
Abu Bakar bernazar jika istri Abdurrahman melahirkan,
kami akan menyembelih kambing. Maka Aisyah
berkata, “Tidak perlu, bahkan sunah lebih utama (yaitu)
dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing
untuk anak perempuan. Dipotong-potong anggota
badannya dan tidak dihancurkan tulang-tulangnya, lalu
makan, dibagikan dan disadaqahkan. Lakukanlah itu
pada hari ke-7, jika tidak bisa lakukanlah pada hari ke-
14, jika tidak bisa lakukanlah pada hari ke-21” Kata al-
Hakim, “Ini hadis sahih sanad, dan keduanya (al-
Bukhari-Muslim) tidak meriwayatkannya” Lihat, al-
Mustadrak, IV:266, No. hadis 7595
Pada hadis ini digunakan
ungkapan tuqtha`u judulan. Kata tuqtha`u artinya
dipotong. Sedangkan kata judulan adalah bentuk jamak
(plural) dari kata Jidlun, artinya “anggota”.
Dengan demikian, pada hadis ini tidak terdapat
keterangan aqiqah itu dimasak, namun hanya
diterangkan mesti dipotong dengan cara “seanggota-
seanggota badannya”, tidak boleh direcah sehingga
anggota-anggotanya terpotong-potong, tidak boleh pula
tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.
Sedangkan dalam riwayat al-Baihaqi melalui Ali bin
Ahmad bin Abdan, dari Ahmad bin Ubed, dari Usman
bin Umar, dari Musaddad, dari Abdul Waris, dari Amir
al-Ahwal, dari Atha, dari Ummu Kurz, dengan redaksi
langsung tanpa diterangkan kisah nadzarnya juga tidak
disertai komentar dari Aisyah, sebagai berikut:
‫ع ِن‬َ «: -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ت قَا َل َر‬ ْ َ‫ع ْن َها قَال‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫ى‬َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أ ُ ِم ُك ْر ٍز َر‬َ
ٌ ‫اريَ ِة شَاة‬ِ ‫ع ِن ْال َج‬ َ ‫ان َو‬ِ َ ‫ان ُم َكافَأَت‬ ِ َ ‫ْالغُالَ ِم شَات‬
Dari Ummu Kurz, ia berkata, “Rasulullah saw.
Bersabda, ‘Dua kambing untuk anak laki-laki dan satu
kambing untuk anak perempuan’.”
Setelah itu al-Baihaqi menyertakan keterangan Atha
bin Rabah dengan dua redaksi sebagai berikut:
Pertama (jalur Amir al-Ahwal):
‫ت‬ َ ْ‫ ِإذَا ذَبَح‬: ‫طا ٌء‬ َ ‫ع‬َ ‫طبَ ُخ قَا َل َوقَا َل‬ ْ ُ ‫ظنُّهُ قَا َل َوت‬
ُ َ ‫ظ ٌم أ‬ْ ‫ع‬َ ‫س ُر لَ َها‬َ ‫ط ُع ُجدُوَلً َوَلَ يُ ْك‬ َ ‫ت ُ ْق‬
َ ‫َّللاُ أ َ ْكبَ ُر َه ِذ ِه‬
‫ع ِقيقَةُ فُالَ ٍن‬ ِ َّ ‫فَقُ ْل ِبس ِْم‬
َّ ‫َّللا َو‬
“Dipotong-potong anggota badannya dan tidak
dihancurkan tulang-tulangnya” Kata rawi (Amir): aku
menduga ia mengatakan: “tuthbakhu (dimasak)” Ia
(Amir) berkata, “Atha berkata, ‘Apabila kamu hendak
menyembelih ucapkanlah: Bismillah wallahu Akbar, ini
aqiqah si Polan’.”
Kedua (jalur Ibnu Jurej):
‫ان‬ َ ‫ح َويُ ْهدِى فِى ْال ِج‬
ِ ‫ير‬ ٍ ‫طبَ ُخ بِ َماءٍ َو ِم ْل‬
ْ ُ ‫آرابًا َوت‬
َ ‫آرابًا‬ َ ‫ت ُ ْق‬
َ ‫ط ُع‬
“dipotong seanggota-seanggota, dimasak dengan air
dan garam, dihadiahkan kepada tetangga”

Semua keterangan di atas tercatat dalam karya al-


Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX:302, No hadis 19.765

Analisa

Ketiga riwayat di atas menunjukkan 3 versi. Pertama,


versi Ishaq bin Rahawaih, yaitu Aisyah mengatakan
aqiqah itu dimasak sepenggal-sepenggal. Kedua, versi
al-Hakim, yaitu Aisyah mengatakan aqiqah itu dipotong
sepenggal-sepenggal, bukan dimasak. Ketiga, versi al-
Baihaqi bahwa yang mengatakan aqiqah itu dimasak
sepenggal-sepenggal adalah Atha, bukan Aisyah.
Padahal jalur periwayatan ketiga versi itu sama, yaitu
dari Atha, dari Ummu Kurz. Jadi, mana yang benar?
Hemat kami yang benar adalah versi ketiga, yaitu
aqiqah dimasak sepenggal-sepenggal semata-mata
hanya pendapat Atha bin Abu Rabah, seorang tabi’in
(w. 114 H), bukan pendapat Aisyah. Karena versi
pertama (dimasak) dan kedua (dipotong), kedua-
duanya daif, yaitu terjadi inqitha (keterputusan sanad)
antara Atha dan Ummu Kurz, karena Atha tidak pernah
menerima hadis apapun dari Ummu Kurz,
sebagaimana dinyatakan oleh para ulama hadis, antara
lain Ali bin al-Madini.
ِ ‫ف ِب ْالبَ ْي‬
‫ت َولَ ْم يَ ْس َم ْع‬ ُ َ‫س ِع ْي ٍد ْال ُخ ْد ِري ِ ي‬
ُ ‫ط ْو‬ َ ‫ع َم َر َولَ ْم يَ ْس َم ْع ِم ْنهُ َو َرأَى أَبَا‬
ُ َ‫َرأ َى ابْن‬
‫سلَ َمةَ َو َلَ ِم ْن أ ُ ِم هَا ِنى َو َلَ ِم ْن أ ُ ِم‬ َ ‫ِم ْنهُ َولَ ْم يَ ْس َم ْع ِم ْن زَ ْي ِد ب ِْن خَا ِل ٍد َو َلَ ِم ْن أ ُ ِم‬
‫ش ْيئًا‬َ ‫ُك ْر ٍز‬
Ia melihat Ibnu Umar dan tidak menerima hadis
darinya. Melihat Abu Sa’id al-Khudriyyi dan thawaf di
Baitullah dan tidak menerima hadis darinya. Ia tidak
menerima hadis dari Zaid bin Khalid, Ummu Salamah,
Ummu Hani, dan Ummu Kurz. Lihat, Tahdzib at-
Tahdzib, karya Ibnu Hajar (w. 852 H), VII:202; Tuhfah
at-Tahshil fi Dzikr Ruwah al-Marasil, karya al-‘Iraqi (w.
826 H), I:228.

Selain itu, dengan memperhatikan riwayat al-Baihaqi,


kuat dugaan bahwa kalimat
َ ‫ت ُ ْق‬...
ً ‫ط ُع ُجد‬
‫ُوَل‬
Pada versi pertama dan kedua merupakan idraj
(sisipan kalimat) dari Atha bin Abu Rabah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anjuran


agar aqiqah dimasak dahulu sebelum
dibagikan/dibagikan dalam keadaan masak bukan
bagian dari syariat Islam.

You might also like