You are on page 1of 37

REFRAT

ALUR DIAGNOSIS ULKUS GENITAL

Pembimbing :
dr. Flora Ramona S P, M.Kes, Sp.KK
dr. Ratih Pramuningtyas, M.Kes, Sp.KK

Oleh :
Moh. Ilham Akbar, S.Ked J510170090
Hafiz Dezta , S. ked J510170102

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
REFRAT
ALUR DIAGNOSIS ULKUS GENITAL

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran


Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :

Moh. Ilham Akbar, S.Ked J510170090


Hafiz Dezta , S. ked J510170102

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim pembimbing stase Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing 1
dr. Flora Ramona S P, M.Kes, Sp.KK (…………………….)

Pembimbing 2
dr. Ratih Pramuningtyas, M.Kes, Sp.KK (…………………….)
|PENDAHULUAN

Ulkus genital atau Genital Ulcer disease adalah salah satu gejala pada
infeksi menular seksual (IMS) yang selama perjalanan penyakitnya ditemukan
adanya lesi ulseratif/erosif/pustular atau lesi genital vesikular dapat dengan atau
tanpa limfadenopati1. Penyakit kelamin (Veneral disease) sudah lama dikenal dan
beberapa diataranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan
semakin majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan, banyak
penyakit-penyakit baru, sehingga istilah itu tidak sesuai lagi dan diubah menjadi
sexually transmitted disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS)2.
Penyakit menular seksual yang dapat bermanifestasi sebagai ulkus2.
Diantaranya terdapat Sifilis, Ulkus mole (chancroid), Herpes simpleks genitalis,
Limfogranuloma venereum (LGV), dan Granuloma inguinale.
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum,
merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Selama perjalanan penyakit
dapat menyerang seluruh organ tubuh, pada masa laten tanpa manifestasi di tubuh.
Dapat menularkan ke janin jika penderitanya ibu hamil. Treponema pallidum
termasuk Famili Spirochaeta dengan Ordo Spirochaetales, berbentuk spiral dan
merupakan Gram negative dengan diameter 0,09 – 0,10um, Gerakannya rotasi
sepanjang aksis, membiak secara membelah melintang, pada stadium aktif terjadi
tiap 30 jam. masa inkubasi 2-4 minggu Tanda klinis pertama yang muncul adalah
adanya tukak, dapat terjadi dimana saja di genitalia eksterna. 3 minggu setelah
kontak lesi dapat khas dapat pula tidak khas. Jumlah tukak biasanya hanya satu
namun dapat pula multiple. Lesi awal berupa papul yang erosi, teraba keras
karena terdapat indurasi, permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi1,
ukuran dari beberapa mm sampai 1-2 cm, bagian yang mengelilingi lesi meninggi
dan keras4.
Ulkus mole adalah sering disebut chancroid, penyakit infeksi genitalia
akut, setempat, dapat inokulasi sendiri yang disebabkan oleh Haemophilus

1
Ducreyi dengan gejala klinis yang khas berupa ulkus nekrotik yang nyeri pada
tempat inokulasi dan sering disertai pernanahan kelenjar getah bening regional.
Haemophilus ducreyi:
• Bentuk batang pendek, ramping, ujung membulat, tidak membentuk spora,
Gram-Negatif, anaerob fakultatif
• Sering berkelompok membentuk rantai
Masa inkubasi pria 2-35 hari dengan rata-rata 7 hari, sedangkan pada wanita sulit
ditentukan. Sifat khas ulkus: multiple, sangat nyeri terutama bila terkena pakaian
atau urine, tepi rata tidak bergaung, batas tegas, eritema ringan, dasar ulkus kotor,
mudah berdarah, dan nekrotik(8).
Herpes simpleks adalah infeksi pada genital oleh virus herpes simplex
(HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema
dan bersifat rekurens. Terdapat 2 virus yaitu herpes simplex (HSV) tipe 1 dan
(HSV) tipe 2, masa inkubasi 3-7 hari. Biasanya didahului rasa terbakar dan gatal
di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi
timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise, demam, fatigue dan
mialgia. Lesi kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema.
Vesikel mudah pecah dan dapat menimbulkan erosi(3).
Limfogranuloma Venereum adalah Infeksi menular seksual yg mengenai
sistem saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe terutama pada daerah
genital,inguinal, anus dan rektum. Penyakit venerik yang disebabkan oleh
Chlamydia trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering
adalah sindrom inguinal. Chlamidya trachomatis:
• Merupakan parasit intraobligat
• Menyerupai bakteri Gram negatif
• Chlamydia trachomatis mengalami 2 fase:
 Fase I: disebut fase non infeksiosa, terjadi keadaan laten yang
dapat ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva. Pada saat ini
kuman sifatnya intraselular dan berada di dalam vakuol yang
letaknya melekat pada inti sel hospes, disebut badan inklusi.
 Fase II: fase penularan, bila vakuol pecah kuman keluar dalam
bentuk badan
Masa inkubasi 3-20 hari, masa tunas 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul
sebelum penyakitnya mulai dan menetap selama sindrom berupa malaise, nyeri
kepala, atralgia, anoreksia, nausea dan demam. Waktu terjadinya afek primer
hingga sindrom inguinal 3-6 minggu. Bentuk dini berupa afek primer dan sindrom
inguinal. Bentuk lanjut berupa sindrom genital, anorektal, dan uretral. Lesi primer
di genital yang bersifat tidak khas, tidak sakit dan cepat menghilang. Lesi primer
berbentuk erosi atau ulkus dangkal, papul, kelompok vesikel kecil mirip lesi
herpes atau uretritis nonspesifik7.
Granuloma inguinal adalah proses granulomatosa yang biasanya mengenai
daerah anogenital dan inguinal Donovania granulomatis atau disebut juga
Calymmatobacterium granulomatis: berbentuk batang pendek, tebal, tidak
membentuk spora negative – Gram. Pada pewarnaan membentuk gambaran
bipolar seperti peniti dengan masa inkubasi berkisar antara 1-12 minggu. Gejala
klinisnya yaitu lesi dapat dimulai pada genitalia eksterna, paha, lipat paha atau
perineum. Ulkus yang khas sebagai masa induratif atau abses yang akhirnya pecah
dengan tipe : Nodular, Ulserovegetatif, Hipertrofik, Sikatrisial2.
Dalam literatur menunjukan bahwa PMS dapat meningkatkan tertularnya
Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga 18 kali pada wanita yang aktif
secara seksual. Hal ini terjadi karena PMS menghasilkan ulkus genital, yang
secara signifikan meningkatkan kerentanan pada wanita 2. Ulkus non-menular
seksual antara lain disebabkan trauma, reaksi obat, penyakit yang ditandai dengan
vesikobulosa seperti pemfigus dan eritema mutiform dan lain sebagainya.
Terkadang, PMS tidak menunjukkan gejala sama sekali, sehingga tidak
tahu bila sudah terinfeksi. PMS dapat bersifat asimptomatik (tidak memiliki
gejala) baik pada pria maupun wanita. Beberapa PMS baru menunjukan tanda dan
gejala berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.
Insiden kejadian ulkus genital di dunia adalah diperkirakan lebih dari 20 juta
kasus didunia. Jenis HSV 1 dan HSV 2 yang paling sering lalu diikuti dengan

2
sifilis dan ulkus mole. Satu dari 5 wanita dan 1 dari 9 laki-laki 14 sampai 49 tahun
menderita infeksi HSV 2. Pada tahun 2008 insiden sifilis 10,6 juta kasus baru,
pada tahun 2014 insiden sifilis sebesar 11,2 juta kasus baru. Perkiraan seluruh
dunia berkisar antara enam dan tujuh juta kasus baru chancroid setiap tahunnya,
insiden terbaru pada tahun 2015 terdapat 140 juta orang terinfeksi HSV-1 yang
berusia 15-49 tahun dan pada HSV-2 terdapat 417 juta kasus. Di Indonesia sampai
saat ini belum ada angka yang pasti terjadinya ulkus genital menurut Pedoman
Nasional Penyakit Menular Seksual tahun 20118.

PEMBAHASAN

Ulkus genital adalah salah satu gejala pada infeksi menular seksual (IMS)
yang selama perjalanan penyakitnya ditemukan adanya lesi
ulseratif/erosif/pustular atau lesi genital vesikular dapat dengan atau tanpa
limfadenopati(1). Adanya lesi ulseratif di genital akan meningkatkan 5-10 kali
risiko transmisi HIV-AIDS.

1. SIFILIS
Nama lain: Lues venerea/ raja singa
Sifilis adalah IMS yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum,
merupakan penyakit kronis dan dapat mengenai seluruh organ tubuh. Gambaran
klinisnya dapat menyerupai penyakit lain (the great imitator). Pada bayi
ditularkan in utero atau karena kontak dengan lesi ibu pada waktu persalinan.
Selama perjalanan penyakitnya terdapat masa laten tanpa manifestasi lesi di
tubuh.

Klasifikasi1,3
1. Sifilis kongenital
a. Sifilis kongenital dini (muncul sebelum umur 2 tahun)
b. Sifilis kongenital lanjut (muncul setelah umur 2 tahun)
2. Sifilis akuisita (klasifikasi epidemiologis)
a. Sifilis dini (sifilis yang terjadi dalam 1 tahun setelah terinfeksi)
i. Sifilis primer (S I)
ii. Sifilis sekunder (S II)
iii. Sifilis laten dini (early latent syphilis)
b. Sifilis lanjut (sifilis yang terjadi lebih dari 1 tahun setelah infeksi)
i. Sifilis laten lanjut (late latent syphilis)
ii. Sifilis tersier (S III)

Gambaran Klinis
 Sifilis primer
Sifilis ditularkan melalui kontak langsung dari lesi infeksius.
Treponema masuk melalui selaput lendir yang utuh atau kulit yang
mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke pembuluh
darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Pada saat ini tanda-tanda klinis dan
serologis belum jelas.1,3,4
Tanda klinis yang pertama kali muncul adalah timbul lesi
primer berupa ulkus di tempat inokulasi, 3 minggu (10-90 hari) setelah
“coitus suspectus” (hubungan seksual yang dicurigai sebagai penyebab
infeksi). Ulkus ini disebut ulkus durum atau chancre (syphilitic ulcer),
dapat di genital maupun ekstra genital.3,5

Gambaran karakteristik ulkus durum:2


 Biasanya soliter, tidak nyeri (indolen), bagian tepi lesi meninggi dan
keras (indurasi), dasar bersih, tanpa eksudat, ukuran bervariasi dari
beberapa mm sampai 1-2 cm.
 Terdapat limfadenopati inguinal medial unilateral/bilateral, tidak
terdapat gejala konstitusi
 Adanya ulkus disertai pembesaran kelenjar getah bening disebut
kompleks primer
 Bila tidak diobati, ulkus akan menetap selama 2-6 minggu, lalu
sembuh spontan.
 Pada ulkus dapat ditemukan gerakan T. pallidum.
 Tes serologis untuk sifilis: non reaktif, namun makin lama lesi terjadi
kemungkinan tes menjadi reaktif ( > 4 minggu)

 Sifilis sekunder
Biasannya sifilis stadium II timbul 6-8 minggu sejak sifilis stadium I. 1/3 kasus
masih disertai sifilis stadium I. Lama S II dapat sampai 9 bulan. Berbeda dengan SI
yang tanpa gejala konstitusi, S II dapat disertai gejala konstitusi, umumnya tidak
berat, berupa anoreksia, penurunan berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang
tidak tinggi, atralgia. Pada S II selain dapat memberi kelainan pada kulit, dapat juga
memberikan kelainan kulit mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang dan
saraf karena menyebar dari ulkus dan kelenjar getah bening ke dalam aliran darah
dan keseluruh tubuh.
Lesi pada S II yang membasah (eksudatif) sangat menular. Kondiloma lata dan
plaque muqueuses ialah bentuk yang sangat menular. Gejala untuk membedakan
antara stadium II dan penyakit kulit lain adalah lesi kulit pada S II umumnya tidak
gatal, disertai limafenitis generalisata dan pada lesi dini disertai kelainan kulit pada
tangan dan kaki.
Antara S I dan S II lanjut terdapat perbedaan dimana S II dini kelainan kulit
generalisata, sistemik dan lebih cepat hilang (hari hingga minggu). Pada S II lanjut
tidak generalisata lagi, melainkan setempat-setempat, tidak sistemik, dan lebih lama
bertahan (minggu hingga tahun).

Bentuk Lesi S II :
1. Lesi pada kulit
a. Roseola
Merupakan makula eritem yang pertama kali timbul, berbintik-
bintik, warna merah tembaga, bentuknya bulat atau lonjong. Lokasinya
generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut kena. Menghilang
dalam beberapa hari-minggu-bulan. Dapat residif, jumlahnya menjadi
lebih sedikit, lebih bertahan lama, dapat anular dan bergelombol. Jika
hilang umumnya dapat tanpa bekas, kadang meninggalkan bercak
hipopigmentasi disebut leukoderma sifilitikum.
b. Papul
Bentuk paling sering terlihat di S II. Bentuk bulat, lentikulaer,
generalisata dengan skuama dipinggir (koloret) disebut papulo-skuamosa.
Skuama dapat pula menutupi permukaan papul sehingga mirip psoriasis
sehingga disebut psoriasiformis. Jika papul itu menghilang dapat
meninggalkan bercak hipopigmentasi disebut leukoderma koli atau
dinamakan collar of venus. Pada S II lanjut, papul bersifat setempat,
tersusun arsinar/sirsinar/polisiklik/korimbiformis. Dinamakan korona
venerik bila terdapat pada dahi dan tersusun arsinar/sirsinar seperti
mahkota. Dapat pula ditemui pada sudut mulut, ketiak, dibawah mamae
dan alat genital.
Kondiloma lata adalah papul lentikular, permukaan datar,
sebagian berkonfluens terletak pada lipatan kulit, karena adanya gesekan
antar permukaan kulit permukaannya menjadi erosif, eksudatif. Tempat
predileksi daerah lipat paha, skrotum, vulva, periana, dibawah mamae,
dan antar jari kaki.
c. Pustul
Jarang didapat. Papul yang menjadi vesikel dan segera menjadi
pustul. Timbul pada kulit berwarna dan daya tahan tubuh yang menurun.
Sering disertai demam yang intermiten dan penderita tampak sakit,
lamanya dapat berminggu-minggu. Disebut sifilis variseliformis karena
menyerupai varisela.

2. Lesi pada mukosa


a. Angina sifilitika eritematosa
Dinamakan enantem, terutama pada mulut dan tenggorok.
Berupa makula eritematosa, berkonfluense membentuk makula yang
difus, berbatas tegas. Keluhan dapat berupa nyeri pada tenggorok,
terutama pada saat menelan. Bila menyerang faring dapat mengakibatkan
suara parau. Kadang dapat terbentuk bercak putih keabu-abuan dapat
erosive dan nyeri.
b. Plaque muqueuses (mucous patch)
Berupa papul eritematosa, permukaan datar, miliar-lentikular,
timbulnya bersama-sama dengan S II bentuk papul pada kulit. Dapat
terletak di selaput lender alat genital dan biasanya erosif, tidak nyeri dan
lamanya beberapa minggu.

3. Lesi pada rambut


Pada S II dini dapat mengakibatkan kerontokan rambut, difus dan tidak
khas dinamakan alopesia difusa. Pada S II lanjut terdapat alopesia areolaris
atau kerontokan setempat seperti digigit ngengat. Bercak-bercak dihasilkan
dari adanya roseola/papul, akar rambut dirusak oleh treponema. Dapat juga
mengenai alis mata bagian lateral dan janggut.

4. Lesi pada kuku


a. Onikia sifilitika
Warna kuku berubah menjadi putih kabur, kuku menjadi rapuh disertai
alur transversal dan longitudinal, distal lempeng kuku menjadi
hiperkeratotik sehingga kuku terangkat.
b. Paronikia sifilitika
Timbul radang kronik, kuku menjadi rusak, kadang terlepas.

5. Lesi pada alat lain


a. Kelenjar getah bening
Sama seperti sifilis stadium I, umumnya seluruh KGB superficial
membesar.
b. Pada mata
Pada S II lanjut terjadi uveitis anterior, juga koroido-retinitis.
c. Pada hepar
Hepatitis, hepatomegali dan ikterik ringan.
d. Pada tulang
Pembengkakan yang tidak nyeri, pergerakan tidak terganggu.
d. Pada saraf

Pada LCS didapatkan peninggian sel dan protein. Tekanan intra kranial dapat
meningkat memberi gejala nyeri kepala, muntah, odema papil.

Diagnosis banding2,6
Sifilis pimer:
- Chancroid
- Granuloma inguinale
- Herpes genitalis
Sifilis sekunder:
- Pitiriasis rosea
- Tinea versikolor
- Psoriasis
- Skabies
- Drug eruption
- Eksantema virus

 Sifilis laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa manifestasi klinis,
dapat berlangsung bertahun-tahun atau seumur hidup.4
Masa laten ini terbagi dua yaitu:
- Laten dini, kurang dari 1 tahun, masih bisa menular
Pada fase ini tidak ada gejala klinis dan kelainan tetapi infeksi masih
aktif dan ada. Pemeriksaan serologis darah positif, sedangkan LCS
negative. Tes yang dianjurkan adalah VDRL dan TPHA.
- Laten lanjut, lebih dari 1 tahun, jarang menular, kecuali pada wanita
hamil dapat menularkan sifilis pada bayi yang dikandungnya
Diagnosis hanya berdasarkan pada tes serologis. Pada laten dini
titer tinggi, namun setelah diberi pengobatan akan rendah atau non reaktif,
sedangkan laten lanjut selalu dengan titer rendah dan sedikit perubahan
setelah diberikan pengobatan.5

 Sifilis lanjut
Lesi sifilis lanjut berupa endarteritis obliterans pada bagian ujung
arteriol dan pembuluh darah kecil yang menyebabkan peradangan dan
nekrosis. Bila tidak diobati kerusakan akan semakin hebat pada salah satu
organ tubuh3,7
Yang paling sering terjadi pada sifilis lanjut adalah: latensi,
simtomatik neurosifilis, sifilis benigna lanjut dan sifilis kardiovaskuler.5
Tes serologis umumnya reaktif

 Sifilis Tersier (S III)


Lesi pertama umumnya terlihat antara 3 sampai 10 tahun setelah S I.
Kelainan yang khas berupa guma, yang bervariasi dari lentikular sampai sebesar
telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukan tanda radang akut dan
dapat digerakan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, mulai dari tengah, kulit
menjadi erimatous dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian
terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang sanguinolen, pada
beberapa kasus disertai jaringan nekrotik.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,
dindingnya curam, seolah kulit tersebut terdorong keluar. Beberapa ulkus
berkonfluensi sehingga membentuk pinggir yang polikistik. Jika telah menjadi
ulkus, maka infiltrate yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai tonjolan
menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan
sampai tahun. Biasanya guma solitary, tetapi dapat pula multiple, umumnya
asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipledan
perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain itu terdapat juga nodus yang
mula-mula berada di kutan dan ke epidermis, pertumbuhannya lambat yaitu
beberapa minggu/bulan dan meninggalkan sikatrik yang hipotrofi.
Guma dapat ditemukan di selaput lendir, setempat dan menyebar.
Setempat biasanya pada mulut, tenggorok atau septum nasi. Akan melunak dan
membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi
atau palatum mole sehingga terjadi perforasi. Pada lidah sering guma yang nyeri
dengan fisur tidak teratur dan leukoplakia.
Pada tulang sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula,
humerus. Gejala nyeri biasanya pada malam hari. Terdapat 2 bentuk yakni
periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, keduanya dapat didiagnosa dengan sinar
X.

Hepar dapat ditemukan guma yang multiple, jika sembuh terjadi


fibrosis hingga refraksi membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut
hepar lobatum. Esophagus, lambung, paru, ginjal, vesika urinaria, ovarium
dan testis juga dapat ditemukan guma walau jarang.

 Sifilis kongenital
Infeksi pada janin lebih banyak terjadi bila ibu berada pada stadium
dini, sebab pada saat ini banyak Treponema yang beredar dalam darah.
Pada tahun pertama setelah infeksi yang tidak diobati, kemungkinan 90%
akan ditularkan pada bayi yang dikandungnya. Pada umumnya makin lama
seorang ibu terkena infeksi, maka makin sedikit kemungkinannya
menginfeksi janinnya.6
Pada sifilis kongenital dini, tanda dan gejala yang khas muncul
sebelum umur 2 tahun. Lebih awal munculnya manifestasi klinis,
prognosisnya akan semakin buruk. Tanda-tanda tersebut antara lain: lesi
vesikobulosa (segera setelah lahir), lesi papulaskuamosa, sekresi hidung
disertai darah, osteokondritis, anemia hemolitik, hepatosplenomegali,
kelainan pada cairan sumsum tulang belakang.7,8
Sifilis kongenital lanjut biasanya muncul setelah umur 2 tahun.
Lebih dari setengah penderita tanpa manifestasi klinis kecuali tes serologis
yang reaktif. Pada tipe ini tidak menular. Tanda-tanda sifilis kongenital
lanjut, antara lain: keratitis interstitialis, gigi Hutchinson, gigi Mulberry,
ketulian, neurosifilis, sklerosis tulang, fisura sekitar rongga mulut dan
hidung (rhagade parrot),

Pemeriksaan Laboratorium:1,7
Pemeriksaan langsung : bahan pemeriksaan dari ulkus (Reitz serum)
 Dark field examination
 PCR
Pemeriksaan tidak langsung: tes serologis untuk sifilis (TSS) /Serologic
Test for Syphilis (STS)
1 Tes Treponema : TPI (T. pallidum Immobilization), FTA-ABS
(Fluorescent Antibody Absoption Test), TPHA (Treponema Pallidum
Haemagglutination Assay)
2 Tes non Treponema : VDRL (Venereal Diseases Research
Laboratory), RPR (Rapid Plasma Reagin)
VDRL: sensitivitas tinggi  skrining
TPHA: spesifisitas tinggi  konfirmasi diagnosis

Pengobatan1
1. Sifilis dini (primer, sekunder, laten dini)
- Benzatin benzilpenisilin G 2,4 juta IU intra muskuler, dosis tunggal
atau
- Prokain benzilpenisilin 0,6 juta IU/ hari, intramuskuler selama 10
hari berturut-turut.
- Untuk penderita yang alergi penisilin:
i. Doksisiklin 2 x 100 mg/ hari per oral, selama 30 hari
ii. Tetrasiklin 4 x 500 mg/ hari, selama 30 hari
iii. Eritromisin 4 x 500 mg/ hari selama 30 hari
2. Sifilis lanjut (sifilis > 2 tahun, laten yang tidak diketahui lama infeksi,
kardiovaskular, syphilis late benign kecuali neurosifilis)
- Benzatin benzilpenisilin G 2,4 juta IU/ minggu, intramuskuler,
selama 3 minggu berturut-turut, atau
- Prokain benzilpenisilin 0,6 juta IU/ hari, intramuskuler selama 3
minggu berturut-turut.
- Untuk penderita yang alergi penisilin:
i. Doksisiklin 2 x 100 mg/ hari selama 30 hari atau lebih
ii. Tetrasiklin 4 x 500 mg/ hari selama 30 hari atau lebih
iii. Eritromisin 4 x 500 mg/ hari selama 30 hari atau lebih

Evaluasi Hasil Pengobatan


Pada penderita sifilis stadium dini yang telah dilakukan pengobatan
dengan cara dan dosis yang adekuat, harus dievaluasi kembali secara klinis dan
serologis (dengan VDRL) sesudah 3 bulan pengobatan. Evaluasi kedua dilakukan
sesudah 6 bulan, dan bila ada indikasi berdasarkan hasil pemeriksaan pada bulan
ke-6 tersebut, dapat dievaluasi kembali sesudah bulan ke-12.2,6

2. ULKUS MOLE
Ulkus mole atau Chancroid atau soft chancre adalah IMS yang disebabkan
oleh Haemophilus ducreyi, dengan masa inkubasi 4-10 hari. Pada wanita sukar
ditentukan masa inkubasinya karena sering ditemukan kasus asimtomatis1,7

Karakteristik:12
- Ulkus multipel, nyeri pada > 50% kasus, tepi tidak rata, indurasi (-).
- Dasar ulkus kotor, mudah berdarah dan nekrotik, kulit sekitar ulkus
kemerahan
- Terdapat limfadenopati inguinal uni/bilateral yang terasa nyeri pada 50%
kasus  terjadi supurasi  perforasi  fistula  ulkus
- Dapat terjadi autoinokulasi
- Lokasi lesi: sering pada daerah vulva, serviks, prepuce, sulkus koronarius,
dan anal; oral pada oral sexual contac; bagian tubuh lain (jarang) karena
autoinokulasi

Diagnosis banding:
- Sifilis
- Herpes genitalis
Pada sekitar 10% kasus dapat terjadi koinfeksi. Ulkus mikstum adalah
koinfeksi ulkus mole dengan infeksi T. pallidum.

Pemeriksaan laboratorium:
o Pewarnaan Gram dari ulkus (sensitivitas 40-60%)
 Basil kecil Gram negatif, yang berderet berpasangan seperti kumpulan
ikan (school of swimming fish)
o Kultur
o PCR

Pengobatan1
1. Siprofloksasin 2 x 500 mg/ hari per oral, selama 3 hari
2. Eritromisin base 4 x 500 mg/hari,per oral selama 7 hari
3. Azitromisin 1 gram per oral, dosis tunggal
4. Seftriakson 250 mg intramuskular, dosis tunggal
3. HERPES GENITALIS
Herpes genitalis adalah IMS yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus
(HSV) tipe 1 dan 2 (90% kasus herpes genitalis disebabkan oleh HSV tipe 2),
dengan gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat
rekuren.
Infeksi herpes genitalis ditularkan melalui kontak langsung dari lesi atau
sekret genital yang infeksius. Transmisi terjadi pada saat viral shedding. Gejala
yang timbul dapat berat, tetapi dapat pula asimtomatis. Pada penelitian
retrospektif 50-70% infeksi HSV tipe 2 adalah asimtomatis.
Pada penderita dengan imunodefisiensi, gejala akan lebih berat, lebih
lama, rekurensi lebih sering dengan penyembuhan yang lebih lama.8

Manifestasi klinis1,8,9
1. Episode pertama – primer
2. Episode pertama – bukan primer
3. Episode rekuren
4. Asimtomatik

Episode pertama primer8


 Merupakan infeksi primer sejati, mengenai seseorang yang belum pernah
terpajan HSV sebelumnya (seronegatif terhadap antibodi HSV)
 Masa inkubasi 1 minggu (2-12 hari) setelah coitus suspectus
 Pada episode ini gejala lebih berat, seringkali disertai gejala sistemik dan
dapat mengenai banyak tempat.
 Kelenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan.
 Vesikel berkelompok pada dasar eritem, yang terasa nyeri  pustula 
erosi  ulkus  krusta keabu-abuan
• Lesi baru masih muncul sampai hari ke-10, reepitelisasi terjadi setelah 15-
20 hari
• Lokasi:
• Wanita: introitus, meatus, labia, serviks (70%)
• Laki-laki: Glans, sulkus koronarius, uretra, penile shaft, perineal
region
• Jarang: perineum, bokong, paha, perianal, skrotum, mons area
• Komplikasi:
• Neurologis (13-35%) : aseptic meningitis, transverse meningitis,
sacral radiculitis (retensi urin)
• Pada kehamilan: abortus, malformasi kongenital, lahir mati.

Episode pertama bukan primer8


 Pada orang yang pertama kali timbul gejala klinis, namun telah seropositif
terhadap antibodi HSV
 Gejala lebih ringan dari episode primer, tetapi lebih berat dari episode
rekuren

Episode Rekuren8
• Gejala yang timbul biasanya lebih ringan, dapat diawali gejala prodromal
seperti gatal, rasa terbakar, disuria
• Faktor pencetus : trauma, stress emosi, kelelahan, koitus yang berlebihan,
demam, menstruasi, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), alkohol.
• Reepitelisasi + 10 hari
• Rekurensi HSV-2 lebih sering dibandingkan HSV-1
Diagnosis Banding
- Chancroid
- Sifilis dengan infeksi sekunder
- Ulkus genital karena trauma
- Dermatitis kontak

Laboratorium1,8
 Pemeriksaan laboratorium sederhana dengan apus Tzanck yang diwarnai
dengan Giemsa atau Wright akan tampak sel raksasa berinti banyak,
namun pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
rendah.
 PCR
 Serologi

Pengobatan 1,8
1. Episode pertama primer:
a. Asiklovir 5 x 200 mg/ hari, per oral, selama 7 hari, atau
b. Valasiklovir 2 x 500 mg/ hari, per oral, selama 7 hari
2. Episode kambuhan:
a. Asiklovir 5 x 200 mg/ hari, per oral, selama 5 hari, atau
b. Valasiklovir 2 x 500 mg/ hari, per oral, selama 5 hari
c. Bila ringan cukup diberikan krim asiklovir
3. Pengobatan supresif (kekambuhan > 6 kali/ tahun)
a. Asiklovir 2 x 400 mg/ hari, per oral, secara terus-menerus, atau
b. Valasiklovir 1 x 500 mg/ hari

4. GRANULOMA INGUINALE
Granuloma inguinale adalah proses granulomatosa yang biasanya
mengenai daerah anogenital dan inguinal. Daya penularan penyakit ini rendah,
bersifat kronik, progresif penularan secara autoinokulasi, mengenai genitalia dan
kulit disekitarnya, dan kadang-kadang system limfatik
Meskipun granuloma inguinale (Donovanosis) sering kali dianggap
sebagai salah satu penyakit kelamin yang klasik (bersama-sama dengan sifilis,
gonore, ulkus molle, dan lymphogranuloma venerum), terdapat keraguan tentang
penyebarannya melalui hubungan seksual dalam penularan donovanosis.1 Hal –
hal yang menunjang bahwa penyakit ini ditularkan melalui hubungan seksual
adalah : 2
1. Pada anamnesis terdapat kontak seksual sebelum timbulnya lesi.
2. Insidensinya tinggi pada kelompok umur dengan aktivitas seksual paling
banyak; lesi terdapat pada genitalia interna seperti serviks, tanpa disertai
lesi lain.
3. Lesi terdapat hanya disekitar anus pada orang homoseksual yang pasif.
4. Lesi terdapat pada daerah genital atau perigenital.

Etiologi
Pada tahun 1905 Mayor DONOVAN mencatat adanya badan intraselular
pada sedian hapus bahan yang diambil dari ulkus penderita granuloma inguinale.
Badan – badan ini dilukiskan sebagai gigantic bacilli with rounded ends, yang
pada umumnya disebut badan – badan Donovan. Setelah organisme penyebab
dapat dibiak pada yolk sac embrio ayam, dinyatakan bahwa badan –badan
Donovan adlah basil, dan diusulkan dinamakan Donovania granulomatis. Bakteri
ini disebut juga Calymatobacterium granulomatis, berbentuk batang pendek,
tebal, tidak membentuk spora, negatif-gram, dan pada pewarnaan membentuk
gambaran bipolar seperti peniti, meskipun seriang terjadi pleoomorfi. Kuman
tersebut termasuk famili Brucellaceae dan memunyai hubungan serologik dengan
beberapa golongan Enterobactericeae. Selain dapat dibiak dalam yolk sac embrio
ayam, bacteri tersebut juga dapat ditanam pada medium sintetik, tetapi agak sukar
tumbuhnya.2
Basil dikelilingi oleh kapsul yang berbatas tegas. Dapat dilihat dengan
pewarnaan Wrigth, merupakan parasit intraselular dalam vakuol pada histiosit
jaringna yang besar, kadang – kadang terdapat pada leukosit polimorfonuklear
atau sel plasma, dengan ukuran 1,5 – 2,5 u. dengan pewarnaan wrigth kapsul
bewarna merah muda dan kuman berbentuk bipolar. Reproduksi bakteri terjadi
dalam fokus multiple pada sel – sel tersebut dalam vakuol berisi 20 -30
organisme, kemudian pecah dan keluar organism matang.2

Patogenesis
Lesi primer dimulai sebagai satu nodus yang keras (berindurasi), kalau
terjadi kerusakan pada permukaannya terjadi ulkus yang bewarna seperti daging
dan granulomatosa. Biasanya berkembang perlahan-lahan, sering menjadi satu
dengan lesi yang berhubungan atau membentuk lesi baru dengan autoinokulasi,
terutama pada daerah perianal. Timbul akantosis hebat dan terdapat banyak
histiosit. Beberapa leukosisit PMN terdapat dalam focus infiltrat atau tersebar,
limfosit jarang ditemukan. Proliferasi epitel marginal menyerupai gejala
epiteliomatosa permulaan.2
Gambaran patognomonik donovanosis adalah sel mononuklear besar yang
terinfeksi, berisi banyak kista intrasitoplasmik yang diisi oleh badan – badan
Donovan. Kadang – kadang terjadi penyebaran hematogen, metastatic ke tulang –
tulang, sendi – sendi, atau hati. Infeksi sekunder akan menimbulkan destruksi
jaringan kemudian terjadi sikatrik.2

Gambaran Klinis1
 Masa inkubasi donovanosis pada umumnya adalah 1 – 4 minggu tetapi
dapat lebih panjang sampai dengan 1 tahun.
 Penyakit ini mulai sebagai nodul subkutan tunggal atau multiple yang
kemudian segera menjadi suatu erosi melalui kulit dan secara perlahan
membesar membentuk suatu variasi luas dalam variasi morfologiknya.
 Bentuk klinis yang paling utama adalah lesi kulit yang fleshy, merah
daging, exuberant granulation tissue yang lunak, tanpa rasa, tanpa nyeri
tekan dan mudah berdarah.
 Gambaran klinis yang umum berupa lesi primer meluas perlahan melalui
penyebaran langsung, autoinokulasi, yang mengakibatkan lesi baru pada
lesi yang berdekatan (“kissing lesion”).
 Keterlibatan pembuluh getah bening merupakan gejala klinis yanga jarang.
 Infeksi sekunder yang ringan mungkin terjadi, menghasilkan suatu
indurasi dari lesi yang meluas.
 Ulkus dapat terasa nyeri, tetapi biasanya hanya terdapat gangguan
konstitusi ringan.
 Cairan lesi biasanya bersifat serosanguinosa.
 Proses ulserasi kadang-kadang meluas ke genitalia wanita, mengenai
serviks uteri. Tempat predileksi pada wanita: labia minora, mons veneris,
dan torchette. Sedangkan pada pria: penis dan skrotum yang terkena.
 Lesi ekstragenital dapat ditemukan didaerah muka, leher, mulut, dan
tenggorokan. Kadang – kadang pada kulit daerah lain dan mukosa.
 Sedikit, atau tidak terdapat eksudat purulen; pus dapat menandakan adanya
infeksi sekunder.

Tipe gambaran klinis:2


1. Tipe nodular
Timbul nodus bewarna merah, lunak akhirnya timbul ulkus dengan
granulasi.
2. Tipe ulseru-vegetatif
Terdiri dari ulkus-ulkus yang besar, makin melebar, berasal dari tipe
nodular.
3. Tipe hipertropik
Timbul rteaksi proliferatif dan membentuk massa vegetatif yang besar.
4. Tipe sikatrisial
Timbul sikatriks pada tempat jaringan granulasi, terlihat pulau-pulau
jaringan granulasi diantara sikatriks.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar:2
1. Riwayat penyakit
2. Gambaran klinis
3. Hapusan jaringan (tissue smears) : mencari D.granulomatosis dalam sel-
sel mononuclear yang besar. Bahan terdiri atas jaringan granulasi yang
tipis, diambil dengan biopsy atau skapel dari lesi bagian dalam. Setelah
kering bahan diwarnai dengan giemsa. Wright Leishman, atau gram.
Dapat juga dipakai bahan dari biopsy parafi yang diearnai dengan H.E,
atau pewarna perak.
4. Biakan : D.granulomatis tidak dapt tumbuh pada media biasa. Dapat
digunakan biakan jaringan dan telur dengan hasil terbatas.
5. Biopsi : gambaran histologik terdiri atas: epidermis di tengah lesi hilang,
sedangkan pada tiap lesi terjadi akantosis yang kemudian menunjukkan
gambaran hiperplasi pseudokarsinomatosa. Dalam dermis terlihat
infiltrate padat terutama tediri atas histiosist dan sel plasma. Di antara
infiltrate tersebar abses kecil terdiri dari netrofil dan sedikit sel limfoid.
Badan inklusi intrasitoplasmik (badan Donovan) terdapat dalam histiosit.
Untuk melihat badan – badan ini dapat digunakan pewarnaan Giemsa dan
perak. Pada tipe hipertrofik dan sikatrisial tampak jaringan ikat
bertambah.
6. Tes serum : dapat ditemukan antibody ikatan komplemen terhadap
D.granulomatosis, tetapi sensitifitas dan spesifisitas terbatas.
7. Inokulsi : tidak dapat diinokulasikan pada binatang yangt lebih rendah.
8. Tes kulit : digunakan antigen D.granulomatosis, disuntik intradermal dan
dibaca setelah 72 jam. Sering terjadi reaksi positif semu.

Diagnosis Banding2
1. Sifilis
2. Kondiloma lata
3. Squamous cell carcinoma
4. Amubiasis
5. Ulkus molle
6. LGV
7. Tuberculosis
8. Rhinoscleroma,leishmaniasis, dan histoplasmosis

Terapi
Karena tidak adanya uji coba kontrol secara acak, terapi antibiotika pada
donovanosis berdasarkan pasa hasil dari pengalaman klinis, penemuan rangkaian
penderita diterapi dengan regimen individual, dan laporan individual pada
umumnya meliputi sejumlah kecil penderita. 1
1. Sulfonamide dan penisiline 2
Tidak mempunyai efek langsung terhadap lesi, mungkin terhadap infeksi
sekunder.
2. Ampisilin 2
Robertson (1980) melaporkan bahwa ampisilin 4 x 500 mg/hari selama
paling efektif 2 minggu efektif untuk penyakit ini.
3. Streptomisin 2
Diberikan i.m 1 gram/hari selama 20 hari atau 2 x 1 gram/hari selama 10
hari atau 4 x 1 gram/hari selama 5 hari.
4. Tetrasiklin 2
Dosis diberikan 4 x 500 mg selama 10-20 hari.
5. Kloramfenikol 2
Diberikan i.m 4 gram sekali suntik, tiap 2-3 hari x 1, dengan dosis total
12-16 gram.
6. Eritromisin 2
Dosis 4 x 500 mg/hari selama 2-3 minggu
7. Gentamisin 2
Diberikan i.m dengan dosis 1 mg/kgBB 3 x / hari
8. Linkomisin 2
Diberikan 4 x 500 mg selam 14 hari, dengan hasil yang memuaskan
9. Kotrimoksazol 2

Dosis 2 x 2 tablet /hari selam 2 minggu atau lebih.

5. Limfogranuloma Venereum

Definisi
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, L3, afek primer
biasanya cepat hilang, bersifat sistemik, mengenai sistem saluran pembuluh limfe
dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan rektum,
dengan perjalanan klinis, akut, sub-akut, atau kronis tergantung pada imunitas
penderita dan biasanya berbentuk sindrom inguinal. Sindrom tersebut berupa
limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial
dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan
mengalami perlunakkan yang tak serentak.
Limfogranuloma venereum (LGV) disebut juga Limfopatia venereum
yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand dan Favre pada tahun1913,
karena itu juga disebut penyakit Durand-Nicolas-Favre disease. Selain itu dikenal
juga sebagai Limfogranuloma Inguinal, Limfogranuloma tropikum, Tropical
bubo, Climatic bubo, Strumous bubo, dan Paradenitis inguinal.

Epidemiologi
LGV bersifat sporadis tersebar di seluruh dunia terutama pada negara-
negara yang beriklim tropis dan subtropics, seperti daerah Amerika Utara, Eropa,
Australia dan prevalensi tinggi yang terdapat di Asia dan Amerika Selatan, LGV
merupakan penyakit endemis di timur dan barat Afrika, India, sebagian Asia
Tenggara, Amerika Utara dan Kepulauan Karibia. Pada daerah nonendemis
ditemukan pada pelaut, tentara, dan wisatawan yang mendapat infeksi pada saat
berkunjung atau pernah tinggal di daerah endemis.
Seperti pada penyakit IMS lainnya, limfogranuloma venereum merupakan
penyakit yang lebih sering dijumpai orang-
orang berperilaku promiskus serta golongan social ekonomi rendah. Penyakit ini
dijumpai pada usia antara 20-40 tahun, lebih sering pada laki-laki dibanding
dengan perempuan dengan rasio 5:1 atau lebih, hal ini disebakan karena adanya
perbedaan patogenesis. Kejadian akut LGV berhubungan erat dengan usia dan
tingginya aktivitas seksual, pernah dilaporkan pula kasus LGV pada remaja. Kini
penyakit ini jarang ditemukan.
Etiologi
Penyebab Limfogranuloma venereum (LGV) adalah Chlamydia
trachomatis, yang merupakan salah satu organisme dari 4 spesies dari genus
Chlamydia, yang memiliki siklus pertumbuhan yang unik. Chlamydia trachomatis
memiliki sifat sebagian seperti bakteri dalam hal pembelahan sel, metabolisme,
struktur, maupun kepekaan terhadap antibiotika dan kemoterapi, dan
sebagian bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel hidup untuk berkembang
biaknya (parasit obligat intrasel).
Spesies Chlamydia trachomatis terdiri dari dua biovars yaitu trachoma
atau organisme TRIC dan organisme LGV. Organisme LGV sendiri terdiri atas 3
serovars yaitu L1, L2, L3. Chlamydia berukuran lebih kecil dari bakteri,
berdiameter 250-550 mm, namun lebih besar dari ukuran virus pada umumnya. Di
dalam jaringan pejamu, membentuk sitoplasma
inklusi yang merupakan patognomoni infeksi Chlamydia. Penyakit yang
segolongan dengan Limfogranuloma venereum ialah psitakosis, trakoma, dan
Inclusion conjunctivitis.

Patogenesis
Patogenesisi terjadinya limfogranuloma venereum menurut Perine dan
Stamm, 1999, yaitu: Chlamydia tidak bisa menembus selaput lendir atau kulit
yang utuh, organisma ini kemungkinan dapat menembus melalui laserasi dan
abrasi. LGV merupakan penyakit yang dominan terjadi pada jaringan limfe.
Proses patologis yang penting adalah trombolimfangitis dan perilimfangitis
dengan proses penyebaran inflamasi dari nodus limfatikus yang terinfeksi ke
jaringan sekitarnya.
Limfangitis ditandai oleh proliferasi sel endotelial lapisan kelenjar getah
bening dan penghubung kelenjar getah bening di dalam nodus limfatikus. Tempat
terjadinya primer infeksi pada saluran nodus limfatikus cepat memperbesar dan
membentuk area kecil, yang dipisahkan dari jaringan yang nekrosis oleh sel
endotelial yang rapat. Area yang nekrotik menarik leukosit polimorfonuklear dan
membesar sehingga terbentuk suatu bangunan yang khas yang berbentuk segitiga
atau bentuk segi empat yang lebih dikenal dengan stellate abses. Inflamasi nodus
limfatikus yang berdekatan disertai dengan periadenitis, dan sebagai akibat dari
perkembangan inflamasi, bisul bersatu dan ruptur, membentuk loculated abses,
fistula-fistula, atau sinus-sinus. Proses inflamasi terjadi selama beberapa minggu
sampai beberapa bulan.
Penyembuhan yang berlangsung mengakibatkan fibrosis, yang akan
menghancurkan struktur nodus limfatikus yang normal dan menyebabkab
obstruksi pembuluh limfe. Edema kronis dan sklerosa fibrosis menyebabkan
indurasi dan pembesaran bagian yang terpengaruh. Fibrosis juga berperan dalam
menyediakandarah untuk membran mukosaatau kulit, dan terjadinya ulserasi.
Pada rektum mengakibatkan pembinasaan dan ulserasi mukosa, inflamasi
transmural pada dinding bowel, obstruksi saluran limfatik dan pembentukan
fibrotik. Pembentukanadhesi yang menentukan bagian yang lebih rendah dari
sigmoid dan rektum terhadap dinding daritulang panggul dan organ yang
berdekatan.

Gejala klinis
Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul
sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal.
Gejala tersebut berupa malaise, nyeri kepala, artralgia, anoreksia, nausea dan
demam. Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas
afek primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom
genital, anorektal dan uretral. Waktu terjadinya afek primer hingga sindrom
inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga bentuk lanjut satu tahun
hingga beberapa tahun.

Bentuk Dini
 Afek primer
Setelah masa inkubasi 1 sampai 4 minggu atau bisa lebih timbul afek primer.
Biasanya berupa papulo vesikel kecil, berdiameter 2-3 cm, dalam waktu singkat
mudah pecah menjadi erosi. Pada pria biasanya terletak pada daerah glans penis,
prepusium, sulkus koronarius. Sedangkan pada wanita terletak pada vulva, vagina
atau serviks. Lesi bersifat tidak nyeri, pada umumnya sembuh sendiri dalam waktu
singkat tanpa gejala klinik yang menonjol sehingga tidak menarik perhatian dan
lolos dari pengamatan. Melalui lesi primer ini kuman penyebab LGV masuk dan
menyebar melalui aliran limfe mencapai kelenjar terdekat. Sindrom klinik sekunder
terjadi dalam interval waktu antara 1-4 minggu setelah lesi primer dan biasanya
disertai keluhan-keluhan umum.
 Sindrom inguinal.
Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan
diuraikan secara luas. Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria, jika afek primernya
di genitalia eksterna, umumnya unilateral, kira-kira 80 %. Pada wanita terjadi, jika
afek primernya pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya
sidrom tersebut lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada
umumnya afek primer pada wanita di tempat yang lebih dalam, yakni di vagina 2/3
atas dan serviks. Jika afek primer pada tempat tersebut, maka yang mengalami
peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar Gerota. Sindrom inguinal
medial dimulai dengan pembesaran kelenjar limfe inguinal disertai rasa nyeri, teraba
padat, kemudian berkembang ke arah peradangan perinodal. Terjadi perlekatan
antara satu kelenjar dengan yang lain, juga dengan jaringan di bawah kelenjar serta
jaringan kulit di atasnya yang tampak ungu kemerahan. Keluhan umum dapat berupa
sakit kepala, demam, anoreksia, nausea dan artralgia. Kelenjar limfe iliakal dan
femoral dapat juga terkena bersama-sama kelenjar limfe inguinal membentuk
sekelompok bubo disebut “ettage bubonen”. Buboadenitis inguinal yang terletak di
atas ligamentum inguinale dan buboadenitis femoral dibawah ligamentum inguinale
tampak memanjang dari medial ke lateral, sedang ligamentum inguinal sendiri tetap
utuh sehingga timbul celah panjang di antara keduanya dan disebut “sign of the
groove” atau “green blatt’s sign”, suatu tanda klinik yang khas. Buboadenitis akan
mengalami supurasi multilokular dan bila pecah akan menimbulkan sinus atau fistula
multiple. Sindrom inguinal ini umumnya bersifat unilateral, hanya sebagian yang
bersifat bilateral. Buboadenitis iliakal pada perut kanan bawah menimbulkan gejala
yang mirip apendisitis. Pada wanita buboadenitis inguinal ternyata sangat jarang
karena perbedaan aliran limfe dari vulva dan vagina pada umumnya menuju ke
kelenjar limfe perirektal Gerota dengan gejala awal nyeri pada pinggang bawah.

Bentuk lanjut
Pada pria dapat ditemukan “cicatrical inguinal” yang dalam derajat berat dapat
menimbulkan edema dan elephantiasis tungkai. Pada wanita kelainannya akan
lebih parah dari pada pria.
 Sindrom genital
Pada pria, sindrom genital biasanya terbatas pada genitalia eksterna sedang pada
wanita selain genitalia eksterna juga genitalia interna. Jika sindrom inguinal tidak
diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal medial, sehingga aliran getah
bening terbendung serta terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis tersebut dapat
bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada pria,
elephantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan
klitoris, disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elephantiasis genitor-anorekta dan
disebut Sindrom Jersild.
 Sindrom anorektal
Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria homoseksual, yang melakukan senggama
secara genitoanal. Pada wanita dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, jika
senggama dilakukan dengan cara genito-anal. Kedua, jika afek primer terdapat pada
vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal
(kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus dan rectum. Penjalaran dari kelenjar
Gerota menimbulkan proktitis, ulserasi mukosa rektum, sekret rektum purulen dan
bisa berdarah. Lebih lanjut bisa menimbulkan abses perirektal, fistula rektovasikal,
rektovaginal dan fistula in ano serta obstruksi usus dan kesulitan defekasi (striktura
rekti).
 Sindrom genital lanjut
Ditandai oleh edema kronik yang dapat menimbulkan indurasi dan hiperplasi labia
secara poliploid dengan lobulasi dan papilla. Keadaan ini disebut “elephantiasis
labiae” (esthiomene). Orifisium uretra eksterna tertarik ke bawah akibat prolaps
dinding ventral vagina (visbek uretrae). Kadang-kadang tampak hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi kulit pada genitalia eksterna. Ulserasi vagina dapat menembus ke
vesika urinaria sehingga timbul fistula vesikovagal.
 Sindrom anogenital lanjut
Ditandai oleh perubahan-perubahan pada vulvoanal, rektovaginal, dan
anosigmoidorektal. Limfangitis dan perilimfangitis kronik pada vulvoanal
menimbulkan hiperplasi induratif, pada penekanan oleh kedua paha mengubah
elephantiasis tersebut menjadi gepeng dan disebut “Buchblatt condyloma”. Ulserasi
kronik pada rektum atau sigmoidorektum berakhir dengan jaringan parut sehingga
terjadi striktur. Ulserasi pada rektum dapat menembus vagina sehingga terjadi fistula
rektovagina. Abses perirektal dapat berlanjut menjadi fistula perianal dan bila
sfingter ani terkena akan timbul inkontinensia alvi. Akibat striktur pada rektum
sering terjadi kolitis ulseratif atau protokolitis.
 Sindrom uretral
Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian
menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya ialah terjadi striktur
hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish
mouth uretra dan penis melengkung seperti pedang Turki.

Gambar 4. Limfogranuloma Venereum pada Pria

Diagnosis
Untuk mendukung diagnosis LGV dapat dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang :
1) Tes Frei
Merupakan metode diagnosis pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis LGV
(1930-1970). Tes ini berdasarkan pada imunitas seluler terhadap virus LGV. Bahan
diambil dari aspirasi bubo yang belum pecah atau antigen yang dibuat dari hasil
pembiakan dalam selaput kuning telur embrio ayam, namadagang lygnanum.
Cara kerja:
1. Menyuntikkan 0,1 ml antigen intradermal pada lengan bawah dengan
kontrol pada lengan lainnya.
2. Reaksi dibaca setelah 48-72 jam, hasil positif bila tampak papul eritematosa
dikelilingi daerah infaltrat dengan diameter >6 mm dan daerah control
negative.
3. Hasil positif dalam waktu 2 sampai beberapa minggu (bahkan sampai 6
bulan) setelah infeksi dan akan tetap positif untuk jangkawaktu lama bahkan
seumur hidup. Reaksi ini merupakan delayed intradermal yang spesifik
terhadap golongan Chlamydia sehinggadapat member hasil positif semu
pada penderita dengan infeksi Chlamydia yang lain.
2) Tes Serologi
Tes serologi yang digunakan dalam pemeriksaan ini meliputi:
1. complement fixation tes (CFT)
2. radio isotop presipitation (RIP)
3. micro imunofluorescence (micro-IF) typing
CFT lebih sensitive dan dapat mendiagnosis lebih awal (positif), dan
antibodi bisa menetap selama bertahun-tahun. Pada pemeriksaan CFT
menggunakan antigen yang spesifik, yang merupakan tes yang lebih sensitive.
Terdapat reaksi silang dengan infeksi Chlamydia yang lain dan antibodi dapat
tetap positif dengan titer tinggi atau rendah sampai beberapa tahun. Titer lebih
atau sama dengan 1:64 menunjukkan adanya infeksi limfogranuloma venereum
yang aktif. Penurunan titer dapat dipakai untuk menunjukkan keberhasilan
terapi. Titer yang rendah biasanya pada kasus-kasus in-aktif atau infeksi
Chlamydia lainnya.
Pemeriksaan micro-IF dianggap lebih sensitive dibandingkan tesfiksasi
komplemen. Tes ini dapat memperlihatkan tipe strain antigen yang menyebabkan
infeksi melalui pola reaktivitasnya. Pada LGV, serumfase akut biasanya
mengandung antibody micro-IF yang sangat tinggi. Pada LGVdapat ditemukan
titer antibody IgG yang sangat tinggi (>1 : 2000) jauh melebihi titer urethritis
non gonokokus yang disebabkan oleh Chlamydia. Pemeriksaan RIP digunakan
oleh Philip et al untuk mendeteksi antibody limfogranuloma venereum yang
menggunakan antiglobulin untukpersipitasi antibody Chlamydia dan kompleks
Chlamydia meningopneumonitis radiolabeled yang tidak dapat dilihat dari
proporsi radioaktif yang dilepaskan. Antigen spesifik trachoma limfogranuloma
venereum diekstrasi dari pertumbuhan
Chlamydia dalam kultur jaringa.Pemeriksaan ini lebih sensitive dari pemeriksaan
micro-IF.
3) Kultur Jaringan
Dilakukan dalam yolk sac embrio ayam atau dalam biakan sel dengan
bahan pemeriksaan dari aspirasi pus bubo yang belum pecah dapat
member konfirmasi diagnosis.
4) Sitologi
Dipakai untuk menemukan badan inklusi Chlamydia yang khas dari
koloni virus, baik intraseluler maupun ekstraseluler. Specimen diambil dari
jaringan yang terinfeksi kemudian diwarnai dengan menggunakan metode
giemsa, iodine, dan antibodi fluoresen. Sitologi tidak terlalu baik sebagai metode
untuk diagnosis pasti LGV karena specimen sering kali terkontaminasi dengan
bakteri dan artefak lain.
5) Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk melihat asam nukleat spesifik Chlamydia trachomatis
pada kasus-kasus yang disebabkan organisme ini. Primer DNA yang digunakan
untuk mengetahui adanya sekuens DNA di dalam plasmid atau membraneprotein
bagian luar Chlamydia trachomatis.
6) Biopsi-Histopatologi
Biopsy digunakan untuk menyingkirkan diagnose banding yang tersering
yaitu infeksi atipik dan neoplasia. Gambaran histopatologi berupa hyperplasia
folikuler dan abses dari kelenjar limfe yang tidak spesifik.
7) Tes GPR
Tes GPR ini berdasarkan peningkatan globulin dalam darah. Dilakukan
dengan memberiakn beberapa tetes (1-2 tetes) formalin 40% pada 2 cc
serum penderita dan dibiarkan 24 jam. Hasil positif bila
terjadipenggumpalan (serum jadi beku). Tes ini tidak spesifik oleh karena dapat
positif pada penyakit lain.

Diagnosis LGV umumnya berdasarkan atas anamnesis adanya koitus


suspektus disertai gambaran klinis yang khas, dan hasil pemeriksaanpenunjang
antara lain:
1. Tes Frei positif.
2. Tes fiksasi komplemen atau tes serologi lain untuk LGV positif.
3. Isolasi Chlamydia dari jaringan yan terinfeksi pada kultur jaringan.
4. Pemeriksaan PCR untuk Chlamydia.
5. Pemeriksaan histology ditemukan Chlamydia dalam jaringan yang terinfeksi.

Diagnosis banding
1. Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat
persamaan, yakni pada kedua-duanya terdapat limfadenitis pada beberapa
kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak dengan akibatnya konsistensi
kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang multiple.
Kecuali itu LED meninggi pada kedua-duanya, sedangkan leukosit biasanya
normal. Perbedaannya, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut,
sedangkan pada skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga
berlainan, pada LGV di inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma pada
inguinal lateral dan femoral.
2. Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies
pada genitalia eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV
lesi primer pada umumnya telah tiada, karena cepat hilang. Kelima tanda radang akut
juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak sehingga tidak membentuk abses dan
fistel yang multupel seperti pada LGV. Pda pemeriksaan terdapat leukositosis.
3. Limfadenitis karena ulkus mole
Ulkus mole kini jarang terdapat. Jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi
primer masih tampak. Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi perlunakannya tidak
serentak.
4. Limfoma maligna
Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor,
biasanya tidak melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan dengan
gambaran histopatologiknya memberi kelainan yang khas.
5. Hernia inguinalis
Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebaliknya. Pada
hernia tanda-tanda radang tidak ada kecuali tumor, dan pada pengejanan tumor akan
membesar.

Tatalaksana
Penderita LGV akut dianjurkan untuk istirahat total dan diberikan terapi
untuk gejala sistemik yang timbul yaitu meliputi terapi berikut.
Rejimen yang direkomendasikan oleh National Guideline for the
management of Lymphogranuloma Venereum dan U.S Departement of health and
Human Services, Public Health Service Center for disease control and
Prevention:
 Doksiklin: merupakan pilihan pertama pengobatan LGV, dosis 2 X 100 mg/hari
selama 14-21hari atau tetrasiklin 2 gr/ hari atau minosiklin 300 mg diikuti 200
mg 2X/hari.
 Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari.
 Eritromisin: pilihan kedua, dosis 4 X 500 mg/hari selama 21 hari, terutama pada kasus-kasus
alergi obat golongan tetrasiklin pada wanita hamil dan menyusui.
 Eritrhomycin ethylsuccinate: dosis 800 mg 4 X / hari selama 7 hari.
 Kotrimoksasol (Trimetropin 400 mg dan sulfametoksasol 80 mg): dosis 3 X 2 tablet selama 7 hari.
 Ofloxacin: dosis 400 mg 2 X / hari selama 7 hari.
 Levof loxacin: dosis 500 mg 4 X / hari selama 7 hari
 Azithromycin: 1 gr dosis tunggal.

Tindakan pembedahan dilakukan pada stadium lanjut di samping


pemberian antibiotika. Pada abses multipel yang berfluktuasi dilakukan aspirasi
berulang karena insisi dapat memperlambat penyembuhan. Tindakan bedah antara
lain vulvektomi lokal atau labiektomi pada elefantiasis labia. Dilatasi dengan
bougie pada struktur rekti atau kolostomi bila terjadi obstruksi total, abses
perianal dan perirektal. Proses ini mempunyai risiko untuk terjadinya perforasi
usus, harus dibatasi pada yang lunak, struktur yang pendek tidak berada dibawah
peritoneum, dan jangan dilakukan striktur muda terlepas (licin) atau jika terjadi
perdarahan.
Operasi plastik dilakukan untuk elefantiasis penis, skrotum dan
esthiomene. Tidak ada satu prosedur pun yan diberikan tanpa didahului dengan
pemberian antibiotik, bahkan antibiotika harus diberikan beberapa bulan sebelum
diputuskan untuk dilakukan tindakan bedah. Resolusi spontan dari fibrosis LGV
belum pernah tejadi, tetapi proses inflamasi dan diameter striktur mungkin
mengalami kemajuan yang dramatis dengan pengobatan antibiotika.

Komplikasi
 Komplikasi LGV berupa stadium lanjut dari sindrom inguinal yaitu sindrom
anorektal dan sindrom genital atau Eschiomene.
 Dapat terjadi ruptur bubonuli sehingga terbentuk sinus dan fistel.
 Pada komplikasi jangka panjang dapat terjadi fibrosis dan jaringan parut pada penis.
 Pada wanita dapat terjadi servitis, perimetritis, dan salpingitis.
 Pada komplikasi sistemik dapat menyebabkan infeksi pulmo, perikarditis, arthritis,
konjungtivitis dan meningitis

Prognosis
Jika diobati secara dini, prognosisnya baik, tetapi jika terjadi komplikasi
lanjut dapat menyebabkan kematian. Reinfeksi dan relaps mungkin terjadi,
terutam pada pasien human immune deficiency virus (HIV), pada pasien ini dapat
berkembang dengan multipel abses, sehingga memerlukan terapi yang lebih lama
karena resolusinya terlambat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Canadian Guidlines on Sexually Transmitted Infections Section, Genital


Ulcer Disease, Public Health Agency of Canada. Reported cases and rates
of notifiable STI from February 1, 2013, Available at: http://www.phac-
aspc.gc.ca/std-mts/sti-its/cgsti-ldcits/section-4-3-eng.php . Accessed April
28, 2016.
2. Fahmi Daili, Sjaiful. Tinjauan Penyakit Menular Seksual(PMS). Dalam:
Adhi D, Mochtar H, Siti A,ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010:363-365
3. Edwards L. Diseases and disorders of the anogenitalia of females. In:
Fitzpatrick's T. Dermatology in General Medicine 8 edition. United States
of America: McGraw Hill; 2012:1376-95.
4. Hakim, Lukman. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. Dalam: Sjaiful
FD, Wresti IBM, Farida Z, Jubianto J, ed. Infeksi Menular Seksual. Edisi
3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005 : 3 – 16
5. Hutapea, Namyo. Sifilis. Dalam: Sjaiful FD, Wresti IBM, Farida Z,
Jubianto J, ed. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2005 : 70 – 87.
6. http://situs.kesrepro.info/pmshivaids/index.htm
7. Handoko, Ronny. Penyakit Virus. Dalam: Adhi D, Mochtar H, Siti A, ed.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2005 : 110 – 118.
8. Fahmi Daili, Sjaiful. Infeksi Genital Nonspesifik. Dalam: Adhi D, Mochtar
H, Siti A, ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2005 : 364 – 366.

You might also like