You are on page 1of 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. TB
2.1 Definisi
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang disebabkan
oleh hasil mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granulona dan
adanya reaksi hipersensifitas tipe lambat.1

2.2 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk
berbentuk batang, tidak berspora dan bersifat aerobic, dengan ukuran panjang 1-4/um
dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan.2 Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
proteoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan Mtb
juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada
udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari
es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit TB aktif kembali.9

Gambar 1. Mikroskopik MTB Gambar 2. Gambaran mikroskopik MTB dengan


Pewarnaan Ziehl Neelsen
2.3 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai “Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta
adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2
kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.8
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.8
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2009, Indonesia
telah menempati urutan ke lima untuk insidensi kasus TB di dunia, lima negara
dengan insidensi kasus TB terbanyak adalah India (1.6–2.4 juta), Cina (1.1–1.5 juta),
Afrika Selatan (0.40–0.59 juta), Nigeria (0.37–0.55 juta) dan Indonesia (0.34–0.52
juta).4 Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit
menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.7

2.4 CARA PENULARAN


Ada dua macam mikobakteria penyebab tuberkulosis, yaitu tipe bovin dan tipe
human. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita tuberkulosa, dan bila
diminum, dapat menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di
bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka.9
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M.tuberkulosis biasanya
secara inhalasi. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan
bisa melalui inokulasi langsung.9
Sekali batuk penderita tuberkulosis dapat menghasilkan 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama (1-2 jam). Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Faktor yang memungkinkan
seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.10
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak,
makin menular pasien tersebut. 10
2.4.1 Risiko penularan10
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

2.4.2 Risiko menjadi sakit TB10


1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic),
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bias mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:


1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 3. Faktor Risiko Kejadian TB


2.5 PATOGENESIS
2.5.1 Tuberkulosis Primer
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1 - 2 jam, tergantung sinar ultraviolet, ventilasi yang
buruk, dan kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan
berhari–hari sampai berbulan – bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat,
maka iaakan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk
ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer.9 Basil tuberkel yang mencapai
permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai satu unit yang terdiri dari satu
sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah
berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas
lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak
membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama, leukosit digantikan
oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul
pneumonia akut 11.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada
sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan
menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10
– 20 hari.11 Bila kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak
dalam sitoplasma makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ - organ lainnya.
Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan
paru, dan kalau menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman
juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan
kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier.9
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus (
limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional =
Kompleks primer ( Ranke ). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. ( sebagian besar penderita )
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis – garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya > 5 mm
dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
 Berkomplikasi dan menyebar secara :
a.Perkontinuitatum ( ke sekitarnya )
b.Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru
disebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus.
c.Secara limfogen ke organ – organ lainnya
d.Secara hematogen ke organ – organ tubuh lainnya.9

2.5.2 Tuberkulosis Pasca-Primer ( Sekunder )


Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun – tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis post primer =
TB sekunder ). Mayoritas reinfeksi menjadi 90 %. TB sekunder terjadi karena
imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, keganasan, diabetes, AIDS, gagal
ginjal. TB pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi terutama di
regio atas paru ( segmen apikal-poterior lobus superior atau lobus inferior ).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini
mula – mula tampak seperti sarang pneumonia kecil dan dalam 3 – 10 minggu
sarang ini berubah menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel –
sel histiosit dan sel Datia Langhans.9 Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi :
 Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
 Sarang yang mula – mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan
keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula – mula berdinding tipis, lama – lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik ( kronik ). Terjadinya perkejuan dan kavitas
adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi
pada imunodefisiensi dan usia lanjut.9 Kavitas dapat mengalami :
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
masuk dalam pembuluh darah arteri akan terjadi TB millier.
b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma
dapatmengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan
menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh jamur
(contohnya Aspergillus ) sehingga membentuk misetoma.
c. Menyembuh dan bersih ( open healed cavity ). Kadang – kadang berakhir
sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai bintang (
stellate shape ).9
Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang :
1. Sarang yang sudah sembuh (tidak perlu pengobatan)
2. Sarang aktif eksudatif (perlu pengobatan lengkap dan sempurna)
3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh
spontan, tapi mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan
pengobatan sempurna.
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis

2.6 KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN TUBERKULOSIS


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu8:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Beberapa istilah dalam definisi kasus:8


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis
oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:8


1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus
yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis
yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis


1. Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.8


1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
Catatan:
o Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
o Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya8
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:1,8
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.8

2.7.1 Gejala klinik


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).8
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang keluar produk – produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang
dalam jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu atau berbulan – bulan sejak
awal peradangan2. Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga
terjadi pada ulkus dinding bronkus.9
Gejala TB yang sangat umum ialah batuk produktif yang tak henti-henti dan
terkadang batuk disertai darah (hemoptisis), seringkali disertai gejala sistemik
seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Temuan lain seperti
limfadenopati, sesuai dengan TB ekstraparu yang bersamaan dapat terlihat terutama
pada pasien terinfeksi HIV.12
Walaupun hampir semua pasien TB paru menderita batuk, gejala ini tidak
spesifik untuk TB; gejala ini muncul pada berbagai kondisi pernapasan, termasuk
infeksi saluran napas akut, asma dan penyakit paru obstruktif kronik. Walaupun
batuk selama 2 hingga 3 minggu tidak spesifik, namun batuk yang berlangsung
selama itu secara tradisional digunakan sebagai kriteria dugaan TB.12 Studi di
negara berkembang menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 4-10%
orang dewasa mendatangi tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan batuk yang
menetap selama lebih dari 2-3 minggu.13
Data dari India, Aljazair dan Chili umumnya menunjukkan bahwa persentase
pasien dengan sediaan apus dahak positif meningkat sejalan meningkatnya waktu
batuk dari 1-2 minggu menjadi 3-4 minggu dan lebih dari 4 minggu. Walaupun
demikian, dalam studi ini terlihat bahwa pasien dengan waktu batuk yang lebih
pendek mempunyai prevalensi TB yang cukup besar. Penilaian yang terbaru dari
India menunjukkan bila digunakan batas waktu 2 minggu atau lebih untuk
mendapatkan spesimen dahak, jumlah pasien diduga TB meningkat sebesar 61%,
namun lebih penting lagi, jumlah kasus TB yang teridentifikasi meningkat sebesar
46%, dibandingkan dengan batas waktu lebih lama dari 3 minggu.12
Memilih batas 2-3 minggu merupakan kompromi yang jelas, dan dapat diakui
bahwa walaupun memakai batas ini dapat mengurangi beban kerja klinik dan
laboratorium, beberapa kasus mungkin lolos dari temuan. Pada pasien yang
menderita batuk kronik, proporsi kasus TB akan tergantung pada prevalensi TB
dalam komuniti. Di negara dengan prevalensi TB rendah, batuk kronik lebih
mungkin disebabkan oleh kondisi selain TB. Sebaliknya di negara dengan
prevalensi tinggi, diagnosis TB perlu diutamakan, bersamaan dengan kondisi lain
seperti asma, bronkitis, dan bronkiektasis, yang banyak ditemukan.12
c. sesak napas
Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan. Sesak nafas
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru.9
d. nyeri dada
Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.9
2. Gejala sistemik
- Demam
Biasanya subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang – kadang panas
badan dapat mencapai 40 – 41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh
sementara, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus menerus,
sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi MTB yang masuk.9
Gejala sistemik lain:
- malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia ( tidak ada nafsu
makan), badan makin kurus, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul
secara tidak teratur.9

2. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.8

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2 ,
serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.8
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.8
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang
di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior


2.7.3 Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH)8
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):1,8
A. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
B. Pagi ( keesokan harinya )
C. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5
ml sebelum dikirim ke laboratorium.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara :
A. Pemeriksaan mikroskopik:
a. Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
b. Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila:
i. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
ii. 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila
ada fasilitas foto toraks, kemudian
iii. bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
iv. bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst

Skala Bronkhorst (BR) :

1. BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.


2. BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3. BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4. BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5. BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

B. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan


metode konvensional ialah dengan cara :
a. Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
b. Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan


dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid,
uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul.

2.7.4 Pemeriksaan Radiologik


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).8
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :

1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,


biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari
atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :

1. Lesi minimal,
bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari
sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.7.5 Pemeriksaan Khusus


Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional.
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.8
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem
ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
2. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak
dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain
tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat
dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ
yang terlibat.
a. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :
b. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa
masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap
dalam waktu yang cukup lama.
c. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb
38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang
pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam
1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15
menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran.
d. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji
ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada
suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan
ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi
dengan mudah.
e. Uji peroksidase anti peroksida (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
f. Uji serologi yang baru / IgG TB
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis.

2.7.6 Pemeriksaan Lain


1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi
hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif
dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit
dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan
dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberculin intradermal (TES MANTOUX)
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru

2.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
2.8.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)14


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan14
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

Terdapat 2 macam sifat atau aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni:


a. Aktivitas bakterisid
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh.
Aktivitasnya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan
kuman sehingga pada pembiakan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari
permulaan pengobatan) ·Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap
karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Pyrazinamid
hanya bekerja di lingkungan yang asam sedangkan streptomisin bekerja di
lingkungan yang basa. Oleh karena itu masing-masing mendapat nilai setengah.
Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai.9
b. Aktivitas sterilisasi
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya
lambat. Aktivitasnya diukur dari kekambuhannya setelah pengobatan dihentikan.9

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:15
a. KATEGORI 1
Kategori 1 terdiri dari ;
o Pasien TB paru BTA (+), kasus baru
o Pasien TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
o Pasien TB extra paru
Kategori 1 ini diobati dengan INH, Rifampisin, Pirazinamid, dan
Etambutol selama 2 bulan 9fase intensif) setiap hari dan selanjutnya 4
bulan (fase lanjutan) dengan INH dan Rifampisin 3 kali dalam seminggu
(2HRZE/4H3R3)
b. KATEGORI 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:

o Pasien TB paru kasus kambuh


o Pasien TB Paru kasus gagal pengobatan
o Pasien TB Paru dengan pengobatan terputus
Kategori 2 diobati dengan INH, Rifampisin, Pirazinamid, etambutol,
dan streptomisin selama 2 bulan setiap hari dan selanjutnya INH,Rifampisin
dan etambutol selama 5 bulan seminggu 3 kali (2HRZES/HRZE/5H3R3E3).
Jika setelah 2 bulan BTA masih postif, fase intensif ditambah 1 bulan
sebagai sisipan (dengan HRZE).

Catatan: Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
1. Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2. Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif
/ perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang
dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka
pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi)
terhadap OAT.

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.8
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan
prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.8
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg) / BB (kg)
Obat (mg/kgBB Harian Intermitten Maksimum < 40 40-60 > 60
/Hari) (mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesua 750 1000
i BB

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
Berat RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Badan Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomi Jumla
Pengo Pengobata Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet sin Injeksi h/kali
batan n @ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 @ 400 menel
mg mg mg an
obat
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian

Tahap
Lanjut 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
an
(dosis
3x
semin
ggu)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak
3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan obat
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang


dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke
rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

2.8.2 Mekanisme Kerja Obat


Isoniazid bekerja dengan menghambat sintesis asam mikolat, komponen
terpenting pada dinding sel bakteri. Rifamfisin menghambat aktivitas polymerase RNA
yang tergantung DNA pada sel-sel yang rentan. Pirazinamid adalah analog pirazin dari
nikotinamid yang bersifat bakteriostatik atau bakterisid terhadap Mycobacterium
tuberculosis tergantung pada dosis pemberian dosis, mekanisme kerja pirazinamid belum
diketahui secara pasti. Etambutol menghambat sintesis minimal 1 metabolit yang
menyebabkan kerusakan pada metabolism sel, menghambat multiplikasi dan kematian
sel. Streptomisin adalah antibiotic bakterisid yang mempengaruhi sintesis protein. 14

2.8.3 Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 12 & 13),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks.10 Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT
dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata,
air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu
khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-
kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan
meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping
yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
(jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

Tabel 8. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 9. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(penyebab lain disingkirkan) sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug-induced pre- lakukan uji fungsi hati
icteric hepatitis)
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan Rifampisin
syok dan purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan
oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan
desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan
yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal
ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

2.8.4 Pengobatan Suportif / Simptomatik


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan
klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya
tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
a. Pasien rawat jalan
- Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
- Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
- Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain.
b. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat

2.8.5 Terapi Pembedahan


lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)


1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

2.8.6 Evaluasi Pengobatan


Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik

1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya


setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi
radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob
Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
(bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat.
Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat
sesuai pedoman

Evaluasi keteraturan berobat

1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum /
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan
mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat
diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.

Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala)
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.
2.9 RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE)8,16
2.9.1 Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin
dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat
tuberkulosis dibagi menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –
90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun
2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman
tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering
disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang
kurang atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja
pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya
4. Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan
dalam suatu paduan
5. Pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB
telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu
macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten
6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik,
sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
7. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang
terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
8. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan
kebosanan
9. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
10. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

2.9.2 Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)


Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

a. Fluorokuinolon
Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang
resisten terhadap lini-1 yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal paling
rendah dibandingkan fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya
gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin.
Siprofloksasin harus dihindari pemakainnya karena efek samping pada kulit yang
berat (foto sensitif). Resistensi silang Tionamid dan tiosetason
Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silang dengan
a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif
dan obat tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon
(ofloksasin dan siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan
kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin, klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3
OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 –
1500 mg atau ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2
kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24
bulan. Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan.
Pada pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan
response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik,
merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting
dalam menjamin keteraturan berobat. Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan
MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB.

2.10 PENGOBATAN PADA KEADAAN KHUSUS8


2.10.1 TB Milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan
evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap
5-7 hari, lama pemberian 4 – 6 minggu.

2.10.2 Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)


1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.
2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan
berikan kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

2.10.3 TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)


1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.
2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan
untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah
dilakukan untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
- perikarditis konstriktiva
- kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi
jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik.
Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu.

2.10.4 TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)


1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol
2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap
belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli
paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada
mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti
obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol /
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

2.10.5 TB Paru Dengan HIV / AIDS


Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di
bawah ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes
(Voluntary Counseling and Testing/VCT)

Tabel 10. Indikasi Tes Darah HIV


Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)
A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat

1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.


2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai
yang steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya
dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah
dalam serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH
diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan
MDR-TB

Waktu Memulai Terapi


1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada
tabel 6)
Tabel 11. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV
Kondisi Rekomendasi Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB toleransi terhadap AOT telah tercapai
ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera
mulai terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung total < 1200 sel/mm3
limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
2 bulan limfosit
simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome /
pneumonia P. Carinii/ toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo /
kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load >
55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena
bersifat sebagai buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida
dan inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir
karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin
dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan

2.10.6 TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui


1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek
samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan,
walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi
konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga
mendapat pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi
tidak mendapat dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan
rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal,
karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat
kontrasepsi hormonal berkurang.
2.10.7 TB Paru dan Gagal Ginjal
1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang
dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol
dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru

2.10.8 TB Paru dengan Kelainan Hati


1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2
SHE/10 HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru

2.10.9 Hepatitis Imbas Obat


Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis)
Penatalaksanaan
1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop
2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 ® OAT
Stop
4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan :
1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa
laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal ,
tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat
badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

2.11 KOMPLIKASI8
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

2.12 DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)8,14


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
program penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS,
yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS
merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan
istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT
diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari
oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)
2.11.1 Tujuan
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi
2.11.2 Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis
atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak
mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas
setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan
DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
a. Petugas kesehatan
b.Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah
petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan
berobat jalan.
2.11.3 Langkah Pelaksanaan DOT

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai,


pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus
ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT
2.11.4 Persyaratan PMO
1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
2.11.5 Tugas PMO
1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
selesai
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

2.12 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Terapi pencegahan
2. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan
Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg
BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan.

2.13 PENCATATAN DAN PELAPORAN


Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting
dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB
harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu
pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan
formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identitas penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5. Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6. Formulir pindah penderita TB (TB09)
7. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB
Nasional (P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB01
dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam formulir
rekapan yang ada di tingkat kabupaten/kota
Catatan :
1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra
paru pada organ yang penyakitnya paling berat
3. Contoh formulir terlampir

2.14 INTERNATIONAL STANDART FOR TUBERCULOSIS CARE7,12


International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang
melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten
dengan rekomendasi WHO. International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari
17 standar yaitu 6 estándar untuk diagnosis , 9 stándar untuk pengobatan dan 2
standar yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar
tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak
dapat dipastiklan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak
yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara
mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila
memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak)
harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai.
Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan
pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif
paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak
pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon terhadap
antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai
efek melawan M.Tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada
fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien
denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan
BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat
riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada
pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan
yang berasal daribatuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai
tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-
kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal
tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat
yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH,Rifampisin,
Pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang
dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan
etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternative untuk fase lanjutan pada
kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan
kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut
diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus
mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2
obat yaitu INH dan Rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, Rifampisin,
Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan
langsung saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan
suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan
hubungan yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan.
Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok
usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan
dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama
pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk
menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi
ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk
keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun
pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan
langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem
kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian
terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat
menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan.
Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal
terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan
15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak,
paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak
diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologik dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah
dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi
pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan
dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai
indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian
OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus
dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti
pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat
antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang
tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit
apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan
sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai
profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua
pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten danprevalens resistensi
obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan
pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, Rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-
obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau
dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk
memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien.
Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang
punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5
tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi
internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya
kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang
laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan
ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat
sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

You might also like