Professional Documents
Culture Documents
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
i
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit
yang memilki beban kesehatan tertinggi.World Health Organization (WHO)
dalam Global Status of Non-communicable Diseases tahun 2010
mengkategorikan PPOK ke dalam empat besar penyakit tidak menular yang
memiliki angka kematian yang tinggi setelah penyakit kardiovaskular,
keganasan dan diabetes. GOLD Report 2014 menjelaskan bahwa biaya untuk
kesehatan yang diakibatkan PPOK adalah 56% dari total biaya yang harus
dibayar untuk penyakit respirasi. Biaya yang paling tinggi adalah diakibatkan
kejadian eksaserbasi dari penyakit ini.1 Kematian menjadi beban sosial yang
paling buruk yang diakibatkan oleh PPOK, namun diperlukan parameter yang
bersifat konsisten untuk mengukur beban sosial. Parameter yang dapat
digunakan adalah Disability-Adjusted Life Year (DALY), yaitu hasil dari
penjumlahan antara Years of Life Lost (YLL) dan Years Lived with Disability
(YLD). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperkirakan pada tahun 2030,
PPOK akan menempati peringkat ketujuh, dimana sebelumnya pada tahun
1990 penyakit ini menempati urutan kedua belas.3
ii
klinis yang hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma,
bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan napas yang terjadi pada
penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran napas dan rusaknya
parenkim paru.1
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada
setiap studi.1Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay,
Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu
11,8% dan 8,5% pada perempuan.6 Data di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%.
Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
iii
2.1 DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai
penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa
ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru
terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Pada PPOK, bronkitis
kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun keduanya
memiliki proses yang berbeda.Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis
kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis
kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.17 Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis
yang ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan
bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu
perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran
alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar.3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi
mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK,
penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme
pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria
paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-
22%. Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria
dan 3063 wanita yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2
simpang baku di bawah VEP prediksi, dimana jumlahnya meningkat
seiring usia, khususnya pada perokok.2
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang
tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab
penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan
sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-
iv
6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata
sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi
terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini
sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992
menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki
peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Tingkat
morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini
di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika
Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar
1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap.1
2.3.1 Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling
besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang
merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru
yangdapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi
memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi
v
genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat
pada kromosom 2q.2
2.3.2 Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi
selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan
komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko
dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap pejanan
inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada
selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja
serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu
sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,
bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers
itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna
pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah
pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya
perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi
lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran
pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat.1,16 Shahab dkk
melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata mereka
mendapatkan besarnya insidensi PPOK yangtelah terlambat didiagnosis,
memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan
derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6)
yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya
tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap
merokok. Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang
dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai
riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada
penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).2,3
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang
terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia.
vi
Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab
tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan
inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir
10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena
pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-
20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang
bermakna pada PPOK.1
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran
hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan
menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain
itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas
kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan
bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga
dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang
semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.1
2.3.3 Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong
kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada
status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam
masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan
hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.1
2.3.4 Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus
dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki
proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik.
Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan
menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi
respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang
kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.1
2.3.5 Jenis Kelamin
vii
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas
pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa
prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada pria di bandingkan pada wanita,
tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata
saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat
beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk
dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan
kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.3
2.3.6 Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang
besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga
memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan
dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya
eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan
dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat
umur diatas 40 tahun.2
2.3.7 Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan
baik indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain
yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor
tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.3
2.3.8 Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana
didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of
Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan
mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.3
2.4 Patofisiologi
viii
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecildengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar salurannafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai berat sakit.
ix
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan
struktur berupa destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap rokok.3
2.5 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.3,4
b. Pemeriksaan fisik
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan
yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad
berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi
toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
Inspeksi :
x
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas Palpasi
Auskultasi :
- Fremitus melemah
- Ekspirasi memanjang
-Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa.2
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Spirometri
1. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk
kronis, produksi s putum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor
resiko. Spirometri : Normal
xi
2. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat
sesak 1 Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
3. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul
pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan
4.Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% <
FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis : Pasien derajat III dengan
gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung
kanan. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.3
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes
tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada
harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.
Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor
kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan
anemia atau polisitemia.Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan
ekokardiografi pada pasien dengan tanda- tanda corpulmonale untuk
mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan
pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi
hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan.3
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi
xii
ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian.
Macam-macam bronkodilator :
1. Golongan antikolinergik.
2. Golonganβ– 2 agonis.
xiii
3. Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis
4. Golongan xantin
Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
xiv
- Obat-obatan eksaserbasi akut
obat diberikan secara injeksi, subkutan, intravena atau per drip, misal :
- Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap 1 jam dan
dapat dilanjutkan
mg/kgBB/jam
2.7 Pencegahan
xv
2.8 KOMPLIKASI
1. Gagal napas
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
BAB III
LAPORAN KASUS
xvi
Nama Pasien : Risma Silalahi
Umur : 54 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Batak/Indonesia
Status perkawinan : Menikah
Agama : Katholik
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Anamnesis
Keluhan Utama : sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat Masuk rumah sakit : pasien mengeluh sering sesak nafas dialami 1 bulan
yang lalu bertambah berat pada saat aktivitas dan malam hari, mengi (+), dan
batuk. Nafsu makan menurun, demam, badan lemas.
Riwayat penyakit terdahulu:
DM (-) Hipertensi (-)
Riwayat Operasi :
(-)
Riwayat pengobatan :
Riwayat OAT(-)
Riwayat Kebiasaan :
Riwayat perokok dijumpai. Merokok sebanyak 2 bungkus perhari selama
50 tahun. Indeks brickman 2x16x40 = 1.280 (perokok berat). Riwayat minuman
beralkohol dijumpai.
Pemeriksaan
Status Present :
- Keadaan umum : pasein tampak lemas
- Sens : Compos mentis
- TD : 110/80
- RR : 28x/i
xvii
- Nadi : 102 x/menit
- Temp : 36,7
Pemeriksaan Fisik :
kepala : Normosefalus
Mata : Icterus (-), konjungtiva tidak anemis
a. Inspeksi : dada simetris kiri dan kanan
b. Palpasi : fremitus kiri dan kanan melemah
c. Perkusi : kiri dan kanan hipersonor
d. Auskultasi : - suara napas vesikuler, atau melemah
- terdapat mengi
- ekspirasi memanjang
Pemeriksaan Penunjang :
- Darah lengkap : Dalam batas normal
- Elektrolit : Dalam batas normal
- Foto Thorax :
Diagnosa
PPOK
Diagnosis Banding
xviii
Asma Bronchial
Penatalaksanaan :
O2 2-3 L/i
IVFD Nacl 0,9 % + 1 amp aminophylin drip 10 gtt/i
Inj. Levofloksasin 500 mg
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Inj. Dexametason 1 amp/8 jam
Nebul combivent /8 jam
Nebul pulmicort /12jam
Retaphyl tab 2x1/2
Salbutamol 2,5 mg tab 1x1
Ambroxol 3xc1
Rencana :
Cek BTA
Spirometri
EKG
3.2 PEMBAHASAN
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel asing atau gas yang berbahaya. Kebiasaan merokok merupakan
penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab
lainnya.4
xix
karna terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Pasien biasanya
mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa
berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang
timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK.3,4
Pada pemeriksaan fisik dada simetris kiri dan kanan, fremitus kiri dan kanan
melemah, perkusi kiri dan kanan hipersonor dan dijumpai suara tambahan
ronki dan wheezing. Suara perapasan pasien vesikuler. Pada gambaran foto
thoraks tampak sela iga melebar dan letak diafragma rendah.
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan
mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan
psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka
kematian.4
RUJUKAN
xx
4. Arto Yuwono Soeroto, Hendarsyah Suryadinata. 2014. Penyakit Paru
Obstruktif Kronik. Divisi Respirologi dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RS Dr Hasan Sadikin : Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran
xxi