You are on page 1of 44

REFERAT

LUPUS NEFRITIS

Disusun oleh :
Helvin Eka Putra (07120120023)

Pembimbing :
Dr. Maria Rini, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
Periode 1 Agustus 2016 – 8 Oktober 2016
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ..................................................................... 3
2.1 DEFINISI .................................................................................................... 3
2.2 EPIDEMIOLOGI .......................................................................................... 3
2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS ................................................................... 4a
2.4 MANIFESTASI KLINIS ................................................................................. 8
2.5 DIAGNOSIS................................................................................................ 9
2.6 TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA LES ..........13
2.7 TATALAKSANA .........................................................................................18
2.8 PROGNOSIS..............................................................................................20
LUPUS NEFRITIS ............................................................................................. 22
3.1 DEFINISI ...................................................................................................22
3.2 EPIDEMIOLOGI .........................................................................................22
3.3 ETIOPATOGENESIS ...................................................................................23
3.4 MANIFESTASI KLINIS ................................................................................24
3.5 DIAGNOSIS...............................................................................................26
3.6 KLASIFIKASI..............................................................................................28
3.7 TATALAKSANA .........................................................................................30
3.8 PROGNOSIS..............................................................................................37
KESIMPULAN ................................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39

i
DAFTAR SINGKATAN

1. ACR : American College of Rheumatology


2. ANA : Antinuclear Antibodies
3. Anti-dsDNA : Anti-double stranded DNA
4. aPTT : Activated Partial Thromboplastin Time
5. BAFF : B-Cell Activating Factor
6. ELISA : Enzyme-linked Immunosorbent Assay
7. HLA : Human Leucocyte Antigen
8. HPA : Hipothalamus – Hipofisis – Adrenal
9. IL : Interleukin
10. LES : Lupus Eritematosus Sistemik
11. LN : Lupus Nefritis
12. MHC : Major Histocompability Complex
13. PT : Prothrombin Time
14. SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
15. SGPT : Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
16. SLEDAI : Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity
Index
17. TGF : Transforming Growth Factor
18. UV : Ultra Violet

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang


kompleks, ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan
banyak sistem organ dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposit
autoantibodi dan kompleks imun sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.
Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga akibat adanya
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dimana faktor
ini berperan penting dalam predisposisi penyakit LES dan faktor lingkungan. LES
merupakan penyakit multisistem kronik yang lebih sering mengenai perempuan.
Manifestasi penyakit ini sangat bervariasi dan tidak bisa diprediksi, tidak hanya
mempengaruhi fungsi fisik namun juga fungsi psikologi, salah satunya adalah
komplikasi dari organ ginjal yang sering dikenal sebagaiLupus Nefritis.
Lupus Nefritis (LN) adalah komplikasi ginjal dan salah satu manifestasi
paling serius pada penderita LES. Biasanya LN muncul dalam 5 tahun setelah
diagnosis LES. Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, dibuktikan pada
biopsi dan otopsi ginjal. Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada
pasien LES berkisar antara 60 % pada studi-studi yang sudah dipublikasikan.
Prevalensi sesungguhnya dari lupus nefritis klinis pada pasien LSE kemungkinan
sekitar 25%-50%, lebih sering pada anak-anak dan etnis tertentu. LES lebih sering
ditemukan pada orang kulit hitam dan ras hispanik, namun LN yang berat lebih
sering ditemukan pada orang kulit hitam dan ras Asia dibanding ras lainnya.
Meskipun insiden dan prevalensi LES lebih tinggi pada wanita (rasio wanita : pria
= 9 : 1), namun pria dengan dengan LES mempunyai insiden yang sama dengan
wanita untuk terjadinya LN. Perjalanan klinis LN sangat bervariasi dan hasil
pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kecepatan menegakkan
diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal, saat mulai
pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai.
Selama 4 dekade terakhir, perubahan dari manajemen LN telah
meningkatkan kemungkinan hidup pasien, saat ini rata-rata 10 year survival rate
telah melebih 90%. Morbiditas dari LN terkait dengan penyakit ginjalnya sendiri,

1
selain karena komplikasi pengobatan dan komorbiditas seperti penyakit
kardiovaskular dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat berakhir pada anemia,
uremia dan gangguan asam-basa serta elektrolit. Komplikasi infeksi yang terkait
LES aktif dan pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab utama
kematian pada LES fase awal yang aktif, dan arteriosklerosis dini adalah
penyebab kunci mortalitas pada fase lanjut. Perbedaan presentasi klinis dan
histologi serta kendali komplikasi pengobatan yang kompleks dari pasien LES
menuntut adanya suatu pendekatan individualisasi terapi yang tepat. Saat ini pun,
sedang berlangsung banyak penelitian pada obat-obatan yang mungkin dapat
menjadi harapan baru bagi LES seperti mycophenolate dan rituximab. Referat ini
akan membahas mengenai seputar penyakit autoimun LES dan juga salah satu
dari komplikasi LES yaitu lupus nefritis.

2
BAB II

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

2.1 DEFINISI

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang


ditandai dengan adanya inflamasi yang tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Peristiwa
imunologi yang tepat yang memicu timbulnya manifestasi klinis LES belum
diketahui secara pasti. Berbagai sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi seperti
TGF-, IL-10, BAFF, IL-6, IFN-, IFN-, IL-17, dan IL-23 memainkan peran
patogenik yang penting.1

2.2 EPIDEMIOLOGI

Angka prevalensi penyakit LES di Amerika Serikat berkisar antara


51/100.000. Insiden penyakit LES telah meningkat sekitar 3x lipat pada 40 tahun
terakhir karena meningkatnya kualitas diagnosis. Data prevalensi LES di
Indonesia sampai saat ini belum ada, jumlah penderita LES di Indonesia menurut
Yayasan Lupus Indonesia (YLI) sampai dengan tahun 2005 diperkirakan
mencapai 5000 orang. LES telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di
dunia. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti orang berkulit hitam
dan ras Asia. Di Amerika Serikat, angka penderita LES wanita berkulit hitam 3-4
kali lebih banyak dibandingkan wanita berkulit putih. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES dapat ditemukan pada
seluruh usia, namun paling banyak ditemukan pada usia 16-55 tahun. 65 % dari
angka seluruh penderita pasien memiliki onset di antara usia 15 hingga 55 tahun,
20% terjadi pada usia di bawah 16 tahun, dan 15% terjadi pada usia di atas 55
tahun. Umumnya penyakit LES lebih banyak menyerang wanita dibandingkan
laki-laki dengan rasio wanita banding pria adalah 9:1.2

3
2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga


melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara faktor genetik,
hormonal, sistem endokrin dan lingkungan. Interaksi antara jenis kelamin, status
hormonal, dan aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi
kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam mekanisme
pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks
imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit LES.
Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik, T-Cell Helper yang
berlebihan gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T-Helper 1 ke
T-Helper 2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi
patogenik. Respons imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi
Ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga
menyebabkan disregulasi sistem imun.1,3
Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktorial
seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons
imun. Faktor genetik memegang peranan penting pada banyaknya penderita LES
dengan risiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama
gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen
respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen-komponen yang berperan
dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah
terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode
reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.3
Studi lain mengenai faktor Genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan
HLA (Human Leukocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
(Major Histocompability Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita LES (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti
C2, C4, atau C1q. Kekurangan komplemen tersebut dapat merusak pelepasan
sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal

4
membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan
respon imun.3,4,5

HLA genes
DR2, DR3 (relative risk 2–5)
DR2, DR3, DR7, DQw1, DQw2, DQA1, DQB1, B8 (anti-Ro)
DR3, DR8, DRw12 (anti-La)
DR3, DQw2, DQA1, DQB1, B8 (anti-Ro and anti-La)
DR2, DR3, DR7, DQB1 (anti-DNA)
DR2, DR4, DQw5, DQw8, DQA1, DQB1
(anti-U1 ribonuclear protein)
DR2, DR4, DR7, DQw6, B61 (anti-Sm)
DR4, DR7, DQ6, DQ7, DQw7, DQw8, DQw9
(anticardiolipin or lupus anticoagulant)
Complement genes (C2, C4, C1q)
Non-HLA genes
Mannose binding lectin polymorphisms
Tumour necrosis factor α
T cell receptor
Interleukin 6
CR1
Immunoglobulin Gm and Km
FcγRIIA (IgG Fc receptor)
FcγRIIIA (IgG Fc receptor)
PARP (poly-ADP ribose polymerase)
Heat shock protein 70
Humhr 300

Tabel 1. Gen-gen yang terlibat dalam Perkembangan Lupus Eritomatosus


Sistemik

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita LES, seperti


radiasi UV, tembakau, obat-obatan, dan infeksi virus. Sinar UV mengarah pada
self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu, sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita LES,
dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko tinggi
terkena LES, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu

5
amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi
pada penderita LES. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan
apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius
terutama virus dapat ditemukan pada penderita LES. Virus rubella,
sitomegalovirus dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.1
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis LES yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Auto antibodi
pada LES kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-
DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit,
trombosit dan fosfolipid. Auto antibodi terlibat dalam pembentukan kompleks
imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi
pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.4

6
Gambar 1. Patogenesis dari penyakit Lupus Eritomatosus Sistemik (LES)
Faktor keempat adalah gangguan di Aksis Hypothalamo-Pituitary-
Adrenal. Aksis HPA adalah komponen utama dari sistem stress. Stress memicu
peningkatan konsentrasi glukokortikoid serum yang merupakan komponen sangat
penting dalam pencegahan autoreaktif atau respons imun yang tidak terkendali,
dimana kedua hali ini akan mengakibatkan self injury dan autoimuntias. Aksis
HPA yang tidak normal berpengaruh terhadap kepekaan gangguan autoimun.
Penelitian fungsi aksis HPA pada penderita LES masih terbatas dan sering
dirancukan oleh pengaruh terapi steroid. Disregulasi aksis HPA mungkin
berpengaruh terhadap kepekaan dan progresi penyakit.4,5
Gangguan imunologis utama pada penderita LES adalah produksi
autoantibodi. Antibodi antinukelar (ANA) adalah antibodi yang paling banyak
ditemukan pada penderita LES (lebih dari 95%). Anti-double stranded DNA (anti
ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk LES,
sehingga dimasukkan ke dalam kriteria klasifikasi dari LES.1
Secara kesimpulan, patogenesis LES berhubungan dengan ditemukannya
disfungsi imun seperti adanya pembentukan autoantibodi, gangguan respons
imun, defisiensi dan aktivasi berlebihan dari komplemen-komplemen yang
mengakibatkan kerusakan organ, dan terdapat gangguan regulasi imun seperti
adanya gangguan fungsi fagositosis sel-sel apoptosis. Pada pasien penderita LES,
peran apoptosis dan/atau pembersihan material apoptosis terganggu. Apoptosis
menginduksi modified nuklear autoantigen yang akan merangsang sistem imun
dan dikenali sebagai antigen non-self yang mampu mencetuskan signal yang
berbahaya.5,6

Antigen spesifik Prevalensi (%) Efek klinik utama


Anti-dsDNA 70-80 Gangguan ginjal, kulit
Nukelosum 60-90 Gangguan ginjal, kulit
Ro 30-40 Gangguan kulit, ginjal, gangguan
jantung fetus
La 15-20 Gangguan jantung fetus
Sm 10-30 Gangguan ginjal

7
Reseptor NMDA 33-50 Gangguan otak
Fosfolipid 20-30 Trombosis, abortus
-Actinin 20 Gangguan ginjal
C1q 40-50 Gangguan ginjal
Tabel 2. Autoantibodi Patogenik pada LES

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi Umum
Manifestasi klinis LES sangat bervariasi tergantung sistem organ mana
yang terlibat misalnya dari kulit, membrana mukosa, senid, ginjal, otak, paru,
jantung, gastrointestinal, hematologik dan lain-lainnya. Pada kelainan autoimun
yang bersifat sistemik biasanya dijumpai kelainan seperti : cepat lelah, nafsu
makan menurun, demam dan menurunnya berat badan.1
Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute
Cutaneous Lupus Erythemathosus (SCLE), alopecia. Selain itu dapat pula berupa
lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia,
fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih
perak. Pada kelainan kulit yang bersifat akut akan timbul rash atau ruam setelah
terpapar sinar matahari dan ruam akan berkurang sampai menghilang setelah
paparan sinar matahari dihindari.1,4,7
Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia) dan nyeri sendi (atralgia). Seringkali
pada penderita LES yang berat yang mengenai sendi tangan dikenal sebagai
(Jaccoud artropati) dengan gambaran kliniknya yang mirip dengan artritis
reumatoid seperti adanya swan neck-deformity. 1,4,7
Manifestasi Paru
Pleuritis merupakan manifestasi LES yang tersering pada paru berkisar
antara 41-56%. Keluhannya berupa nyeri dada pada pinggir kostoprenikus, dan
seringkali diikuti dengan batuk, sesak napas dan demam serta umumnya akan

8
berkembang menjadi efusi pleura. Manifestasi lainnya seerti pneumonitis,
perdarahan paru, emboli paru, dan hipertensi pulmonal. 1,4,7
Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis, efusi perikardial sampai penebalan perikardial, dan
miokarditis. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, dan gambaran silhouette sign pada foto thorax. 1,4,7
Manifestasi Gastrointestinal dan Hepar
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak
didapatkan adanya kelainan pada esofagus. Dispepsia dan nyeri abdominal juga
sering dijumpai. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai
pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun alkali-
fosfatase. 1,4,7
Manifestasi Hemopoietik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan. Sering ditemukan
anemia, trombositopenia, limfopenia, dan leukopenia. 1,4,7
Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran
klinis yang begitu luas. Diagnosis leboh banyak didasari pada temuan klinis
dengan disingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi
berat. Manifestasi neuropsikiatrik LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
psikosis, depresi, cemas, neuropati perifer hingga kejang. Analisis cairan
serebrospinal, EEG, dan CT-scan umumnya tidak menggambarkan adanya
kelainan. 1,4,7
Manifestasi Ginjal
Lupus Nefritis. Akan dijelaskan pada bab berikutnya.

2.5 DIAGNOSIS

9
Karena banyaknya manifestasi klinik dari penyakit LES yang sangat
bervariasi, maka terkadang sulit untuk mendiagnosa penyakit LES. Terdapat salah
satu kriteria klasifikasi dari American College of Rheumatology (ACR) tahun
1997 yang sering digunakan untuk mendiagnosis LES. Bila dijumpai 4 atau lebih
kriteria tersebut, diagnosis LES memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengataman klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka
panjang diperlukan.7,11
Kriteria Definisi
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serositis a. Pleuritis. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura. Atau
b. Perikarditis. Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perkaridum
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

10
neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit). Atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan a. Anemia Hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologik b. Leukopenia <4.000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau
lebih. Atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau
lebih. Atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan.
Gangguan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer
imunologik yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosolipid yang
didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponema
Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
antinuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
positif (ANA) pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat
Tabel 2. Kriteria Diagnosis American College of Rheumatology (ACR), 1997

11
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring :
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, Laju Endap Darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (Ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindrom antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti –dsDNA, komplemen (C3, C4)
6. Foto polos thorax
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA. Tes ANA dikerjakan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain
yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infkesi kronis
(Tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD), reumatoid atritis, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal.

12
Gambar 2. Skema alur diagnosis penyakit Lupus Eritematosus Sistemik

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Beberapa tes lain yang perlu
dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear
spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-
Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA. Antibodi anti-dsDNA merupakan
tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifisitasnya
hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis
LES dibandingkan dengan titer yang rendah.7,8

2.6 TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN


PADA LES

Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi,


memerlukan pemantauan yang ketat akan aktifitas penyakitnya. Evaluasi penyakit
ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Terdapat beberapa indeks
untuk menilai akitifitas penyakit LES antara lain menggunakan ECLAM
(European Consensus Lupus Activity Measurement); LAI (Lupus Activity Index);
SLAM (Systemic Lupus Activity Measure); BILAG (British Isles Lupus
Assessment Group); dan SLEDAI (Systemic Lupus Erythematosus Disease
Activity Index). Ketiga indeks penilaian terakhir terbukti valid dan memiliki
korelasi yang sangat kuat terhadap aktifitas penyakit.
Indeks ECLAM menilai aktifitas penyakit dari bulan sebelumnya dan terdiri
dari 15 parameter klinik dan laboratorium. ECLAM ini telah dievaluasi di
beberapa penelitian dan terbukti valid dan sensitif untuk mendeteksi perubahan
aktifitas penyakit dan memiliki korelasi yang baik dengan indeks penilaian
lainnya. Indeks LAI terdiri dari empat nilai untuk mengevaluasi penyakit secara
umum, berat-ringannya aktifitas penyakit, hasil laboratorium, serta dapat
mengevaluasi pengobatan imunosupresif. Skor nya yaitu dari skala 0-3.

13
Indeks BILAG juga dapat menilai aktifitas penyakit LES. Indeks ini
menilai 8 sistem organ dan tidak menggunakan jumlah nilai seperti pada indeks
penilaian aktifitas penyakit LES lainnnya. BILAG A menggambarkan satu atau
lebih karakteristik LES berat, BILAG B berarti memiliki aktifitas penyakit
sedang, kemudian BILAG C memiliki aktifitas penyakit ringan, BILAG D hanya
menggambarkan aktifitas penyakit sebelumnya dan bukan karena aktifitas lupus
yang aktif, dan BILAG E menunjukkan tidak ada sistem yang terlibat.
Terdapat beberapa modifikasi dari SLEDAI yaitu SLEDAI-2K dan MEX-
SLEDAI (Mexican SLE Disease Activity Index). Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan MEX-SLEDAI untuk mengetahui aktifitas penyakit LES karena
menurut penelitian pada tahun 2011 menunjukkan bahwa MEX-SLEDAI
memiliki validitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan BILAG dan SLAM.
Selain itu, MEX-SLEDAI tidak memerlukan biaya yang mahal dan mudah
digunakan.
Aktifitas penyakit LES digambarkan sebagai 10 variabel klinik utama
yaitu berupa gangguan neurologi, gangguan ginjal, vaskulitis, hemolisis, miositis,
artritis, gangguan muskulokutan, serositis, demam dan kelelahan, leukopenia dan
limfopenia. Pasien yang memiliki skor < 2 memiliki aktifitas penyakit LES ringan
sementara skor 2-5 memiliki aktifitas penyakit LES sedang, dan pasien yang
memiliki skor > 5 memiliki aktifitas penyakit LES berat.9
Berikut adalah skor MEX-SLEDAI dan SLICC/ACR
Gangguan Neurologi (8)
Psikosa: angguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal
dikarenakan gangguan persepsi realitas. Termasuk: halusinasi, inkoheren,
kehilangan berasosiasi, isi pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak logis,
bizzare, disorganisasi atau bertingkah laku kataton.
Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
Sindrom otak organik: Keadaan berubahnya fungsi mental yang ditandai
dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi intelektual lainnya dengan
onset yang cepat, gambaran klinis yang berfluktuasi. Seperti : a) kesadaran
yang berkabut dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran dan
ketidakmampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan, disertai dengan

14
sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi; berbicara melantur; insomnia atau
perasaan mengantuk sepanjang hari; meningkat atau menurunnya aktfitas
psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau penggunaan obat.
Mononeuritis: Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih saraf
kranial atau perifer.
Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB dengan onset
yang baru. Eksklusi penyebab lainnya
Gangguan Ginjal (6)
Cast, Heme granular atau sel darah merah.
Haematuria: >5 /lpb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi) Proteinuria:
Onset baru, >0.5g/l pada random spesimen.
Peningkatan kreatinin: > 5 mg/dl.
Vaskulitis (4)
Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual, Splinter
Haemorrhages.
Hemolisis (3)
Hb<12.0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%.
Trombositopeni
Trombositopeni : < 100.000. Bukan disebabkan oleh obat
Miositis (3)
Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan dengan
peningkatan CPK
Artritis (2)
Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi.
Gangguan Muskulokutaneus (2)
Ruam malar: Onset baru atau malar eritema yang menonjol.
Mucous ulcer: Oral atau nasofaringeal ulserasi dengan onset baru atau berulang
Abnormal Alopenia: Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau mudahnya
rambut rontok
Serositis (2)
Pleuritis: Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi
Perikarditis: Terdapatnya nyeri perikardial atau terdengarnya rub. Peritonitis:

15
Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound tenderness (Eksklusi
penyakit intra-abdominal).
Demam (1)
Demam > 38 ̊ C sesudah eksklusi infeksi.
Fatigue
Fatigue yang tidak dapat dijelaskan.
Leukopenia (1)
Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat.
Limfopenia
Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat.
Tabel 3. Skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index
(SLEDAI)

Okular (0-2)
Katarak
Atrofi n. opticus
Neuropsikiatrik (0-6)
Gangguan kognitif
Bangkitan > 6 bulan
Trauma pembuluh darah otak (skor 2 jika > 1)
Cranial/periferal neuropati
Myelitis transversa
Ginjal (0-3)
LFG < 50%
Proteinuria ≥3,5 gm/24jam atau
Gagal ginjal stadium terminal
Paru (0-5)
Hipertensi pulmonar
Fibrosis pulmonar (pemeriksaan fisik dan radiografi)
Shrinking lung (pemeriksaan radiografi) Pleural fibrosis (pemeriksaan
radiografi)
Infark pulmonar (pemeriksaan radiografi)

16
Kardiovaskular (0-6)
Angina atau bypass a.coronaria
Pernah mengalami infark miokard (skor 2 jika > 1)
Kardiomiopati (disfungsi ventrikular)
Gangguan katup (diastolik, murmur, atau murmur sistolik >3/6) Perikarditis (6
bulan) atau perikardiektomi
Pembuluh darah perifer (0-5)
Rasa gatal atau nyeri kram (menetap selama 6 bulan)
Kehilangan jaringan
Kehilangan anggota tubuh (skor 2 jika >1)
Trombosis vena dengan pembengkakan, ulkus, atau statis vena
Gastrointestinal (0-6)
Infark atau reseksi dibawah duodenum, lien, liver, vesika urinaria (skor 2 jika
>1)
Insufisiensi mesenterika
Peritonitis kronik
Striktur esofagus atau pernah menjalani operasi saluran pencernaan atas
Muskuloskeletal (0-7)
Atrofi atau kelamahan otot
Deformitas atau artritis erosive
Osteoporosis dengan fraktur atau kolaps vertebra
Nekrosis avaskular (skor 2 jika >1)
Osteomielitis
Kulit (0-3)
Jaringan parut, kerontokan rambut yang kronik
Jaringan parut yang luas
Ulkus di kulit (tidak termasuk trombosis) >6 bulan
Premature gonadal failure (0-1)
Diabetes (0-1)
Keganasan (tidak termasuk displasia) (skor 2 jika >1)
Tabel 4. Skor Systemic Lupus International Collaborating Clinics/American
College of Rheumatology (SLICC/ACR)

17
2.7 TATALAKSANA

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama


menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan, sedang, dan berat atau
mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah :
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
4. LES dengan manifestasi artritis dan kulit
Kriteria untuk dikatakan LES sedang adalah :
1. Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (rombosit 20.000-50.000/mm3)
3. Serositis mayor
Kriteria untuk dikatakan LES berat atau mengancam nyawa adalah :
1. Jantung: Endokarditis, vaskulitis arteria koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna
2. Paru-paru: Hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstitial, shrinking lung
3. Gastrointestinal: Pankreatitis, vaskulitis mesenterika
4. Ginjal: Nefritis proliferatif dan atau membranous
5. Kulit: Vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi: Kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindrom
demielinasi

18
7. Hematologi: Anemia hemolitik, nuetropenia (leukosit <1.000mm3),
trombositopenia <20.000mm3, purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri
Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitiasnya. Pasien memerlukan pengetahuan kan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (UV) dengan memakai tabir surya,
payung atau topi, melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan
bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan
berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat
pemakaian obat-obatan.1

Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik

Pengobatan LES Ringan

19
Obat-obatan :
 Penghilang nyeri seperti Paracetamol 3x500mg
 NSAID, sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri
 Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam
 Klorokuin basa 4mg/kg BB/ hari (250-500mg/hari) dengan catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5-6,5mg/kg BB/hari (200-400mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan
 Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison <10mg/hari.
 Gunakan tabir surya.
Pengobatan LES sedang dan berat dapati dilihat algoritme penatalaksanaan di atas
(Gambar 3)

Sistem Efek Samping


Skeletal Osteoporosis, osteonekrosis, miopati
Gastrointestinal Penyakit ulkus peptikum, panrkreatitis, perlemakan hati
Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas tipe lambat
Kardiovaskular Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis,
aritmia
Okular Glaucoma dan katarak
Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu,
jerawat, buffalo hump, hirsutism
Endokrin Penampilan cushingoid, diabetes mellitus, perubahan
metabolisme lipid, perubahan nafsu makan dan meningkatnya
berat bada, gangguan elektrolit, supresi HPA aksis, supresi
hormon gonad
Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif
Tabel 5. Efek Samping yang Sering Ditemui pada Pemakaian Kortikosteroid

2.8 PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien

20
dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat
kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini,
tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi
90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah
sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia
dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka
kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang
terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan
dalam perawatan medis umum.3,4
Infeksi, penyakit jantung kroner, dan osteoporosis sering menjadi alasan
penderita LES datang berobat. Infeksi menyumbang sebesar 20-55% kasus
kematian pada penderita LES. Mudah nya terkena infeksi dikarenakan adanya
gangguan disfungsi dari imun dan pemakaian obat kortikosteroid dan obat
pensupresi imun yang berkepanjangan. Selain itu, pasien dengan LES juga
memiliki peningkatan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar 2.3-7.5
kali. Adanya antibodi protrombotik antifosfolipid yang bersirkulasi, antibodi yang
mengganggu fungsi HDL, dan dislipidemia yang khas pada LES (rendah HDL,
tinggi trigliserida, rendah atau normalnya LDL) meningkatkan faktor resiko
terjadinya ateroskleoris yang mengakibatkan penyakit jantung koroner.
Osteoporosis juga sering ditemukan pada penderita LES khususnya
perempuan, karena adanya menopause dini, defisiensi vitamin D karena perlunya
menghindari sinar matahari, dan pemakaian kortikosteroid yang berkepanjangan
dapat meningkatkan foaktor resiko terjadinya osteoporosis.5

21
BAB III
LUPUS NEFRITIS

3.1 DEFINISI

Lupus Nefritis adalah komplikasi ginjal pada Lupus Eritomatosus


Sistemik (LES). Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan
pada biopsi dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami
komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan ginjal hanya
didapatkan pada 25-50% kasus.1

3.2 EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, hampir 35% pasien dewasa dengan penyakit LES


memiliki bukti klinis terjadinya nefritis pada waktu terdiagnosa LES.
Diperkirakan 50-60% penderita LES akan terjadi nefritis pada 10 tahun pertama.
Prevalensi terjadinya Lupus Nefritis (LN) lebih tinggi secara signifikan pada
penderita ras Afrika Amerika dan Hispanik dibanding ras kulit putih. Selain itu,
penderita LES pria juga cenderung lebih tinggi untuk terjadi LN dibanding
wanita. Kerusakan ginjal lebih mudah terjadi pada ras non-kulit putih. Rata-rata
angka kelangsungan hidup pasien penderita LES sekitar 95% pada 5 tahun
pertama setelah terdiagnosa dan 92% pada 10 tahun berikutnya setelah
terdiagnosa. Adanya LN menurunkan secara signifikan angka kelangsungan hidup
menjadi 88% pada 10 tahun setelah terdiagnosa, dengan angka yang jauh lebih
rendah pada ras Afrika Amerika.10

22
3.3 ETIOPATOGENESIS

Patogenesis timbulnya LES diawali oleh adanya interaksi antara faktor


predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor
sistem neuroendokrin. Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan
mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan aktivitas
sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi. Sebagian dari auto-
antibodi ini akan membentuk komplek imun bersama nukleosum (DNA-histon),
kromatin, C1q, laminin, Ro(SS-A), ubiquitin, dan ribosom; yang kemudian akan
membentuk deposit sehingga terjadi kerusakan jaringan.10,11,12
Keterlibatan antibodi anti-DNA pada LN didukung oleh adanya bukti-
bukti adanya observasi klinis pada sebagian besar pasien menunjukkan bahwa
nefritis aktif berhubungan dengan peningkatan titer anti-DNA dan penurunan total
komplemen hemolitik. Selain itu antibodi anti-DNA juga lebih suka mengendap
di dalam ginjal, sehingga diduga bahwa kompleks imun DNA-antibodi anti-DNA
merupakan mediator inflamasi yang utama. Gambaran klinis kerusakan
glomerulus dihubungkan dengan lokasi terbentuknya deposit kompleks imun.
Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal terhadap membran
basalis gromerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit
pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya akan
membentuk kemoatraktan C3a dan C5a, yang menyebabkan terjadinya influks sel
neutrofil dan mononuklear.13,14
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis
memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus yang
secara klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit,
leukosit, silinder sel dan granular), proteinuria, dan sering disertai penurunan
fungsi ginjal.
Sedangkan deposit pada subepitelial juga akan mengaktifkan komplemen,
tapi tidak terjadi influks sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh
membran basalis glomerulus dari sirkulasi. Sehingga jejas hanya terbatas pada
sel-sel epitel glomerulus. Secara histopatologi memberikan gambaran nefropati
membranosa, dan secara klinis hanya didapatkan proteinuria. 13,14

23
Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik
dari antigen dan antibodi:1,13,14
 Kompleks imun yang besar atau antigen yang anionik, yang tidak dapat
melewati sawar dinding kapiler glomerulus yang juga bersifat anionik, akan
diendapkan dalam mesangium dan subendotel. Banyaknya deposit imun ini
akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang gejala penyakit yang
ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala yang lebih berat
(proliferal fokal atau difus).
 Hal lain yang menentukan tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan
dengan muatan antibodi dan daerah tempat beriatan dengan antigen. Antibodi
dapat berikatan dengan antigen pada berbagai tempat di dinding kapiler
sehingga menimbulkan manifestasi histologis dan klinis
yang berbeda.

Gambar 4. Patogenesis dari Lupus Nefritis

3.4 MANIFESTASI KLINIS

24
Seperti telah disebutkan sebelumnya, LN adalah komplikasi ginjal pada
LES. Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan kriteria ACR pada tahun 1997.
Ditemukannya 4 dari 11 kriteria.
1. Malar Rash
2. Discoid Rash
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mulut
5. Artritis nonerosif
6. Pleuroperikarditis
7. Gangguan ginjal
8. Kelainan susunan saraf pusat seperti psikosis dan kejang
9. Gangguan hematologik seperti anemia hemolitik, leukopenia, limfopeni,
dan trombositopeni
10. Petanda imunologik seperti antibodi anti-DNA, anti-Sm, dan antifosfolipid
11. Antibodi anti-nuklear (ANA) positif
Manifestasi kelainan ginjal berupa proteinuria yang didapatkan pada
seluruh pasien, sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik
pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50%
pasien, penurunan fungsi ginjal pada40-80% pasien dan penurunan fungsi ginjal
yang cepat pada 30% pasien.1,13,14
Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat
dan perjalanan penyakitnya. Beberapa prediktor yang ditemukan pada saat pasien
diketahui menderita LN dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal antara lain
ras kulit hitam dan Hispanik, hematokrit < 26%, kreatinin serum > 2.4 mg/dl,
kadar C3 < 76 mg/dl, dan LN kelas IV.
Pada pemeriksaan fisik, umumnya dapat ditemukan tanda-tanda seperti
xanthelasma, ruam pada kulit, purpura, serta tanda menurunnya fungsi ginjal
seperti edema, clubbing finger dan hipertensi. Auskultasi abnormal dapat
terdengar di jantung dan paru yang menandakan overload cairan.13,14

Lupus Sindrom Gangguan


Proteinuria Hematuria Hipertensi
Nefritis Nefrotik Fungsi

25
Ginjal
Kelas I 1 gr/ 24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
1-3 gr/24
Kelas II Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
jam
>3 gr/ 24
Kelas III Ada Ada Ada  kreatinin
jam
>3 gr/ 24
Kelas IV Sering Sering Sering  kreatinin
jam
>3 gr / 24 Normal atau
Kelas V Ya/Tidak Ya/tidak Sering
jam  kreatinin
Kelas VI 1 gr/ 24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Ya/Tidak  lambat
Tabel 6. Manifestasi Klinis Berdasarkan gambaran Histopatologi
3.5 DIAGNOSIS

Adanya hematuria, proteinuria, atau sedimen urin yang patologik pada


pemeriksaan urinalisa, menunjukkan terdapatnya nya LN.
Diagnosis klinis LN ditegakkan apabila pada pasien LES didapatkan:
 Proteinuria 500mg/24 jam dengan/atau
 Hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan/atau
 Penurunan fungsi ginjal sampai 30%.
Proteinuria umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah protein
secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih
praktis dan sekarang mulai banyak dilakukan ialah dengan mengukur rasio protein
dengan kreatinin pada sampel urin sewaktu. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan,
dan terutama diperiksa untuk menilai perubahan jumlah protein urin setelah
dilakukan pengobatan.12,14
Beberapa tes serologik yang biasa diperiksa pada pasien LN adalah:
 Tes ANA
Tes ANA sangat sensitif untuk penyakit LES, dan peningkatan titer
antibodi anitnuklear (ANA) menjadi 1:40 atau lebih tinggi adahal yang
paling sensitif dari kriteria ACR. Lebih dari 90% pasien dengan LES
memiliki peningkatan titer ANA pada titik tertentu, walaupun sejumlah
besar pasien mungkin titernya negatif pada fase awal penyakit.

26
Bagaimanapun tes ANA tidak spesifik untuk LES. Penyakit lain yang
sering terkait dengan uji ANA positif termasuk sindrom Sjogren (68% dari
pasien), skleroderma (40-75% pasien), artritis reumatoid (25-50%),
polimiositis dan infeksi HIV. Pada pasien dengan penyakit selain LES,
titer ANA umumnya cenderung lebih rendah dan pola
imunofluoresensinya berbeda. Titer ANA tidak memunyai korelasi yang
baik dengan berat kelainan ginjal pada LES.
 Tes anti ds DNA (anti double-stranded DNA)
Tes anti ds DNA lebih spesifik, tetapi kurang sensitif untuk LES. Tes ini
positif pada kira-kira 75% pasien LES aktif yang belum diobati. Dapat
diperiksa dengan teknik Radioimmunoassay Farr atau teknik ELISA
(Enzyme-linked immunosorbent assay). Anti ds DNA mempunya korelasi
yang baik dengan adanya kelainan ginjal.
 Antibodi anti-ribonuklear (anti-Sm dan anti-nRNP)
Antibodi anti-Sm sangat spesifik untuk LES. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa antibodi anti-Sm mempunyai hubungan dengan
peningkatan insiden penyakit ginjal dan susunan saraf pusat serta
menunjukkan prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada
35% pasien LES, juga pada penyakit-penyakit reumatologik terutama
jaringan ikat.
 Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif LES, terutama pada LN
tipe proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal
sebelum gejala lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen
dihubungkan dengan perbaikan LN. Defisiensi komplemen lain seperti C1r,
C1s, C2, C3a, C5a dan C8 juga didapatkan pada LES. Kadar komplemen total
kemungkinan tetap dibawah normal meskipun penyakit dalam keadaan inaktif.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi aktivitas
penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis
dan terapi yang tepat. Seluruh pasien LN harus menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopenia berat, reaksi penolakan terhadap

27
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tidak tersedianya
dokter ahli dibidang biopsi ginjal.

3.6 KLASIFIKASI

Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi


mempunyai nilai yang sangat penting. Gambaran histopatologi yang didapatkan
mempunyai hubungan dengan gejala klinis yang ditemukan dan juga menentukan
pilihan pengobatan yang akan diberikan. Karena itu biopsi ginjal harus dilakukan
bila tidak ditemukan kontraindikasi.15

Pada tahun 2003, The International Society of Nephrology/Renal Pathology


Society membuat klasifikasi sebagai berikut :
Kelas I Nefritis lupus mesangial minimal
Glomeruli Normal pada MC, tapi didapatkan deposit imun
dengan pemeriksaan IF
Kelas II  Nefritis lupus mesangial proliferatif
 Hiperselularitas mesangial dari berbagai tingkat atau
didapatkan ekspansi matriks mesangial pada MC, disertai
deposit imun mesangial
 Sedikit deposit subepitel atau subendotel yang terisolasi yang
dapat dilihat dengan IF atau ME, tapi tidak terlihat dengan
MC
Kelas III Nefritis lupus lokal
Fokal aktif atau inaktif, GN endo atau ekstra kapiler segmental
atau global, meliputi <50% dari seluruh glomeruli, tipikal
dengan deposit imun subendotel fokal, dengan atau tanpa
perubahan mesangial
III (A) Lesi aktif: nefritis lupus proliferatif lokal

28
III (A)/C Lesi aktif dan kronis: nefritis lupus proliferatif fokal dan
sklerosis
III (C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars) glomerular:
nefritis lupus fokal sklerosis
Kelas IV Nefritis lupus difus
Difus aktif atau inaktif, GN endo atau ekstrakapiler segmental
atau global, meliputi 50% dari seluruh glomeruli, tipikal dengan
deposit imun subendotel difus, dengan atau tanpa perubahan
mesangial. Kelas ini dibagi dalam nefritis lupus segmental difus
(IV-S) dimana 50% glomeruli mempunya lesi segmental dan
nefritis lupus global difus (IV-G) dimana 50% glomeruli
mempunyai lesi global. Segmental: bila lesi glomerulus meliputi
<50% glomerulus tuft.
IV-S (A) Lesi aktif: nefritis lupus proliferatif segmental difus
IV-G (A) Lesi aktif: nefritis lupus proliferatif global difus
IV-S (A/C) Lesi aktif dan kronis: nefritis lupus proliferatif dan sklerosis
segmental difus
IV-G (A/C) Lesi aktif dan kronis: nefritis lupus proliferatif dan sklerosis
global difus
IV-S (C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars): nefritis lupus
sklerosis segmental difus
IV-G (C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars): nefritis lupus
sklerosis global difus
Kelas V Nefritis lupus membranosa
Deposit imun subepitel global atau segmental atau sequelae
morfologi pada pemeriksan MC, IF, dan ME dengan atau tanpa
perubahan mesangial
LN kelas V dapat terjadi dengan kombinasi dengan kelas III atau
IV
LN kelas V dapat menunjukkan sklerosis lanjut
Kelas VI Nefritis lupus sklerotik lanjut
90% glomeruli menunjukkan sklerosis global tanpa aktivitas

29
sisa
Tabel 7. Klasifikiasi Lupus Nefritis berdasarkan The International Society of
Nephrology/Renal Pathology Society

3.7 TATALAKSANA

Pada Lupus Nefritis (LN), sebaiknya pengobatan diberikan setelah


didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi ginjal. Pilihan regimen
pengobatan berdasarkan gambaran histolpatologi. Prinsip dasar pengobatan ialah
menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki fungsi ginjal, atau setidaknya
mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. Perlu pula
diperhatikan efek samping obat yang timbul karena pengobatan LN memerlukan
waktu yang relatif lama.
Seluruh pasien LN harus menjalanin biopsi ginjal bila tidak terdapat
kontra indikasi (trombositopenia berat, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi)
dan tersedianya dokter ahli dibidang bipso ginjal, oleh karena terapi akan sangat
berbeda pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal
diperlukan pad apasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan
agresif diperlukan. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan rutin
terutama sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen,
anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis.
Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan
kreatinin serum harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu
untuk berubah.12,13,14
Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien
dengan riwayat glomerulonefritis adalah  120/80 mmHg. Beberapat obat
antihipertensi banyak digunakan untuk pasien LES, tetapi pemilihan ACE
inhibitor lebih diutamakan terutama untuk pasien dengan proteinuria menetap.
Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan LN
aktif. Bila diperlukan loopd diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan
mengontrol hipertensi bila dengan monitor elektrolit.1

30
Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga harus
dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi menurut
Guidelines American Heary Association (AHA) adalah kolesterol serum <180
md/dL, risiko kardiovaskuler pada pasien dengan LES masih meningkat pada
kolesterol serum 200mg/dL. Pasien lupus dengan hiperlipidemia yang menetap
diobati dengan obat penurun lemak seperti HMG Co-A reductase inhibitors atau
statin. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien LES juga
diperlukan karena infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES. 1
Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium, suplemen vitamin D, latihan perlu diberikan.
Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter
berikut: tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula darah,
kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan densitas
massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis. 1
Pasien dianjurkan untuk menghindari obat NSAID, karena dapat
mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta meningkatkan
risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi dikombinasi dengan kortikosteroid dan
obat imunosupresi lainnya). Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis
rendah dan dalam waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat. Kehamilan pada
pasien LN aktif harus ditunda mengingat risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu
dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal juga meningkat. 1,10,14

Pengobatan Umum pada LN :


 Restriksi protein 0.6-0.8 gram/kgBB/ hari bila sudah terdapat gangguan
ginjal
 Pemberian ACE inhibitor dan ARB untuk mengurangi proteinuria
 Mengontrol faktor-faktor risiko dan efek samping obat :
o Dislipidemia, dianjurkan pemberian statin
o Hipertensi, dengan ACE inhibitor atau ARB sebagai pilihan utama
dengan target TD < 130/80 mmHg
o Sindrom antifosfoipid, diberikan golongan aspirin

31
o Pemberian vitamin D
o Kontrol gula darah, dengan mempertahankan HbA1C <7%

Lupus Nefritis Kelas I


Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih ditujukan pada gejala-
gejala ekstrarenal.
Lupus Nefritis Kelas II
 Jika tidak disertai oleh proteinuria yang bermakna (>1gram/24 jam) dan
sedimen tidak aktif, maka tidak diperlukan pengobatan yang spesifik.
 Jika disertai dengan proteinuria yang >1gram/24 jam, titer anti ds-DNA
yang tinggi dan hematuria, diberikan prednison 0.5-1 mg/kg BB/ hari
selama 6-12 minggu. Kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (5-10mg)
tiap 1-3 minggu dan dilakukan penyesuai dosis untuk menekan aktivitas
lupus.
Nefritis Lupus Kelas III dan IV
 Terapi Induksi
Tujuan terapi induksi adalah untuk mencapai keadaan remisi aktivitas
lupus yang ditandai oleh resolusi gejala-gejala ekstra renal, manifestasi
serologik menjadi lebih baik, serta resolusi dari hematuria, kristal seluler,
dan konsentrasi kreatinin serum berkurang atau paling tidak menetap.
Obat-obat yang dipakai untuk terapi induksi adalah:
a. Pulse glukokortikoid
Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute Kidney Injury,
rapidly progressive glomerulonephritis, dan kelainan ekstra renal
yang berat), diberikan pulse metilprednisolone sebanyak 0.5-1gr
IV/hari untuk menginduksi efek anti-inflamasi yang cepat. Setelah
3 hari pemberian, dilanjutkan dengan prednison dengan dosis 0.5-1
mg/hari. Prednison diberikan bersama obat-obat imunosupresan
yang lain.
b. Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 750mg/m2 tiap bulan selama
6 bulan. Diberikan bersama prednison dengan dosis 0.5mg/kg/hari,

32
yang kemudia diturunkan perlahan-lahan sampai dosis 0.25
mg/kg/hari terutama untuk mengontrol gejala ektra renal.
c. Mikofenolat mofetil
Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, mikofenolat mofetil dipakai
untuk terapi induksi N kelas III dan IV, terutama untuk
menghindari efek samping siklofosfamid (hipoplasia gonad, dan
sistitis hemoragik). Untuk terapi induksi dosis mikofenolat mofetil
yang dianjurkan 1gr 2x sehari diberikan sampai 6 bulan.
d. Rituximab
Rituximab adalah suatu anti CD-20 yang bekerja pada limfosit B.
Digunakan untuk menginduksi remisi pada pasien LN yang berat,
yang tidak memberikan respons dengan pemberian siklofosfamid
atau MMF. Meskipun hasil beberapa penelitian tidak menunjukkan
perbedaan bermakna, tetapi masih dimungkinkan pemberian
rituximab pada pasien yang resisten, mencegah flare, dan
mengurangi jumlah atau dosis immunosupresan lain.
e. Tacrolimus + MMF atau Azatioprin + steroid
Dipakai pada pasien LN proliferatif (kelas IV) yang superimposed
dengan nefritis lupus membranosa (kelas V). Remisi yang terjadi
pada pemakaian obat ini lebih tinggi dari pada hanya memakai
siklofosfamid+steroid. Selain itu, efek samping yang terjadi juga
lebih sedikit pada pasien yang mendapat tacrolimus + MMF atau
azatioprin + steroid.
f. Obat lain
Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi adalah :
o Imunoglobulin IV
o Siklosporin
o Leflunomid
o Antibodi monoklonal
o Inhibitor komplemen
o Pemakaian oabt-obatan ini masih terbatas dan hasil
pengobatan belum jelas

33
 Terapi pemeliharaan (maintenance therapy)
Tujuan terapi pemeliharaan adalah untuk mencegah relaps dan menekan
aktivitas penyakit, mencegah progresifitas ke arah penyakit ginjal kronis
dan mencegah efek samping pengobatan yang lama.
a. Kortikosteroid tetap merupakan komponen utama dalam terapi
pemeliharaan LN, dan tidak ada studi klinis yang tidak
memakai/menggunakan steroid dalam terapi pemeliharaan. Dosis
kortikosteroid dipertahankan seminimal mungkin, yang dengan
dosis tersebut aktivitas lupus tetap terkontrol
b. Siklofosfamid, diberikan dengan dosis 0.75gram IV setiap 3 bulan
sampai 2 tahun. Saat ini pemakaian siklofosfamid >3-6 bulan
sebaiknya dihindari karena efek siklofosfamid seperti alopesia,
sistitis hemoragika, kanker kandung kencing, kerusakan gonad dan
menopause yang lebih awal.
c. Mikofenolat mofetil, dosis diberikan sebanyak 1-2 gram sehari
sekurang-kurangnya 2 tahun
d. Azatioprin, diberikan dengan dosis 2mg/kg BB/hari sekurang-
kurangnya 2 tahun. Penggunaan azatioprin selama kehamilan lebih
aman dibandingkan dengan penggunaan imunosupresan lainnya
e. Siklosporin, diberikan dengan dosis 2-2.5mg/kg BB/hari, selama 2
tahun
f. Rituximab, sebagai terapi aditif pada penggunaan dengan MMF
atau siklofosfamid IV
g. Abatacept, suatu modulator selektif sel T
h. Belimumab, suatu antibodi monoklonal yang mengikat stimulator
limfosit B soluble
i. ACTH, merupakan pilihan terpai yang potensial terutama pada
nefritis lupus kelas V

34
Gambar 5. Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis kelas III/IV
LupusNefritis kelas V
 Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran LN kelas V dengan
kelas III atau kelas IV, maka terapi diberikan sesuai untuk terapi LN kelas
III dan IV
 Pada LN kelas V diberikan prednison dengan dosis 1 mg/kg BB/hari
selama 6-12 minggu. Prednison kemudian diturunkan menjadi 10-15
mg/hari selama 1-2 tahun. Beberapa penelitian mengkombinasikan
prednison dengan siklosporin, klorambusil, azatioprin, atau mikofenolat
mofetil.

35
Gambar 6. Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis kelas V

Lupus Nefritis kelas VI


Pengobatan lebih ditujukan pada manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat
penurunan fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein,
pengobatan hipertensi, pengikat fosfor, dan vitamin D.
Perjalanan penyakit LN bervariasi antar pasien LES, bahkan pada mereka
yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif dapat menginduksi
remisi pada sebagian besar pasien dengan LN proliferatif, tetapi sebagian proporsi
dari mereka berkisar antata 27-66% pada berbagai studi akan mengalami flare.
Flare merupakan masalah karena bahaya kerusakan kumulatif yang dapat
menurunkan fungsi ginjal dan juga toksisitas akibat imunosupresi tambahan.
Terapi rumatan dengan azathioprine,mikofenolat mofetil atau pulse siklofosfamid
biasanya direkomendasikan.Flare renal dapat dikategorikan sebagai nefritik atau
nefrotik dan bisa ringanatau berat. Mayoritas pasien yang mengalami flare dapat
pulih fungsiginjalnya, bila didiagnosis dan diobati segera. Mocca dkk
mendefinisikanrenal flare sebagai peningkatan 30% dari kreatinin serum atau
peningkatan 2,0gram/hari dari proteinuria setelah terapi induksi. Pasien dengan
indeksaktivitas teinggi dan adanya karyorrhexis lebih sering mengalami
rekurensi penyakit.16
Ioannidis dkk mendefinisikan penyakit rekuren sebagai sedimen urinaktif
(8-10 RBC/lpb) atau lebih dari 500 mg proteinuria/24 jam .Tujuan pengobatan
adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosaberupa kortikosteroid dan agen
imunosupresif . Dialisis dapat dilakukan untukmengontrol gejala gagal ginjal.
Transplantasi ginjal juga direkomendasikan(pasien dengan lupus yang aktif tidak

36
boleh dilakukan transplantasi ginjal).Dosis kumulatif rata-rata dan dosis per sesi
IV, dan masa paparan terhadapSiklofosfamid IV dan Metilprednisolon dalam
pengobatan Nefritis Lupus danSindrom Nefrotik ternyata identik dalam penelitian
observasional selama 7tahun.Selama pengobatan NL harus menilai keberhasilan
terapi, beberapakriteria keberhasilan terapi : Renal remission, complete renal
remission,disease remission, renal relaps. 1,10,14,16
Kriteria renal remission :
a. Berkurangnya proteinuria  50% dan proteinuria < 3gr/24 jam
b. Hilangnya hematuria (RBC  5)
c. Hilangnya piuria (WBC  5)
d. Hilangnya celluler cast (<1)
e. Stabil (fluktuasi dalam 10% dibanding nilai awal) GFR jika serum
kreatinin awal <2mg/dL atau peningkatan  30% jika serum kreatinin awal
 2mg/dL.
Kriteria renal relaps :
a. Peningkatan proteinuria  50% dan proteinuria >1gr/24 jam
b. Hematuria (RBC >5)
c. Piuria (WBC >5)
d. Celluler cast  1
e. Penurunan GFR 30% pada dua pengukuran
Complete renal remission :
a. Proteinruia 24 jam  500mg
b. RBC  5
c. WBC  5
d. Cellueler cast < 1
e. GFR  80mL/menit/1.73. Semua kriteria tersebut paling sedikit pada dua
kali pengukuran selama satu bulan pengobatan.

3.8 PROGNOSIS

Pada Lupus Nefritis kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi
ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki

37
prognosis yang baik. LN kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan
penurunan fungsi ginjal. Pada LN kelas III yang keterlibatan glomerulus <50%
akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang
keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai
prognosis LN kelas IV yaitu buruk. LN kelas V memiliki prognosis yang cukup
baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebaian kecil akan menimbulkan
sindrom nefrotik yang berat.10,16

BAB IV
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang


kompleks, ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan
banyak sistem organ dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposit
autoantibodi dan kompleks imun sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.

38
Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga akibat adanya
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dimana faktor
ini berperan penting dalam predisposisi penyakit LES dan faktor lingkungan. LES
merupakan penyakit multisistem kronik yang lebih sering mengenai perempuan.
Manifestasi penyakit ini sangat bervariasi dan tidak bisa diprediksi, tidak hanya
mempengaruhi fungsi fisik namun juga fungsi psikologi, salah satunya adalah
komplikasi dari organ ginjal yang sering dikenal sebagaiLupus Nefritis.
Lupus Nefritis (LN) adalah komplikasi ginjal dan salah satu manifestasi
paling serius pada penderita LES. Biasanya LN muncul dalam 5 tahun setelah
diagnosis LES. Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, dibuktikan pada
biopsi dan otopsi ginjal. Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada
pasien LES berkisar antara 60 % pada studi-studi yang sudah dipublikasikan.
Kelainan histopatologi yang didapatkan dari biopsi ginjal menentukan pilihan
pengobatan. Dalam pengobatan LN, perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan
laboratorik secara berkala untuk melihat keberhasilan pengobatan. Pada
penatalaksanaan penting diperhatikan efek samping obat-obatan yan gdipakai
dalam pengobatan LN karena jangka waktu pengobatan relatif lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KW, Setiyohadi B, Syam AF.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th Ed. Interna Publishing: Jakarta, 2014.
2. Rus V, Maury EE, Hochberg MC. Epidemiology of Systemic Lupus
Erythematosus. In:Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois’ Lupus

39
Erythematosus. 7th ed. Philadelphia, PA: Lippincot Williams & Wilkins.
2007:1112-30.
3. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin
Pathol. 2003. 56:481-90.
4. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic Lupus Erythematosus:
Pathogenesis and Clinical Features. EULAR. 2012. 476-505.
5. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Eng J
Med.2008. 358:929-39
6. Ardoin SP, Pisetsky DS. Development in the scientific understanding of
lupus. Arthritis Research & Therapy. 2008. 10:218
7. Schur PH. General symptomatology and diagnosis of systemic lupus
erythematosus in adults. Letter. 2005.60:125.
8. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In: James K, Blom, eds. Lupus
Erythematosus. 12th ed. Washington, PA: Lippincot Williams and Wilkins;
2008: 849-67.
9. Diaz JR, Isenberg D, Goldman RR. Measures of Adult Systemic Lupus
Erythematosus. Arthritis Care Res. 2011. 63:1-11
10. Bevra HH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, et al.
American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment,
and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research. 2012.
64:977-808.
11. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised
criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum. 1997. 40:1725.
12. Saxena R, Mahajan T, Mohan C. Lupus nephritis: current update. Arthritis
Research & Therapy. 2011. 13:240.
13. Lech M, Anders HJ. The Pathogenesis of Lupus Nephritis. J Am Soc
Nephrol. 2013. 24:1357-66.
14. Schwartz N, Goilav B, Putterman C. The pathogenesis, diagnosis and
treatment of lupus nephritis. Curr Opin Rheumatol. 2015. 26:502-9.

40
15. Weening JJ, D’Agati VD, Schwartz MW, Seshan SV, Alpers CE, et. al.
The Classification of Glomerulonephritis in Systemic Lupus
Eryhematosus Revisited. JASN. 2004. 15:241-250
16. Appel, Gerald B, et al. Mycophenolate mofetil versus cyclophosphamide
for induction treatment of lupus nephritis. JASN. 2009. 20:1103-12.

41

You might also like