You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah

kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis adalah

inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus

sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu

pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis

akalkulus.1

Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia.

Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada.

Peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio

androgen-estrogen.2,3

Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki,

sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar

progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga

penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan,

kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut.2,3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan

nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. 1

2.2. Fisiologi dan Produksi dan Aliran Empedu

Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan

kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang

lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri

hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris

interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang

bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut

sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung

empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang

kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum

melalui ampulla Vater.4,5

Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.

2
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi

elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri

dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7%

kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi,

protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya..

Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas ± 50

ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan terjadi

peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi sebagian

besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga

terjadi penurunan pH intrasistik. 4,5

Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari

kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan

bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi ke

dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu

primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus empedu. Produksi

empedu perhari berkisar 500 – 600 mL.

2.3 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung

empedu yang berada di duktus sistikus.

2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1

3
Penyebab utama dari kolesistitis akut adalah obstruksi terus menerus dari

duktus sistikus oleh batu empedu yang mengakibatkan peradangan akut dari

kandung empedu. Pada 90 % kasus disertai dengan kolelitiasis. 1,6

Respon inflamasi di timbukan oleh berbagai faktor yakni: 1,5

1. Inflamasi Mekanik

Akibat tekanan intralumen dan regangan yang menimbulkan iskemik

mukosa dan dinding kandung empedu dapat menjadi infark dan ganggren.

2. Inflamasi kimiawi

Akibat terlepasnya lisoslesitin (karena aksi dari fosfolipase pada lesitin

dalam cairan empedu) reabsorbsi dari garam empedu,prostaglandin dan

mediator inflamasi yang lain juga terlibat. Lisolesitin bersifat toksik pada

mukosa kandung empedu.

3. Inflamasi bakterial (50-85%)

Organisme yang paling sering di kultur dari cairan kandung bempedu pasien

adalah Escherichia coli, spesies klebsiella, Streptococcus grup D, spesies

staphylococcus, dan spesies Clostridium.

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan

kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul

pada kolesistitis akut dan kronik.

4
1. Kolesistitis akut

Terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata

seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.

 Kolesistitis akut ringan (derajat 1)

Pasien dengan inflamasi ringan pada kandung empedu, tanpa disertai

disfungsi organ, dan kolesistektomi dapat dilakukan dengan aman dan

berisiko rendah. Pasien pada derajat ini tidak memenuhi kriteria untuk

kolesistitis sedang dan berat.

 Kolesistitis akut sedang (derajat 2)

Salah satu kriteria yang harus dipenuhi adalah :

a. Leukositosis

b. Massa teraba di abdomen kuadran atas

c. Keluhan berlangsung lebih dari 72 jam

d. Inflamasi lokal yang jelas (peritonitis bilier, abses perikolesistikus,

abses hepar, kolesistitis gangrenosa, kolesistitis emfisematosa)

Derajat inflamasi akut pada stadium ini meningkatkan taraf kesulitan

untuk dilakukan kolesistektomi. Operasi laparoskopi sebaiknya dilakukan

dalam waktu 96 jam setelah onset.

 Kolesistitis akut berat (derajat 3)

a. Disfungsi kardiovaskuler (hipotensi dilatasi dengan dopamin atau

dobutamin)

b. Disfungsi neurologis (penurunan kesadaran)

c. Disfungsi pernapasan (rasio PaO2/FiO2 < 300)

5
d. Disfungsi renal (oliguria, kreatitin >2mg/dL)

e. Disfungsi hepar (PT-INR > 1,5) f. Disfungsi hematologi (trombosit

2. Kolesistitis kronik

Inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat

erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal

dan tidak menonjol.1

2.5 Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis

cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab

utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus

sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus

kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut

disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan

distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun

dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang

berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan

prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh

reaksi inflamasi dan supurasi.1,2

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan

empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu

mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah

penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu

6
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap

dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis

empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia

dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau

spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis Infeksi bakteri

dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui

peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin

lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab

terbentuknya batu empedu.7

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko

terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan

trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai

persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris

lainnya dalam periode pascaoperatif. . Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih

mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat

demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam

jangka waktu lama atau pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat

nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak

mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk

mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu. 8

Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari

tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien

dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan

7
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung

empedu, sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding

kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam,

dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis

akalkulus. 9

Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan

endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang

luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang

menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap

kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.7

Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung

empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi

bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau

Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus

mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya

(sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) .2

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut

8
Peradangan kronik dinding kandung empedu hampir selalu berkaitan dengan

adanya batu empedu dan diperkirakan terjadi akibat serangan berulang kolesistitis

akut atau subakut atau akibat iritasi mekanis persisten pada dinding kandung

empedu. Bakteri ditemukan dalam empedu pada lebih dari seperempat pasien

kolesistitis kronik. 1

2.6 Pendekatan Diagnosa

1. Gejala dan Tanda Klinis

Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis

adalah:11

 Gejala dan tanda lokal

o Tanda Murphy

o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen

o Massa di kuadran kanan atas abdomen

 Gejala dan tanda sistemik

o Demam

o Leukositosis

o Peningkatan kadar CRP

 Pemeriksaan pencitraan

o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG

atau skintigrafi yang mendukung.11

9
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian

atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari

pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga

sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-

tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien menjalar

hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio

epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun

nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap

pada semua kasus kolesistitis. 11,12

Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri

bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung

empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi

subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi

terhenti (tanda Murphy). 1,4,9

Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0

mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran

empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes

mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa

mual saja . 3,

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan

dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien

dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun

sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien

10
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut

yang jelas sebelumnya.

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis13

Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis dan sangat erat

hubungannya dengan litiasis dan lebih sering timbul secara perlahan-lahan.

Diagnosis kolesistitis kronik lebih sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya

sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan

nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang

hilang seteah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan

kolik berulang, nyeri lokal di daerah kandung empedu disertai tanda Murphy

positif, dapat menyokong menegakkan diagnosa. 1

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan

atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran

kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat

yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda

Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.11,12

11
2. Pemeriksaan Laboratorium

Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan

leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien,

ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine

aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada

di duktus biliaris.2,11,12

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi

(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu.

Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu,

adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe

USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG

mencapai 90-95%.1,12

Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis10

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu

memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak

12
terlihat dengan pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat

radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan

ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan.

Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu

pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis

akut.1,3

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu

dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma

seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum,

pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. 1,4

2.8 Komplikasi

Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:

 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang

tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin

dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Empiema

kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif

dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai

perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai.

 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu

berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum

terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.

13
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan

adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil

gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp.

Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering

pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya

insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi

darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.

 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada

tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat

jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana

pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk

kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet

rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi abnormalitas elektrolit,

pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan,

cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat

diberikan:3,1

 Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada

kasus berat yang mengancam nyawa direkomendasikan

imipenem/cilastatin.

14
 Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan

metronidazol.

 Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.

 Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin

intravena.3

 Pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis

gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.1

Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat

jalan dengan syarat:

1. Tidak demam dan tanda vital stabil

2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.

3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.

4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi

imunokompromis.

5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.

6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas

medik.

7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.3

15
Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut13

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:

 Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.

 Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk

mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.

 Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.3

Tabel 2.1 Pengobatan antibiotik berdasarkan Stadium Kolesistitis

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,

apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah

16
terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus

akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,

timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan

lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan.

Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan

penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena

proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi. 1

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu

dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi

kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada

kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap

terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan

operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis

pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini

dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin

sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya

memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera (2) pasien yang diagnosis

kolesistitis akutnya masih meragukan, (3) obesitas 6

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase

perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi

transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung

empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil

17
penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan

drainase perkutaneus ini.3

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode

endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic

retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung

empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus

biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah metode

yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki

resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic gallbladder

drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien kolesistitis akut,

menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara klinis

setelah 3 hari pada 24 pasien.3

2.10 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung

empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak

jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang

menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau

peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik

yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75

tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul

komplikasi pasca bedah.1

18
BAB III

SIMPULAN

1.1 Simpulan

1. Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai

keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.

2. Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis

kalkulus dan akalkulus. Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi

kolesistitis akut dan kronik.

3. Diagnosis kriteria untuk kolesititis dapat digunakan berdasarkan Tokyo

guidelines.

4. Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak,

pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi

pembedahan berupa kolesistektomi.

5. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah

terjadinya komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema, emfisema,

perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan sepsis.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Edisi

keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.

2. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary

Colic in Emergency Medicine. [Diakses pada: 30 Mei 2017]. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.

3. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 30 Mei

2017]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-

overview.

4. Sulaiman, Ali.dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Batu empedu. Hal

161-178. Jakarta: Jaya Abadi

5. Guyton, Arthur C.2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Sekresi

Empedu oleh Hati;Fungsi dari Sistem Empedu. Hal 843-846. Jakarta : EGC

6. Isselbacher, Kurt.dkk, 2015. Harrison’s Principles of internal Medicines

edisi 19 vol.4. Penyakit Kandung Empedu Dan Duktus Bilaris. Hal 1688-

1699. Jakarta: EGC.MC-Graw Hill.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

vol 1. Edisi keempat. Jakarta: EGC, 2014.

8. Sabiston, C David. 2011. Buku Ajar Bedah. Bagian 2. Sistem Empedu. Hal 128-138.

Jakarta : EGC.

20
9. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses

pada: 30 Mei 2017]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-

overview.

10. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses

pada: 30 Mei 2017]. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.

11. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et

al. Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis

and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.

12. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment.

Cleveland Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.

13. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al.

Flowchart for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and

cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14;

2007. p. 27-34.

14. Kolesistitis akut. Dalam Irawan C, Tarigan TEJ, Marbun MB, editor.

Panduan tata laksana kegawatdaruratan di bidang ilmu penyakit dalam –

Internal medicine emergency life support/IMELS. Jakarta: Interna

Publishing. 58-62

21

You might also like