You are on page 1of 13

2.1.1.

Parasit Pada Kambing

Kambing merupakan jenis ternak ruminansia yang lebih kecil dibandingkan

dengan sapi dan kerbau. Memelihara kambing tidak sulit karena hanya memerlukan

modal yang relatif lebih sedikit daripada ternak ruminansia lain dan biasanya

dimanfaatkan sebagai usaha rumahan, sehingga pakannya pun cukup beragam, salah

satunya adalah pakan hijauan. Berbagai jenis hijauanyang digemari oleh kambing

antara lain daun turi, lamtoro, dan nangka (Pamungkas et al., 2009).

Adanya faktor pendukung seperti iklim dan kelembaban yang tinggi,

Menyebabkan cacing parasit berkembang biak dengan cepat (Sambodo dan Tethool,

2012). Penyakit cacingan ini dapat menyerang tubuh hewan ternak yang berakibat

menurunnya berat badan dan ketahanan tubuh hewan tersebut (Akhira et al., 2013).

Selain itu juga dapat merugikan peternak karena dapat menurunkan tingkat produksi

yang berakibat pada menurunnya penghasilan peternak (Nofyan et al., 2010).

Parasit yang menginfeksi kambing antara lain nematoda yang menyerang

saluran intestinum sebagai endoparasit. Nematoda menghasilkan telur yang

dikeluarkan bersama feses oleh cacing betina yang jumlahnya dapat mencapai ratusan

butir per hari.Telur-telur tersebut masuk ke dalam tubuh hospes dalam bentuk infektif

melalui mulut dan dalam bentuk larva melalui kulit. (Garcia dan David, 1996).

Cacingan yang disebabkan oleh nematoda saluran pencernaan dapat

menghambat produktivitas ternak karena mengakibatkan penurunan bobot badan

sebesar 38 % dan kematian yang umumnya terjadi karena hewan banyak kehilangan

darah terutama pada ternak muda dengan angka kematian sampai 17 % (Beriajaya et
al.,1995). Jenis cacing nematoda saluran pencernaan yang paling banyak

menimbulkanm gangguan produksi adalah cacing Haemonchus contortus.,

Trichostrongylus spp., dan Oesophagostomum columbianum. Telur yang dihasilkan

oleh cacing tersebut akan keluar dari tubuh hewan bersama feses, sehingga dengan

pemeriksaan feses akan mudah diketahui apakah hewan tersebut terinfeksi cacing

atau tidak (Adiwinata dan Sukarsih,1992).

Abidin (2002) menyebutkan bahwa hasil survei di beberapa pasar hewan di

Indonesia menunjukkan 90% ruminansia selain kambing, yaitu sapi yang berasal dari

peternakan rakyat positif mengandung cacing saluran pencernaan yaitu cacing hati

(Fasciola hepatica), cacing gelang (Neoascaris vitulorum) dan cacing lambung

(Haemonchus contortus). Tahun 2011 di Jawa, prevalensi nematodiosis 38%,

fasciolosis 29% dan strongylodosis 15,92%, helminthiasis yang ada meliputi

Fasciolasis, Bunostomosis, Haemonchosis, Ascariasis, Strongyloidosis dan

Oesophagostomosis (Susilo, 2013).

a. Etiologi

 Strongyloides papilosus

Penyebab utama penyakit strongylosis adalah infeksi dari Strongyloides papilosus

yang umumnya disebut “cacing benang usus”, Strongyloides papilosus memiliki

mulut yang besar dan terbuka ke sebuah capsula bukalis yang dapat mempunyai gigi,

parasit ini bila makan akan mengambil segumpal lapisan mukosa usus dan

memasukkannya ke kapsula bukalis. parasit ini merupakan parasit nematoda yang


menimbulkan kerusakan pada epitel usus halus sehingga menggagu tingkat absorbsi

pada usus. Penurunan penyerapan nutrisi pada usus halus dapat berakibat

menimbulkan defesiensi nutrisi pada hewan yang terinfeksi. Strongyloides papilosus

sering menyerang domba dan ruminansia kecil lainnya (Van, 2013).

Klasifikasi dan Morfologi


Phylum : Nemathelminthes

Sub class : Secernentea

Class : Nematoda

Ordo : Rhabditida

Superfamily : Subuluroidea

Family : Strongyloididae

Genus : Strongyloides

spesies : Strongyloides papilosus

Cacing betina menghasilkan telur yang berbentuk elips, berdinding tipis,

berembrio berukuran 40-64 x 20-42 mikron. Bentuk bebas betina memiliki ukuran tubuh

± 1 x 0,05 mm, esofagus ± sepanjang tubuh serta pendek dan terbuka, uterus berupa satu

barisan lurus yang berisi 40 - 50 telur. Vulva terbuka di sisi ventral dekat pertengahan tubuh

(Stankiewicz, 1971). Cacing jantan hidup bebas dengan panjang 700-825 mikron.

Dengan dilengkapi spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33

mikron dan gubernakulum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron. Masa

prepaten 7-9 hari. Sedangkan bentuk parasitik struktur tubuh betina halus dan
transparan, ukuran 2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform sepanjang tubuh. Pada betina

gravid uterus berisi 1 0 - 2 0 telur yang mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral

1/3 posterior panjang tubuh dan Jantan belum ada peneliti yang menemukan bentuk

parasitik jantan ini selain Kreist dan Faust. Oleh karena itu dianutlah pemahaman

bahwa bentuk parasitik betina pada ruminansia berkembang biak secara

parthenogenesis. Larva rhabditiform memiliki Ukuran tubuh ± 380 x 20 µ, esofagus

pendek dan terbuka, genital primordium besar dan ovoid terletak di ventral dekat

intestinal. Ekor runcing. Sedangkan Larva filariform memiliki ukuran tubuh ± 630 x

16 µ, mulut tertutup, esophagus sepanjang badan, ujung ekor bercabang dua pendek

(fork tail) atau tumpul (Brown,1983).

Gambar 1.1. Cacing Strongyloides papilosus

 Trichostrongylus sp.

Klasifikasi dan Morfologi (Noble and Noble, 1989).


Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Kelas : Chromadorea
Ordo : Rhabditida
Family : Trichostrongyloidae
Genus : Trichostrongylus
Spesies : Trichostrongylus sp.
Telur ini memiliki ukuran 56 –75 mm x 36 – 40 mm bentuknya lonjong

dengan ujung bulat, berdinding tipis, luas ruang yang jelas antara embrio dan kulit

telur (Van, 2013). Cacing ini berukuran kecil sehingga sering terlepas dari

pengamatan. Cacing jantan panjangnya kurang lebih 5mm dan cacing betina

panjangnya 6 mm. Cacing ini berwarna kemerahan atau coklat dan terdapat di

abomasum atau usus kecil sapi.

b. Siklus Hidup

 Strongyloides papilosus

Siklus hidup cacing ini mempunyai keunikan karena memiliki generasi parasitik dan

generasi bebas. Terdapat dua kemungkinan jalur yang dilalui oleh generasi bebas.

Generasi I hidup bebas yang mempunyai jantan dan betina sedangkan generasi II

bersifat patogenesis dan hanya memiliki cacing betina yang menghasilkan telur

berembrio. dan masing generasi memiliki 4 stadium larva yaitu L1, L2, L3 dan L4.

Pada stadium L1 (rhabditiform) cacing menetas dari telur yang dikeluarkan melalui

feses host yang terinfeksi (Reinecke 1983).

Pada fase bebas telur berembrio yang dikeluarkan akan menetas dan

menghasilkan L1 betina dan L1 jantan yang dapat tumbuh diluar tubuh host hingga

tumbuh menjadi L4 stadium dewasa dan menghasilkan telur berembrio yang


kemuadian akan menetas dan tumbuh menjadi L1, L2, dan L3 stadium infektif

(ftlaform), pada fase parasitik L3 dapat menginfeksi host dengan menembus barier

kulit (larva migrant) dari hewan terinfeksi (Woodhouse,1948).

Cacing masuk kedalam aliran darah menuju jantung dan sampai ke paru-paru.

Sesampainya di alveoli paru cacing L3 merusak alveoli paru dan menuju ke saluran

trakea dan masuk kedalam esophagus dan menuju ke saluran usus halus. L3 juga

dapat masuk kedalam tubuh host melalui pakan yang dimakan oleh host, larva infektif

biasanya terdapat pada ujung daun pada rumput gembala yang basah (berembun) hal

ini karena larva L3 menyukai kelembaban dan akan mati bila terkena sinar UV

(Woodhouse,1948).

Larva yang tertelan akan tumbuh dan berkembang didalam saluran usus halus

host menjadi L4 dan memproduksi telur berembrio yang nantinya akan dikeluarkan

melalui feses host dan sikluspun terulang kembali. Pada kondisi tertentu L2 yang

tumbuh di luar tubuh host dapat langsung menginfeksi saat masuk ke tahap L3

sehingga tidak menjadi L4 (stadium dewasa) diluar tubuh host dan tidak terjadinya

perkawinan dengan L4 jantan diluar tubuh host (Woodhouse,1948).


Gambar 1.2. Siklus hidup Strongyloides papilosus (Harvey, 2000)

 Trichostrongylus spp.
Trichostrongylus spp memiliki hospes definitive hewan pemamah biak, dapat

pula terjadi pada manusia. Telur hampir menyerupai telur cacing tambang dengan

ukuran yang lebih besar, yaitu sekitar (75-95) x 40 m. waktu keluar bersama tinja,

telur ini sudah bersegmen. Di luar tubuh dalam waktu 24 jam, telur menetas, keluar

larva rhabditiform berbentuk khas, yaitu ada benjolan pada ekornya. Pada suhu panas

dan lembap, pada tempat teduh dan berumput atau tanaman yang menutupi tanah,

dalam waktu 3-4 hari, larva rhabditiform akan berubah menjadi larva

pseudofilariform. Larva ini jika tertelan bersama rumput atau sayuran yang

terkontaminasi akan masuk ke dinding usus sapi, kambing, kemudian ke luar ke

rongga usus, untuk menjadi dewasa dalam waktu 21 hari. Parasit akan terbawa

bersama aliran darah dan menuju kle paru-paru. Manusia tertular karena memakan

atau meminum yang terkontaminasi larva. Habitatnya di usus halus, yaitu duodenum

dan jejunum bagian atas. Telah diketahui kurang lebih ada 9 spesies, yang terpenting

T. colubriformis dan T. orientalis. Spesies lainnya pada manusia, yaitu T. probolurus,

T. brevis, T.vitrius, T. instabilis, T. axei, T. skrjabini, T. capricola. Nematode ini halus

seperti benang tanpa rongga mulut dengan ukuran sekitar 5-10 mm. cacing jantan

mempunyai bursa yang sempurna.


Gambar 1.3. Siklus hidup Trichostrongylus

c. Transmisi

 Strongyloides papillosus

Transimisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang

terkontaminasi, atau per-oral. Transmisi juga mungkin dapat terjadi transplancental

(dari ibu janin yang di kandungnya) dan transmammary ( dari ibu ke bayinya melalui

air susu ). Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit menimbulkan cutaneus

larva migrans dan visceral larva migrans. Larva ini kemudian menembus saluran

limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan dan kapiler pulmonal.

Kemudian keluar dari kapiler terbawa pulmonal dan penetrasi kedalam aveoli paru-

paru. Di duga saat keluar dari kapiler pulmonal parasit menyebabkan perdarahan dan

menimbulkan inflantrasi selular pada paru-paru. Kadang dapat terlihat gambaran

bercak infiltrate yang menyebar pada gambaran radiologis paru (loeffer’s


pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang di timbulkan oleh parasit muda ini saat

sedang berada di paru dan saluran pernafasan disebut dengan sindroma loeffler.

Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran napas atas, sampai ke esophagus dan

tertelan masuk ke lambung dan usus. Disana parasit ini dengan cepat berkmbang

menjadi dewasa. Hewan betina juga berkembang biak melaui kopulasi yang terjadi di

duodenum atau jejunum. Pada kambing Strongyloides papilosus menginfeksi melalui

pakan maupun menembus barier kulit host. Sehingga pada bagian kulit yang di

tembus oleh larva cacing ini sering menimbulkan gejala peradangan kemerahan dan

gatal (Vegors,1954).

 Trichostrongylus spp.
Transmisi dari Trichostrongylus spp. Sebagai larva infektif bebas; T. Saginata,

Diphyllobothrium latum, trematoda usus serta trematoda paru-paru semua melalui

makanan yang mengandung stadium larva matang. Telur yang keluar bersama tinja.

Setelah satu atau dua hari berada di tanah, telur menetas, dan berkembang menjadi

larva infektif. Stadium telur infektif hidup bebas di rerumputan, larva membentuk

kristal dan tahan terhadap kekeringan. Setelah itu larva tertelan saat sapi atau

kambing memakan rumput dan berkembang menjadi dewasa (Noble and Noble,

1989).

d. Gejala Klinis

 Strongyloides papillosus
Gejala klinis yang khas dari infeksi Strongyloides papillosus adalah pada hewan

muda lemah, kakeksia, anoreksia, anemia, bulu suram, diare dan pertumbuhan

terhambat. Gejala klinis yang lain timbulnya dermatitis ringan pada saat larva cacing

masuk ke dalam kulit pada awal infeksi. Infeksi lain yaitu batuk bronki, kadang-

kadang pnemonia jika larva masuk ke paru-paru, munculnya gejala-gejala peradangan

pada abdomen yang disebabkan oleh cacing betina dewasa yang menempel pada

mukosa usus. Gejala infeksi kronis tergantung kepada intensitas dari infeksi, bisa

ringan dan bisa juga berat. Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit

pada hulu hati seperti gejala ulcus ventriculi, diare dan urticaria kadang-kadang

timbul nausea, berat badan turun, lemah dan konstipasi. Hal ini disebabkan oleh

rusaknya vili-vili usus oleh infeksi cacing strongiolides. Sehingga penyerapan zat-zat

mineral dan nutrisi didalam usus berkurang, yang berinfestasi pada timbulnya diare

yang diikuti keadaan dehidrasi pada hewan yang terinfeksi, bila hal ini terjadi terus

menerus akan berakibat terjadinya defesiensi nutrisi dengan gejala klinis kurus

(kakeksia), bulu kusam dan terhambatnya pertumbuhan dari hewan yang sakit.

Pembengkakan kelenjar tiroid, pnemonia, dan peradangan pada daerah kulit akibat

infasi larva yang menembus jaringan kulit dan memacu respon peradangan sekitar

daerah infasi larva infektif (Van,2013).

 Trichostrongylus spp.
Gejala klinis dari hewan terinfeksi cacing Trichostrongylus sp.adalah terjadi

penurunan nafsu makan, anemia, berat badan menurun, diare, pembengkakan dan

perdarahan mukosa, bahkan sampai kematian (Noble dan Noble,1989).


e. Pencegahan dan Pengobatan

Obat-obat yang dapat digunakan adalah Phenothiazine®, Thibenzole®,

Tetramisole®, dan Piperazine®. Dokter hewan akan menasehatkan obat yang paling

baik yang tersedia untuk pengobatan yang khusus, dosis yang harus digunakan dan

perlakuan administrasi yang berhubungan dengan hewan yang bersangkutan.

Pengendalian yang paling baik adalah seluruh ternak dilakukan pengobatan

yang rutin dengan jarak yang tertentu sepanjang tahun, dengan waktu yang ditentukan

oleh dokter hewan di mana harus mengingat spesies dan siklus hidup masing-masing

spesies, dan iklim suatu daerah. Saat yang sama, mineral mengandung zat besi (dan

mungkin obat anti cacing) dapat diberikan. Sebaiknya dihindari penggembalaan yang

terlalu banyak, pemakaian sistem penggembalaan rotasi, menghindari daerah yang

basah atau lembap. Pengairan harus pada tempat yang berasal dari bendungan yang

langsung dialirkan melalui pipa. Di dalam kandang, semua pakan harus termakan

habis dan tidak ada yang terjatuh ke dalam lantai.

Setelah pengobatan, hewan jangan dikembalikan ke padang gembalaan yang

terinfeksi berat. Padang tersebut harus cukup lama ditinggalkan sehingga populasi

cacing akan mati semua atau harus dibajak atau ditanami. Hewan muda jangan

dibiarkan merumput bersama hewan dewasa. Hal yang harus diingat bahwa hewan

yang makanannya baik dan dalam kondisi yang baik akan kecil kemungkinan terkena

infeksi dari pada hewan yang kondisinya lemah (Akoso, 1996).


Daftar Pustaka

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Adiwinata, G., dan Sukarsih. 1992. Gambaran Darah Domba yang Terinfeksi Cacing
Nematoda Saluran Pencemaan Secara Alami di Kab. Bogor (Kec
.Cijeruk,Jasinga dan Rumpin). Penyakit Hewan 24 (43) : 13-16.

Akhira, D., Y. Fahrimal, dan M. Hasan. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda Saluran
Pencernaan Anjing Pemburu (Canis familiaris) Di Kecamatan Lareh Sago
Halaban Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Medika Veterinaria. ISSN: 0853-1943
Vol. 7 No. 1.

Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Beriajaya, S.E., Estuningsih, Darmono, M.R. Knox, D.R. Stoltz, dan A. J.


Wilson.1995. The use of wormolas in controlling gastrointestinal Nematode
infections in sheep. EGC. Jakarta.

Brown Harrold W.1983. Dasar Parasitologi Klinis:Jakarta.PT Gremedia

Garcia, L. S.,dan David. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku


Kedokteran EGC. Jakarta.

Harvey, S.C., Gemmill, A.W., Read, A.F., and Viney, M.E. (2000). The control of
morph development in the parasitic nematode Strongyloides ratti. Proc. R. Soc.
Lond., B, Biol. Sci. 267, 2057–2063.

Noble, E. R & Noble, G. A. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Edisi


kelima. UGM Press Yogyakarta.

Nofyan, E., M. Kamal, dan I. Rosdiana. 2010. Identitas Jenis Telur Cacing Parasit
Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp.) dan Kerbau (Bubalus sp.) Di Rumah Potong
Hewan Palembang.Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian
Sains.10:06-11.

Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu, dan E.Sihite. 2009. Potensi


Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
Reinecke,R.K.,1983.Veterinary helminthology. Durban and Pretoria:Butterworths.

Sambodo, P., dan A. Tethool. 2012. Endoparasit Dalam Feses Bandikut (Echymipera
kalubu) (Studi Awal Kejadian Zoonosis Parasitik Dari Satwa Liar). Jurnal
Agrinimal.Vol. 2. No. 2, Oktober 2012. Hal. 71-74.

Stankiewicz, M. 1971. The effect of repeated exposures of sheep to Strongyloides


papillosus larvae on the parasite egg production. Acta Parasitologica Polonica,
19:457-462.

Susilo, J. 2013. Dampak Penyakit Kecacingan Pada Performa ternak. Medik


Veteriner Balai Veteriner Lampung.

Van Wyk, J.A. & Mayhew, E., 2013. Morphological identification of parasitic
nematode infective larvae of small ruminants and cattle: A practical lab guide.
Onderstepoort Journal of Veterinary Research, 80, 14 pages.
doi:10.4102/ojvr.v80i1.539.

Vegors, H.H. 1954. Experimental infection of calves with Strongyloides papillosus


(Nematoda). American Journal of Veterinary Research, 15:429.

Woodhouse, C.A. 1948. Observations on the pathogenicity of Strongyloides parasites


in ruminants. Journal of the American Veterinary Medical Association, 113:354-
356.

You might also like