You are on page 1of 35

Masalah Pengawasan Keuangan Publik

BAB I
Pendahuluan

Pengertian Pengawasan Keuangan Negara


Secara umum yang dimaksud dengan pengawasan adalah segala kegiatan
dan tindakan untuk menjamin agar penyelenggaraan suatu kegiatan tidak
menyimpang dan tujuan serta rencana yang telah digariskan. Karena pihak yang
paling bertanggungjawab atas kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan tujuan dan
rencananya ini adalah pihak atasan, maka pengawasan sesungguhnya mencakup
baik aspek pengendalian maupun aspek pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak
atasan terhadap bawahannya. Menurut Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang
keuangan negara, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Bila pengertian pengawasan tersebut
diterapkan terhadap pengawasan keuangan negara, maka dapat dikemukakan
bahwa pengawasan keuangan negara adalah segala tindakan untuk menjamin agar
pcngelolaan keuangan negara berjalan sesuai dengan tujuan, rencana, dan aturan-
aturan yang telah digariskan. Karena yang menjadi objek pengawasan keuangan
negara adalah anggaran negara, maka pengertian pengawasan keuangan negara
diihat dari segi komponen anggaran negara dapat pula dinyatakan sebagai berikut:
pengawasan keuangan negara adalah segala kegiatan untuk menjamin agar
pengumpulan penerimaan-penerimaan negara, dan penyaluran pengeluaran-
pengeluaran negara, tidak menyimpang dari rencana yang telah digariskan di dalam
anggaran. Dengan adanya reformasi dibidang keuangan negara seperti terbitnya UU
RI No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, dan undang-undang lainnya seperti
tersebut di atas dan termasuk juga pengaturan sistem pengelolaan keuangan
daerah yang telah tergabung di dalam sistem keuangan negara. Setelah peraturan
perundang-undangan dibidang keuangan negara dilaksanakan, kurang lebih lima
tahunan, maka sudah pasti ditemukan kendala dan permasalahan, sebagai contoh,
dimana keberadaan keuangan daerah dalam sistem keuangan negara seperti tidak
termuatnya pengertian, lingkup dan hubungannya dengan keuangan negara. Akibat
kekurang- jelasan pengertian ini, dapat berdampak juga pada sistem dan
kewenangan pemeriksan keuangan negara yang dilakukan oleh badan pemeriksa
keuangan (BPK).
Oleh karena itu, sudah waktunya setiap permasalahan yang timbul sebagai akibat
dari pelaksanaan, dapat dijadikan bahan pertimbangan guna dicari pemecahan dan
solusinya, yakni dengan melakukan penelitian, pengkajian, pengevaluasian secara
komprehensif. Hasil penelitian dijadikan saran dan usulan dalam rangka
penyempurnaan kembali peraturan perundang-undangan dibidang keuangan negara
yang telah berjalan selama ini.
Mengingat sangat pentingnya pengawasan terhadap keuangan negara, maka baik
pengawasan intern maupun pengawasan ekstern perlu ditingkatkan secara terus
menerus. Meskipun telah banyak peraturan (regulasi) yang mengatur tentang
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), namun tanpa political will dari Pemerintah
untuk secara sungguh-sungguh memberantas praktek KKN, hal tersebut tidak ada
artinya.Sistem pengelolaan keuangan negara perlu disempurnakan dan ditertibkan,
antara lain mencakup sistem administrasi pembukuan yang masih mengandung
kelemahan. Aparat / lembaga pengawasan yang ada, baik lembaga pengawasan
intern dan ekstern perlu lebih diberdayakan sehingga tidak sekedar sebagai
pelengkap saja. Selain itu yang tidak kalah penting adalah peningkatan moral
/akhlaq para penyelenggara negara, melalui peningkatan iman dan taqwa yang
sesungguhnya.Dalam hal ini rakyat membutuhkan keteladanan dari pejabat negara,
yaitu satunya” kata dan perbuatan” alias tidak munafiq.Adanya berbagai upaya
tersebut, diharapkan kebocoran atau penyelewengan keuangan negara yang
diakibatkan oleh korupsi, manipulasi dan tindak penyelewengan lainnya dapat
dicegah atau dihindari. Akhirnya semoga tekad Pemerintah untuk mewujudkan
aparatur yang bersih dan berwibawa dapat diupayakan terwujud dan bukan semata-
mata sebagai slogan saja

1.2 Rumusan Masalah


1.Telaahan penerapan dan hubungan sistem keuangan negara dengan sistem
keuangan daerah dan pertanggungjawabannya.
2.Peran BPK dalam pengawasan keuangan Negara
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui penerapan dan hubungan sistem keuangan negara dengan
sistem keuangan daerah dan pertanggungjawabannya.
2.untuk mengetahui peran BPK dalam pengawasan keuangan Negara

BAB II
Pembahasan
2.1 Keuangan Daerah
Dasar hukum
1. UU RI No. 17 thn. 2003 Tentang Keuangan Negara;
2. UU RI No. 1 thn. 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
3. UU RI No. 15 thn. 2004 Tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
4. UU RI No. 32 thn. 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
5. UU RI No. 33 thn.2004 Tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, dan a.l.;
6. PP RI No. 56 thn. 2005 Tentang sistem informasi keuangan daerah;
7. PP RI No. 58 thn. 2005 Tentang pengelolaan keuangan daerah.
Salah satu maksud dari diterbitkannya pengaturan keuangan negara ini antara lain
adalah menyatukan sistem keuangan negara yang dikelola pemerintah pusat
dengan sistem keuangan daerah yang dikelola pemerintah daerah. karena itu, dalam
UU RI no. 17 thn. 2003 sebenarnya sudah dimuat materi-materi keuangan daerah,
seperti tentang APBD, penerimaan, pengeluaran, pendapatan, dan belanja daerah,
termasuk adanya istilah keuangan daerah.
Namun mengenai pengertian dan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah
yang termuat dalam UU RI no. 17 thn. 2003 dan UU RI no. 1 thn. 2004, ternyata
menimbulkan beberapa hal yang menjadi ketidakjelasan atau bahkan menjadi
kabur.
Pengertian Keuangan daerah
1. Dalam penjelasan atas UU RI no. 17 thn. 2003 tidak dimuat uraian mengenai
dasar pemikiran, ruang lingkup maupun kekuasaan atas pengelolaan keuangan
daerah dalam kaitannya dengan upaya penyatuan peraturannya. tetapi yang dimuat
hanya menyangkut sebagian dari keuangan daerah yakni tentang penyusunan dan
penetapan APBD.
2. Penggunaan istilah keuangan daerah tidak konsisten, contoh, UU RI no. 17 thn.
2003 dalam bab satu, ketentuan umum, sama sekali tidak dimuat pengertian dan
istilah keuangan daerah. tetapi dalam bab-bab dan pasal-pasal berikutnya, istilah
keuangan daerah digunakan juga, antara lain lihat pasal 6 ayat (2) huruf c; dalam
pasal 10 bahkan ada istilah pejabat pengelola keuangan daerah,

3. Anehnya istilah dan pengertian keuangan daerah baru diatur dalam PP RI no. 58
thn. 2005, bukan diatur dalam UU.

Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah


1. Akibatnya, istilah dan pengertian keuangan daerah tidak dimuat dalam UU ini,
maka terkait dengan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah, juga tidak
dimuat dalam bab sendiri, tapi yang ada hanya bab tentang kekuasaan atas
pengelolaan keuangan negara saja;
2. Bagaimana makna, status dan hubungan keuangan negara yang kewenangan
pengelolaan diserahkan pada gubernur, bupati dan walikota lalu statusnya berubah
menjadi lingkup pengelolaan keuangan daerah;
3. Dalam UU RI no. 1 thn. 2004 pejabat pengelola keuangan daerah hanya berfungsi
sebagai pelaksana pengelolaan APBD, sementara gubernur, bupati dan walikota
tidak dinyatakan sebagai pejabat penanggung jawab atas pengelolaan keuangan
daerah (pasal 1 angka 19 dan 21 UU RI no. 1 thn. 2004. Jadi dalam pelaksanaannya
wajar jika ada anggapan bahwa pengelolaan keuangan daerah bukan wewenang
kepala daerah (lihat kompas, 14 april 2009, korupsi APBD manado).
4. Tentang kepala daerah ditetapkan selaku pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah, sayang baru diatur dalam UU RI no. 32 thn. 2004 (dengan bab
tersendiri), seyogianya dan lebih tepat kalau dimuat di dalam UU RI no. 17 thn.
2003.
Hubungan Keuangan Negara Dengan Keuangan Daerah
1. Karena tidak ada pengertian keuangan daerah, maka status dan substansi dari
keuangan daerah dalam hubungannya dengan keuangan negara, menjadi tidak
jelas. misalnya, apakah keuangan daerah merupakan bagian atau tidak dari pada
keuangan negara.
2. Kalau statusnya bukan bagian atau subsistem keuangan negara, (lihat UU RI no.
17 thn. 2003 pasal 6 ayat (2) huruf c) maka hubungannya dengan kewenangan
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah oleh BPK menjadi kabur. misalnya
apakah BPK atau badan pemeriksaan lainnya berwenang melakukan pemeriksaan
atas keuangan daerahnya.
3. Selanjutnya, angka 2 di atas bila dikaitkan dengan bunyi UU RI no. 17 thn. 2003
pasal 16 ayat (1) sebenarnya sudah tegas dan sejalan. dimana APBD selain sebagai
salah satu komponen dari keuangan daerah, juga sebagai wujud pengelolaan dari
keuangan daerah.
4. Pengaturan hubungan antara keuangan daerah yang dikelola oleh pemerintah
daerah provinsi dengan yang dikelola oleh kabupaten/kota juga tidak dimuat, baik
dalam UU RI no. 17 thn. 2003, UU RI no. 1 thn. 2004 maupun UU RI no. 32 dan 33
thn. 2004, tidak ada pengaturannya. Apakah perlu ada pengaturannya di dalam satu
UU?
2.2 Tahun Anggaran
1. Salah satu kendala keterlambatan dalam pelaksanaan APBD maupun
penyusunan perencanaan anggaran oleh pemerintah daerah adalah tidak
sinkronnya waktu dari tahun anggaran. Jika penyusunan anggaran pemerintah pusat
adalah pada triwulan ke-empat tahun anggaran berjalan tapi penyusunan anggaran
pemerintah daerah barulah bisa dilakukan pada triwulan ke-satunya, masuk diawal
tahun anggaran barunya.
2. Otomatis pemerintah daerah dihadapkan pada dua tugas besar, yakni
penyusunan perencanaan anggaran tahun yang akan datang, di sisi lain
pentuntasan pelaksanaan anggaran akhir tahun dari APBD. ditambah lagi pencairan
dana APBN untuk APBD, umumnya baru direalisasikan sekitar akhir bulan pada
triwulan ke-empat. Bagaimana pemerintah daerah mengoptimalkan realisasi atau
daya serap anggarannya? Jadi wajar jika pada pemerintah daerah terjadi
pengendapan dana yang relatif besar karena tidak bisa dicairkan.
3. Dalam hal penyusunan perencanaan anggaran daerah, pemerintah daerah
‘sangat’ terkait dengan perolehan ‘kepastian’ besaran alokasi dana APBN. Kepastian
dana alokasi ini umumnya baru dapat diketahuinya pada bulan terakhir dari tahun
anggaran berjalan, yakni sekitar bulan desember. Setelah itu, pemerintah daerah
baru dapat memulai penyusunannya, selesainya kira-kira satu triwulan atau sekitar
bulan maret-april.
4. Lalu rancangan anggaran daerah yang telah mendapat persetujuan DPRD, masih
harus melalui proses evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk RAPBD
pemerintahan provinsi atau gubernur untuk RAPBD pemerintahan kabupaten/kota
(PP RI no. 58 thn. 2005 pasal 47 ayat (1) dan pasal 48 ayat (1). hal ini, membuat
semakin lambatnya pemerintah daerah melaksanakan anggarannya.
5. Atas dasar angka 1-4 di atas, maka salah satu solusi pemecahan masalah ini,
yakni tahun anggaran daerah masa lakunya dimundurkan menjadi sejak tanggal 1
april tahun berikutnya, sehingga tahun anggarannya tidak sama dengan tahun
anggaran negara.
Pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah UU RI no. 15
thn. 2004 merupakan dasar hukum bagi BPK dalam melakukan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, lalu bagaimana dengan
kewenangan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah (UU RI no. 15 thn.
2004 pasal 2 ayat (1) dan pasal 17 ayat (2) karena dalam UU ini tidak ada sama
sekali menyebut istilah keuangan daerah, hanya menggunakan istilah keuangan
pemerintah daerah).
1. Karena lingkup pemeriksaan Keuangan Negara maupun Keuangan Daerah sangat
besar, maka BPK jelas tidaklah sanggup dan mampu melaksanakannya. Sebaiknya
UU ini direvisi dengan memuat juga peran dari aparat-aparat pengawasan intern
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (tersirat pada uu ri no. 15 thn. 2004 pasal
9 ayat (1)). Sehingga BPK dapat menjalin sistem koordinasi dan pendistribusian
kewenangan tugas pemeriksaan dengan aparat-aparat pengawas dan pemeriksa ini.
2. Wujud laporan keuangan negara/keuangan daerah yang dibuat dan disampaikan
oleh Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota kepada DPR/DPRD, apakah
laporannya ini perlu terlebih dahulu diperiksa oleh BPK?.dalam UUD thn. 1945 pasal
23 dan pasal 23e, masalah ini tidak diatur.
3. Bahkan UUD 1945 menegaskan bahwa hasil pemeriksaan BPK (perlu)
ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan sesuai dengan UU. tapi dalam UU sekarang
tidak diatur penegasan semacam ini. Terkesan BPK tugasnya adalah membantu
tugas dari lembaga perwakilan tersebut.
4. Dalam UU RI no. 17 thn. 2003 materi pasal 27 pasal 28 tidak jelas dan tidak
sesuai dengan judul bab. apakah bentuk laporan realisasi masuk laporan
pertanggungjawaban?.
5. Dalam UU RI no. 17 thn. 2003 pasal 35 ayat (2), bahwa para pejabat bendahara
diwajibkan menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada BPK, adalah kurang
tepat. karena bendahara sekarang ini sudah bersifat ‘kasir’, sementara laporannya
termasuk pertanggungjawaban yang dibuat oleh pengguna/kuasa pengguna
anggaran (UU RI no. 17 thn. 2003 pasal 9 huruf g).
2.3 Otonomi daerah
Dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai
implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara
memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung
jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber
potensi yang ada di daerahnya masing-masing
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di
Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk
federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara
kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan
yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal
yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat
mendapatkan respon tinggidari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah
yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak
daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana
tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta
membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah juga akan lebih tepat sasaran dan tidak
membutuhkan waktu yang lama sehingga akan lebih efisien.
Dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-
oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya
pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan
antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang.
Masalah Otonomi Daerah
Permasalahan Pokok Otonomi Daerah:
1.Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan
penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999
masih sangat terbatas
3. Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan
meluas.
4.Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah.
5. Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta
pengaruh globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang
tidak mudah dikelola
6. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah
7. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang
proporsional kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke
dalampengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam kerangka NKRI beberapa waktu terakhir semenjak bergulirnya
gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak
dibicarakan.
Otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi
daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah,
lembaga perwakilan rakyat, kalanggan akademis, pelaku ekonomi bahkan
masyarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang
“otonomi daerah” menurut pemahaman dan presepsinya masing-masing. Perbedaan
pemahaman dan presepsi dari berbagai kalangan terhadap pemahaman dan
presepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan
perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep otonomi daerah sudah
digunakan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Bahkan pada masa
pemerintahan kolonial belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan
dalam penyelenggaraan pemerintah.
Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan otonomi daerah. UU 1/1945
menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan
hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada daerah. Selanjutnya UU
1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974
menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Sedangkan
saat ini dibawah UU 22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertangggung jawab.

Permasalahan pokok tersebut terefleksi dalam 7 elemen pokok yang membentuk


pemerintah daerah yaitu:
1. Kewenangan,
2. Kelembagaan,
3. Kepegawaian,
4. Keuangan,
5. Perwakilan,
6. Manajemen pelayanan publik, dan
7. Penguasan.
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Meliputi:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
a. Hasil pajak daerah
b. Hasil restribusi daerah
c. Hasil perusahan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset
daerah.
2. Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasil
b.Dana Alokasi Umum (DAU)
c. Dana Alokasi Khusus
3. Pinjaman Daerah
a. Pinjaman Dalam Negeri
1. Pemerintah pusat
2. Lembaga keuangan bank
3. Lembaga keuangan bukan bank
4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
b. Pinjaman Luar Negeri
1.Pinjaman bilateral
2. Pinjaman multilateral
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah;
c. Hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya,
d. Penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2.2Peran BPK dalam pengawasan keuangan Negara

A. Tugas dan Fungsi BPK berdasarkan UUD 1945


BPK merupakan salah satu lembaga pengawasan eksternal dan sebagai suatu
lembaga negara yang memiliki posisi sangat tinggi sesuai UU 1945. Tugas BPK
adalah pemberantasan KKN, memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh
aspek keungan negara, untuk memeriksa semua asal-usul dan besarnya
penerimaan negara dari mana pun sumbernya. BPK memiliki tugas untuk memeriksa
untuk apa uang negara dipergunakan pada tiga lapis pemerintahan di Indonesia
yaitu pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Keuangan negara Indonesia tercermin
pada APBN, APBD, BUMN, BUMD, yayasan, dana pensiun, perusahaan yang terkait
dengan kedinasan, serta bantuan atau subsidi kepada lembaga sosial milik swasta.
B. Struktur Organisasi BPK
Berdasarkan keputusan Ketua BPK No. 34/K/I-VIII.3/6/2007 tanggal 15 Juni 2007
Gambaran mengenai struktur organisasi BPK adalah sebagai berikut :
Terdiri dari 1 orang ketua merangkap anggota, 1 orang wakil ketua merangkap
anggota, dan 7 orang anggota BPK dimana 7 orang anggota ini dibagi untuk
melakukan pembinaan atas suatu lingkup pemeriksaan, evaluasi, pembangunan,
pendidikan dan latihan pemeriksaan keuangan negara, serta satu Direktorat Utama
Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara dan 7
auditorat Utama Keuangan Negara.
C. Visi, Misi dan Tujuan Strategis BPK
1) Visi BPK
Menjaga lembaga pemeriksa keuangan negara yang bebas, mandiri dan profesional
serta berperan aktif dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang akuntabel
dan transparan.
2) Misi BPK
Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam rangka
mendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparansi keuangan negara, serta
berperan aktif dalam mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan transparan.
3) Tujuan Strategis BPK
a) Mewujudkan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang
independen dan profesional
b) Memenuhi semua kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan
c) Mewujudkan BPK RI sebagai pusat regulator di bidang pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara
d) Mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara.
D. Peranan BPK Sekarang dan Mendatang
Peningkatan peran BPK telah dimulai sejak beberapa tahun lalu sebelum terbitnya
UU No. 15 tahun 2006 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
Peran BPK sekarang dan mendatang antara lain :
1) Membantu masyarakat dan pengambil keputusan untuk melakukan alternatif
pilihan masa depan.
2) Mendalami kebijakan dan masalah publik.
3) Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi bagi peningkatan efektivitas
dan efisiensi kebijakan pemerintah serta ketaatan atas aturan lingkungan hidup dan
pembangunan berkelanjutan.
4) Membantu pemerintah untuk mengimplementasikan paket ketiga UU tentang
keuangan negara tahun 2003-2004 melalui:
a) Penyatuan anggaran non bujeter dan kegiatan auasi-fiskal ke dalam APBN.
b) Memperjelas peran dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan.
c) Mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang
transparan dan akuntabel.
d) Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan antara instansi
pemerintah di tingkat pusat, daerah serta keduanya maupun antara pemerintah
dengan BUMN, BUMD serta perusahaan swasta yang mendapatkan subsidi dari
negara.
5) Membantu pemerintah melakukan perubahan struktural BUMN, maupun Badan
Layanan Umum.
6) Upaya pemberantasan korupsi dengan melaporkan tindakan KKN kepada
penegak hukum.
E. Landasan Operasional BPK menurut UU Nomor 15 tahun 2006 adalah sebagai
berikut :
1) BPK terdiri dari 9 orang yaitu satu orang ketua merangkap anggota, satu orang
wakil ketua merangkap anggota dan tujuh orang anggota. Anggota BPK menjabat
selama 5 tahun dan hanya dapat menjabat selama dua periode.
2) Ketua dan wakil ketua BPK dipilih dari dan oleh anggota.
3) Untuk melakanakan tugasnya BPK dibantu oleh Pelaksana BPK yang terdiri dari
Sekretariat Jenderal, Unit Pelaksana Tugas Pemeriksaan, Unsur Penunajgn,
Perwakilan BPK, dan pejabat lain sesuai dengan kebutuhan.
4) Pelaksanaan tugas dan fungsi BPK sepenuhnya dibiayai dari APBN yang
besarnnya ditetapkan oleh DPR.
5) Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di lingkungan BPK diperiksa
oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh DPR atas usul Menteri Keuangan.
F. Kedudukan dan Wewenang BPK
Kedudukan BPK setelah amandemen UUD 1945 Lembaga Negara/Penyelenggara
Wewenang BPK
1) Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyajikan
laporan pemeriksaan.
2) Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang
dan atau unit organisasi yang mengelola keuangan negara.
3) Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara dan kode etik pemeriksaan.
4) Menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara dan/atau pengelola keuangan negara.
5) Memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai keuangan.
Kewenangan BPK dalam melakukan audit terdiri atas seluruh kekayaan negara
tanpa kecuali penafsiran BPK secara luas atas kewenangannya dalam melakukan
pemeriksaan dilegitimasi oleh perubahan ketiga UUD 1945 terutama pasal 23E, 23F
dan 23G.yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23E (1) untuk memeriksa dan tanggungjawab tentang keuangan negara
diadakansuatu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. (2) hasil
pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD sesuai dengan
kewenangannya.(3) hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga
perwakilan dan atau badan sesuai dengan Undang-undang. Pasal 23F berbunyi (1)
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan
diresmikan oleh presiden.(2) pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota. Pasal 23G
berbunyi (1) BPK berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di tiap
provinsi. (2) ketentuan lebih lanjut tentang BPK diatur dalam Undang-undang.
2. Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara
Tugas utama Badan Pengawas Keuangan Negara (BPK) adalah memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menyerahkan semua hasil
pemeriksaan tersebut kepada lembaga perwakilan untuk mendorong transparansi
dan akuntabilitas penyelenggaraan keuangan negara sebagai hal utama dalam
demokrasi ekonomi dan politik yang sesungguhnya. Sebelum kita berbicara lebih
jauh, perlu diketahui mengenai pengertian transparansi dan akuntabilitas.
Pengertian transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan
jujur kepada masyarakat berdasarkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk
mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban kepadanya
dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan (KK, SAP, 2005). Sedangkan
akuntabailitas adalah mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta
pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas serta pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan secara periodik (KK, SAP, 2005).
Sejak amandemen UUD 1945 paket tiga UU Keuangan negara (2003-2004) dan UU
No. 15/2006 tentang BPK, BPK pun telah melaksanakan praktek-praktek
transparansi dan akuntabilitas, upaya ini dimaksudkan untuk membangun sistem
pemerintahan yang baik dan bersih, serta mewujudkan tata kelola/tata
pemerintahan yang baik (good governance). Transparansi dan akuntabilitas
keuangan negara harus diwujudkan dalam lima tahapan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara yaitu :
a. Perencanaan dan penganggaran, meliputi proses konsultatif dan publikasi
perencanaan anggaran dengan lembaga perwakilan.
b. Pelaksanaan anggaran.
c. Akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban anggaran.
d. Pengawasan internal.
e. Pemeriksaan oleh auditor eksternal yang independen.
Transparansi dan akuntabilitas perlu diwujudkan dalam pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi :
a. Realisasi anggaran (penerimaan dan pengeluaran)
b. Neraca (aset dan kewajiban/hutang)
c. Arus kas (termasuk penyimpanan uang negara) oleh pemeriksaan eksternal.
Salah satu langkah nyata BPK dalam meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas
adalah dengan menyediakan ruang publik interaktif untuk mengenalkan kiprah dan
upaya BPK dalam melaksanakan amanat konstitusi melalui website (www.bpk.go.id)
dengan begitu publik dapat dengan mudah memperoleh informasi dan menilai hasil
kerja BPK secara langsung serta memonitor tindak lanjut hasil-hasil pemeriksaan
BPK. Selain itu BPK juga telah memulai kebiasaan memberikan penghargaan
kepada karya jurnalistik media massa yang dianggap menunjukkan profesionalitas
dalam liputannya tentang BPK, serta karya yang dibuat dengan cara yang obyektif,
akurat dan profesional. BPK juga menempatkan media massa sebagai mitra dalam
penegakan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara dengan
membangun hubungan yang terbuka dengan media massa.
3. Pemeriksaan Keuangan Negara
Kegiatan pemeriksaan dan pengawasan mempunyai kedudukan yang strategis dan
menentukan terciptanya transparansi dan akuntabilitas di bidang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Sampai saat ini usaha perbaikan tentang hal
tersebut masih terus berlanjut dan telah memberikan hasil yang cukup baik bila
dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi. Upaya Badan Pengawas Keuangan
bersama pemerintah dalam melaksanakan reformasi keuangan negara telah
dilakukan secara serius dan telah berhasil melaksanakan perbaikan kebijakan dan
kerangka hukum.
Sistem pengawasan dan pemeriksaan merupakan bagian dari sistem pengelolaan
keuangan Negara yang berperan untuk memastikan bahwa keuangan negara telah
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dengan mentaati peraturan
perundangan yang berlaku, karena keuangan negara pada dasarnya bersumber dari
rakyat misalnya :
a. Pajak dan retribusi dipungut dari rayat, laba
b. BUMN/D modalnya dari rakyat
c. Hutang akan menjadi beban rakyat
d. Hibah karena ada kepentingan rakyat
e. dan eksploitasi sumber daya alam adalah milik rakyat.
Karena itulah sudah selayaknya keuangan negara yang diakumulasi dari rakyat
tersebut harus dikelola dan didistribusikan kembali demi kesejahteraan rakyat.
Sesuai dengan pasal 23 UUD 1945 perubahan ketiga yaitu : APBN sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung-jawab sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
a. Pengertian Pemeriksaan
Menurut UU No. 15 tahun 2004 pengertian pemeriksaan (auditing) adalah proses
identifikasi masalah, analisa, dan evaluasi yang dilakukan secara independen,
obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi mengenai pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara.
Auditing berfungsi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta
bermanfaat untuk mengetahui kondisi yang sesungguhnya dari suatu entitas sebagai
dasar untuk melakukan antisipasi masa mendatang, sebagai dasar pengambilan
keputusan serta mengurangi resiko kesalahan dalam pengambilan kebijakan.
Pemeriksaan sangat penting adanya untuk mendeteksi kemungkinan penyimpangan
dalam pengelolaan keuangan.
b. Pengertian Keuangan Negara
Pengertian keuangan negara terbagi menjadi dua yaitu pengertian dalam arti luas
dan pengertian dalam arti sempit, pengertian dalam arti luas ialah
pertanggungjawaban keuangan negara yang harus dilakukan okeh pemerintah
mengenai APBN, APBD, keuangan unit-unit usaha negara, dan pada hakekatnya
seluruh kekayaan negara. Sedangkan dalam arti sempit keuangan negara ialah
pertanggungjawaban keuangan negara oleh pemerintah mengenai APBN saja.
c. Pengertian Pemeriksaan Keuangan Negara
Pemeriksaan keuangan negara adalah proses identifikasi masalah, analisa dan
evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan
standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan
keandalan informasi terhadap semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
d. Tujuan Pemeriksaan Keuangan Negara
Yaitu untuk menilai apakah pelaksanaan dari suatu kegiatan beserta pengelolaan
keuangannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta sesuai
dengan target tujuan yang telah ditetapkan. Pemeriksaan keuangan Negara dapat
dilakukan oleh aparat pengawas internal (APIP) maupun Badan Pengawas Keuangan
(BPK).
e. Lingkup Pemeriksaan Keuangan Negara
Pemeriksaan yang dilakukan mencakup seluruh keuangan negara sesuai dengan
pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 serta meliputi pemeriksaan atas
pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan anggaran tahunan BUMN, BUMD, serta
kegiatan yayasan yang didirikan pemerintah.
f. Jenis-jenis Pemeriksaan Keuangan Negara
Berdasarkan pasal 4 UU No. 15 tahun 2004 jenis-jenis pemeriksaan keuangan
negara antara lain :
1) Pemeriksaan Keuangan (Financial Audit)
Yaitu pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai apakah laporan
keuangan telah disajikan secara wajar.
2) Pemeriksaan Kinerja (Performance Audit)
Merupakan pemeriksaan secara obyektif dan sistemik terhadap berbagai macam
bukti untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja
entitas/program kegiatan yang diperiksa.
3) Pemeriksaan dengan tujuan tertentu
Adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan
keuangan dan pemeriksaan kinerja.
G. Proses Pemeriksaan Keuangan Negara
Tahap yang dilalui BPK dalam melaksanakan pemeriksaan yaitu :
1) Perencanaan pemeriksaan
2) Penyelenggaraan pemeriksaan
3) Pelaksanaan
4) Pelaporan hasil pemeriksaan
5) Penyampaian laporan hasil pemeriksaan
4. Pengawasan Keuangan Negara
Pengawasan pada dasarnya adalah untuk mengamati apa yang sungguh-sungguh
terjadi serta membandingkannya dengan apa yang seharusnya terjadi. Tujuan
pengawasan keuangan negara pada dasarnya adalah :
a. untuk menjaga agar anggaran yang disusun benar-benar dapat dijalankan,
b. menjaga agar kegiatan pengumpulan penerimaan dan pembelanjaan pengeluaran
negara sesuai dengan anggaran yang telah digariskan,
c. untuk menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan.
Lembaga pengawas keuangan negara antara lain :
a. Inspectorat Jenderal
b. Satuan Pemeriksa Internal (SPI) pada BUMN
c. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
d. Badan Pengawas Daerah (BAWASDA)
e. Badan Pengawas Keuangan (BPK)
Pengawasan terhadap keuangan negara diklasifikasikan menjadi :
a. Pengawasan Internal
Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga yang berada
dalam struktur pemerintah/eksekutif. Pengawasan internal terdiri dari
1) Pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat, yaitu kegiatan atau
usaha untuk mengawasi dan mengendalikan anak buah secara langsung, dan harus
dilakukan sendirioleh pimpinan organasasi
2) Pengawasan Fungsional, merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat
pengawasan secara fungsional baik intern pemerintan maupun ekstern perintah.
Yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peratuan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Pengawasan Eksternal
Pengawasan eksternal adalah suatu bentuk pengawasan yang berasal dari luar
lingkungan pemerintah sehingga antara pengawas dan pihak yang diawasi tidak ada
hubungan kedinasan, lembaga yang melakukan pengawasan antara lain :
DPR/DPRD dan BPK.
5. BPK sebagai Auditor Eksternal
The founding fathers membentuk Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sebagai
lembaga pengawas eksternal dari pemerintah, untuk mendukung fungsi pengawasan
lembaga perwakilan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Sebagai bentuk nyata peran BPK sebagai auditor eksternal adalah dalam lima tahun
terakhir, upaya untuk meningkatkan transparansi merupakan salah satu hal yang
menonjol, dimana bos-bos bank umum dan bank sentral bisa dibui. Berbagai kasus
korupsi kelas kakap juga terungkap bahkan BPK telah mengungkap banyak kasus
yang menunjukkan buruknya pengelolaan keuangan negara seperti kasus YPPI dan
BI serta tersebarnya rekening liar bernilai puluhan triliun rupiah.
Kasus lain hasil temuan BPK antara lain selama deposito pejabat negara dari
berbagai bank yang menyimpan uang negara Rp 8,54 miliar. Sedangkan pada tahun
2005 BPK menyelamatkan uagn negara setidaknya Rp 3 triliun atas 957 rekening
perorangan pejabat negara yang emnyimpan uang negara pada berbagai bank
dengan total Rp 20,44 triliun.
Sempat terjadi perseteruan antara BPK dangan Mahkamah Agung (MA) yang
disebabkan oleh MA enggan biaya perkata diaudit oleh BPK, dalam perkara ini sikap
publik mendukung BPK mengaudit biaya perkara MA dan publik justru mencaci sikap
ketua MA Bagir Manan tersebut. Ketua BPK Anwar Nasution telah mengambil
keputusan yang tepat perihal kasus tersebut, yakni meminta semua lembaga negara
dan lembaga publik bersedia diaudit aspek keuangannya oleh BPK.
Menurut BPK biaya perkara yang dipungut MA tergolong sebagai penerimaan negara
bukan pajak, yang harus disetorkan ke kas negara sehingga pengelolaannya harus
diawasi ketat oleh BPK sebab sebelumnya MA juga menolak mekanisme
pengawasan yang hendak dilakukan Komisi Yudisial.
Hasil pemeriksaan eksternal akan menjadi bahan bagi lembaga perwakilan untuk
melakukan pengawasan terhadap cara pemerintah mempergunakan anggaran
pertimbangan dalam penyusunan anggaran (budgeting) tahun berikutnya.
Perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23E ayat (1) menegaskan posisi BPK sebagai
satu-satunya Auditor eksternal.
Bertolak dari kenyataan tersebut sangat masuk akal bila ketua BPK melaporkan MA
ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu harus dimerngerti mengingat MA menyandang
status sebagai benteng penegakan hukum terakhir. Sebaliknya kite tak habis
mengerti dengan sikap MA yang justru bertolak belakang dangan upaya penegakan
aturan dalam pengelolaan pengaturan keuangan negara. Dalam penghitungan ICW
terhadap laporan tahunan MA antara tahun 2005-2007 ditemukan sejumlah uang
Rp 31,1 Milyar yang sepatutnya ada pertanggungjawaban secara jelas. Sementara
pihak panitera MA menyebutnya hanya mendapatkan Rp 1,5 Milyar per tahun.
6. Kedudukan BPK dalam pemeriksaan Keuangan Negara
BPK berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang dalam pelaksanaan
tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah akan tetapi tidak berdiri
di atas pemerintah, maka keberadaan BPK bersifat independen.kedudukan
konstitusional BPK semakin diperkuat dengan perubahan ketiga UUD1945 Pasal
23E,23F dan 23G perubahan UUD 1945 tersebut khususnya tentang BPK membawa
beberapa perubahan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuaangan negara, yang sebelumnya hanya memeriksa tanggung jawab keuangan
negaran saja dengan perubahan di atas BPK tidak hanya menguji laporan
pertanggungjawaban keuangan negara oleh pemerintah secara formil dan dari jauh.
Namun juga memeriksa pengelolaan keuangan negara secara materiil dan dari
dekat di tempat terjadinya pelaksanaan kegiatan. Mitra kerja BPK juga diperluas
tidak hanya DPR namun juga DPD dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dalam upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan dibidang keuangan
negara, maka peran BPK sangat diharapkan dapat menjadi sponsor dan mediator
berbagai pihak baik Pemerintah Pusat, Departemen Keuangan, Departemen Dalam
Negeri atau instansi lainnya, maupun pemerintah-pemerintah daerahnya. Karena
BPK sudah dan lebih mengetahui dinamika lapangan saat pelaksanaan pengelolaan
keuangan negara dan keuangan daerah dengan berbagai permasalahan yang
ditemukannya.
Ada empat peranan BPK yang menonjol akhir-akhir ini :
1. Meningkatkan kegiatan dalam pemberantasan KKN.
2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, dalam hal ini BPK
meningkatkan kualitas pemeriksaannya dan makin memperluas obyek pemeriksaan
yang tadinya terhenti selama Orde Baru.
3. BPK membantu pemerintah mengimplementasikan paket tiga UU tentang
keuangan Negara tahun 2003-2004.
4. BPK membantu pemerintah mereformasi institusional, termasuk restrukturisasi
BUMN dan badan pelayanan umum.
Perkembangan BPK dewasa ini menunjukan perubahan kearah yang lebih baik,
dalam praktek pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK. Dari sejumlah aspek yang
harus memenuhi aspek akuntabilitas, salah satu yang paling krusial adalah dalam
hal keuangan negara. Untuk itu disusunlah mekanisme dan lembaga yang secara
independen bisa menjamin terlaksananya fungsi-fungsi yang berkaitan dengan
keuangan negara secara transparan dan bertanggung jawab. Lembaga yang diberi
mandat untuk menjaga akuntabilitas keuangan negara ialah Badan Pemeriksa
Keuangan Negara (BPK).

DAFTAR PUSTAKA
Fahrojin, Ikhwan. Dan Najih, Mokh.2008.Menggugat Peran DPR dan BPK dalam
Reformasi Keuangan Negara.Malang: IB-TRANS Publishing.
Surat Kabar online
INILAH.COM,Jakarta dalam Ada yang Istimewa dalam Lima Tahun Peringatan BPK.
Tempo, 5 Maret 2009 dalam Transparansi dan Akuntabikitas Tanggungjawab
Bersama.
BANDAR LAMPUNG (Lampost), November 2006 dalam BPK Laporkan 1.303
Rekening Bermasalah.
I Gusti Rai 2, Agung.dalam Artikelnya yang berjudul Peran Badan Pemeriksaan
Keuangan Dalam Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara .
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Setelah tumbanngnya rezim Orde Baru Indonesia menapaki REFORMASI di
segala bidang,guna mewujudkan pemrintahan yang demokratis,guna memberikan
pelayanan yang baik pada masyarakat,goodgoovernance,Melalui UU No. 22 Tahun
1999 tentangPemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusatdan Daerah, Pemerintah dan DPR telah jelas
menunjukkan political will untuk melaksanakan otonomi daerah dandesentralisasi p
ada tahun anggaran2001. Dalam konteks otonomi daerah, desentralisasi
dimaksudkan agar daerah lebih
mampumengembangkan inisiatif dan kreativitas daerah dan sumberdayanya
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan
meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksa
nakan denganmemberikan kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdayanasional
yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusatdan
daerah.2 Namun kesemuanya itu perlu diimbangi dengan pengawasan yang
memadaiagar tidak menimbulkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) baru atau
memindahkanKKN dari tingkat Pusat ke Daerah, antara lain dengan adanya amanat
dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
bersih dan bebas KKN, yang telahditindaklanjuti dengan UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersihdan Bebas dari KKN, serta terbitnya UU
No. 20 Tahun 2002 Tentang Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi.
Disamping itu, saat ini juga telah terbit UU di bidang Keuangan Negara, yang meliputi UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun2004 tentang
Perbendaharaan Negara, serta sebentar lagi akan terbit UU Pemeriksaan
atasTanggungjawab dan Pengelolaan Keuangan Negara dalam rangka menegakkan
3 pilar utamagood governance, yaitu akuntabilitas, transparansi danapartisipasi
masyarakat luas, yang telahmenjadi komitmen pemerintah sejak dimulainya era
reformasi hingga saat ini.

.2. Rumusan Masalah


Setelah 10 (sepuluh) tahun perjalanannya remormasi, kita perlu meninjau
ulangapakah pengawasan,termasuk alat-alat penting pengawasannya, telah dapat
berjalan secaramemadai dalam mengawalkeberhasilanpelaksanaan otonomi daerah
dandesentralisasi, supayalebih mampu mengembangkan inisiatif dan kreativitas daerah
Dan sumberdayanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat, yang
bebas dari KKN ? Sehubungan dengan hal timbul pertanyaan sejauh mana agenda
reformasi itu terimplentasi.kerena pada kenyataannyasmpai saat ini lembaga-
lembaga pengawas administrasi/keuangan kurang maksimal adanya,hal ini di
tenggarai dengan adanya para birokrat di daerah yang tersandung kasus korupsi.hal
ini menandakan bahwa pelimpahan KKN dari PUSAT pd DAERAH.hal ini yang perlu
kita cermati bersama,bahwa setiap kebijakan public perlu adanya pengawasan
dari berbagai pihak untuk mengawal kebijakan tersebut pada tujuan yang telah di
rencanakansecera efektif dan efisien serta bersifat rasionalitas.
1.3.TUJUAN
Tujuan PENGAWASAN ADMINISTRASI :Untuk mencapai tingkatan kinerja yangtelah di
rencanakan.menjamin susunana administrasi yang baik dalam operasi unit-
unit pemerintahan daerahbaik secara internal maupun eksternal untuk memperolah
perpaduanyang maksimum dalam pengelolaan pembangunan daerhdan pusat dalm
rangka memberikan pelayanan serta membrikan perlindungan pulik dari
penyalahgunaan wewenang para penguasa

BAB IIPEMBAHASAN
2.1.Devinisi Pengawasan Administratif
y

Pengawasan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh pemerintah, gubernur dan
bupati/walikota adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk
menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah dan desa berjalan sesuai rencana
dan aturanyang berlaku.
Pengawasan
ini dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintahsesuai bidang kewenangannya
masing-masing (pp no.79/ 2005)

Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang


meliputi perencanaan, pelaksanaan, penetausahaan, pelaporan, dan
pertanggungjawabankeuangan daerah (pp no.58/2005)
y

Pengawasan
administrasi umum pemerintahan, dilakukan terhadap kebijakandaerah,
kelembagaan, pegawai daerah, keuangan daerah dan barang daerah.
y

Pengawasan
urusan pemerintahan, dilakukan terhadap urusan wajib, urusan pilihan,dana
dekonsentrasi, tugas pembantuan, kebijakan pinjaman dan hibah luar negeri.Pada
prinsipnya pengawasan administrasif adalah,untuk memetuhi pereturan
berdasarkanmekanisme kerja untuk mencapai tujuan sebuah organisasi yang telah
di tentukan.
2.2.Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Administratif(korupsi)
Faktor terjadinya korupsi yang sangat mendasar di daerah adalah
factor politik dan

kekuasaan
,(legaslatif maupun ekskutif)yang menyalahgunakan kekuasaan dan
kewenanganyang di miliknya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun golangan,dengan
modusyang berbagai ragam;Mulai perjalanan dinas yang fiktif,penggelembungan
dana APBD.yangmengatasnamakan rakyat,demi mencai keuntungan pribadi maupun
kelompoknya.
Factor ekonomi.
Factor ini tidak terlalu mendasar jika di bandingkan dengan factor

politik dan kekuasaan.Alasanyapun konvensional ,artinya tidak seimbangnya


penghasilan dengankebutuha hidup yang harus di penuhi
Faktor nepotisme
;karena masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sector publicmaupun sewasta,
terutama di daerah-daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang
kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, khususnya yang
berhubungandengan keuangan negara.
1.

(Hari Sabarno) menyatakan bahwa permasalahan yang


terkait denganpengelolaankeuangan daerah adalah lemahnya sistem pembukuan at
au akuntansi,

pengendalian, pengawasan, dan sistem informasi keuangan daerah, yang


mengakibatkan rendahnya unsur transparansi dan akuntabilitas. Disadari juga
bahwa

belum adanya Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Analisa Belanja (SAB)

mengakibatkan sangat sulitnya menentukan besarnya jumlah kebutuhan/total

pengeluaran yang layak bagi daerah otonom. Akibat lain dari belum adanya SPM
dan

SAB tersebut adalah menyulitkan pengawasan/penilaian terhadap kinerja


pemerintah

daerah yang bersangkutan dalam melaksanakan kewenangannya.


2.

J
B Sumarlin (Mantan Ketua BPK)4 menyatakan bahwa dengan semakin besarnyatuntutan
masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang didasarkan pada
prinsip-prinsip good governance, maka kebutuhan terhadap peran pengawasanakan
semakin meningkat. Pengawasan itu perlu dilaksanakan secara optimal,
yaitudilaksanakan secara efektif dan efisien serta bermanfaat bagi auditee
(organisasi, pemerintah dan negara) dalam merealisasikan tujuan/program secara
efektif, efisiendan ekonomis. Pengalaman menunjukkan bahwa banyaknya aparat
pengawasan justrumenimbulkan inefisiensi, karena timbulnya pemeriksaan yang
bertubi-tubi dantumpang tindih diantara berbagai aparat pengawasan intern
pemerintah, serta antaraaparat pengawasan intern pemerintah dengan aparat
pengawasan ekstern pemerintah(BPK). Di samping itu, disinyalir juga bahwa
pengawasan baru mencapai fungsinyayang bersifat korektif dan belum mencapai
fungsinya yang bersifat preventif.Keberhasilan fungsi preventif pengawasan harus
diperankan dan dilaksanakan olehsuatu sistem pengendalian intern yang memadai..
3.

J
.B. Sumarlin (Mantan Ketua BPK), Pokok-Pokok Sambutan
TentangOptimalisasi Pengawasan Manajemen Pemerintah Menuju terciptanya goodg
overnance halaman 5 dan 6, disampaikan
dalam
Half DaySeminardengan tema´
Pengawasan
dan Governance Keuangan Negara´, Diselenggarakan oleh IAIKompartemen
Akuntan Sektor Publik di
J
akarta 13
J
anuari 2004. menyatakan bahwa salah satu kelemahan sistem pengelolaan
keuangan pemerintah saat ini adalahkelemahan di bidang akuntansi, pelaporan,
pengendalian, dan auditing, meliputi :

Tanggung jawab penggunaan uang oleh kementerian belum cukup tegas


Belum tersedia standar akuntansi bagi pelaporan keuangan pemerintah,
serta belum jelas otoritas pembuat standar dimaksud Laporan keuangan
hanyameliputi realisasi anggaran dan penyajiannya sangat lambat
Gagalnya fungsi pengendalian internal yang melekat (built-in)
Tumpang tindih yang eksesif (berlebihan) antara audit eksternal dan
internal pemerintah.
Penekanan audit atas kebenaran formal dan bukan kebenaran material
Kurang efektifnya lembaga internal
auditBerdasarkan kelemahan tersebut, ditetapkan beberapa pilar pengendalian dala
m UUKeuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, yaitu:
Rencana Kerja dan Anggaran berbasis kinerja
Klasifikasi anggaran dalam 3 dimensi (fungsi, jenis belanja dan satuan organisasi)
Anggaran dengan Kerangka Pengeluarann Jangka Menengah
Cash disbursement
planningPengendalian Intern Pemerintahan: dalam rangka meningkatkan kinerja,tra
nsparansi danakuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Presiden selaku Kepala
Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalianintern di
lingkungan pemerintahan secaramenyeluruh.Akuntabilitas publik dapat dibangun
atas dasar 4 komponen,
yaitu sistem pelaporan keuangan, sistem pengukuran kinerja,
pengauditan sektor publik dan berfungsinyasaluran akuntabilitas publik yang

tersistem dan terkoordinasi dengan baik serta menciptakancheck and balance


melalui

lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana (eksekutif), pengontrol(legislatif),

pemeriksa (auditor), dan penegak hukum (yudikatif). Diperlukan juga system

pengawasan keuangan negara yang mampu mengatasi korupsi, baik formal (oleh lembagayang
secara formal ditugaskan untuk mengawasi), maupun informal (oleh

masyarakat/lembaga independen dan media massa), yang dikaitkan dengan

keterbukaaninformasi. Dalam proses pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan

perlu dibedakan siapa berperan apa dan kapan peran itu boleh dilakukan, yang

ditegaskan dengan peraturan perundangan, karena peran-peran tersebut


diperankan

oleh pemain yang berbeda, dan fungsi lembaga pengawasan


eksternal (BPK) dan internal (APIP) tersebut meskipun sangat berbeda, tetapi
keduanya saling mengisi dan melengkapi. Keduanya merupakan unsur-
unsur penting yang diperlukan dan tidak saling menggantikan untuk
terselenggaranya
goodgovernance dalam manajemen pemerintahan negara. Lembaga pengawasan int
ernal pemerintah diperlukan untuk mendorong terselenggaranya manajemen
pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien pada tiap tingkat pemerintahan, mulai
dari
Presiden,Menteri/Pimpinan LPND, Gubernur/Bupati/Walikota. Pengawasan internal t
idak hanyadilakukan pada saat akhir proses manajemen saja, tetapi berada pada
setiaptingkatan
prosesmanajemen. Perubahan paradigma pengawasan internal yang telah meluas d
ari sekedar watchdog (menemukan penyimpangan) ke posisi yang lebih luas yaitu
pada efektivitas pencapaian misi dan tujuan organisasi, mendorong pelaksanaan
pengawasan ke arah pemberian nilai tambah yang optimal. Tiga tantangan yang
diungkap dalam makalahnya,yaitu :
2.1. Sebab Praktek-praktek KKN Cenderung Semakin Meluas.
Hal ini menggambarkan kurang efektif dan belum mantapnya peran dan
fu
ngsi pengawasan internal,
disamping faktor-faktor lain.Kelembagaan pengawasan
internaldan tumpang tindih pengawasan. Masing-
masing lembaga pengawasan terkesan berjalansendiri-sendiri sehingga belum
terbentuk secara mantap sinergi, baik antaraaparat pengawasan internal dan
eksternal, maupun antar aparat
pengawasan internal
sendiri.Hal ini disebabkan belum efektifnya atau bahkan belum adanya
ketentuan/peraturan perundangan yang secara jelas mengatur mekanisme, domain,
danhubungan kerja diantaraaparat pengawasan intern pemerintah.
K
u
rangnya perhatian dari manajemen instansi
u
nt
uk
membang
u
n system

pengendalian yang andal


, sehingga mengurangi kualitas pelaksanaan pengawasan dan
tindak lanjut hasil pengawasan.Pengawasan internal diharapkan tidak hanya mengg
unakan pendekatan single loop learning, akan tetapi lebih kepada double loop
learning. Artinya tidak hanya melakukan pengujian atas realisasi yang
dicapai dengan rencana yang telah ditetapkan,tetapi juga mempertimbangkan dan
memberdayakan system pengendalian intern yang ada pada organisasi, sehingga
dapat terjadi suatu mekanisme pengawasan yang terintegrasi
antara pencegahan dan penindakan secara terus menerus dalam menanggulangi
dan mencegah praktek-praktek KKN, serta menutup celah-celah yang membuka
peluang bagi tindakan yangmerugikan organisasi serta menghambat pencapaian
misi dan tujuan organisasi
P
ermasalahan
k
ewenangan antar lembaga pengawasan internal pemerintah perl
u
lebih diperjelas dan dipertegas
. Perlu ada kesadaran bahwa aktivitas pemerintahan dan pembangunan yang
diselenggarakan oleh setiap unit organisasi baik di pusat maupun
daerah
,saling terkait satu sama lain. Mengingat risiko pemerintah secara keseluruhan,
maka pengendalian dan pengawasan perlu tetap dipandang dari sudut kepentingan
Negara KesatuanRepublik Indonesia. Untuk itu diperlukan penegasan kewenangan
dan penataan
ulangmekanisme kerja dan koordinasi pengawasan antar aparat pengawasan intern
pemerintah,sehingga dapat mewujudkan pengawasan yang efisien, efektif dan
sinergis.
fu
ngsi a
u
dit internal dalam manajemen pemerintahan masih bel
u
m berjalan secaraoptimal
, meskipun fungsi tersebut telah dilakukan secara

berlapis-lapis. Beberapa masalahyang perlu diperhatikan dalam rangka optimalisasi

fungsi audit internal tersebut


pada pemerintahan otonomi daerah, antara lain :Tumpang tindih pengawasan audit i
nternal,sehingga mengakibatkan

ketidakefisienan dan ketidakefektivan, baik untuk instansi pengawasan itu sendiri

maupun instansi yang diawasi. Tumpang tindih juga dialamidengan pengawasan

eksternal pemerintah.
,
Akuntabilitas publik yang belum jelas dantransparan, khususnya dalam ukuran

kinerjanya,Mutu temuan hasil pemeriksaan masih perluditingkatkan, khususnya


untuk

membantu manajemen dalam pengambilan keputusan yangefektif dan efisian.


2.3.Langkah-langkah Optimalisasi Pengawasan Administratif
Ada 2 (dua) jenis langkah besar yang harus dilakukandalam pembenahan
pengawasan iniagar menjadi optimal, yaitu :1.
Pembenahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
seluruh institusi pengawasan agar menghindari tumpang tindih dan bersifat sinergis
(tidak ego sektoral), dapat bekerjasecara efisien dan efektif, serta memberikan nilai
tambah yang optimaldalam pencapaian misi dan tujuan organisasi (bukan sekedar
watchdog untuk menemukan penyimpangan) pada setiap tingkatan proses
manajemen.2.

Pembenahan standar-standar pengendalian intern agar dapat berjalan secara efektif


danmemudahkan pengawasan/pemeriksaan, serta mencegah terjadinya KKN sedini
mungkin. Pembenahan Tupoksi Seluruh Institusi Pengawasan Seluruhinstitusi
pengawasan, baik eksternal maupun internal pemerintahan, harus membenahi
upoksinya secara sadar dan sukarela serta melupakan arogansi institusi,
demi pencapaian tujuan pengawasan yang sinergis, efisien dan efektif, terutama dal
am bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengawasan ekstern pemerintah(L
egislatif dan BPK) yang berfungsi sebagai penyeimbang (check and
balance)terhadap fungsi pelaksanaan (eksekutif) oleh Pemerintah bukan berada di
atasPemerintah, melainkan sejajar dan harusnya merupakan mitra pemerintah dalam
meningkatkan efisiensi Negara, serta concern (menaruh
perhatian)terhadap pengawasan yang efisien dan efektif. Apabila aparat pengawasa
n

ekstern pemerintah dapat memanfaatkan hasilpengawasan aparat pengawasan inte


rn pemerintah, mengapa harus melakukan pemeriksaan ulang dengan biaya yang
tidak sedikit. Sebagai perbandingan, di dunia bisnis/perusahaan, auditor ekstern
tidak akanmelakukan pemeriksaan ulang (mengurangi biaya audit yang akan
dibebankankeperusahaan) terhadap apa yang telah dilakukan oleh auditor
intern, sepanjang pemeriksaan/audit tersebut telah dilaksanakan sesuai standar
yang sama serta dilandasikertas kerja yang memadai. Pengujian yang dilakukan oleh
auditor intern tersebut biasanya terkait dengan quality assurance terhadap sistem
pengendalianmanajemen,sedangkan audit ekstern yang dilakukan adalah dalam
rangka memberikanopini keseluruhan terhadap kewajaran laporan keuangan
perusahaan. Oleh sebab itu,alangkah indahnya apabila ada konsensus antara
auditor ekstern pemerintah (BPK) danauditor intern pemerintah
(BPKP/Itjen/Bawasda) mengenai jenis-jenis pekerjaanauditor intern mana yang akan
digunakan oleh auditor ekstern tanpa harus melakukan pemeriksaan
ulang, serta memperkecil luas pengujiannya dalam rangka memberikanopini
terhadap laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah, baik pusatmaupun
daerah

BAB IIIPENUTUP

3.1.Kesimpulan
Berdasarkan komentar-komentar tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengawasan dalam era otonomi daerah ini masih mengalami ba
nyak permasalahan, baik dari segi kelembagaan aparat pengawasannya yang belum
dapat bekerja secara sinergis,efisien dan efektif (intern dan ekstern), maupun alat-
alat pengawasan lainnya berupa standar-standar sebagai dasar pelaksanaan dan
sistem pengendalian intern yang belum dapatberjalansesuai dengan yang diniatkan
oleh peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.Dengan demikian, langkah-
langkah apa yang masih harus dilakukan ke depan demimengoptimalkan pengawasan dalam era
otonomi daerah ?Menurut kami, langkah-langkah tersebut sebelum ditetapkan, harus
didahului dengankomitmen pemerintah tentang pengawasan, karena
komitmen adalah bagian integral darisistem nilai yang baik. Tanpa komitmen yang
terpelihara, akan timbul perilaku yang tidak jujur. Dapat kita bayangkan bagaimana
setiap hubungan, baik secara pribadi, organisasiatauyang bersifat profesional dapat
berjalan mulus, Ketidakpastian dapat menyebabkankebingungan. Kurangnya
komitmen akan menggoyahkan hubungan dan menimbulkan perasaan tidak aman.
Komitmen, baru benar-benar suatu komitmen, apabila menunjukkan :1. Saling
ketergantungan;2. Kepercayaan;3. Dapat diprediksi;4. Konsisten;5. Saling
memberikan perhatian;6. Ada rasa empati terhadap sesama;7. Peka terhadap
kewajiban;8. Tulus;9. Berkarakter; 10. LoyalitasApabila salah satu unsur ini hilang
maka komitmen akan kehilangan kekuatannya. Komitmen berfungsi sebagai lem
yang merekatkan hubungan, landasannya karakter, integritas danempati. Komitmen
adalah sebuah tanda kedewasaan dan seharusnya komitmen terbesar kitaadalah
terhadap nilai dan etika. Tanggung jawab terbesar kita adalah meninggalkan
warisanyang dapat dibanggakan kepada generasi penerus, yaitu bahwa institusi
pengawasan di negarakita ini perannya benar-benar sudah diakui keberadaannya
dengan melihat dari cara kerjanya,dari nilai yang dianutnya, dari etika yang
ditanamkannya, dan hasil yang diberikannya kepadamasyarakat dan negara.

You might also like