You are on page 1of 24

MAKALAH SEMINAR KELAS

PERANAN MIKROBIA TERHADAP STABILITAS AGREGAT TANAH

Oleh:

Indriyani A. Sinambela
15/383473/PN/14304

Dosen Pembimbing:

Ir. Suci Handayani, M.P.

DEPARTEMEN TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2018
a. Pendahuluan
Agregat tanah tersusun dari fragmen mineral tanah, hasil pembusukan biomassa,
gas, air, zat terlarut, organisme hidup yang terikat bersama yang hidup di pori,
mikrohabitat bagi mikroorgganisme dan mewakili kompleksitasnya struktur tanah. Baik
kompleks struktur tanah maupun mikroorganisme tanah berperan dalam retensi air tanah,
transformasi nutrisi dalam tanah yang pada akhirnya berperan dalam mempertahankan
kesuburan tanah (Blaud et al., 2017). Pada tanah yang aggregatnya kurang stabil bila
mendapat tekanan atau gaya perusak dari luar maka aggregat tersebut akan mudah
hancur. Butir – butir halus hasil hancuran akan menghambat pori- pori tanah sehingga
bobot isi tanah akan meningkat, aerasi buruk dan permeabilitas menjadi lambat. Selain
itu, stabilitas agregat juga menentukan tingkat kepekaan tanah terhadap erosi (Santi et al.,
2008 ).
Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kemantapan agregat antara lain
pengolahan tanah, aktivitas mikroorganisme tanah, dan penutupan tajuk tanaman yang
dapat menghindari splash erotion akibat curah hujan yang tinggi. Menurut Hakim et.al.
(1986) cit. Mustoyo et.al. (2013), agregasi pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh
kegiatan mikroba- mikroba dalam tanah dan terdapatnya sejumlah bahan organik.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh (Xiaohong et al., 2012) bahan organik
berkorelasi positif dengan stabilitas agregat tanah. Mikroorganisme merupakan agen
utama stabilisasi agregat. Baik jamur maupun bakteri, keduanya berkontribusi terhadap
pembentukan dan kemantapan/ stabilitas agregat. Jamur berkontribusi terhadap stabilisasi
agregat melalui perekatan antar partikel tanah oleh hifa. Pengaruh jamur dan bakteri pada
stabilisasi agregat sangat bervariasi pada spesies dan populasinya yang tergantung pada
jenis substrat yang tersedia di tanah dan juga produk metabolisme akar. Lebih jauh lagi,
tipe manajemen penggunaan lahan dapat mempengaruhi komposisi komunitas mikroba
dan kontribusinya juga terhadap stabilisasi agregat (Beare et al., 1994 cit. Umer & Rajab,
2011).
Stabilitas agregat tanah merupakan indikator kestabilan tanah terhadap pengaruh
dari luar, misalnya manajemen pengolahan tanah .Tanah yang teragregasi dengan baik
biasanya dicirikan oleh tingkat infiltrasi, permeabilitas, dan ketersediaan air yang tinggi.
Sifat lain adalah tanah tersebut mudah diolah, aerasi baik, menyediakan media respirasi
akar dan aktivitas mikrobia tanah yang baik (Mustoyo et al., 2013). Untuk dapat
mempertahankan kondisi tanah seperti itu, maka perbaikan kemantapan agregat tanah
perlu diperhatikan. Informasi mengenai stabilitas agregat sangat penting untuk diketahui
misalnya untuk mempersiapkan syarat pertumbuhan tanaman yang baik, seperti porositas
suatu tanah, ketersediaan air, bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah.
Dari uraian di atas, kajian mengenai stabilitas agregat tanah oleh mikrobia tanah belum
banyak dilakukan. Oleh karena itu dilakukan penelitian literatur yang bertujuan untuk
mengkaji peranan mikrobia dalam pemebntukan dan stabilitas agregat tanah.
b. Agregat Tanah
Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen
padat, cair dan gas, dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik. Benda alami ini
terbentuk oleh hasil interaksi antara iklim dan jasad hidup terhadap bahan induk yang
dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan waktu (Arsyad, 2006). Tanah memiliki
sifat-sifat kimia, biologi dan fisika. Fisika tanah adalah penerapan konsep dan hukum-
hukum fisika pada kontinum tanah-tanaman-atmosfer. Sifat fisik tanah berperan penting
dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Sifat fisik tanah, seperti kerapatan isi dan
kekuatan tanah sudah lama dikenal sebagai parameter utama dalam menilai keberhasilan
teknik pengolahan tanah (Afandi, 2005).
Menurut Utomo (1985), struktur tanah merupakan susunan partikel-partikel dalam
tanah yang membentuk agregat-agregat serta agregat satu dengan yang lainnya dibatasi
oleh bidang alami yang lemah. Struktur tanah sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim,
aktivitas biologi, dan proses pengolahan tanah dan sangat pekat terhadap gaya-gaya
perusak mekanis dan fisika-kimia. Rohoscova & Valla (2004) mengatakan bahwa agregat
tanah adalah produk dari interaksi anatara komunitas mikroba tanah, mineral dan
komponen organik tanah, komunitas tumbuhan di atas tanah, dan peristiwa terjadi pada
ekosistem di masa lalu dan menurut Tisdall & Oades (1982), stabilitas agregat tanah
diartikan sebagai hasil dari interaksi kompleks antara proses biologi, kimia, dan fisik di
dalam tanah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas agregat dapat dikelompokkan ke
dalam faktor abiotik (mineral lempung, sesquioxides, kation yang dapat ditukar), faktor
biotik (bahan organik tanah, aktivitas tanaman akar, fauna tanah dan mikroorganisme),
dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban tanah). Sedangkan Stevenson (1982)
meyebutkan beberapa hal yang mempengaruhi terbentuknya agregat stabil, yaitu : jenis
dan jumlah bahan organik dalam tanah, khususnya gum dan mucilages, keberadaan hipa
fungi dan akar- akar tanaman mikroskopik, pembasahan dan pengeringan, pembekuan
dan pencairan, dan aksi dari penggalian hewan tanah khususnya cacing tanah. Marshal
dan Holmes (1979) juga merinci 2 faktor utama dalam pembentukan agregat, yaitu agen
biologis (mycelium dan cendawan) dan agen fisika. Akar tanaman sebagai agen biologis
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kestabilan agregat , dimana hasil dekomposisi
akar tanmaan dan bahan organik oleh mikroorganisme dapat bertindak sebagai pengikat
agregat. Selanjutnya, agen fisika berfungsi jika terjadi retakan pada agregat permukaan
tanah. Bila terjadi aliran permukaan pada retakan agregat, maka liat dan material lain
dapat diendapkan di sela- sela retakan tersebut. Proses tersebut dapat menciptakan
kondisi struktur tanah yang stabil jika terjadi secara terus menerus.
c. Proses Agregasi
Pembentukan Agregat Tanah Agregat tanah adalah unit sekunder atau butiran
yang terdiri dari berbagai partikel tanah yang disatukan oleh berbagai zat organik, klei,
dan/atau silika. Berbagai teori mekanisme pembentukan agregat telah banyak
berkembang. Salah satu teori yang menjelaskan tentang mekanisme pembentukan agregat
adalah teori yang dikemukakan oleh Tisdall dan Oades pada tahun 1982 yakni model
hirarki agregat.
Edwards & Bremner dalam Tisdall & Oades (1982) menjelaskan pembentukan
agregat terjadi melalui beberapa cara dan dapat dikelompokkan dalam tingkat ukuran
yaitu makroagregat (> 250 μm) dan mikroagregat (< 250 μm). Makroagregat terdiri dari
kompleks klei, kation polivalen dan molekul organik (Kl-P-MO) dimana klei terikat
dengan molekul organik oleh kation polivalen. Agregat yang berdiameter > 2000 μm
terdiri dari agregat-agregat dan partikel-partikel yang disatukan oleh akar dan hifa.
Partikel Kl-P-MO dan (Kl-P-MO)x (keduanya berdiameter <2 μm) membentuk
mikroagregat ((Kl-P-MO)x)y yang diameternya < 250 μm, terdiri dari partikel-partikel
yang berdiameter < 2 μm yang terikat bersama - sama sangat kuat oleh bahan organik
persisten dan tidak dapat terganggu oleh praktik pertanian. Agregat ini merupakan
flokulasi dari kumpulan individual klei yang membentuk masa yang sangat halus. Klei
disatukan oleh gaya-gaya Van der Waal, ikatan hidrogen dan ikatan Coloumb. Agregat
berdiameter 20 - 250 μm sebagian besar terdiri dari partikel-partikel berdiameter 2 - 20
μm yang terikat bersama oleh berbagai penyemen yang termasuk kedalam bahan organik
persisten, kristalin oksida dan aluminosilikat. Lebih dari 70% dari agregat adalah
berdiameter 20 - 250 μm. Agregat ini sangat stabil bukan hanya karena ukurannya yang
kecil, tapi juga karena agregat tersebut mengandung agen-agen pengikat. Agregat ini
termasuk ke dalam mikroagregat ((Kl-P-MO)x)y.

d. Kemantapan Agregat
Kemantapan agregat tanah didefinisikan sebagai ketahanan agregat tanah
melawan perceraian oleh pukulan butir air hujan atau penggenangan air. Kemantapan
agregat tanah bergantung pada ketahanan jonjot tanah melawan daya dispersi dan
kekuatan sementasi atau pengikatan (Notohadiprawiro, 1998). Menurut Rohoscova &
Valla (2004), stabilitas agregat tanah merupakan ukuran daya tahan unit-unit struktur
tanah dalam merespon tekanan mekanik, namun agregat tanah yang mumpuni untuk
mendukung pertumbuhan tanaman kondisinya harus cukup lemah untuk dieksplor
oleh perakaran tanaman, dan cukup kuat untuk tidak kehilangan porositas struktur
ketika menerima tekanan .
Indeks stabilitas agregat dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang berpengaruh,
ditentukan oleh stabilitas agregat tanah ukuran berbeda yaitu agregat makro (>0.25
mm) dan agregat mikro (<0.25 mm) (Abiven et al., 2009). Lebih lanjut Roseta &
Chinyere (2006) mengemukakan bahwa masalah stabilitas agregat lebih baik dilihat dari
status agregat makro, agregat meso dan agregat mikro. Stabilitas agregat (>0.25 mm)
dalam tanah lebih banyak dipengaruhi oleh koloid organik, sedangkan stabilitas
agregat mikro (<0.25mm) lebih ditentukan oleh koloid anorganik seperti
oksihidroksida besi dan aluminium (Gale et al., 2000).
Lal & Shukla (2004) menyebutkan terdapat berbagai metode yang digunakan
untuk menuntukan kemantapan struktur dan agregat tanah. Metode tersebut diantaranya
adalah metode stabilitas terhadap air atau angin dengan teknik pengayakan kering dan
basah yang dikemukakan oleh Yoder (1936). Berbagai cara dapat digunakan untuk
mengekspreksikan hasil analisis agregat tanah menggunakan teknik ini. Indeks yang
paling sering digunakan diantaranya adalah indeks rata-rata bobot diameter (Mean
Weight Diameter). Rata-rata bobot diameter pada metode pengayakan kering dan basah
dapat digunakan untuk menentukan kemantapan agregat yang dinyatakan ke dalam
indeks stabilitas agregat. Indeks stabilitas agregat merupakan selisih antara rata-rata
bobot diameter agregat tanah pada pengayakan kering dengan rata-rata bobot diameter
pada pengayakan basah (Sitorus et al., 1983). Semakin besar indeks stabilitas agregat
maka tanah semakin stabil, demikian sebaiknya.
Stabilitas makroagregat atau agregat stabil tahan air merupakan agregat yang
tahan air atau agregat yang tidak hancur oleh pembasahan, sedangkan Mean Weighted
Diameter (MWD) adalah ukuran rata-rata tertimbang diameter agregat tanah. Agregat
stabil tahan air merupakan agregat berukuran makro (> 0,25 mm), dapat dirinci lagi
berdasarkan berbagai ukuran agregat yaitu 0,25 - 0,5 mm, 0,5 - 8,0 mm, dan 2,0 - 8,0
mm. Agregat stabil tahan air (ASA), MWD, dan indeks stabilitas agregat (ISA)
digunakan sebagai indikator kualitas agregasi tanah. Makin tinggi persentase ASA dan
ISA serta makin besar ukuran MWD, makin semakin baik kualitas agregasi tanah (Nurida
& Undang, 2009). Adapun nilai Indeks Stabilitas Agregat (ISA) adalah sebagai
berikut :>80 (sangat stabil), 80-65 (stabil), 65-50 (agak stabil), 50-40 (tidak stabil), dan
<40 (sangat tidak stabil) (Santi et al., 2008).
e. Faktor yang Mempengaruhi Agregat Tanah
Kemantapan agregat dapat berbeda-beda pada setiap jenis tanah. Perbedaan dalam
kemantapan agregat menurut Buckman & Brady (1982) berhubungan dengan ada
tidaknya zat pengikat tertentu. Senyawa organik merupakan salah satu yang memiliki
sifat-sifat pemantap. Senyawa organik yang memiliki efek merekat atau mengikat
sehingga dapat meningkatkan kemantapan butir-butir tanah yaitu oksida besi. Baver et.al.
(1976) mengemukakan bahwa tanah dalam bentuk koloid lebih banyak berperan dalam
pembentukan agregat yang mantap karena lempung berfungsi sebagai pengikat yang
diadsorbsi pada permukaan butiran pasir dan setelah dihidrasi tingkat reversiblenya
sangat lambat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemantapan agregat antara lain pengolahan
tanah, aktivitas mikroorganisme tanah, dan penutupan tajuk tanaman pada permukaan
tanah yang dapat menghindari splash erotion akibat curah hujan tinggi, eksudasi oleh
perakaran. Agregat tanah terbentuk karena proses flokulasi dan fragmentasi.
Flokulasi terjadi jika partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan terdispersi,
kemudian bergabung membentuk agregat. Sedangkan fragmentasi terjadi jika tanah
dalam keadaan masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih kecil.
Kemper & Rosenau (1986) mengatakan bahwa makin stabil suatu agregat tanah,
makin rendah kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah). Pratiwi (2013)
mengelompokkan faktor- faktor yang mempengaruhi agregat ke dalam sifat- sifat tanah
(tekstur, kation dapat ditukar,pH tanah), agen – agen agregasi tanah (karbon organik,
bahan organik tanah, klei dan mineral klei, kation- kation), pengaruh hayati (eksudasi
akar tanaman, aktivitas mikroorganisme dan fauna tanah) dan faktor- faktor eksogen
seperti cuaca, penggunaa lahan dan pengelolaan lahan.
Gale et.al. (2000) menambahkan bahwa masalah stabilitas agregat lebih baik
dilihat dari status agregat makro, agregat meso dan agregat mikro. Stabilitas agregat
(>0.25 mm) dalam tanah lebih banyak dipengaruhi oleh koloid organik, sedangkan
stabilitas agregat mikro (<0.25 mm) lebih ditentukan oleh koloid anorganik seperti
oksihidroksida besi dan aluminium. Sehingga Indeks stabilitas agregat dalam kaitannya
dengan faktor-faktor yang berpengaruh, ditentukan oleh stabilitas agregat tanah ukuran
berbeda yaitu agregat makro (> 0.25 mm) dan agregat mikro (<0.25 mm).
a. Vegetasi
Stabilitas agregat tanah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya
dipengaruhi oleh vegetasi yang tumbuh di atasnya. Peranan vegetasi terhadap agregat
tanah diantaranya adalah melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung
dengan mengurangi energi kinetik melalui tajuk, ranting dan batangnya. Vegetasi
terutama bentuk pohon dan ranting serta luas tajuk menentukan besar kecilnya daya
pukul air hujan yang jatuh. Kerapatan vegetasi akan mempengaruhi hambatan
terhadap air hujan dalam luas yang lebih besar sehingga populasi vegetasi yang
jarang akan menimbulkan erosi yang lebih besar.
Menurut Pratiwi (2013), spesies tanaman mempengaruhi jumlah residu tanaman
yang dikembalikan ke tanah dan bahan kimia yang dikeluarkan dari tanaman yang dapat
mempengaruhi kemantapan agregat tanah.
Gambar 1. Indeks Stabilitas Agregat (ISA) tanah Latososl pada berbagai penggunaan
lahan

Penelitian oleh pratiwi (2013) yang menguji kemantapan agregat dilakukan pada
penggunaan lahan Kebun KelapaSawit, Kebun Kakao, Kebun Singkong dan Tanah
Berumput kebun kelapa sawit terdapat serasah yang berasal dari bagian tanaman kelapa
sawit yang telah mati dan melapuk yang dapat menjadi pemasok bahan organik tanah dan
pada lahan ini tidak dilakukan pengolahan tanah yang intensif. Pada lahan kakao,
pengolahan tanah konvensional tidak dilakukan intensif sehingga bahan organik tanah
tidak terlalu cepat terdekomposisi. Pada kebun singkong merupakan lahan dengan
riwayat biasa ditanami berbagai tanaman semusim. Pada tanah berumput merupakan
lahan bekas yang ditanami tanaman semusim (tanaman jarak) yang telah diberakan. Pada
lahan berumput ini terdapat pula hewan-hewan makrofauna seperti cacing dan semut.
Dari gambar 1, dapat dilihat kemantapan agregat tanah pada tanah dengan
vegetasi tanaman tahunan (kelapa sawit dan kakao) dan tanaman semusim (lahan rumput/
bekas tanaman semusim) yang sama- sama tidak mendapatkan pengolahan yang intensif
ternyata hasilnya tidak berbeda nyata. Sementara kemantapan agregat tanah yang
mendapatkan pengolahan tanah yang intensif dengan vegetasi tanaman semusim
(singkong) berbeda nyata dengan tanah lainnya (baik deengan vegetasi tanaman semusim
maupun tahunan), hal ini lebih disebabkan oleh pengelolaan tanahnya.
b. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dapat mempengaruhi stabilitas agregat secara tidak langsung.
Bahan organik yang terkandung di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pengelolaan
yang diterapkan pada lahan. Hal ini disebabkan karena bahan organik bersifat dinamis
yang dapat berubah- ubah dengan waktu, iklim dan kondisi lingkungan. Pada ekosistem
alami, laju kehilangan bahan organik akibat oksidasi biologi akan terimbangi oleh bahan
organik yang terakumulasi dari sisa tanaman dan makhluk hidup diatasnya. Akan tetapi,
pada tanah yang diolah untuk praktek pertanian sangat mungkin terjadi kesenjangan
antara input dan output bahan organik. Dengan penurunan kandungan bahan organik
dalam tanah akan meurunkan akivitas mikroba didalamya, sementara mikroba berperan
pentig dalam proses pembentukan agregat maka laju agregasi juga akan megalami
penurunan.
Tanah-tanah yang memiliki kemantapan atau stabilitas agregat tanah yang tinggi
dapat mempertahankan agregat dan pori-pori tanah dari berbagai gangguan, khususnya
pembasahan dan pukulan air hujan. Pengolahan tanah yang intensif dan terus menerus
cenderung akan memecah agregat yang mantap sehingga menyebabkan kemantapan
agregat tanah menurun (Rachman, 2006). Dalam sistem pengolahan tanah dikenal ada 3
cara, yaitu: 1) pengolahan tanah intensif (konvensional), 2) pengolahan tanah minimum,
dan 3) tanpa pengolahan tanah (Rachman et al., 2015). Dua sistem pengolahan tanah
terakhir tergolong sistem pengolahan tanah konservasi. Teknik pengolahan tanah yang
baik akan berdampak pada perbaikan sifat-sifat tanah dan peningkatan hasil produksi.
Tabel 1. Efek Perlakuan terhadap Kemantapan Agregat
Perlakuan Sebelum tanam (%) Setelah tanam (%) Perubahan (%)
OT 1 40.61 35.54 -5.07 a
OT 2 42.33 39.77 -2.56 a
OT 3 41.38 67.38 26.00 b
OT 4 40.62 68.34 27.72 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan adanya nilai
yang berbeda nyata Uji Duncan dengan taraf 5%
OT 1 : olah tanah intensif tanpa diberikan mulsa
OT 2 : olah tanah intensif diberikan mulsa 3 ton/ha
OT 3 : olah tanah minimum pada baris tanaman diberikan mulsa 3 ton/ha
OT 4 : tanpa olah tanah diberikan mulsa 3 ton/ha
Dapat dilihat pada Tabel 1, kemantapan agregat pada pengolahan tanah intensif
baik menggunakan dengan perlakuan penggunaan mulsa maupun tanpa penggunaan
mulsa mengalami penurunan setelah tanam dan hasilnya berbeda nyata dengan
kemantapan agregat pada pengolahan tanah minimum dan tanpa pengolahan tanah.
Penurunan kemantapan agregat dipengaruhi oleh pengolahan tanah secara intensif yang
mengakibatkan penurunan kadar bahan organik tanah yang akhirnya menyebabkan
terjadinya degradasi struktur tanah (Supriyadi, 2008). Penurunan pada OT 2 tidak sebesar
pada OT 1 karena efek pemberian mulsa (penutup tanah) pada OT 2. Sedangkan
peningkatan kemantapan agregat tertinggi terjadi pada OT 3 (24 %). Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan tanah minimum dalam barisan tanaman
disertai dengan pemberian mulsa dapat memelihara atau bahkan memperbaiki struktur
tanah. Hal tersebut dikarenakan adanya peningkatan bahan organik yang menyebabkan
terjadinya perbaikan struktur tanah. Struktur tanah yang baik menunjukan bahwa terdapat
penyebaran pori yang baik yaitu terdapat ruang pori di dalam dan diantara agregat yang
diisi air dan udara dan sekaligus menunjukkan kemantapan agregatnya (Wirosoedarmo,
2005).
Pengolahan tanah dapat mempengaruhi stabilitas agregat secara tidak langsung.
Bahan organik yang terkandung di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pengelolaan
yang diterapkan pada lahan. Hal ini disebabkan karena bahan organik bersifat dinamis
yang dapat berubah- ubah dengan waktu, iklim dan kondisi lingkungan. Pada ekosistem
alami, laju kehilangan bahan organik akibat oksidasi biologi akan terimbangi oleh bahan
organik yang terakumulasi dari sisa tanaman dan makhluk hidup diatasnya. Akan tetapi,
pada tanah yang diolah untuk praktek pertanian sangat mungkin terjadi kesenjangan
antara input dan output bahan organik. Dengan penurunan kandungan bahan organik
dalam tanah akan meurunkan akivitas mikroba didalamya, sementara mikroba berperan
pentig dalam proses pembentukan agregat maka laju agregasi juga akan megalami
penurunan.
c. Eksudasi akar tanaman
Akar tanaman memberikan konstribusi terhadap kelimpahan bahan organik
tanah dan kemantapan agregat tanah secara langsung melalui material akar tersebut
dan secara tidak langsung melalui stimulasi aktivitas mikroorganisme di daerah
sekitar perakaran (Watt et al., 1993). Selain sebagai penutup tanah, peranan vegetasi
yang lain adalah menyediakan bahan organik yang berperan penting dalam pembentukan
agregat tanah. Dengan serasah yang dijatuhkannya akan terbentuk humus yang
berguna untuk menaikkan kapasitas infiltrasi tanah, dengan demikian erosi akan
dikurangi (Refliaty & Marpaung, 2010) . Selain itu, adanya vegetasi pada lahan
membantu pembentukan agregat tanah yang mantap, bahan organik yang dihasilkan
akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan menciptakan struktur tanah
yang lebih baik sehingga akan menciptakan agregat-agregat yang stabil. Utomo (1985)
cit. Refliaty & Marpaung (2010) juga mengatakan adanya vegetasi pada lahan
membantu pembentukan agregat tanah yang mantap bahan organik akan
meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan menciptakan struktur tanah yang
lebih baik sehingga akan menciptakan agregat-agregat yang stabil.
Adapun agensia organik yang dapat meningkatkan kemantapan agregat tanah
adalah produk dekomposisi biomasa, eksopolisakarida (EPS) asal bakteri, miselium
fungi, dan produk hasil sintesis tanaman. Azotobacter vinelandii, P. aeruginosa, P.
fluorescens, dan P. putida menghasilkan beberapa jenis polisakarida penting.
Polisakarida tersebut antara lain polisakarida ekstraselular,kapsular, dan lipopolisakarida.
Pembentukan agregat tanah umumnya dipengaruhi EPS yang merupakan hasil dari
aktivitas mikroorganisme (Goenadi, 1995).
Berdasarkan penelitian oleh Ladd et. al. (1996) bahwa perakaran mengeksudasi
senyawa organik seperti asam organik dan polisakarida akan mengikat bersama partikel
tanah menjadi agregat mikro yang lebih stabil. Proses lain yang bisa terjadi adalah
eksudat mampu mendorong fragmentasi agregat makro menjadi agregat mikro atau
meso. Sebagaimana dilaporkan Gale et.al. (2000), senyawa organik eksudat akar
cenderung mengisi pori agregat makro melalui air kapilaritas menjadi senyawa
organik intra-agregat. Pori intra-agregat yang terisi C-organik, menjadi awal belahan
(fragmentasi) agregat makro menjadi agregat mikro oleh adanya slaking (pecahnya
agregat/struktur oleh tekanan udara yang terkurung akibat tekanan air). Pecahnya
agregat makro tanah rerumputan menjadi agregat mikro oleh slaking juga
dilaporkan Emerson dan Greenland (1990).
d. Aktivitas Mikroorganisme Tanah
Mikroorganisme dalam tanah banyak ditemukan di daerah sekitar perakaran
(rhizosphere). Sebagian besar organisme tanah tersebut tergolong dalam tumbuhan.
Walaupun demikian peranan kelompok binatang sangat penting khususnya pada saat
pelapukan. Sebagian besar organisme tanah berukuran kecil sehingga tidak dapat dilihat
langsung secara kasat mata (Winarso, 2005). Menurut Handayanto & Hairah (2007),
penyebaran bakteri di dalam tanah umumnya lebih beragam dibanding organisme lainnya
diperkirakan lebih dari 200 genera bakteri yang hidup di dalam tanah. Bakteri dapat
hidup pada tempat yang sebagian organisme lainnya tidak bisa hidup, hal ini karena
diversitas metaboliknya.
Total bakteri tanah yang ada di Bukit Maras jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan total bakteri tanah di Bukit Siam dikarenakan kandungan organik pada tanah di
Bukit Maras jauh lebih baik sehingga kesuburan tanahnya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kandungan organik pada tanah di Bukit Siam, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan koloni bakteri di Bukit Siam antara lain pH, senyawa
organik, jenis lapisan tanah, oksigen dan sebagainya karena terdapat korelasi yang kuat
bahwa semakin banyak kandungan organik tanah dan oksigen, maka jumlah dan jenis
mikroorganismenya juga semakin tinggi (Virgianty et al., 2010).
Populasi mikrobiologis tanah terbagi dalam tiga golongan besar, yaitu:1)
Autochthonous: golongan ini dapat dikatakan sebagai mikroba setempat atau pribumi
pada tanah tertentu, selalu hidup dan berkembang di tanah tersebut dan atau selalu
diperkirakan ada ditemukan di dalam tanah tersebut. 2) Mikroba zimogenik: golongan
mikroba yang berkembang di bawah pengaruh perlakuan perlakuan khusus pada
tanah, seperti penambahan bahan bahan organik, pemupukan. 3)Mikroba transient
(penetap sementara): terdiri dari organisme organisme yang ditambahkan ke dalam
tanah, secara disengaja seperti dengan inokulasi leguminosa, atau yang tidak secara
disengaja seperti dalam kasus unsur unsur penghasil penyakit tanaman dan hewan,
organisme ini kemungkinan akan segera mati atau bertahan untuk sementara waktu
setelah berada di dalam tanah (Campbel et al., 2003).

Tabel 2. Sebaran Mikroorganisme pada Lahan Komoditas Padi


Dari tabel 2, sebaran mikroorganisme pada lahan padi berbeda- beda pada tiap
lapisan/ horizon. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan substrat yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme. Sebaran mikroorganisme paling banyak berada di horizon 1, horizon
dengan kandungan bahan organik yang paling tinggi, sedangkan horizon setelahnya
mulai mengalami penurunan populasi dan diversitas mikroorganisme yang hidup yang
disebabkan oleh ketersediaan substrat yang semakin terbatas.
Peranan agregat bagi ekosistem tanah adalah untuk mikroba sendiri, mikroagregat
tanah dapat melindungi mikroba terutama bakteri dari protozoa pemangsa, selain itu
interaksi yang menguntungkan diantara mikroorganisme (Lawton, 1955 cit. Kusuma et
al.,2016). Akibatnya apabila bakteri terlindungi maka populasi bakteri menjadi
meningkat. Kemantapan agregat sangat penting bagi tanah pertanian dan perkebunan.
Agregat yang stabil akan menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Agregat dapat menciptakan lingkungan fisik yang baik untuk perkembangan
akar tanaman melalui pengaruhnya terhadap porositas, aerasi dan daya menahan air.
Pada tanah yang agregatnya, kurang stabil bila terkena gangguan maka agregat tanah
tersebut akan mudah hancur. Butir-butir halus hasil hancuran akan menghambat pori-
pori tanah sehingga bobot isi tanah meningkat, aerasi buruk dan permeabilitas
menjadi lambat. Kemantapan agregat juga sangat menentukan tingkat kepekaan tanah
terhadap erosi. Kemampuan agregat untuk bertahan dari gaya perusak dari luar
(stabilitas) dapat ditentukan secara kuantitatif melalui Aggregate Stability Indeks
(ASI). Indeks ini merupakan penilaian secara kuantitatif terhadap kemantapan agregat.
Mikroorganisme tanah menghasilkan polisakarida, hemiselulosa, selulosa dan
sejumlah polimer alami lainnya yang dapat menempel pada permukaan partikel tanah
melalui jembatan kation, ikatan hidrogen, van der Waals, dan mekanisme adsorpsi
anion. Kemampuan bakteri untuk melindungi selnya dengan lapisan eksopolisakarida
merupakan respons pertahanan diri terhadap kekeringan dan predator (protozoa),
agensia antimikrobial, logam berat, mempertahankan aktivitas nitrogenase apabila
konsentrasi oksigen tinggi, membantu melekat pada permukaan padat ketika terjadi
akumulasi nutrien, dan dapat berinteraksi dengan tanaman. Kemantapan agregat mikro
tergantung pada keberadaan bahan organik pengikat, sedangkan kemantapan agregat
makro dapat terbentuk karena aktivitas perakaran tanaman dan miselium fungi.
Mikroorganisme dapat memetabolisme bahan organik tanah untuk menghasilkan
eksopolisakarida yang kemudian digunakan sebagai agensia pengikat partikel agregat
mikro.
Bakteri dan jamur menghasilkan koloid polisakarida yang dapat merekatkan
partikel- partikel tanah. Misalnya, jamur/fungi tanah menghasilkan glomalin yang telah
terbukti mewakili proporsi bahan organik tanah yang tinggi dalam meningkatkan
pembentukan agregat (Rillig et al., 2002 cit. Umer & Rajab, 2011). Contoh lainnya
adalah bakteri Lactobacillus fermentum yang merupakan bakteri asam laktat
menghasilkan eksopolisakarida dan tergolong gram positf. Seperti diketahui bahwa
bakteri gram positif akan mengikat partikel tanah membentuk agregat (Kusuma et al.,
2016).
Swaby (1948) mengatakan bahwa glukosa, pati, ragi, miselium jamur, jerami,
semanggi dan pupuk kandang berperan mendorong terjadinya agregasi tanah dengan
mencampur jamur, actinoniycetes dan bakteri. Agregat yang terikat oleh miselia tidak
berlangsung lama karena hifa akan didekomposisi oleh bakteri. Sehingga perbaikan
sementara struktur tanah setelah penambahan bahan organik dapat dijelaskan sebagian
oleh aksi mikroba.

Tabel 3.Potensi menghasilkan slime di dalam medium dan memfermentasi laktosa

Jumlah isolate
Rhizosfer tanaman
Membentuk Laktosa (-) Laktosa (+)
slime
P.javanicum 9 6 3
S.plicata 2 2 0
M. micranta 1 1 0
S. officinarum 17 11 6
C. pubescens 2 2 0
C. mucunoides 3 2 1
Z. mays 5 4 1
Total 39 28 11

Pada table 3 , merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santi et.al. (2008)
yang megidentifikasi sebaran mikrobia potensial penghasil slime dalam rhizosfer
berbagai jenis tanaman. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa sebanyak 28 isolat
tidak memiliki kemampuan memfermentasi laktosa atau fermentasi laktosa negatif
sedangkan 11 isolat lainnya memiliki kemampuan memfermentasi laktosa atau
fermentasi laktosa positif .Kemampuan tumbuh dalam medium MacKonkey
mengindikasika bahwa seluruh isolat penghasil slime tersebut adalah kelompok bakteri
gram negatif dan sebanyak 71,8% diantaranya tidak dapat menggunakan laktosa
sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan dan pembentukan eksopolisakarida.
Kelompok bakteri ini termasuk dalam genus Pseudomonas. Daerah rhizosfer sebagai
habitat bakteri yang digunakan dalam penelitian tersebut rata-rata memiliki nilai indeks
stabilitas agregat dengan kategori agak stabil sampai dengan stabil. Kemantapan
agregat ini kemungkinan dapat terjadi karena pengaruh eksudat akar dan jumlah
populasi bakteri yang cukup tinggi di sekitar perakaran.
Aktivitas mirobia dalam tanah juga sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis
substrat yang tersedia di dalam tanah. Tiap jenis mikrobia menggunakan substrat yang
spesifik untuk dapat melakukan sistem metabolisme dala tubuhnya. Sehingga penyebaran
poulasi maupun diversitas mikroorganisme di dalam daerah perakaran sangat tergantung
pada jenis makanan yang tersedia.

Tabel 4. Produksi Eksopolisakarida pada P. fluorescens PG7II.1, Flavobacterium


sp. PG7II.2, dan P. diminuta PG7II.9 pada Empat Jenis Sumber Karbon
Produksi eksopolisakarida dengan sumber
Konsentrasi karbon (mg/mL)
Jenis bakteri
Karbon 4-
Sukrosa Glukosa Laktosa HAA*
1 0.34 0.16 0.14 0.1
P.fluorescens PG7II.1 2 8.04 0.18 0.2 0.02
3 1.28 0.24 0.28 0.08
1 1.52 2 0.06 0.06
Flavobacterium sp.
2 1.08 0.2 0.06 0.1
PG7II2
3 0.1 0.4 0.12 0.12
1 0.5 0.02 0.06 0.1
P. diminuta PG7II.9 2 1 0.02 0.06 0.02
3 1.82 0.04 0.12 0.02
Keterangan :
*4- HAA : 4-hydroxyphenil acetic acid

Dari table diatas menunjukkan bakteri potensial penghasil slime lebih menyukai
sukrosa sebagai sumber energinya. Penelitian oleh Martin (1945), menginokulasi tanah
yang sudah disterilkan yang mengandung sukrosa dipadukan dengan kultur murni jamur,
actinomycetes dan bakteri dan menemukan bahwa hyphae Cladosporium spp. dan gum
dari Bacillus subtilis sangat berperan dalam meningkatkan agregasi, tetapi aktinomycetes
dan bakteri lain kurang efektif. Selanjutnya Martin (1946) selanjutnya polisakarida
diisolasi dari beberapa bakteri, termasuk fruktosa yang berasal dari Bacillus subtilis dan
Axotobacter indicum dan dextrans dari Leuconostoc dextranicus dan dua strain tak
dikenal lainnya dan menemukan bahwa polisakarida tersebut berperan sebagai zat perekat
yang lebih baik dibandingkan dengan kasein atau lignin. Namun, polisakarida ini secara
perlahan didekomposisi oleh beberapa mikroorganisme.
Meskipun jamur berperan sebagai salah satu agen perekat dalam agregasi tanah ,
penelitian lainnya menunjukkan bahwa terdapat batas efek hifa jamur terhadap agregasi.
Pada batas waktu tertentu, pertumbuhan jamur tidak lagi memiliki efek lebih lanjut pada
agregasi (Bossuyt et al., 2001 cit. Chotte, 2005). Penjelasan yang mungkin dari
pengamatan ini dapat disimpulkan dari karya Rillig dan Steinberg (2002) yang
mengatakan pertumbuhan hifa jamur mycorrhizal (Glomus intraradices) dan produksi
metabolit yang terlibat dalam pembentukan dan stabilisasi agregat dipantau. Penelitian
dilakukan di dua media buatan yang berbeda dengan menggunakan manik-manik kaca
dengan diameter yang berbeda. Manik-manik besar (710-1180 µm) mensimulasikan
tanah agregat, sedangkan manik-manik kecil (<106μm) mensimulasikan tanah yang tidak
teragregasi. Di tanah yang tidak teragregasi merupakan lingkungan suboptimal bagi
pertumbuhan jamur terdapat sedikit pertumbuhan hifa, tapi menghasilkan zat metabolit
agregasi dalam jumlah yang besar. Sementara di tanah agregat, yang lebih
menguntungkan untuk pertumbuhan jamur, hasil sebaliknya diperoleh dengan
metabolisme jamur yang berorientasi pada produksi hifa. Di lingkungan pertumbuhan
suboptimal, jamur menghasilkan zat metabolisme yang merupakan "semen organik" dan
berfungsi untuk mengatur kembali lingkungan setempat dan meningkatkan
pertumbuhannya. Setelah kondisi optimal telah ditetapkan, pertumbuhan jamur menjadi
lebih penting dan tidak ada efek lebih lanjut pada agregasi.

Tabel 5. Indeks Stabilitas Agregat (ISA) Tanah Mineral yang diinokulasi Bakteri
Penghasil Eksopolisakarida dengan Massa Inkubasi 20, 60 dan 90 Hari.

Penulis lain (Baldock & Kay ,1997) juga melaporkan korelasi positif antara
kandungan karbohidrat dan stabilitas agregat. Namun korelasi ini tidak membuktikan
bahwa karbohidrat memiliki peran fungsional dalam proses agregasi. Kouakoua et.al.
(1997) melakukan pengujian dengan menghilangkan karbohidrat dan hasilnya tidak
mengubah stabilitas agregat tanah. Penelitian lainnya memantau pembentukan agregat
oleh mikroorganisme dengan penambahan pati sebagai substratnya. Guggen berger et. al.
(1999) menemukan adanya peningkatan yang sangat pesat dalam total massa agregat
terbesar (antara 250 dan 800 μm) dalam 4 hari pertama. Mereka juga mengukur tingkat
pertumbuhan jamur yang tinggi dalam agregat ini, sedangkan biomassa mikroba sebagian
besar ditemukan di agregat yang lebih kecil. Setelah 4 hari, pengukuran menunjukkan
hasil yang signifikan karena terjadi pengurangan biomassa jamur sehingga terjadi
pengurangan massa dari agregat. Sehingga spekulasi sementara, kehadiran hifa jamur
berperan dalam proses agregasi, namun tidak bisa sepenuhnya menjelaskan pembentukan
dan stabilisasi agregat.

1. Polisakarida
Polisakarida paling aktif dalam pembentukan agregat adalah metabolit bakteri dan
eksudat dari akar. Efektivitas dari polisakarida bermula dari struktur makromolekulnya
yang memungkinkan teradsorpsi pada partikel tanah liat dan juga untuk merekatkan
partikel bersama. Chenu (1993) menunjukkan bahwa kapasitas retensi air partikel tanah
lempung sangat dipengaruhi oleh penambahan polisakarida. Kekuatan efek ini tergantung
pada jenis polisakarida dan sifat-sifat partikel tanah lempung. Adsorpsi oleh hasil
lempung dalam modifikasi struktur makro dari partikel tanah lempung yang lebih
signifikan untuk kaolinit daripada smektit. Gambar mikroskop elektron dan teknik
pelabelan polisakarida (Thiery 1967) menunjukkan perannya dimainkan oleh polisakarida
dalam stabilisasi agregat mikroskopis (Chotte et al., 1994). Untuk tanah secara
keseluruhan, pentingnya polisakarida pada proses agregasi ditunjukkan korelasi antara
jumlah agregat yang stabil dalam air dan kuantitas polisakarida.
Peran eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat selain dapat
meningkatkan kemantapan agregat EPS juga dapat menambah unsur hara dan bahan
organik tanah. Menurut Rao (1994) cit. Kusuma dkk (2016) diantara karbohidrat yang
diisolasi dari tanah, diketahui bahwa dekstran yang mengandung asam uronat dalam
jumlah yang besar dan resisten terhadap degradasi mikroba ternyata memiliki kualitas
tertinggi dalam membentuk agregrat tanah dan menambah unsur hara dalam tanah.
Eksopolisakarida asal bakteri Gram negatif akan mengikat partikel tanah dan
membentuk agregasi. Umumnya agregat yang terbentuk akibat EPS cukup stabil
(UWA, 2004). Peran eksopolisakarida bagi bakteri adalah untuk melindungi dari
berbagai macam cekaman lingkungan. Bakteri Pseudomonas sp. meningkatkan
produksi EPS selama musim kering. Dengan memproduksi EPS memungkinkan
untuk meningkatkan retensi air sehingga dapat mengatur difusi sumber karbon
seperti glukosa ke dalam sel bakteri .Burdman et al., (2000) mengatakan bahwa
Azospirillum brasilense menghasilkan eksopolisakarida dalam bentuk arabinosa yang
berkorelasi dengan tingkat kemampuannya membentuk agregat. Di dalam medium
fruktosa sintetik, strain tipe liar menghasilkan EPS yang kaya akan glukosa selama
fase pertumbuhan eksponensial dan EPS yang kaya akan arabinosa selama fase
pertumbuhan stasioner dan fase kematian.
2. Glomalin
Karakterisasi jamur mikoriza arbuskular telah menunjukkan adanya sejumlah
besar senyawa organik yang disekresikan oleh hifa. Senyawa ini tidak larut dalam air,
sehingga dianggap memainkan peran kunci dalam stabilisasi tanah. Glomalin merupakan
glikoprotein yang memiliki oligosakarida N-linked dan besi yang terikat erat. Seyawa ini
tidak larut (hidrofobik). Glomalin dapat dideteksi secara in situ menggunakan
imunofluoresensi. Wright (2000) menggunakan antibodi monoklonal yang dihasilkan dari
glom intraradices dan imunofluoresensi tidak langsung untuk mendeteksi glomalin pada
permukaan hifa dan agregat tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa glomalin terdeteksi
pada hifa mikoriza dan pada permukaan agregat. Penelitian tersebut mengkonfirmasi
peran metabolit jamur ini dalam pembentukan dan stabilisasi agregat (Rillig and
Steinberg, 2002) . Sifat glomalin yang mudah berubah cukup menyulitkan untuk menilai
perannya dalam pembentukan dan stabilisasi agregat. Rillig et.al. (2002) membandingkan
efek beberapa mycotrophic tanaman di agregasi. Mereka menggunakan model jalur yang
sebelumnya digunakan untuk menguji interaksi kausal antara faktor-faktor biologis pada
stabilisasi tanah (Jastrow et al., 1998). Mereka menyimpulkan bahwa produksi glomalin
oleh hifa memiliki efek yang lebih kuat daripada aksi langsung dari enmeshing.
Kesimpulan ini tidak bertentangan dengan temuan bahwa hifa memiliki efek pada
pembentukan agregat. Namun, properti lain dapat digunakan untuk membedakan kedua
faktor ini yaitu waktu degradasi. Omset glomalin adalah antara 6 dan 42 tahun yang jauh
lebih lama daripada untuk hifa (Rillig et al., 2001). Perbedaan ini telah dikonfirmasi oleh
sebuah penelitian di laboratorium yang menunjukkan bahwa setelah 150 hari inkubasi,
konsentrasi glomalin berkurang hampir 25%, sedangkan hifa hilang. Namun meskipun
demikian keduanya melmiliki peranan yang positif terhadap pembentukan dan stabilitas
agregat.
PENUTUP

Stabilitas agregat tanah merupakan ukuran daya tahan unit- unit struktur tanah
dalam merespon tekanan mekanik. Stabilitas agregat tanah dipengaruhi oleh jensi vegetasi,
kemiringan lereng, kedalaman tanah, aktivitas mikroorganisme tanah, dll. Pengaruh mikrobia
berbeda pada setiap ukuran agregat dimana agregat mikro banyak dipengaruhi oleh sintesis
polisakarida jenis eksopolisakarida (EPS) oleh kelompok bakteri dan agregat makro banyak
dipengaruhi oleh fungi melalui pengaruh miselium dan sintesis glomalin. Ketersediaan dan
jenis sumber karbon sangat menentukan aktivitas mikrobia di dalam tanah .
DAFTAR PUSTAKA

Abiven, S., S. Menasseri, and C. Chenu. 2009. The effects of organic inputs over time
on soil aggregate stability-A literature analysis. Soil Biol & Biochem 41 (1) : 1–
12.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor.

Blaud, A., M. Menon, B.V.D. Zaan, G.J. Lair, S,A Banwart. 2017. Effects of dry and wet
sieving of soil on identification and interpretation of microbial community
composition. Elsevier 142 (1) : 119 – 142.
Chotte, J. 2015. Importance of Microorganisms for Soil Aggregation. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg pp: 107 -119.
Gale, W.J., C.A. Cambardella, and T.B. Bailey. 2000. Root-derived carbon and the
formation and stabilization of aggregates. Soil Sci. Soc. Am. J 64 (1) :201–
207.
Kusuma, A.A., K.S. Wicaksono, B. Prasetya. 2016. Perbaikan sifat fisik dan kimia tanah
lempung berpasir melalui aplikasi bakteri Lactobacillus fermentum. Jurnal Lahan
dan Sumberdaya Lahan 3(2) : 401- 410.
Lal ,R & M.J. Shukla. 2004. Principle of Soil Physics. Marcel Dekker, New York (US).
Marshall, T.J. and J.W. Holmes. 1979. Soil Physics. Cambridge Univ. Press, London.
Martin, J. P. 1945. Micro-organisms and soil aggregation. I. Origin and nature of some
aggregating substances. Soil Sci. 59 :163-74.
Notohadiprawiro, T.1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Martin, J. P. 1946. Micro-organisms and soil aggregation II. Influence of bacterial
polysaccharides on soil structure. Soil Sci. 61: 157-66.
Mustoyo, Simanjuntak B. H, dan Suprihartini. 2013. Pengaruh Pupuk Kandang Terhadap
Stabilitas Agregat Tanah pada Sistem Pertanian Organik. Jurnal AGRIC. No. 1.
Vol. 25 halaman 51-57.
Nurida, N.L. dan K. Undang. 2009. Perubahan agregat tanah pada ultisols jasinga
terdegradasi akibat pengolahan tanah dan pemberian bahan organik. Jurnal Tanah
dan Iklim 30(1) : 37 – 46.
Prasetya, B., S. Prijono, Y. Widjiawati. 2012. Vegetasi pohon hutan memperbaiki
kualitas tanah andisol-ngabab. Indonesian Green Technology Journal 1(1) : 1 - 6.
Pratiwi, S.A. 2013. Pengaruh faktor pembentuk agregat tanah terhadap kemantapan
agregat Tanah Latosol Dramaga pada berbagai penggunaan lahan. Skripsi.
Rachman, A. dan Abdurachman, A. 2006. Penetapan Kemantapan Agregat Tanah.
Dalam: Kurnia, U. (eds.). Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
Rohoskova, M. and M. Valla. 2004. Comparison of two methods for aggregate
stability measurement. Plant Soil Environ 50 (1): 379–382.
Santi, L.P., A. Dariah, D.H. Goenadi. 2008. Peningkatan kemantapan agregat tanah
mineral oleh bakteri penghasil eksopolisakarida. Menara Perkebunan 76 (2) : 93-
103.
Sitorus, S.R.P, O. Haridjaja, & K.R. Brata.1983. Penuntun Praktikum Fisika Tanah.
Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian.Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Stevenson, F.J. 1982. Clay organic complexes and formation of stable aggregates. In:
Stevenson (ed.) Humus Chemistry (Genesis, Composition, Reaction). John
Wiley and Sons. Inc., New York.
Supriyadi, S. 2008. Kandungan bahan organic sebagai dasar pengelolaan tanah di
lahan kering Madura. J. Embry 5(2) : 1- 14.
Swaby, R.J. 1948. The Relationship between Micro-organisms and Soil Aggregation.
Department of Soil Microbiology, Rothnmsted Experimental Station, Harp enden,
Nerts.
Tisdall, J.M., Oades, J.M. 1982. Organic matter and water stable aggregates in soils.
Journal of Soil Science 33(1) :141–163.
Umer, M.I. and S.M. Rajab. 2011. Correlation between aggregate stability and
microbiological activity in two Russian soil types. Journal of Soil Science 1 : 45 –
50.
Wirosoedarmo, R.. 2005. Pengaruh kandungan air terhadap kegemburan tanah
pengaruh kandungan air terhadap kegemburan tanah. Jurnal Teknologi Pertanian,
6 (1): 45-49.
Xiaohong Tang, Youjin Lou, Jiake Lv, dan Chaofu Wei. 2012. Mechanisms of Soil
Aggregate Stabilitty in Purple Paddy Soil under Conservation Tillage of Sichuan
Basin, China. IFIPI. Vol 1 halaman 355-370

You might also like