You are on page 1of 8

Jurnal

Sumber : anonym.Metilen biru untuk malaria di Afrika: hasil dari sebuah penelitian penentuan
dosis terbaik yang dikombinasikan dengan kloroquin.
http://www.jurnalterjemahan.co.tv/2010/04/metilen-biru-untuk-malaria-di-
afrika.html

Metilen biru untuk malaria di Afrika: hasil dari sebuah penelitian penentuan dosis
terbaik yang dikombinasikan dengan kloroquin

Pembahasan : Metilen biru (MB) sebelumnya digunakan sekitar 100 tahun yang lalu
untuk mengendalikan malaria tetapi kemudian menghilang ketika CQ dan obat-obat lain
memasuki pasaran. MB, sebuah inhibitor spesifik untuk glutation reduktase P.
falciparum, memiliki potensi untuk membalikkan resistensi CQ dan mencegah
polimerisasi haem menjadi haemozoin yang mirip dengan antimalaria 4-amino-kuinolin.
Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa kombinasi MB-CQ cukup aman pada dewasa dan
anak-anak dengan dan tanpa defisiensi G6PD. Akan tetapi, MB oral yang diberikan dua
kali sehari (4 mg/kg/hari) bersama dengan dosis standar CQ selama tiga hari tidak efektif
dalam pengobatan malaria parah pada anak-anak kecil di kota Nouna di Burkina Faso
pada tahun 2003. Nilai CF setelah 14 hari adalah 53,7%, 95% CI 37,4 – 69,3, pada
kelompok kontrol CQ. Hasil penelitian yang dilakukan pada 412 anak di Sub-Sahara
Afrika menunjukkan bahwa secara tidak langsung tentang efikasi MB dalam pengobatan
malaria falciparum tidak parah di SSA tetapi secara jelas menunjukkan bahwa kombinasi
CQ-MB tidak bermanfaat dalam pengobatan malaria di SSA.

1) Sumber : Sutanto Inge, et al. Evaluasi Terapi Kloroquin pada Malaria Falciparum dan
Vivax di Sumatera Selatan, Indonesia Barat.

http://www.malariajournal.com/content/9/1/52

Evaluasi terapi kloroquin pada malaria falciparum dan vivax di Sumatera Selatan,
Indonesia Barat.

Pembahasan : Terdata 42 pasien yang terinfeksi malaria falciparum, dan 38 diantaranya


memenuhi kriteria untuk analisa per protokol. Dari 38 pasien, hanya 6(16%) yang
menunjukkan respon konsisten dengan sensitivitas terhadap kloroquin. 25 dari 32
kegagalan dikonfirmasi dengan menunjukkan tingkat resisten kloroquin pada hari
kambuh melebihi konsentrasi efektif minimal (200 ng/ mL darah utuh). Kumulatif
kejadian 28 hari resistansi pada P. falciparum sebesar 68%

2) Sumber : Anonym. Guidelines for the treatment of malaria. Edisi ke-2. Geneva:
WHO;2010. Hlm 13-47.
http://www.blogcatalog.com/search/frame?
term=terapi+kombinasi&id=0e39769334749088445cedc01afd8ce3

Guidelines for the treatment of malaria

Pembahasan :

Pengobatan malaria P. falciparum tanpa komplikasi

- Terapi kombinasi berbasis artemisinin harus digunakan dalam preferensi untuk


sulfadoxinepyrimethamine (SP) ditambah amodiaquine (AQ) untuk pengobatan
malaria P. falciparum tanpa komplikasi.

Rekomendasi yang kuat, bukti kualitas sedang.

- ACTs harus disertakan setidaknya 3 hari pengobatan dengan artemisinin derivatif.


Rekomendasi yang kuat, bukti kualitas tinggi.

- Dihydroartemisinin ditambah piperaquine (DHA + PPQ) adalah sebuah pilihan untuk


pengobatan lini pertama dari P. falciparum tanpa komplikasi di seluruh dunia.
Rekomendasi yang kuat, bukti kualitas tinggi.

- Penambahan primakuin dosis tunggal (0,75 mg / kg) untuk pengobatan ACT untuk P.
falciparum tanpa komplikasi sebagai obat antigametocyte, terutama sebagai
komponen pra-eliminasi atau program eliminasi.

Pengobatan malaria P.falciparum berat

- Intravena (IV) artesunate harus digunakan dalam preferensi untuk kina dalam
pengobatan yang P. falciparum berat pada orang dewasa.
rekomendasi yang kuat, bukti kualitas tinggi

3) Sumber : Maryatun, et al. Penilaian kasus kegagalan kloroquin terhadap penderita


malaria falciparum dan faktor yang mempengaruhinya di beberapa puskesmas.

http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=8593
Penilaian kasus kegagalan kloroquin terhadap penderita malaria falciparum dan
faktor yang mempengaruhinya di beberapa puskesmas.

Pembahasan : Studi ini adalah tes in-vivo untuk 28 hari yang menggunakan protokol dari
WHO 2003. Protokol ini digunakan untuk menilai kemanjuran kloroquin pada
pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi, berdasarkan pemeriksaan klinis dan
parasitologis. Penelitian ini dilaksanakan di RSU Sabang dan Puskesmas daerah Paya
Seunara selama Januari-Juli 2004. Subyeknya adalah penderita malaria dengan mono
infeksi P.falciparum yang memenuhi kriteria inklusi.Untuk mengetahui faktor risiko
kegagalan pengobatan digunakan rancangan penelitian kasus kontrol. Hasil penelitian
pada hari ke-14 menunjukkan bahwa: 62,14% mencapai respon klinis dan parasitologis
(ACPR), 10,68% kegagalan pengobatan dini (ETF), 14,56% kegagalan klinis lambat
(LCF), dan 12,62% kegagalan parasitologis lambat (LPF ). Evaluasi hari ke 28
menunjukkan bahwa; 52,43% ACPR, 10,68% ETF, 20,39% LCF dan 16,5% LPF. Faktor
risiko yang memiliki hubungan signifikan dengan kegagalan pengobatan adalah
splenomegaly, dosis yang tidak sesuai, tidak mengikuti aturan pakai kloroquin, dan
pembelian kloroquin di toko. Ini mengarah pada kesimpulan bahwa daerah Sabang di
Provinsi NAD adalah daerah kegagalan pengobatan klorokuin untuk malaria falciparum.

4) Sumber : Miriam K. Laufer et al. Kembalinya efikasi antimalaria kloroquin di Malawi.

http://content.nejm.org/cgi/content/abstract/355/19/1959

Kembalinya efikasi antimalaria kloroquin di Malawi

Pembahasan : Pada tahun 1993, Malawi menjadi negara pertama di Afrika yang menggantikan
kloroquin dengan kombinasi sulfadoksin dan pirimetamin untuk pengobatan malaria. Pada saat
itu, kemanjuran klinis kloroquin kurang dari 50%. Penanda molekul malaria falciparum resisten
klorokuin terus menurun secara merata dan tidak terdeteksi pada tahun 2001, menunjukkan
bahwa klorokuin mungkin akan efektif lagi di Malawi. Untuk itu dilakukan uji klinis secara acak
yang melibatkan 210 anak-anak dengan malaria Plasmodium falciparum tanpa komplikasi di
Blantyre, Malawi. Anak-anak diobati dengan klorokuin atau sulfadoksin-pirimetamin dan dinilai
selama 28 hari untuk mengukur kemanjuran obat antimalaria. Dalam analisa yang dilakukan
sesuai dengan protokol penelitian, kegagalan pengobatan terjadi pada 1 dari 80 peserta dengan
terapi klorokuin, dibandingkan dengan 71 dari 87 peserta dengan terapi sulfadoksin-pirimetamin.
Keberhasilan kumulatif klorokuin adalah 99% dan efikasi sulfadoksin-pirimetamin adalah 21%.
Di antara anak yang diobati dengan klorokuin, jangka waktu untuk parasit clearance adalah 2,6
hari dan jangka waktu untuk resolusi demam adalah 10,3 jam. Tidak terjadi efek samping tak
terduga yang berhubungan dengan studi obat. Dari hasil uji tersebut disimpulkan bahwa setelah
penggunaannya ditarik selama 12 tahun, kloroquin sekali lagi menjadi pengobatan manjur untuk
malaria di Malawi.

5) Sumber : Endi Ridwan et al. Pengaruh pemberian vitamin E terhadap efektifitas Artemisinin
sebagai obat malaria.

http://www.mediamedika.net/archives/198

Pengaruh pemberian vitamin E terhadap efektifitas Artemisinin sebagai obat malaria.

Pembahasan : Penggunaan obat klorokuin sebagai anti malaria ternyata telah menimbulkan
resistensi dan efek samping dari yang ringan sampai yang cukup serius. Artemisinin diketahui
dapat digunakan untuk pengobatan malaria yang telah resisten terhadap obat klorokuin. Untuk
mendapatkan manfaat yang optimal penggunaan dan efèktivitas artemisinin, bila diberikan
bersama dengan vitamin E. Dilakukan penelitian dengan desain eksperimental . Enam puluh ekor
mencit albino jantan galur Swiss berumur 8 minggu dengan berat sekitar 30 gram dibagi menjadi
5 kelompok. Empat kelompok diberi suplementasi vitamin E dan satu kelompok tanpa
suplementasi sebagai kontrol. Infeksi parasit malaria Plasmodium berghei galur Anka (PbA)
dilakukan pada hari ke-61 penelitian secara intraperitonial. Artemisinin diberikan secara oral pada
han ke-70 dan 71. Evaluasi terhadap parasitemia hari ke 69, 70 dan 71. Hasilnya adalah semakin
tinggi kadar vitamin E. mencit semakin tahan terhadap infèksi Plasmodium benghei. akan tetapi
efektifitas artemisinin menurun pada mencit dengan kadar Vitamin E yang semakin tinggi. Maka
disimpulkan bahwa pemberian vitamin E bersamaan dengan pengobatan artemisinin sebaiknya
dihindari karena suplementar Vitamin E menekan resiko parasitemia, akan tetapi menekan
efektivitas Artemicin.

6) Sumber : Halim ID et al. Malaria berat pada anak yang mendapat pengobatan kombinasi
Kina dan Primakuin.

http://mki.idionline.org/index.php?
uPage=mki.mki_dl&smod=mki&sp=public&key=ODYtMTY=

Malaria berat pada anak yang mendapat pengobatan kombinasi Kina dan
Primakuin.
Pembahasan : Penelitian ini merupakan suatu penelitian retrospektif dari tahun 2000-
2003 di RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Sampel termasuk dalam penelitian ini
adalah semua penderita malaria berat yang diobati dengan kina dan primakuin pada saat
masuk rumah sakit, dan berusia 1 bulan – 13 tahun. Dari 363 penderita yang dirawat
denga malaria falciparum terdapat 148 orang dengan malaria berat (75 laki-laki dan 73
perempuan), terdiri dari hiperparasitemia 88 org, malaria serebral 21 orang, malaria
biliosa 8 orang, malaria algid 1 orang, dan malaria dengan anemia 30 orang. Pada
penelitian, penderita diambil sebagai sampel dengan kriteria inklusi, didiagnosis sebagai
malaria berat dan mendapatkan pengobatan kina HCL dan primakuin. Penderita yang
menunjukkan gejala infeksi sekunder oleh bakteri diberi antibiotic yang sesuai, bila
kejang diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB dengan dosis
maksimum 10 mg/kgBB yang perlahan-lahan dilanjutkan dengan diazepam oral/sonde
dengan dosis yang sama 4 kali sehari. Transfusi darah diberikan pada penderita dengan
anemia berat, dan pemeriksaan darah malaria dilakukan setiap hari selama 7 hari
berturut-turut. Hasilnya dari malaria berat terdapat 6 orang yang meninggal : 5 orang
malaria serebral (setelah dirawat 1-6 hari) dan 1 orang malaria algid (setelah dirawat
selama 6 hari). Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa sebagian besar
penderita malaria falciparum yang diteliti mengalami komplikasi, penderita malaria berat
yang diteliti sebagian besar dengan hiperparasitemia dan anemia, penderita malaria
serebral mempunyai angka kematian yang tinggi bila dibandingkan dengan komplikasi
malaria falciparum lainnya, meskipun sudah diberikan pengobatan yang adekuat dan
penanganan yang intensif.

7) Sumber : P. K. Mohapatra et al. Evaluasi terapi kloroquin (CQ) dan sulphadoxine /


pirimetamin (SP) pada malaria falciparum tanpa komplikasi di daerah perbatasan Indo-Myanmar.

http://www.skripsi-tesis.com/site/http://www3.interscience.wiley.com/resolve/doi?
DOI=10.1111/j.1365-3156.2005.01401.x

Evaluasi terapi kloroquin (CQ) dan sulphadoxine / pirimetamin (SP) pada malaria
falciparum tanpa komplikasi di daerah perbatasan Indo-Myanmar.

Pembahasan : Kloroquin (CQ) dan sulphadoxine / pirimetamin (SP) adalah dua lini pertama
Antimalaria dibawah Kebijakan Obat Nasional India yang berlaku yang digunakan negara-negara
di wilayah perbatasan timur laut India termasuk Myanmar. Meskipun resistensi terhadap
Antimalaria pada Plasmodium falciparum yang menyebar luas telah dilaporkan dari Myanmar
barat, tetapi informasi dari sisi perbatasan India masih langka. Kami mempelajari respon terapi
untuk CQ dan SP di empat lokasi di Changlang dan Lohit, dua kabupaten Arunachal Pradesh
yang berbatasan dengan Myanmar. Kami memonitor pasien malaria falciparum tanpa komplikasi
setelah pengobatan dengan regimen standar CQ dan SP selama 28 hari dengan mengikuti
protokol in-vivo dari WHO yang telah diperbarui. Sebanyak 236 pasien, 95 di kelompok CQ dan
141 pada kelompok SP, berpartisipasi. Kami mencatat 23,8% kegagalan pengobatan dini untuk
CQ dan 14,1% untuk SP; kegagalan klinis lambat sebesar 14,3 dan 12,6%; kegagalan
parasitologis lambat 10,7 dan 8,1% dan respon klinis dan parasitologis yang adekuat masing-
masing sebesar 51,2 dan 65,2%. Perbedaan tingkat kegagalan pengobatan yang signifikan muncul
di Chowkham (terjauh dari perbatasan Indo-Myanmar) dan Jairampur / Nampong (terdekat dari
perbatasan Indo-Myanmar) untuk klorokuin dan SP menunjukkan gradien non-respon terhadap
dua Antimalaria yang terbentang pada perbatasan internasional. Gradien ini mungkin
menunjukkan arah gerakan dari parasit P. falciparum sebagi resisten obat. Kegunaan obat
klorokuin sebagai lini pertama dibawah Kebijakan Obat Nasional di daerah-daerah tersebut perlu
dipertimbangkan kembali.

8) Sumber : Margareta Yuliani et al. Efikasi terapi artemeter dan primakuin versus
klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderita malaria tanpa komplikasi di wilayah
Puskesmas Kokap, Samigaluh, Girimulyo Kabupaten Kulon Progo.

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:Ks7ckM_XCCMJ:i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php%3FdataId
%3D1320+terapi+pengobatan+malaria+jurnal&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESiF
nkHCgfpp5nBTsKhnhvXPZg3DSXOloVJL1xoNbmdNklRVYMsjmppg_xb_dlod6T5z9
kcXp3K1BYIcaU9eNvLeZMUAEJMo41hjLjSRy1i1Jr9Hczbip_8tLU1XIrNCX60fetep&
sig=AHIEtbQAKWHszIcVRuSU8bMMxBzqPfh-EA

Efikasi terapi artemeter dan primakuin versus klorokuin dan primakuin pada
anak-anak penderita malaria tanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap,
Samigaluh, Girimulyo Kabupaten Kulon Progo.

Pembahasan : Dalam penelitian 63 anak diikutsertakan melalui penemuan kasus aktif


(ACD) dan penemuan kasus pasif (PCD) dari bulan April sampai Juli 2004 di Puskesmas
Kokap, Samigaluh dan Girimulyo, Kulon Progo; Mereka memenuhi kriteria inklusi
malaria tanpa komplikasi, bersedia mengikuti penelitian selama 28 hari dengan
menandatangani lembar informed consent. Subjek dibagi secara random ke dalam dua
kelompok terapi: artemeter bersama primakuin dan kloroquin bersama primakuin.
Observasi klinis dan parasitologis dilakukan pada H0, H1, H2, H3, H7, H14 dan H21.
Kriteria WHO (2003) untuk respons terapi digunakan untuk mengevaluasi efikasi terapi.
Respons klinis akademis dan parasitologi (ACPR) dibandingkan dengan kegagalan terapi
(kegagalan terapi awal/ETF dan kegagalan terapi tertunda/LTF). Analisis statistic
dilakukan denga Pearson X2. Disimpulkan bahwa artemeter bersama primakuin
menunjukkan efikasi terapi lebih baik (92,8%) dibanding klorokuin bersama primakuin
(71%) pada anak dengan malaria tanpa komplikasi.

9) Sumber : Djatmiko, Wahyu.Uji efikasi terapi artesunat + amodiakuin pada malaria


falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah.

http://eprints.undip.ac.id/12561/

Uji efikasi terapi artesunat + amodiakuin pada malaria falciparum tanpa


komplikasi di Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah.

Pembahasan : Penelitian dilakukan dalam periode Oktober 2003 — Maret 2004 pada
pasien rawat jalan di enam puskesmas : Madukara, Petuguran, Wanadadi, Banjamegara
II, Kendaga dan Banjarmangu I, Kabupaten Banjamegara, Propinsi Jawa Tengah,
Indonesia Metode yang digunakan (termasuk kriteria inklusi) berdasar protokol WHO
untuk efikasi terapi obat anti malaria pada malaria faciparum tanpa komplikasi (tahun
2001 dan 2003). Artesunate 4mg/kgBB dosis tunggal per oral diberikan pada HO, H1 dan
H2, dikombinasikan dengan Amodiaquine 25mg/kgBB per oral untuk 3 hari :
10mg/kgBB pada HO dan HI serta 5mg/kgBB pada 112. Seluruh pasien mendapatkan
primaquine 0,75mg/kgBB per oral pada H28. Bila suhu aksiler > 38°C, diberikan
parasetamol 10mg/kgBB setiap 8 jam. Agar didapatkan compliance pengobatan yang
baik maka pada saat pasien minum obat dilakukan pengawasan langsung oleh petugas
puskesmas. Respon terapi diamati berdasarkan dapatan klinis dan parasitologis selama 28
hari. Klasifikasi respon terapi berdasar protokol WHO (2001). Penilaian hasil primer
meliputi Kegagalan pengobatan dini (KPD), Kegagalan klinis dan parasitologis kasep
(KKK), Kegagalan parasitologis kasep (KPaK) dan Respon klinis dan parasitologis
memadai (RKPaM). Penilaian hasil sekunder meliputi FCT (fever clearance time), PCT
(parasites clearance time) dan GCR (gametocyte carder rates). Untuk membedakan
reinfeksi dengan rekrudensi akibat kegagalan terapi diperiksa genotype marker dengan
menggunakan metode Pat. Hasil penelitian menunjukkan dari empat puluh tiga pasien
(laki-laki 53,5%) dengan malaria falciparum tanpa komplikasi yang diikutsertakan dalam
penelitian ini, seorang pasien loss to follow up pada H7. RKPaM pada H14 : 95,2% dan
pada H28 : 80,9% (PCR corrected). Mual dan pusing merupakan keluhan efek samping
terbanyak, dan seluruh pasien sudah tidak ada keluhan setelah H7. Pemberian primaquine
pada H28 perlu dievaluasi dan dapat diberikan lebih awal, yaitu pada H0. Disimpulkan
bahwa kombinasi artesunate+amodiaquine selama 3 hari menunjukkan respon klinis yang
baik terhadap pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten
Banjarnegara. ACT ini dapat ditoleransi dengan baik dan tidak didapatkan efek samping
yang serius.

You might also like