Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka,
majalah "Time" memberitakan: "Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala
yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang
serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil
yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi
terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit
35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan
komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan
ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang
mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-
desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-
kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa
dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan
mereka.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan
30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila.
Hak asasi manusia melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat,
hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan,
hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam
Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Peristiwa ‘pemberontakan PKI’ pada
tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30 September (G30 S/PKI)
merupakan peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu akan
melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan
Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu
memakan korban 7 orang jendral dikalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang
di Yogyakarta. Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa
Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 1965 tidak hanya menimbulkan
korban dari kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak
tahu menahu mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI.
Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan,
2
di anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai
pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).
Memang sangat disayangkan sebab setelah pemberontahan G 30 S/PKI tahun
1965 berhasil ditumpas, lalu terjadilah berbagai gerakan masyarakat di berbagai
daerah di Indonesia tanpa bisa dikendalikan, ataupun disinyalir terdapat suatu
“pembiaran” sehingga terjadilah “Tragedi Kemanusian” tersebut. Meskipun tidak
terbantahkan sudah terjadi pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa G 30 S/PKI
tahun 1965, banyak warga masyarakat terjerumus karena ketidak tahuannya mereka
karena kemiskinannya dengan mudah direkruit dengan mengiming-ngiming bantuan
lahan dan perlengkapan pertaniannya secara gratis , ataupun ormas-ormas PKI itu
setiap menjelang Ramadhan mereka bagi-bagikan daging secara gratis pula kepada
rakyat. Jadi rakyat yang memang saat itu sedang terpuruk karena krisis ekonomi yang
amat parah, dengan mudah menerima pemberian mereka dengan hanya membubuhkan
tandatangannya saja di sebuah buku yang sudah disediakan sebelumnya.
3
Bab II
PERMASALAHAN
4
penyusupan pada tubuh PMI sehingga mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua.
PNI dibawah pimpinan Ali Sostroamidjojo disusupi oleh tokoh PKI Ir.Surachman.
PNI Osa-Usep dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja.
PKI juga menginkan agar organisasi yang ada dalam pengaruhnya, seperti
Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita indonesia
(Gerwani) dipersenjatai dan diberi latihan kemiliteran, terutama mereka yang ikut
sukarelawan Dwikora. Pada setia kesempatan, tokoh PKI senantiasa menyampaikan
usul kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan Ke-V. Akan tetapi usul
PKI itu selalu, mendapat tantangan dari ABRI. Mentri Koordinator (Menko)
Hankam Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jendral A.H Nasution, Mentri Panglima
Angkatan Darat, Jendral A. Yani, dan pimpinan ABRI lainnya yang setia kepada
Pancasila menolak dengan tegas usulan tersebut.
5
C. Persiapan Pembrontakan
Pada bulan Juli dan Agustus 1965, kesehatan Presiden Soekarno menurun
dan mendapat pemeriksaan tim dokter dari RRC dan dokter Indonesia. Menurut
analisis dokter, keadan presiden sangat gawat. Mengetahui situasi demikian, tokoh –
tokoh PKI, seperti Nyoto dan Aidit yang sedang berada diluar negeri segera kembali
ke indonesia untuk melakukan persiapan pemberontakan. Mereka khawatir, apabila
keadaan bertambah kritis, ABRI akan mengambil tindakan terhadap PKI dan
ormasnya.
Aidit memerintahakan Biro Khusus PKI untuk membuat suatu rencana
gerakan. Sejak awal September 1965, mereka semakin sering mengadakan rapat
rahasia dengan beberapa oknum ABRI yang telah dipengaruhi komunisme untuk
membahas rencana pemberontakan. Rencana gerakan yang dibuat oleh Biro Khusus
itu disetujui oleh Aidit. Selanjutnya, pimpinan Biro Khusus segera menghubungi
perwira – perwira ABRI yang telah dibina untuk mempersiapka diri melaksanakan
gerakannya.
2.2 Terjadinya Peristiwa sampai pada Penumpasan G 30S/PKI
A. Pemberontakan G 30S/PKI
Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI mulai mengadakan penculikan
dan pembunuhan terhadap para pemimpin tinggi atau pejabat teras TNI-AD.
Dalam aksinya jatuh korban enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama
angkatan darat yang dianiaya dan dibunuh oleh PKI, dibawa ke Lubang Buaya.
Setelah puasmenganiaya, perwira yang masih hidup dimasukan kedalam sumur tua
yang terletak disana. Perwira TNI-AD yang menjadi korban tersebut adalah berikut:
Letnan Jendral Achmad Yani, Mentri atau Panglima Angkatan Darat.
Mayor Jendral R. Suprapto, Deputi II Panglima Angkatan Darat.
Mayor Jendral Haryono Mas Tirtodarmo, Deputi III Panglima Darat.
Mayor Jendral Siswondo Parman, Asisten I Panglima Angkatan Darat.
Brigadir Jendral Donald Izacus Panjaitan, Asiten IV Panglima Angkatan Darat.
Letna Satu Piere A. Tendean, Ajudan Menko Hankam Kasab.
Dalam gerakan penculikan itu, Jendral Abdul Haris Nasution, Mentri Koordinator
Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, berhasil meloloskan diri
dari penculikan. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani, dan Ajudannya,
Letnan Satu Piere Tendean, tewan dibunuh oleh PKI. Brigadir Polisi Karel Satsuit
6
Tubun yang sedangt bertugas jaga dirumah Waperdam II, Dr. J. Leimena, tetangga
Jendral Nasution, juga tewas ketika akan melawan gerombolan penculik Jendral
Nasution.
Politik luar negrri bebas aktif dialihkan menjadi politik luar negeri yang
memihak Blok Timur (Blok Komunis). Puncak semua kebijakan itu adalah G 30
S/PKI. Peristiwa itu menyebabkan gugurnya tujuh patriiot bangsa yang dibunuh
secara kejam oleh PKI.
B. Penumpasan G 30 S/PKI
Hanya sehari setelah PKI mencetuskan pemberontakannya, penumpasan
terhadap mereka pun dimulai. Penumpasan PKI dimulai di Jakarta kemudian
Penumpasan di daerah – daerah.
1. Penumpasan PKI di Jakarta.
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, G 30 S/PKI masih menguasai studio
RRI dan Kantor Telekomunikasi. Melalui RRI, Letnan Kolonel Untung
mengumumkan dekrit pembentukan Dewan Revolusi sebagai sumber
kekuasaan negara dan mendemisionerkan Kabinet Dwikora. Upaya PKI untuk
merebut pemerintahan RI tersebut segera dihadang oleh kekuatan yang setia
kepada Pancasila dan senantiasa waspada terhadap tindakan PKI. Di Jakarta,
kekuatan itu berada dibawah Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan
Darat (Pangkostrad), Mayor Jendral Soeharto. Setelah mengetahui bahwa
negara dalam keadaan bahaya, Panglima Kostrad bertindak dengan cepat untuk
memulihkan kekuasaan pemerintahan di ibu kota.
Tindakan yang pertama diambilnya adalah mengadakan koordinasi. Ia
mencoba menghubungi Presiden Soekarno, tetapi tidak berhasil. Koordinasi
kemudian dilanjutkan dengan menghubungi Menteri/Panglima Angkatan Laut
dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Menteri/Panglima Angkatan Udara
tidak berhasil dihubungi, karena mereka memihak kepada PKI. Setelah
melakukan koordinasi, Pangkostrad memutuskan untuk segera mengadakan
penumpasan terhadap pemberontak.
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai pada sore hari tanggal 1
Oktober 1965. Dalam waktu singkat ABRI yang dipimpin oleh Mayor Jendral
Soeharto berhasil menyelamatkan Republik Indonesia dari ancaman
komunisme.
7
Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa Pancasila mampu
membuktikan diri sebagai kekuatan yang besar dan dijunjung tinggi oleh bangsa
indonesia. Malam harinya, melalui RRI, Mayor Jendral Soeharto menjelaskan
kepada rakyat Indonesia tentang adanya perebutan kekuasaan negara oleh
kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Tiga Puluh September. Ia juga
menambahkan bahwa masyarakat diharapkan tenang dan waspada.
Pidato itu mematahkan semangat para pemberontak. Setelah keadaan ibu
kota dapat dikuasai kembali, penumpasan langsung ditujukan kebasis uatama G
30 S/PKIyang berada disekitar dipangkalan udara Halim Perdanakusuma. Tanpa
mengalami kesulitan, pada pagi hari, tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara
Halim Perdanakusumadapat dikuasai.
Selanjutnya, ABRI mengadakan pencarian terhadap perwira – perwira
Angkatan Drat yang diculik oleh PKI ke kampung Lubang Buaya, Jakarta
Timur. Pencarian ketempat itu dilakukan atas petunjuk seorang polisi, Ajun
Brigadir Polisi Sukitman mengetahui tempat itu karena sebelumnaya ia memang
ikut tawanan oleh PKI dan dibawa ketempat itu. Akan tetapi, ia berhasil
melarikan diri.
Di desa Lubang Buaya itulah jenazah para perwira tinggi angkatan darat
itu dikubur dalam sebuah sumur tua yang bergaris tengah kurang dari satu meter
dengan kedalaman 12 meter. Luka – luka yang terdapat pada jenazah itu
menunjukan bahwa mereka disiksa dengan kejam sebelum dibunuh.
Pengangkatan jenazah dilakukan pada tanggal 4 Oktober. Keesokan harinya,
bertepatan di Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, para perwira
Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para
korban di anugerahi Pahlawan Revolusi dan diberikan kenaikkan pangkat satu
tingkat lebih tinggi secara anumerta.
2. Penumpasan di Daerah – Daerah
Keadaan di Jawa Tengah juag gawat karena ditempati ini PKI juga
melakukan pemberontakan dengan kekuatan bersenjata, seperti halnya di
Jakarta. Di Semarang, Kolonel Suhirman, Asisten l Kodam VII/Diponegoro,
menyatakan dukungannya kepada pemberontak G 30 S/PKI. Pemberontak G 30
S/PKI menguasai Markas Kodam VII/Diponegorodan dijadikan sebagai pusat
gerakan.
8
Di Yogyakarta, pemberontak G 30 S/PKI menculik Komandan Korem
072/Pamungkas, Kolonel Katamso, dan Kepala Staf Korem 072, Letnan
Kolonel Sugiono. Kedua Perwira itu dibunuh dengan kejam.
Pengumuman RRI Jakata bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh
ABRI menimbulkan dampak yang besar. Untuk menumpas dan membersihkan
sisa – sisa G 30 S/PKI secara lebih intensif Mayor Jendral Soeharto mengirim
pasukan RPKAD dibawah pipinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pasukan G
30 S/PKI di Jawa Tengah mulai patah semangat. Akhirnya, pimpian
pemberontak di Semarang, Kolonel Suhirman, dan kawan – kawannya
melarikan diri keluar kota. Kesatuan yang mendukung PKI dapat diinsyafkan.
Selanjutnya, satu demi satu kota – kota yang tadinya dikuasai oleh
pemberontak G 30 S/PKI berhasil direbut kembali. Sejak tanggal 5 Oktober
1965 secara fisik militer keamanan dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah
pulih kembali. Akan tetapi, setelah kekuatan militer PKI dapat dihacurkan, di
Jawa Tengah timbul gerakan pengacauan berupa sabotase dan pembunuhan
yang dilakukan oleh massa PKI terhadap rakyat. Berkat kerja sama ABRI dan
rakyat, keamanan dan ketertiban dapat dijaga.
Sementara itu, pemimpin – pemimpin PKI yang belum tertangkap
berusaha mengadakan konsolidasi. Mereka mempersiapkan pemberontakan
bersejata dengan dukungan para petani. Untuk melaksanakan rencan itu, secar
diam – diam dan rahasia mereka menyusun kompro – kompro (komite proyek)
sebagai basis kembalinya PKI. Salah satu kompro yang paling besar adalah
Kompro Blitar Selatan. Di sini PKI berhasil mempengaruhi rakyat. Namun,
ABRI segera mencium usaha PKI itu. Penumpasan terhadap Kompro Blitar
Selatan dilakukan dengan sebuah operasi yang dinamakan Operasi Trisula
sejak tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu berhasil membongkar basis pertahanan
PKI.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk
menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata
dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite
Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
“Tribune”.
9
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet
Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: “Kita
dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah
membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto
menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Dalam sebuah
Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-
Soviet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari
pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh
sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka
mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan
resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-
usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-
negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika
Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang
dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung
mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Penyelesaian aspek politik mengenai pemberontakan G 30 S/PKI akan
ditangani secara langsung oleh Presiden Soekarno. Namun, karena berlarut –
larut dan tidak ada ketegasan timbullah aksi – aksi yang menuntut penyelesaian
secara politis bagi mereka yang terlibat G 30 S/PKI. Pada tanggal 26 Oktober
1965, semua kekuatan yang anti komunis mengkokohkan diri dalam satu
barisan, yaitu Front Pancasila. Setelah itu, muncul gelombang demonstrasi
yang menuntut agar PKI dibubarkan. Aksi – aksi itu dipelopori oleh kesatuan
aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar. Dan akhirnya G 30 S/PKI dapat di tumpas
dan Indonesia memasuki Orde Baru.
10
Bab 3
PEMBAHASAN
3.1 Analisis kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-1966 Pasca Terjadinya Peristiwa
G30S/PKI
1. Upaya mewujudkan tujuan itu telah terlihat sejak pemberontakan yang mereka
lakukan pada tahun 1948. Pemberontakan itu dapat digagalkan, tetapi belum dapat
ditumpas secara tuntas karena Pemerintahan RI menghadapi Militer II Belanda. pada
tahun 1950-an, PKI kembali bangkit. Dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI
menjadi partai terbesar nomor 4 di Indonesia.
2. Fitnah yang paling jahat tuduhan Pki tentang adanya Dewan Jendral dalam tubuh
Angkatan Darat. Dewan Jendral itu bertugas menilai kebijakan politik Presiden
Soekarno. Mereka menunjuk adanya sebuah dokumen yang disebut Document
Gilchrist. Gilchrist adalah duta besar inggris untuk RI saat itu. Dokumenini
menyatakan bahwa seolah – olah Dewan Jendral yang ada pada Angkatan Darat
mempunyai hubungan dengan CIA (Central Intelligence Agency) atau Dinas Rahasia
Amerika Serikat dan mempunyai maksud akan melakukan perebutan kekuasaan.
3. Tokoh – tokoh PKI, yang sedang berada diluar negeri segera kembali ke indonesia
untuk melakukan persiapan pemberontakan. Karena mereka khawatir, apabila
keadaan bertambah kritis, ABRI akan mengambil tindakan terhadap PKI dan
ormasnya.
4. Pada saat penumpasan di desa Lubang Buaya itulah jenazah para perwira tinggi
angkatan darat itu dikubur dalam sebuah sumur tua yang bergaris tengah kurang dari
satu meter dengan kedalaman 12 meter. Luka – luka yang terdapat pada jenazah itu
menunjukan bahwa mereka disiksa dengan kejam sebelum dibunuh.
3.2 Penyelesaian/ Solusi Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-1966 Pasca Terjadinya
Peristiwa G30S/PKI
11
tercinta ini. Menurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga
bagian yang ideal.
12
Bab 4
Penutup
4.1 Kesimpulan
Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi
manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan
kemanusiaannya. Peristiwa ‘pemberontakan PKI’ pada tanggal 30 September 1965 atau
dikenal dengan Gerakan 30 September (G30 S/PKI) merupakan peristiwa Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu akan melakukan kudeta terhadap
kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis.
Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di
anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai
pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).
Setelah G 30S/PKI habis riwayatnya, di sepanjang tahun 1965-1966 di beberapa
daerah Indonesia terjadi banyak kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan
paksa, penganiayaan secara massal tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang
yang didakwa anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa
tindak pidana inilah yang disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-
1966.
Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu Menurut UU No.
26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama,
Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban
atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM
kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian
mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap
dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan
pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil
penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada presiden
untuk membentuk pengadilan Ham ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan
keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc.
4.2 Saran
Hal inilah yang harus ditegakkan oleh aparat yang berwenang untuk melindungi
hak-hak asasi warga negaranya guna menciptakan negara hukum yang diamanatkan oleh
13
konstitusi negara kita. perlunya negara menerapkan Demokrasi dalam arti sesungguhnya,
dimana peralihan kekuasaan negara dapat berlangsung dengan aman dan damai tanpa
korban jiwa sama sekali. Apa yang terjadi pada 1965, kalau benar sebuah pelanggaran
HAM berat, hal itu disebabkan budaya politik sebagian masyarakat kita yang masih
membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Doktrin “tujuan menghalalkan
cara” yang dianut kaum Komunis, menjadi awal pelanggaran HAM berat.
Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan generasi muda. Bisa dalam
bentuk forum diskusi yang terprogram dengan baik. Harus diubah penyaluran aspirasi
lewat demonstrasi yang pada akhirnya ricuh. Kita bisa terapkan forum diskusi, misalnya
dalam setiap propinsi dihadirkan wakil-wakil pemuda yang membahas permasalahan
yang terkait dengan ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dengan keinginan
masyarakat. Atau secara sederhana dalam lingkup daerah, adanya diskusi terbuka di
setiap kabupaten. Hal-hal seperti itu perlu dibiasakan untuk menumbuhkan sikap
demokrasi dalam lingkup wilayah kecil hingga lingkup pemerintahan negara Indonesia.
14
Daftar Pustaka
As’ad Djamhari, Saleh. 1979. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945 Sekarang). Cet. Ke-2.
Jakarta: Pusat Sejarah ABRI
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/31/g30spki-dalam-berbagai-versi/
15