Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Identifikasi forensik adalah suatu usaha atau upaya yang dilakukan dengan
tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Menentukan
identitas perseorangan dengan tepat bersifat sangat penting dalam penyidikan
karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Ilmu
kedokteran forensik dalam identifikasi sangat berperan dalam proses identifikasi
terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus
terbakar. Selain itu, identifikasi forensik juga dapat digunakan pada kecelakaan
massa, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati,
serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Identifikasi forensik juga berperan
dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau bayi
yang tidak diketahui orang tuanya1.
Identifikasi forensik terdiri dari identifikasi primer dan identifikasi
sekunder. Identifikasi primer dapat menggunakan analisa DNA, analisa sidik jari,
dan profil gigi. Identifikasi sekunder menggunakan modalitas berupa perhiasan
atau aksesoris, ciri khusus mayat (bekas luka, tatoo, tindik, dan lainnya), metode
visual, dan pemeriksaan dokumen1.
Identifikasi primer merupakan jenis identifikasi yang ketepatan
identifikasinya dapat dipercaya. Salah satu metode yang digunakan adalah profil
gigi. Gigi dapat digunakan sebagai sampel identifikasi karena gigi dapat bertahan
setelah kematian. Meskipun status gigi seseorang dapat berubah sepanjang hidup
seperti kombinasi gigi yang rusak, hilang, atau tertambal namun hal tersebut dapat
diukur dan terekam. Selain itu, gigi adalah bagian yang paling tahan lama dalam
tubuh dan dapat dipanaskan hingga suhu 1600°C tanpa kehilangan mikrostruktur
yang berarti. Gigi dapat bertahan lebih lama dibandingkan jaringan lunak atau
jaringan kerangka yang dapat hancur oleh pembusukan atau pembakaran2.
Beberapa kasus bencana menggunakan gigi dalam mengidentifikasi
korban. Bencana tsunami pernah terjadi di Samudra Hindia yang didahului oleh
gempa tektonik dengan kekuatan skala richter 9.0 pada 26 Desember 2004.
Identifikasi forensik menggunakan data gigi dilakukan selama 4 bulan pertama
setelah kejadian. Hasil yang diperoleh adalah 46.2% dari 2,894 kasus yang
berhasil diidentifikasi dengan data gigi3. Kasus bom teroris yang terjadi di kota
Oklahoma pada 19 April 1995. Dengan menggunakan gigi sebagai data primer,
tim identifikasi jenazah dapat mengidentifikasi sebaganyak 45 kasus (26,8%) 3.
Kedua contoh bencana sebelumnya menunjukkan bahwa gigi sebagai identifikasi
primer jenazah sangat berguna untuk dilakukan dalam identifikasi forensik.
Ilmu kedokteran gigi forensik atau odontologi forensik merupakan cabang
dari ilmu kedokteran gigi mengenai cara penanganan dan pemeriksaan bukti-bukti
melalui gigi dan evaluasi serta pemaparan hasil-hasil penemuan yang
berhubungan dengan rongga mulut untuk kepentingan pengadilan 4. Refarat ini
akan membahas lebih lanjut mengenai odontologi forensik melingkupi dua hal
yaitu identifikasi berbasis odontology baik personal maupun massal serta
interpretasi bekas gigitan (bite mark)5.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Odontologi Forensik
Ilmu kedokteran gigi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran
forensik yang sekarang telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu
kedokteran gigi forensik atau odontologi forensik merupakan cabang dari
ilmu kedokteran gigi mengenai cara penanganan dan pemeriksaan bukti-bukti
melalui gigi dan evaluasi serta pemaparan hasil-hasil penemuan yang
berhubungan dengan rongga mulut untuk kepentingan pengadilan 4. Definisi
odontologi forensik adalah cabang ilmu dari ilmu kedokteran gigi kehakiman
yang bertujuan untuk menerapkan pengetahuan kedokteran gigi dalam
memecahkan masalah hukum dan kejahatan 4. Sejarah odontologi forensik
telah ada sejak zaman prasejarah, akan tetapi baru mulai mendapat perhatian
pada akhir abad ke-19. Sekitar tahun 1960 ketika program instruksional
formal kedokteran gigi forensik pertama dibuat oleh Armen Force pada tahun
1962 dari Institute of Pathology. Sejak saat itu banyak kasus penerapan
odontologi forensik dilaporkan dalam literatur sehingga nama odontologi
forensik mulai banyak dikenal bukan hanya di kalangan dokter gigi, tetapi
juga di kalangan penegak hukum dan ahli forensik4.
Tujuan odontologi forensik adalah untuk memeriksa bukti-bukti yang
penting bagi hokum melalui gigi dan rongga mulut, seperti analisa bekas
gigitan dan identifikasi forensik. Identifikasi dengan sarana gigi dilakukan
dengan cara membandingkan data gigi yang diperoleh dari pemeriksaan gigi
jenazah yang tidak dikenal (data postmortem) dengan data gigi yang pernah
dibuat sebelumnya dari orang yang diperkirakan (data antemortem).
Identifikasi dengan cara membandingkan data ini akan dapat memberikan
hasil identifikasi sampai tingkat individual, yaitu dapat menunjuk siapa orang
yang diiden-tifikasi. Jadi data gigi berupa rekam medik gigi (dental record)
yang pernah dibuat sebelumnya (data antemortem) merupakan syarat utama
yang harus ada apabila identifikasi dengan cara membandingkan akan
diterapkan5,6.
2.2 Anatomi Gigi
Gigi adalah bagian tubuh yang paling tahan lama dan gigi-geligi
bersifat individual seperti sidik jari. Oleh karena itu, morfologi gigi individu
serta restorasi yang ada pada gigi berguna untuk identifikasi manusia. Gigi
geligi manusia terbagi menjadi dua, yaitu gigi geligi primer (saat anak-anak)
dan gigi geligi permanen atau sekunder (saat dewasa). Gigi geligi terbagi
menjadi dua bagian yaitu bagian maksilla (upper jaw) dan mandibula (lower
jaw). Gigi geligi primer terbentuk sempurna saat usia anak 2 hingga 6 tahun.
Jumlah gigi yaitu 20 buah, 10 buah pada bagian maksilla dan 10 buah pada
bagian mandibula. Gigi geligi primer diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu
incisor, caninus, dan molar. Gigi geligi sekunder atau permanen didapatkan
pada orang dewasa. Jumlah gigi yaitu 32 buah, 16 buah pada bagian maksilla
dan 16 buah pada bagian mandibula. Gigi geligi permanen terbagi atas 4
bagian, yaitu incisor, caninus, premolar, dan molar. Perbedaan yang jelas
antara gigi geligi primer dan sekunder dapat dilihat pada gambar 17.
Gambar 1. (a) gigi geligi primer, (b) gigi geligi sekunder
Gambar 4.
Gambaran perubahan jaringan keras gigi menurut Gustafson10
Gambar 6.
Tahap kalsifikasi gigi permanen menurut Demirjian, et al.
Metode ini didasarkan pada estimasi usia kronologis yang
disederhanakan dengan membatasi jumlah tahapan
perkembangan gigi menjadi delapan tahapan dan memberinya
skor mulai dari A hingga H. Delapan tahapan tersebut
mewakili kalsifikasi masing-masing gigi mulai dari kalsifkasi
mahkota dan akar hingga penutupan apeks gigi. Pemberian skor
setiap gigi dan setiap tahap perkembangan berasal dari metode
Tanner yang menggambarkan maturasi tulang. Pemberian skor
terbatas pada tujuh gigi permanen pertama kuadran kiri bawah
dan dibandingkan dengan representasi grafis tahap
perkembangan. Setiap tahap perkembangan memiliki kriteria
khusus dan satu, dua, atau tiga kriteria tertulis. Jika hanya
terdapat satu kriteria, harus dipenuhi untuk mencapai tahap
tertentu, jika terdapat dua kriteria maka dianggap terpenuhi jika
yang pertama telah ditemukan, jika terdapat tiga kriteria maka
dua yang pertama harus ditemukan agar dianggap terpenuhi.
Analisis statistik skor maturasi digunakan untuk masing-masing
gigi dari tujuh gigi dari tiap-tiap tahap dari 8 tahap
perkembangan. Standar penghitungan anak laki-laki dan
perempuan dipisah.
Demirjian menggunakan penilaian gigi yang diubah ke
dalam skor dengan menggunakan tabel untuk anak laki-laki dan
anak perempuan secara sendiri-sendiri. Semua skor untuk
masing-masing gigi dijumlah dan skor maturasi dihitung. Skor
maturasi kemudian dikonversi langsung ke dalam usia gigi
dengan menggunakan tabel konversi. Metode Demirjian
merupakan penilaian kualitatif mengenai bentuk dan ukuran
sebuah gigi. Metode ini telah luas digunakan sejak tahun 1973
karena mudah, hanya melibatkan 7 gigi permanen bawah, yaitu
insisivus 1-2, kaninus premolar 1-2, dan geraham 1-2. Metode
ini dapat menentukan usia antara 3-16 tahun. Masalah yang
sering menjadi kendala metode ini adalah subjektivitas
interpretasi gambaran rontgen dan penggunaannya di populasi
berbeda.
Demirjian telah berupaya meminimal kan masalah tersebut
dengan penjelasan lebih detail definisi tiap tahapan
perkembangan gigi dan memberikan contoh gambaran
radiografinya tetapi hal tersebut masih tergantung kesepahaman
antar peneliti.
b. Metode Nolla
Metode Nolla membagi periode kalsifikasi gigi permanen
menjadi 10 tahapan dimulai dari terbentuknya benih gigi
sampai dengan penutupan foramen apikal gigi. Pembentukan
crypte hingga penutupan apeks akar gigi yang dapat dilihat pada
foto radiografi disebut tingkat 1, dan selanjutnya sampai
penutupan apeks akar gigi adalah tingkat 10. Masing-masing
tahapan juga diberi nilai skor. Dengan foto panoramik, cukup
menggunakan satu sisi dengan mengabaikan geraham 3, gigi
permanen rahang atas dan rahang bawah dianalisis, dicocokkan
tahapannya dan diberi skor. Skor masing-masing tahapan ditotal.
Metode Nolla juga menggunakan tabel konversi.
Gambar 7. Tahap kalsifikasi gigi menurut Nolla
5. Gips( cast )
Gips dibuat dari cetakan bitemark, gips berguna untuk
mengidentifikasi dan menyimpan model gigi sebagai barang bukti
dengan aman dan bertahan lama.Gips gigi tersangka juga dibuat dan
dicatat untuk perbandingan langsung atau tidak langsung.
Gambar 18
b. Teknik analisis bitemark14
1. Perbandingan langsung
Setelah mengidentifikasi gips gigi dari terduga, maka
digunakan untuk perbandingan langsung dengan lekukan gigi
pada kulit . Foto, yang merupakan representasi dua dimensi
dariobjek tiga dimensi adalah satu-satunya bukti yang
dikumpulkan dalam banyak kasus bitemark. Dibahwa kasus
model tiga dimensi gigi tersangka dibandingkan dengan
fotografi bukti. Dimungkinkan juga untuk melakukan
perbandingan langsung dari gigitan tersangka baik untuk
dikeluarkan jaringan atau kesan bitemark.
2. Overlay
Overlay digunakan untuk membandingkan tepi gigitan
gigi yang dicurigai menggigit dengan bitemarkfotografi.
Lembar asetat transparan yang tidak berwarna digunakan
untuk mentransfer informasi darigips gigi. Tepi gigi ditandai
pada lembaran transparan. Ada yang berbedajenis overlay.
Dalam overlay volume berlubang, hanya bagian tepinya yang
diuraikan sedangkan dalam isianvolume overlay ujung-
ujungnya dapat diisi dan dalam compound overlay, gambar
gigi yang sebenarnya adalah ditangkap dalam garis besar.
Pendekatan yang paling umum dalam analisis bitemark
adalahperbandingan foto-foto bitemark dengan overlay dari
gigi tersangka.
3. Perbandingandengan 3 D scan
Teknologi tiga dimensi digunakan untuk menganalisis
dampak gigitan. Untuk analisis tiga dimensi, semua bahan
studi,gigi dan bitemark harus didigitalkan oleh pemindai 3-D.
Objek dapat dipindai denganlengan probe yang diposisikan
secara manual atau oleh lengan yang sepenuhnya dikendalikan
oleh mesin.Berbagai jenis perangkat lunak komparatif
digunakan dalam analisis 3D. Tiga dimensiperbandingan
dilakukan dengan menggunakan overlay 3D dan analisis
morfometrik geometris.
4. Perbandingan dengan software
Analisis bitemark dengan bantuan teknik berbasis
komputer membutuhkan perangkat lunak. Salah satunya
perangkat lunak yang paling banyak digunakan dalam overlay
perbandingan bitemark adalah perangkat lunak Adobe
Photoshop. Perangkat lunak lain, DentalPrint, dikembangkan
oleh Departemen Kedokteran Forensik danOdontologi Forensik,
Universitas Granada, untuk menghasilkan overlay perbandingan
dari 3D gambar gips gigi tersangka. Martin-de las Heras et.al
melakukan penelitian untuk menentukan nilai reliabilitas intra
dan inter pemeriksa, sensitivitas, spesifisitas dan validitas untuk
perangkat lunak Dental Print dan membandingkannya dengan
perangkat lunak Adobe Photoshop. Pembelajaran menyimpulkan
bahwa pemeriksaan bitemark dengan Dental Print adalah teknik
forensik yang akurat. Dalam studi tersebut, mereka juga
menemukan bahwa hasil terbaik diperoleh ketika perangkat
lunak Dental Print digunakan untuk menghasilkan overlay
perbandingan.