You are on page 1of 31

LAPORAN AKHIR BAHAN TAMBAHAN PANGAN MENGENAI BAHAN

PEWARNA BERBAHAYA DAN SOLUSINYA

Disusun untuk memenuhi tugas laporan akhir system thinking mata kuliah
Bahan Tambahan Pangan semester ganjil

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Indah Ayu Lestari 230110150069


Dini Rismarianti A. 230110150088
Abdurrahman Faris 230110150154
M Rizki Akbar 230110150161
Trinusa Dinata 230110150188
Usman Sidiq 230110150195

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan akhir sistem thinking
mata kuliah Bahan Tambahan Pangan ”Bahan Pewarna Berbahaya”. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
serta dukungannya dalam pembuatan dan penyusunan laporan ini. Laporan akhir
ini berisikan laporan akhir dari perkuliahan System Thinking yang telah
dilaksanakan.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dalam
pembuatan laporan akhir yang lebih baik. Akhir kata, semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan karunia-Nya dan membalas segala amal budi serta
kebaikan pihak-pihak yang mebantu penulisan dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis

Jatinangor, Desember 2018

i
DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... vi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Identifikasi Maslah ..................................................................... 2
1.3 Tujuan ......................................................................................... 2
II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Bahan Tambahan Pangan............................................................ 3
2.2 Contoh untuk kajian hukum dan UU BTP .................................. 9
2.3 Penjelasan-penjelasan lainnya .................................................... 16

III PEMBAHASAN
3.1 Hasil ............................................................................................ 21
3.2 Penentuan Parameter................................................................... 21
3.3 Penentuan Leverage Point .......................................................... 22
3.4 Solusi Permasalahan ................................................................... 24

IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan ................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 26

LAMPIRAN .......................................................................................... 28

ii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


1 Perbedaan pewarna alami dan buatan ............................................. 9
2 Pewarna sintetis yang dilarang di Indonesia ................................... 14

iii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


1 Bahan Tambahan Pangan ............................................................... 3
2 Bahan Pewarna ................................................................................ 4

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


1 CLD Bahan Pewarna ....................................................................... 28
2 Presentasi ......................................................................................... 28

v
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut PERMENKES RI No.
1168/MENKES/PER/X/1999 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
makanan dan bukan merupakan ingredient khas makanan; mempuyai atau tidak
mempunyai nilai gizi; dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk
maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan,
penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan
(langsung atau tidak langsung) suatu komponan yang mempengaruhi sifat khas
makanan.
Rhodamin B merupakan pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya
pada makanan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/MenKes/Per/V/85 mengenai zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan
berbahaya. Rodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan
NaOH, selain dalam air. Penyalahgunaan Rhodamin B disebabkan oleh
ketidaktahuan masyarakat mengenai pewarna untuk makanan, disamping itu harga
zat perwarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan harga zat perwarna
untuk makanan dan warna dari zat pewarna untuk industri biasanya lebih menarik
(Cahyadi, 2006). Rhodamin B merupakan zat pewarna tekstil yang dapat
memberikan warna merah, namun tidak boleh dikonsumsi oleh manusia. Rhodamin
B biasa digunakan pada industri dan kertas, sebagai pewarna kain, sabun, dan kayu.
Bahan berbahaya adalah bahan kimia baik dalam bentuk tunggal maupun
campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara
langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
472/ Menkes/ Per/ V/ 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi
Kesehatan).
2

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka identifikasi masalah yang dapat
diambil diantaranya sebagai berikut:
1.2.1 Apa Yang Dimaksud Bahan Tambahan Pangan?
1.2.2 Apa Yang Dimaksud Rhodamin B?
1.2.3 Apa Yang Dimaksud Bahaya Pewarna Rhodamin B?
1.2.4 Apa Yang Dimaksud Bahan Pembantu?
1.2.5 Bagaimana Tahap Pembuatan Terasi?
1.2.6 Apa Yang Dimaksud Bahan Berbahaya?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan dari pembuatan makalah ini
diantaranya sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui Pengertian Bahan Tambahan Pangan.
1.3.2 Mengetahui Pengertian Rhodamin B.
1.3.3 Mengetahui Pengertian Bahaya Pewarna Rhodamin B.
1.3.4 Mengetahui Pengertian Bahan Pembantu.
1.3.5 Mengetahui Bagaimana Tahapan Pembuatan Terasi
1.3.6 Mengetahui Pengertian Bahan Berbahaya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Bahan Tambahan Pangan

Gambar 1. Bahan Tambahan Pangan


(Wordpress.com)
Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut PERMENKES RI No.
1168/MENKES/PER/X/1999 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
makanan dan bukan merupakan ingredient khas makanan; mempuyai atau tidak
mempunyai nilai gizi; dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk
maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan,
penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan
(langsung atau tidak langsung) suatu komponan yang mempengaruhi sifat khas
makanan.
Bedasarkan Peraturan menteri Kesehatan No 33 Tahun 2012 pasal 3 bahan
tambahan pangan digolongkan menjadi 27 golongan, yaitu :
1. Antibuih (Antifoaming agent);
2. Antikempal (Anticaking agent);
3. Antioksidan (Antioxidant);
4. Bahan pengarbonasi (Carbonating agent);
5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt);
6. Gas untuk kemasan (Packaging gas);
7. Humektan (Humectant);
8. Pelapis (Glazing agent);
9. Pemanis (Sweetener);

3
4

10. Pembawa (Carrier);


11. Pembentuk gel (Gelling agent);
12. Pembuih (Foaming agent);
13. Pengatur keasaman (Acidity regulator);
14. Pengawet (Preservative);
15. Pengembang (Raising agent);
16. Pengemulsi (Emulsifier);
17. Pengental (Thickener);
18. Pengeras (Firming agent);
19. Penguat rasa (Flavor enhancer);
20. Peningkat volume(Bulking agent);
21. Penstabil (Stabilizer);
22. Peretensi warna (Color retention agent);
23. Perisa (Flavouring);
24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent);
25. Pewarna (Color);
26. Propelan (Propellant);
27. Sekuestran (Sequestrant)
Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya di bawah ambang batas
yang sudah ditentukan. Bahan tambahan pangan terdiri dari 2 jenis, yaitu GRAS
(Generally Recognized as Safe) dan ADI (Acceptable Daily Intake / batas
penggunaan harian). GRAS bersifat aman dan tidak toksik, misalnya adalah
glukosa.
2.1.1 Bahan Pewarna

Gambar 2. Bahan Pewarna Makanan


5

Zat pewarna alami ada bermacam-macam seperti klorofil, beta karoten,


anthosian, caramel, Xanthon, Karotenoid, Heme, flavonoid, dan lain-lain. Namun,
pewarna alami berwarna pucat dan mudah rusak oleh panas, pH dan oksidasi. Oleh
karena itu, diperlukan pewarna sintesis, seperti biru berlian, eritrosin, tartrazine,
riboflavin, dan lain-lain. Pewarna sintesis bahan pangan kebanyakan dalam bentuk
garam yang tentunya larut dalam air.
Ada beberapa bahan pewarna yang disalahgunakan dalam bahan pangan
misalnya: Rhodamin B, Methanil yellow, Malachite Green. Zat warna ini digunkan
dalam tekstil dan kulit. Bahan tersebut berwarna lebih cerah, stabil, dan tidak larut
di dalam air. Sifat tersebut dapat menjadi dasar untuk teknik analisis sederhana:
totolkan zat pewarna pada kertas saring kemudian elusi dengan aquadest,apabila
spot tetap pada tempatnya berarti zat tersebut adalah zat pewarna tekstil.
Secara umum, teknik analisis dari bahan tambahan pangan dapat
menggunakan: Krolamtografi lapis tipis, Spektrofotometri, Titrasi, HPLC, dan lain-
lain tergantung dari ketersediaan instrumen analisis.
Rhodamin B merupakan pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya
pada makanan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/MenKes/Per/V/85 mengenai zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan
berbahaya. Rhodamin B sering disalahgunakan sebagai zat pewarna makanan dan
kosmetik (Astuti, dkk. 2010). Hamdani (2013) dalam La Ifu (2016) menuliskan
bahwa Rhodamin B adalah pewarna sintetik penghasil warna merah. Bentuk
Rhodamin B adalah kristal dengan warna ungu kemerah-merahan, cokelat, atau
hijau. Sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebirubiruan
dan berfluorensi kuat. Rodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol,
HCl, dan NaOH, selain dalam air. Penyalahgunaan Rhodamin B disebabkan oleh
ketidaktahuan masyarakat mengenai pewarna untuk makanan, disamping itu harga
zat perwarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan harga zat perwarna
untuk makanan dan warna dari zat pewarna untuk industri biasanya lebih menarik
(Cahyadi, 2006).
Penggunaan Rhodamin B pada makanan dalam waktu yang lama akan
dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker. Namun demikian, bila
6

terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi
gejala akut keracunan Rhodamin B (Yuliarti, 2007) dalam Yamlean (2011). Agus
dkk. (2007) dalam (Mamoto dan Citraningtyas, 2013) menambahkan bahwa
penggunaan Rhodamin B tentunya berbahaya bagi kesehatan. Penumpukkan
rhodamin B dilemak dalam jangka waktu yang lama jumlahnya terus menerus
bertambah di dalam tubuh dan dapat menimbulkan kerusakan pada organ tubuh
sampai mengakibatkan kematian. Terasi merupakan salah satu produk perikanan
yang pembuatannya dilakukan dengan proses fermentasi.
Terasi umumnya berbahan dasar utama udang kecil yang sering disebut juga
dengan udang rebon. Selain udang rebon, bahan baku dalam pembuatan terasi
berasal dari ikan. Terasi berbahan baku udang rebon ataupun ikan memiliki potensi
sebagai bahan pengganti penyedap rasa gurih “umami” karena adanya kandungan
asam glutamat yang dihasilkan (Karim, dkk., 2014).
2.1.2 Pewarna Alami
Pewarna alami merupakan zat warna yang berasal dari ekstrak tumbuhan
(seperti bagian daun, bunga, biji), hewan dan mineral yang telah digunakan sejak
dahulu sehingga sudah diakui bahwa aman jika masuk kedalam tubuh. Pewarna
alami yang berasal dari tumbuhan mempunyai berbagai macam warna yang
dihasilkan, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis tumbuhan, umur
tanaman, tanah, waktu pemanenan dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, Food
and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat menggolongkan zat warna alami
ke dalam golongan zat pewarna yang tidak perlu mendapat sertifikasi atau dianggap
masih aman. Jenis-jenis zat pewarna alami yang banyak digunakan dalam industri
pangan antara lain ialah zat pewarna asal tanaman, seperti karotenoid, antosianin,
klorofil dan curcumin.
Berdasarkan sumbernya, zat pewarna alami dibagi atas:
1. Zat pewarna alami yang berasal dari tanaman, seperti: antosianin,
karotenoid, betalains, klorofil, dan kurkumin.
2. Zat pewarna alami yang berasal dari aktivitas mikrobial, seperti: zat
pewarna dari aktivitas Monascus sp, yaitu pewarna angkak dan zat
pewarna dari aktivitas ganggang.
7

3. Zat pewarna alami yang berasal dari hewan dan serangga,


seperti:Cochineal dan zat pewarna heme.
Berdasarkan komponen zat pewarnanya, pewarna alami dapat dibagi
menjadi 5 kelompok, yaitu:
a. Karotenoid: isoprenoid dan derivatnya.
b. Klorofil dan senyawa heme: pigmen porphyrin
c. Antosianin: 2-fenilbenzopyrylium dan derivatnya
d. Pewarna tumbuhan lainnya: betalains, cochineal, riboflavin dan
kurkumin.
e. Melanoidin dan karamel: terbentuk selama proses pemanasan dan
penyimpanan.
Keuntungan dalam penggunaan pewarna alami adalah tidak adanya efek
samping bagi kesehatan. Selain itu, beberapa pewarna alami juga dapat berperan
sebagai bahan pemberi flavor, zat antimikrobia, dan antioksidan. Namun
penggunaan zat pewarna alami dibandingkan dengan zat pewarna sintetis memiliki
kekurangan, yaitu pewarnaannya yang lemah, kurang stabil dalam berbagai kondisi,
aplikasi kurang luas dan cenderung lebih mahal.

2.1.3 Pewarna Sintetik


Kekurangan yang dimiliki oleh zat pewarna alami, beberapa produsen
memilih untuk menggunakan pewarna sintesis. Zat pewarna sintesis merupakan zat
warna yang berasal dari zat kimia, yang sebagian besar tidak dapat digunakan
sebagai pewarna makanan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan
terutama fungsi hati di dalam tubuh kita.
Proses pembuatan zat warna sintesis biasanya melalui penambahan asam sulfat atau
asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang
bersifat racun.
Pada pembuatan zat pewarna organic sebelum mencapai produk akhir,harus
melalui suatu senyawa antara dulu yang kadang-kadang berbahaya dan sering kali
tertinggal dalam hasil akhir, atau berbentuk senyawa-senyawa baru yang
berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan bahwa kandungan
8

arsen tidak boleh lebih dari 0,00014 persen dan timbal tidak boleh lebih dari 0,001
persen, sedangkan logam berat lainnnya tidak boleh ada minimnya pengetahuan
produsen mengenai zat pewarna untuk bahan pangan, menimbulkan
penyalahguanaan dalam penggunaan zat pewarna sintetik yang seharusnya untuk
bahan non pangan digunakan pada bahan pangan.
Hal ini diperparah lagi dengan banyaknya keuntungan yang diperoleh oleh
produsen yang menggunakan zat pewarna sintetik (harga pewarna sintetik lebih
murah dibandingkan dengan pewarna alami ). Ini sungguh membahayakan
kesehatan konsumen, terutama anak-anak yang sangat menyukai bahan pangan
yang berwarna-warni.
Contoh-contoh zat pewarna sintesis yang digunakan antara lain indigoten,
allura red, fast green, tartrazine.
Kelarutan pewarna sintetik ada dua macam yaitu:
1. Dyes
Merupakan zat warna yang larut air dan diperjual belikan dalam bentuk
granula, cairan, campuran warna dan pasta. Biasanya digunakan untuk mewarnai
minuman berkarbonat, minuman ringan, roti, kue-kue produk susu, pembungkus
sosis, dan lain-lain.
2. Lakes
Merupakan pigmen yang dibuat melalui proses pengendapan dari
penyerapan dye pada bahan dasar, biasa digunakan pada pelapisan tablet, campuran
adonan kue, cake dan donat.
2.1.4 Perbedaan antara pewarna alami dan pewarna buatan.
Bahan pewarna alami maupun buatan digunakan untuk memberi warna
yang lebih menarik pada makanan. Biasanya orang menggunakan bahan pewarna
alami karena lebih aman dikonsumsi daripada bahan pewarna buatan. Bahan alami
tidak memiliki efek samping atau akibat negatif dalam jangka panjang. Adapun
pewarna buatan dipilih karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
zat pewarna alami. Tabel berikut ini menunjukkan perbedaan kedua jenis pewarna
tersebut.
9

Tabel 1. Perbedaan pewarna alami dan buatan


Pewarna alami Pewarna buatan
Lebih aman dikonsumsi. Kadang-kadang memiliki efek negatif tertentu.
Warna yang dihasilkan kurang Dapat mengembalikan warna asli, kestabilan
stabil, mudah berubah oleh warna lebih tinggi, tahan lama, dan dapat
pengaruh tingkat keasaman melindungi vitamin atau zat-zat makanan lain
tertentu. yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan.
Untuk mendapatkan warna yang Praktis dan ekonomis
bagus diperlukan bahan pewarna
dalam jumlah banyak.
Keanekaragaman warnanya Warna yang dihasilkan lebih beraneka ragam.
terbatas
Tingkat keseragaman warna Keseragaman warna lebih baik.
kurang baik
Kadang-kadang memberi rasa Biasanya tidak menghasilkan rasa dan aroma
dan aroma yang agak yang mengganggu.
mengganggu.

Efek negative dari mengonsumsi pewarna sintesis. Hiperaktivitas adalah


suatu kondisi ketika anak mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dan
mengontrol perilaku mereka.
Pada bulan November 2007, sebuah hasil penelitian yang diterbitkan di
jurnal medis terkemuka Lancet mengungkapkan bahwa beberapa zat pewarna
makanan meningkatkan tingkat hiperaktivitas anak-anak usia 3-9 tahun. Anak-anak
yang mengkonsumsi makanan yang mengandung pewarna buatan selama bertahun-
tahun lebih berisiko menunjukkan tanda-tanda hiperaktif. Selain risiko hiperaktif,
sekelompok sangat kecil dari populasi anak (sekitar 0,1%) juga mengalami efek
samping lain seperti: ruam, mual, asma, pusing dan pingsan.
10

2.2 Contoh untuk kajian hukum dan UU BTP:


2.2.1 Definisi, fungsi, tujuan, manfaat BTP dan bahan baku secara umum
Hayati dkk (2011), bahan tambahan secara umum didefinisikan sebagai
bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan/ biasanya bukan merupakan
komponen khas makanan. Bahan tambahan pangan mempunyai/ tidak mempunyai
nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud
teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,
pengemasan, dan penyimpanan. Bahan tambahan pangan dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu bahan yang diijinkan (dengan syarat ada batasan takaran yang
digunakan/ ambang batas penggunaannya) dan bahan yang dilarang. Peraturan
Menteri Kesehatan RI telah mengatur semua tentang bahan tambahan pangan,
termasuk bahan yang diijinkan hingga fungi dari bahan tambahan tersebut. Tujuan
dari penggunaan bahan tambahan pangan yaitu untuk meningkatkan/
mempertahankan kandungan gizi dan kualitas daya simpan, untuk membuat bahan
pangan lebih baik, mudah disajikan dalam memberi bentuk, tekstur, rasa, dan lain-
lain yang lebih baik dari sebelumnya, serta untuk mempermudah preparasi bahan
pangan. Fungsi bahan tambahan pangan secara umum adalah untuk mengawetkan
pangan, membentuk pangan, memberi warna, meningkatkan kualitas pangan, serta
menghemat biaya produksi.
Ardiansyah (2015), pada dasarnya manfaat penggunaan bahan tambahan
pangan yaitu untuk bisa memberikanan kontribusi positif pada perkembangan
industri pangan. Menurut BPOM RI (2012), bahan tambahan pangan adalah bahan
yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu
pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu, termasuk kedalamnya adalah
pewarna, penyedap rasa atau aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi,
antigumpal, pemucat, dan pengental (Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.329/Menkes/PER/X11/76).
Bahan baku secara umum adalah bahan utama dari suatu produk atau
barang (Nugraha 2008). Menurut Wikipedia (2018), bahan baku merupakan bahan
yang digunakan dalam membuat suatu produk di mana bahan tersebut secara
11

menyeluruh tampak pada produk jadinya/ merupakan bagian terbesar dari bentuk
barang.

2.2.2 Perbedaan BTP dan Bahan Baku


Bahan tambahan pangan berbanding terbalik dengan bahan baku, di mana
BTP dalam hal ini ditambahkan hanya sedikit (kurang dari 50%), sedangkan bahan
baku merupakan bahan dasar di mana kapasitasnya lebih besar dari 50%. Dalam
beberapa kasus, BTP juga dapat dikatakan sebagai bahan baku seperti produk/
olahan gulali atau permen. Pernyataan ini sesuai dengan Hayati (2011), BTP bukan
merupakan bahan atau komponen khas suatu produk/ makanan, dan selaras dengan
pernyataan Wikipedia (2018) bahwa bahan baku merupakan bahan yang digunakan
dalam membuat suatu produk di mana bahan tersebut secara menyeluruh tampak
pada produk jadinya/ merupakan bagian terbesar dari bentuk barang.

2.2.3 Lembaga-lembaga internasional dan nasional yang memiliki kewenangan


dalam menyusun peraturan dan perundangan mengenai BTP, seperti: Codex
Alimentarius, JECFA, FDA, FSANZ, BPPOM, beberapa lembaga lain yang
berwenang di Uni Eropa, Malaysia dll.
Codex Alimentarius merupakan kumpulan standar-standar yang diterima di
seluruh dunia, kode praktik, panduan dan rekomendasi lain yang berhubungan
dengan makanan, produksi pangan dan keamanan pangan. Codex Alimentarius
dikenal oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai referensi internasional
untuk penyelesaian perselisihan mengenai keamanan pangan dan perlindungan
pelanggan (Wikipedia 2018).
JECFA adalah gabungan dari Badan Pertanian Dunia (FAO) dengan Badan
Kesehatan Duna (WHO) dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), membentuk komite
gabungan ahli bahan tambahan pangan atau yang dikenal dengan the Joint
FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. Secara umum JECFA
merupakan lembaga penasehat ilmiah kepada badan-badan PBB< WHO dan FAO,
yang disegani (Ajinomoto 2018).
12

FDA atau Food and Drug Administration yaitu badan yang bertugas
mengatur makanan, suplemen makanan, obat-obatan, produk biofarmasi, tranfusi
darah, peranti medis, peranti untuk terapi dengan radiasi, produk kedokteran hewan,
dan kosmetik di Amerika Serikat, atau secara umum dapat dikatakan sebagai
BPOM-nya Amerika Serikat (Wikipedia 2018).
FSANZ atau Food Standard Autralian New Zealand kurang lebih tujuannya
hampir sama seperti BPOM di Indonesia dan FDA di Amerika Serikat, di mana
FSANZ sendiri bertugas untuk melindungi keamanan pangan dan keselamatan
konsumen di wilayah Australia dan Selandia Baru.
BPOM atau Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan badan atau
lembaga pemerintahan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat-obatan dan
makanan di Indonesia.
FSA atau Food Standards Agency adalah badan yang mengawasi makanan
seperti halnya BPOM di Indonesia yang berada di kawasan Inggris.
EFSA atau European Food Safety Authority merupakan lemabaga yang
dibentuk oleh negara-negara Uni Eropa yang berwenang penuh mengawasi
masuknya produk pangan ke kawasan tersebut (Bappenas 2003).

2.2.4 Manfaat dari adanya undang-undang yang diterapkan baik oleh lembaga
internasional dan nasional
Sebagai panduan atau referensi untuk mengetahui dan mewaspadai
peredaran dari penggunaan bahan pangan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan
dan keselamatan konsumen.

2.2.5 Istilah-istilah yang digunakan dalam membatasi dan mengawasi


penggunaan BTP seperti ADI, RDA, TDI dll yang telah disebutkan sebelumnya,
dan alasan-alasan ditentukannya istilah ini.
ADI atau Acceptable Daily Intake merupakan batasan banyaknya konsumsi
bahan tambahan pangan (BTP) yang dapat diterima dan dicerna setiap hari
sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan. Alasannya untuk mengetahui
seberapa banyak bahan tambahan pangan yang dapat kita konsumsi setiap harinya
13

tanpa menimbulkan efek samping yang berbahaya, namun akan berbahaya apabila
melebihi ADI itu sendiri.
RDA atau Recommended Dietary Allowances atau dikenal juga Angka
Kecukupan Gizi (AKG) merupakan kecukupan rata-rata zat gizi sehari bagi hampir
semua orang sehat menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas
fisik, genetik dan keadaan fisiologis untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal. Alasannya untuk mengetahui berapa kecukupan zat gizi optimal yang
didapatkan dari suatu produk yang dikonsumsi.
PTDI atau Provisional Tolerable Daily Intake merupakan asupan harian
sementara yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Jumlah maksimum sementara suatu
zat atau bahan dalam miligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi
dalam sehari tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan. Sifatnya
sementara saja, tidak sama dengan ADI yang dapat dikonsumsi setiap hari.
Batas maksimum merupakan jumlah maksimum bahan tambahan pangan
yang diizinkan terdapat pada pangan dalam satuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan batas maksimum secukupnya adalah jumlah bahan tambahan pangan
yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukuonya yang diperlukan
untuk menghasilkan efek yang diinginkan.

2.2.6 UU dan Peraturan yang relevan dengan BTP (BPOM 2012)


a. Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan.
c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan.
d. Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.52.4040 Tahun 2006
tentang Kategori Pangan.
e. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.329/Menkes/PER/X11/76 tentang
Bahan Tambahan Pangan.
f. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/1X/88 tentang
Penggolongan dan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan.
14

2.2.7 BTP-BTP yang diatur dalam perundangan tersebut, terutama di bidang hasil
olahan perikanan
Tabel 2. Pewarna sintetis yang dilarang di Indonesia.
Bahan Pewarna Nomor Indeks Warna (C.I.No.)
Citrus red (Food N0 2) 12156
Ponceau 3 R (Red G) 16155
Ponceau SX (Food Red N0. 1) 14700
Rhodamine B (Food Red N0. 5) 45170
Guinea Green B (Acid Green No. 3) 42085
Magenta (Basic Violet No.14) 42510
Chrysoidine (Basic Orange No.2) 11270
Butter yellow (Solveent Yellow No.2) 11020
Sudan I (Food Yellow No. 2) 12055
Methanil Yellow (Food Yellow No. 14) 13065
Auramine (Ext. D & C Yellow No.1) 41000
Oil Oranges SS (Basic Yellow No.2) 12100
Oil Oranges XO (Solvent Oranes No 7) 12140
Oil Yellow AB (Solvent Oranes No 5) 11380
Oil Yellow OB (Solvent Oranes No 6) 11390
Sumber: (Menkes RI, No. 722/Menkes/Per/IX/88)
Secara umum bahan tambahan pangan seperti pewarna sintetis yang
dilarang penggunaannya di Indonesia, khususnya dibidang perikanan ada beberapa,
seperti: methanil yellow dan rhodamin B.

2.2.8 Fakta/ kasus pelanggaran atau penyalahgunaan BTP yang terjadi di


Indonesia beserta datanya
Kasus formalin di Kota Bima menurut Putusan Pengadilan Mataram:
Pada Bulan Februari 2013, pelaku penyalahgunaan formalin sebagai
pengawet pangan berinisial AB mulai membuka usaha produksi mie basah yang
berlokasi di Lingkungan Saraa RT 05/ RW 002, Kelurahan Sarae, Kecamatan
Rasanae Barat, Kota Bima. Awalnya AB tidak menggunakan formalin sebagai
pengawet mie basah hasil produksinya, akan tetapi dikarenakan mie yang AB
produksi tersebut cepat basi sehingga mendatangkan kerugian maka AB
menambahkan formalin pada air rebusan mie basah tersebut.
Pada Hari Kamis, 25 Juli 2013, sekitar pukul 10.00 WITA perbuatan AB
terkait penyalahgunaan formalin tersebut diketahui oleh petugas dari BPOM
15

Mataram dan Polres Bima yang melakukan operasi gabungan di Daerah Bima.
Hasil pengujian yang dilakukan oleh petugas BPOM terhadap air rebusan mie basah
tersebut positif mengandung formalin dan hal tersebut diakui juga oleh pelaku.
Sebelumnya AB pernah diberi peringatan oleh petugas BPOM terkait larangan
penggunaan formalin sebagai pengawet produknya dan pernah berhenti
menggunakan formalin tersebut, namun dikarenakan mengalami kerugian akibat
daya simpan yang rendah maka AB kembali menggunakan formalin untuk
produknya. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, petugas menyita satu buah jerigen yang
berisi cairan formalin, satu botol air rebusan mie yang mengandung formalin, dan
mie basah kemasan plastik sebanyak 12 Kg.
Berdasarkan laporan hasil pengujian pangan dan bahan berbahaya BPOM
RI Nomor 3/M-KASUS/U/MTRT/2013 tanggal 12 september 2013, Nomor 4/M-
KASUS/U/MTRT/2013 tanggal 12 september 2013, Nomor 5/M-
KASUS/U/MTRT/2013 tanggal 12 september 2013, diperoleh kesimpulan bahwa
barang bukti yang telah dilakukan pengujian tersebut positif mengandung formalin.
Berdasarkan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tanggal 10 Februari
2014, AB (terdakwa) terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana
menggunakan bahan yang dilarang penggunaannya sebagai BTP sebagaimana yang
dimaksud dan diancam dalam pasal 136 huruf b UU No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan. Dalam surat tuntutan JPU tersebut juga disebutkan bahwa hakim
Pengadilan Negeri Raba Riba diminta untuk menjatuhkan hukuman pidana penjara
selama 7 (tujuh) bulan dikurangi masa tahanan sebelumnya. Pada tanggal 20
Februari 2014, berdasarkan surat putusan No.: 450/PID.B/2013/PN.RBI hakim
Pengadilan Negeri Raba Bima memutuskan menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa dengan pidana penjara selama 3 bulan 15 hari. Setelah hasil keputusan
pengadilan negeri tersebut ditetapkan, terdakwa melakukan banding di Pengadilan
Tinggi Mataram dan hasil keputusan hakim di Pengadilan Tinggi Mataran tersebut
menetapkan bahwa hukuman pidana yang telah dijatuhkan hakim Pengadilan
Negeri Raba Bima relatif ringan jika dihubungkan dengan akibat yang telah
dilakukan oleh terdakwa sehingga hakim memutuskan untuk menjatuhi hukuman
pidana 6 (enam) bulan penjara kepada terdakwa.
16

2.3 Penjelasan-penjelasan lainnya yang relevan dengan permasalahan


yang diberikan (Sejarah penggunaan, reaksi, rumus bangun dan struktur
kimia dll)
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam makanan terutama
makanan olahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi (Zuraidah, 2007).
Sejak pertengahan abad ke-20, BTP khususnya bahan pengawet semakin sering
digunakan dalam produksi pangan. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi
produksi bahan tambahan pangan sintesis (Cahyadi, 2009). Yang dimaksud dengan
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam
makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan, bisa memiliki nilai
gizi tetapi bisa pula tidak. Adapun jenis-jenis BTP yaitu pengawet, pewarna,
penyedap, pemanis, pemutih, pengental, dan lain-lain (Yuliarti, 2007). Akan tetapi,
dalam praktek penggunaannya BTP sering tidak digunakan sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan. Ada dua permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan BTP
ini. Pertama, produsen menggunakan BTP yang diizinkan pengunaannya tetapi
digunakan melebihi dosis yang telah ditetapkan. Kedua, produsen menggunakan
BTP yang dilarang penggunaannya untuk digunakan dalam makanan (Zuraidah,
2007).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Repubrik Indonesia Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tanggal 22 September 1988 dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999 terdapat beberapa jenis bahan
tambahan pangan yang dilarang penggunaannya. Beberapa BTP yang dimaksud
yaitu: asam borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, dietilpilokarbonat,
dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi,
nitrofurazon, dan formalin (Saparinto & Hidayati, 2006). Diantara BTP yang
dilarang tersebut, yang paling sering digunakan adalah formalin dan boraks.
Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10–40% dari
formaldehida. Fungsi formalin yang sebenarnya adalah sebagai antiseptik,
germisida, dan pengawet nonmakanan (Yuliarti, 2007). Akan tetapi, formalin
digunakan secara luas di masyarakat pada berbagai bahan pangan untuk
17

memperpanjang masa simpan bahan pangan. Masyarakat pengguna formalin ini


sebagian telah mengetahui fungsi formalin, tetapi tidak tahu dampak
penggunaannya terhadap kesehatan (Zuraidah, 2007). Formalin merupakan zat
kimia yang berbahaya terhadap kesehatan. Adapun dampak formalin terhadap
kesehatan dapat berupa dampak akut maupun kronik. Efek jangka pendeknya antara
lain berupa iritasi pada saluran pernapasan, muntah-muntah, pusing, dan rasa
terbakar pada tenggorokan. Jika dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka
waktu lama, dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas,
sistem susunan saraf pusat, dan ginjal (Cahanar & Suhanda, 2006).
Pada akhir tahun 2005, marak dikabarkan di media cetak dan elektronik
bahwa ada zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti formaldehida
(atau formalin), boraks (natrium tetraborat, mineral alam), pewarna tekstil, dan
bahan kimia lainnya, digunakan dalam bahan pangan (Widmer & Frick, 2007).
Berdasarkan hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang dilakukan Balai
Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) di Jakarta, ditemukan formalin
digunakan sebagai pengawet pada sejumlah produk pangan seperti ikan asin, mi
basah, dan tahu. Produk pangan berformalin itu dijual di sejumlah pasar dan
supermarket di wilayah DKI Jakarta, Banten, Bogor, dan Bekasi. Dari hasil
pengujian Balai Besar POM di Jakarta–pada November-Desember 2005–
ditemukan 56 sampel dari 98 sampel produk pangan positif mengandung formalin
(Cahanar & Suhanda, 2006). Perinciannya, dari 23 sampel mi basah, 15 sampel
diantaranya tercemar formalin (65 persen). Sebanyak 46,3 persen dari 41 sampel
beragam jenis tahu positif mengandung formalin. Dari 34 sampel aneka jenis ikan
asin, 22 sampel diantaranya juga tercemar formalin (64,7 persen). Sampel ikan asin
yang positif berformalin itu, antara lain ikan asin sebelah, ikan cucut daging super
dan jambal roti (Cahanar & Suhanda, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Berdasarkan hasil diskusi kelompok didapatkan beberapa parameter yang
penting dan dapat dijadikan acuan tentang bahaya penggunaan zat pewarna
berbahaya pada produk perikanan. Parameter-parameter tersebut adalah sebagai
berikut :

 Tingkat Pengetahuan Produsen


 Jumlah produk perikanan yang menggunakan zat pewarna
 Penyuluhan tentang zat pewarna
 Tingkat pengetahuan konsumen
 Dampak penggunaan zat pewarna
 Regulasi penggunaan zat pewarna
 Pengaruh zat pewarna terhadap keuntungan
 Jumlah zat pewarna yang digunakan
 Tingkat pengawasan terhadap zat pewarna
 Tingkat pendidikan
 Penggunaan social media

3.2 Penentuan Parameter


Hal-hal yang mendasari penentuan parameter-parameter tersebut sebagai
acuan adalah sebagai berikut :

Menurut Praja (2015), Zat pewarna merupakan zat yang bersifat aditif
dimana efeknya terhadap kesehatan timbul dalam jangka waktu yang lama, hal
tersebut dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti kanker, kerusakan ginjal
dan lain-lain.
Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan kualitas
makanan antara lain; warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia

21
22

dalam makanan. Oleh karena itu, warna menimbulkan banyak pengaruh terhadap
konsumen dalam memilih suatu produk makanan dan minuman sehingga produsen
makanan sering menambahkan pewarna dalam produknya. Pada awalnya, makanan
diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau
mineral, akan tetapi zat warna tersebut tidak stabil oleh panas dan cahaya serta
harganya mahal (Utami & Suhendi, 2009).
Beberapa alasan para produsen lebih memilih menggunakan zat pewarna
sintetis daripada zat pewarna alami diantaranya warna yang dihasilkan pewarna
sintetis lebih cerah dan lebih homogen, sedangkan zat pewarna alami lebih pudar
dan tidak homogen; pewarna sintetis memiliki banyak variasi warna, sedangkan
pewarna alami sedikit; zat pewarna sintetis harganya lebih murah sedangkan zat
pewarna alami lebih mahal; ketersediaan zat pewarna sintetis tidak terbatas,
sedangkan zat pewarna alami terbatas; zat pewarna sintetis bersifat stabil sedangkan
pewarna alami kurang stabil (Putri, et. al., 2012).
Di Indonesia, undang-undang penggunaan zat pewarna belum
memasyarakat sehingga terdapat kecendrungan penyimpangan pemakaian zat
pewarna untuk berbagai bahan pangan oleh produsen, misalnya pemakaian zat
pewarna tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai makanan. Timbulnya
penyimpangan penggunaan zat pewarna disebabkan karena tidak adanya penjelasan
dalam label yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan.
Haltersebut disebabkan bea masuk zat pewarna untuk makanan jauh lebih mahal
dari zat pewarna non-pangan (Winarno, 1994).

3.3 Penentuan Leverage Point


Dari keseluruhan parameter yang dijadikan acuan, parameter yang
merupakan leverage point yaitu jumlah zat pewarna yang digunakan, hal yang
mendasari keputusan tersebut yaitu :
Zat pewarna merupakan zat aditif yang efek sampingnya timbul dalam
jangka waktu yang cukup lama sehingga pengobatan secara langsung tidak dapat
menyelesaikan masalah, oleh karena itu apabila jumlah zat pewarna berbahaya
dapat ditekan jumlahnya baik itu jumlah yang beredar di pasaran maupun jumlah
23

zat pewarna yang diberikan izin dalam penggunaannya maka dampak dari
penggunaan zat pewarna tentu akan berkurang.
Jumlah zat pewarna yang digunakan mempengaruhi 3 faktor yang sangat
penting yaitu :

1. Pengaruh zat pewarna terhadap keuntungan


Keuntungan disini dimaksudkan keuntungan produsen yang
menggunakan zat pewarna berbahaya pada prodaknya, tentunya apabila
hasil pendapatan atau keuntungan prodak yang menggunakan zat
pewarna berbahaya lebih menguntungkan tentunya akan semakin
banyak para produsen yang menggunakan zat pewarna berbahaya, oleh
karena itu keuntungan yang bersifat negatif disini harus dapat ditekan
sehingga produsen yang beralih menggunakan zat pewarna berbahaya
tidak semakin menjamur.
2. Jumlah produk perikanan yang menggunakan pewarna
Jumlah prodak yang menggunakan zat pewarna tentunya
dipengaruhi oleh jumlah produsen yang menggunakan zat pewarna
berbahaya, apabila jumlah zat pewarna berbahaya semaskin sedikit
yang dapat digunakan oleh para produsen nakal maka tentunya akan
semakin sedikit pula produk yang menggunakan zat pewarna berbahaya
yang beredar di pasaran.
3. Tingkat pengawasan terhadap zat pewarna
Dengan banyaknya jumlah zat pewarna berbahaya yang beredar
dipasaran tentunya pemerintah harus dapat mengambil keputusan, salah
satunya meingkatkan pengawasan terhadap zat pewarna tersebut agar
tidak dapat beredar semakin luas dan semakin banyak yang
menggunakannya. Output dari peningkatan pengawasan ini salah
satunya yaitu diciptakan atau dibuat regulasi-regulasi baru yang dapat
membuat jera para pelaku sehingga dapat meningkatkan pengawasan
terhadap zat pewarna berbahaya.
24

3.4 Solusi Permasalahan


Dari permasalahan-permasalahan tersebut kelompok kami dapat
menyimpulkan beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut
yaitu :
 Pengawasan peredaran zat pewarna yang dijual secara online
Pada era sekarang tentunya jual-beli online bukanlah hal yang baru
lagi, baik itu melalui situs resmi maupun situs non resmi berbagai
prodak dapat dijual-belikan disana, tidak terkecuali zat pewarna
berbahaya. Oleh karena itu peredaran zat pewarna secara online
harus dapat ditinjak lanjuti mengingat belum adanya regulasi atau
aturan mengenai penjualan zat pewarna berbahaya secara online.
Pemerintah dapat membuat divisi cyber crime yang menindak
lanjuti baik itu penjual maupun pembeli yang bertransaksi zat
pewarna berbahaya baik itu melalui situs resmi maupun non resmi,
pemerintah juga dapat membuat aturan atau regulasi mengenai hal
tersebut sehingga dapat meningkatkan pengawasan dan juga
membuat para penjual dan pembeli untuk berpikir dua kali dalam
melakukan transaksi jual-beli zat pewarna secara online
25

BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut PERMENKES RI No.
1168/MENKES/PER/X/1999 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
makanan dan bukan merupakan ingredient khas makanan; mempuyai atau tidak
mempunyai nilai gizi; dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk
maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan,
penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan
(langsung atau tidak langsung) suatu komponan yang mempengaruhi sifat khas
makanan.Menurut Praja (2015), Zat pewarna merupakan zat yang bersifat aditif
dimana efeknya terhadap kesehatan timbul dalam jangka waktu yang lama, hal
tersebut dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti kanker, kerusakan ginjal
dan lain-lain. Timbulnya penyimpangan penggunaan zat pewarna disebabkan
karena tidak adanya penjelasan dalam label yang melarang penggunaan senyawa
tersebut untuk bahan pangan. Haltersebut disebabkan bea masuk zat pewarna untuk
makanan jauh lebih mahal dari zat pewarna non-pangan (Winarno, 1994)
33

DAFTAR PUSTAKA

Ajinomoto. 2018. Evaluasi Keamanan MSG. Diunduh pada web


(https://www.ajinomoto.com/features/aji-no-moto/id/truth/) pada tanggal
16 Desember 2018 pukul 11.59 WIB).
Anonim. 2015. Bahaya Rhodamin B sebagai Pewarna pada Pangan . Online
http://ik.pom.go.id/v2015/artikel/B ahaya-Rhodamin-B-sebagaiPewarna-
pada-Makanan.pdf.
Ardiansyah. 2015. Bahan Tambahan Pangan: Antara Manfaat dan Akibat. Ilmu Dan
Tekonologi Pangan. Universitas Bakrie. Jakarta.
Astuti, R., W. Meikawati dan S. Sumarginingsih. 2010. Penggunaan Zat Warn a “
Rhodamin B ” pada Terasi Berdasarkan Pengetahuan dan Sikap Produsen
Terasi Di De sa Bonang Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang . Jurnal
Kesehatan Masyarakat Indonesia 6 (2): 21-29
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Bahan Berbahaya yang dilarang untuk
Pangan.
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/139/BAHAN-
BERBAHAYA-YANG-DILARANG-UNTUK-
PANGAN.html%20.%202006.
Badan POM RI, 2014. Waspada Penggunaan Rhodamin B di Makanan Kita.
Artikel Online. http://klubpompi.pom.go.id/id/lomba/item/319-waspada-
penggunaan-rhodamin-b-di-makanan-kita.
Bappenas. 2003. White Paper of Food Safety dikeluarkan: Ekspor Makanan ke Uni
Eropa Terancam. Diunduh pada web
(http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F29103/W
hite%20Paper%20of%20Food.htm) pada tanggal 16 Desember 2018 pukul
12.25 WIB.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan .
Penerbit Bumi Askara. Jakarta.
Hasanah, A. N., I. Musfiroh, N. M. Saptarini dan D. Rahayu. 2014. Identifikasi
Rhodamin B pada Produk Pangan dan Kosmetik yang Beredar di
Bandung . Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 12(1): 104-109
Hayati, Nur, Hasna & Suryani, D. 2011. Analisis Kandungan Nitrit Dalam Sosis
Pada Distributor Sosis Di Kota Yogyakarta Tahun 2011. Jurnal KESMAS
UAD. ISSN: 1978-0575.
Karim, F. A., F. Swastawati dan A. D. Anggo. 2014. Pengaruh P erbedaan Bahan
Baku Terhadap Kandungan Asam Glutamat Pada Terasi . Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan 3 (4): 51-58
La Ifu, A. 2016. Analisis Kandungan Zat Pewarna Sintetis Rodamin B Pada
Sambal Botol Yang Diperdagangkan Di Pasar Modern Kota Kendari .
Universitas Halu Oleo. Kendari
Lestari. 2010. Keberadaan Rhodamin B Pada Terasi Bermerek Dan Tidak
Bermerek Yang Di produksi Dan Beredar Di Kota Tegal Jawa Tengah .
Online http://eprints.undip.ac.id/31406/1/ 3798.pdf.

33
34

Mahdi, C. 2016. Mengenal berbagai Produk Reagen Kit Tester untuk Uji
Formalin, Borak, Zat Pewarna Berbahaya dan Kandungan Yodium pada
Garam Beryodium. Malang . Laboratorium Biokimia Universitas
Brawijaya.
Mahdi, C. Nursinah Amir. 2017. Evaluasi Pengguaan Rhodamin B pada Produk
Teras yan Dipasarkan di Kota Makassar. Program studi Kimia, Fakultas
Mateatika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Brawijaya. Malang.
Mamoto, L. V. dan F. G. Citraningtyas. 2013. Analisis Rhodamin B Pada Lipstik
Yang Beredar Di Pasar Kota Manado . Jurnal Ilmiah Farmasi 2(2): 61-66
Nugraha, P.S. 2008. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Dlaam
Perencanaan Produksi. Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas Sanatha
Dharma. Yogyakarta.
Permatasari, L. 2016. Analisis Kuantitatif Rhodamin B Pada Terasi Produksi
Daerah Puger Secara Klt Densitometri . Online
http://repository.unej.ac.id/handle/ 123456789/15176
Yamlean, P. V. Y. 2011. Identifikasi Dan Penetapan Kada r Rhodam in B Pada
Jajanan Kue Berwarna Merah Muda Yang Beredar Di Kota Manado .
Jurnal Ilmiah sains 11 (2):289-295

LAMPIRAN

34
35

CLD Bahan Pewarnan Berbahaya

Presentasi

Penjelasan CLD

35

You might also like