You are on page 1of 4

3.

Cara Menanggulangi

1. Pergiliran tanaman

Beberapa biji tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pakan ternak seperti
jagung, biji kapas, kacang tanah dan beberapa biji tree nut dilaporkan merupakan inang utama A.
flavus (Abbas et al., 2009). Penanaman secara terus menerus dengan tanaman inang yang sama
atau pergiliran tanaman dengan tanaman inang lain beresiko mempertahankan atau menaikkan
populasi alami A. flavus. Untuk menghindari hal tersebut, pergiliran tanaman dengan tanaman
bukan inang A. flavus merupakan langkah yang dapat ditempuh dan berpotensi menurunkan
populasi alami A. flavus.

2. Pengolahan tanah

Pengelolaan tanah dimaksudkan untuk mengurangi kerapatan inokulum awal, baik yang berupa
miselia, konidia maupun sklerosia. Bahan organik yang berasal dari bagian tanaman inang antara
lain jagung, kacang tanah dan kapas maupun bukan inang, misalnya kedelai merupakan tempat
koloni A. flavus. Sebagai contoh adalah pada lahan jagung, populasi alami A. flavus di tanah
berkisar antara 200 sampai dengan >300.000 colony forming units (cfu)/g (Abbas et al., 2004a).
Populasi ini mencerminkan £ 0,2% sampai £ 8% populasi jamur tanah yang dapat dikulturkan
pada media di laboratorium (Abbas et al., 2009). Setelah panen jagung, populasi A.
flavusbervariasi antara 1.000 sampai 1.000.000 cfu/g jaringan tanaman yang tertinggal di lahan.
Koloni A. flavustinggi juga ditemukan pada sisa tangkai jagung kering, jaringan vegetatif
tanaman kedelai dan kapas, masing-masing sekitar 10.000, 1.000 dan 1.000 cfu/g (Abbas et al.,
2008). Pengelolaan tanah sebelum penanaman kacang tanah dengan cara menghilangkan atau
memusnahkan bahan organik diikuti dengan penggenangan lahan berpotensi mengurangi sumber
inokulum fase saprofit.

3. Menanam inang tahan

Pemilihan tanaman inang tahan merupakan langkah ekonomis yang dapat ditempuh. Selama
varietas tahan belum tersedia, penanaman varietas kacang tanah agak tahan dapat menjadi
pilihan dalam praktek budidaya. Varietas Jerapah, Kancil, Sima, Turangga, Domba dan Bison
dilaporkan agak tahan terhadap infeksi A. flavuspra panen (Rahmianna dan Ginting, 2003,
Kasno, 2009).

4. Pemupukan berimbang

Pemupukan dimaksudkan untuk membuat tanaman tumbuh optimal karena suplai nutrisi
terpenuhi. Aplikasi pupuk berimbang menghasilkan kualitas biji bernas dan tidak rentan terhadap
serangan hama dan infeksi patogen. Untuk tujuan ini, pupuk N, P, K dan dolomit diaplikasikan
dengan dosis 23 kg N, 45 kg P2O5, 22,5 kg K2O/ha dan 500 kg dolomit/ha. Aplikasi N, P, dan K
diberikan pada saat tanam dengan cara ditebar di dalam alur sepanjang barisan tanaman kacang
tanah sebelum alur ditutup kembali. Aplikasi dolomit dilakukan pada fase pembungaan di sekitar
tanaman (Ginting dkk, 2003).
5. Aplikasi pestisida spesifik target

Serangan hama dan infeksi patogen akan mempengaruhi penampilan tanaman dan kebernasan
serta kualitas biji. Biji rusak rentan terhadap inf
eksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin (Rahmianna dkk, 2007). Selain itu, luka makro maupun
mikro akibat hama maupun patogen merupakan jalan masuk bagi A. flavus untuk menginfeksi
biji atau bertahan sebagai sumber inokulum yang terbawa pada periode pasca panen. Salah satu
contoh rekomendasi untuk lahan yang endemik hama uret adalah aplikasi Carbofuran 0,5 – 4
kg/ha tergantung pada stadia dan populasi hama pada saat kacang tanah berumur 50 hari atau
pada saat tanaman memasuki fase pembentukan polong dan pengisian biji. Aplikasi dilakukan
segera sesudah pengairan (Ginting dkk, 2003).

6. Pengendalian biologi

Pengendalian biologi menggunakan A. flavus strain non toksik memiliki prospek yang
menjanjikan untuk mengurangi kontaminasi aflatoksin pra panen. Strain non toksik hidup di
lingkungan (niche) yang sama dengan strain toksik, sehingga strain non toksik mampu
berkompetisi karena menggunakan ruang dan sumber nutrisi yang sama (Abbas, 2011).
Keuntungan lain adalah strain non toksik yang terbawa pada periode panen dan pasca panen
tidak beresiko untuk menghasilkan aflatoksin.

a.Kontrol Lingkungan
Pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus sangat tergantung padalingkungannya seperti suhu
(25-350C), pH (4-6), aktivitas air (80%), dan kondisi atmosfiraerobik, serta kadar air (18 %).
Suhu merupakan salah satu faktor penentu dalam pertumbuhandan perkembangan cendawan A.
flavus, sehingga pada kondisi diluar suhu optimal makacendawan itu susah akan berkembang.
Dengan demikian penggunaan suhu (temperatur) untuk pengeringan tongkol jagung sampai
kadar air dibawah 18% dapat menghambat pertumbuhancendawan. Pengeringan jagung dapat
pula menurunkan aktifitas air (< 80%), begitu pulaterhadap penurunan kadar air (< 18%), maka
kondisi ini cendawan A. Flavus pertumbuhannyaakan terganggu, bahkan pada kondi
si yang ekstrim dapat mematikan (Talanca dan Mas’ud,
2009).
b.

Upaya Biologis
Penggunaan mikoroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan cendawan A. flavus,sekaligus
mengurangi kandungan aflatoksin (Garber dan Cotty; Pitt
dalam Talanca dan Mas’ud,
2009). Selanjutnya Van Veen et al ; Muhilal et al dalam Talanca dan
Mas’ud (2009
)melaporkan bahwa cendawan Neurospora sp. Dan Rhizopus sp. dapat menurunkan kandunganaflatoksin
masing-masing 50 – 79%. Marth dan Doyle dalam
Talanca dan Mas’ud (2009
)menunjukkan bahwa sebagian besar mikroorganisme yang diketahui dapat merusak
aflatoksinadalah jenis cendawan dan hanya satu jenis bakteri, serta satu jenis protozoa (Tabel 7).
c.
Tindakan Fisik
Radiasi sinar matahari sangat membantu dalam upaya menekan perkembangancendawan A.
flavus pada tongkol dan biji jagung. Waktu panen jagung yang tepat saatterbentuknya black layer
lebih 50 %, dan bila cuaca memungkinkan, maka pengeringan tongkoldiatas tegakan batang
jagung beberapa hari sebelum panen sebaiknya dilakukan. Untuk itusangat dianjurkan agar
setelah panen jagung, maka segera tongkol jagung dikeringkan denganbantuan sinar matahari
sampai kadar air 17%, kemudian dilakukan pemipilan denganmenggunakan mesin pemipil
(tresser), yang selanjutnya dijemur sampai kadar air 11-12% laludimasukkan dalam karung
plastik dan disimpan ditempat penyimpanan.Namun apabila kondisi cuaca tidak memungkinkan
untuk melakukan pengeringandengan sinar matahari, maka dapat pula dilakukan pengasapan
atau pemberian hembusan hawapanas dengan alat mesin. Penundaan pengeringan tongkol
jagung dengan kadar air 26-35%selama 4 hari, maka kandungan aflatoksin bisa mencapai 37 ppb
(Paz et al. dalam Talanca dan
Mas’ud,
2009). Secara tradisional beberapa petani masih menggunakan pengasapan tongkol

jagung diatas dapur mereka, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai
kadar air 12%, kemudiandikarungkan
lalu disimpan (Talanca dan Mas’ud, 2009).

d.

Penggunaan bahan Kimia


Penggunaan bahan kimia dapat pula dipakai untuk menghambat pertumbuhan danperkembangan
cendawan A.
flavus
pada jagung. Sebagai contoh adalah ammonia dan asampropionat yang bersifat asam pada
tanaman jagung, yang diduga dapat berpengaruh kontak terhadap A.
flavus
pada permukaan tanaman, sehingga siklus hidupnya terganggu. Hasilpenelitian Pakki (2009)
menunjukkan bahwa penyemprotan ammonia atau asam propionat dosis1,5-2 ml/air pada fase
vegetative tanaman jagung, maka dapat mengurangi jumlah spora A.flavus yang menempel pada
jambul jagung. Selanjutnya penggunaan asam ammonia pada jagungdi Thailand dapat
berpengaruh terhadap penurunan kadar aflatoksin dari 1000 ppb menjadi 10ppb (Ingalantileke
dalam Talanca dan Mas’ud, 2009)
. Efek perlakuan kimiawi terhadap sisa biji jagung yang terinfeksi Aflatoksin disajikan pada
Tabel 8

EFEK
Pada ternak ruminansia, cemaran aflatoksin dapat mengakibatkan penurunan berat badan ; penurunan berat badan ini
signifikan dengan besarnya cemaran pada ternak tersebut (Dass dan Arora, 1994). Tercemarnya pakan ternak oleh
Aspergillus sp dengan aflatoksin yang dihasilkannya, dapat mengganggu fungsi-fungsi metabolisme, absorbsi
lemak, penyerapan unsur mineral (Cu, Fe, Ca, P, beta-karoten), dan juga menyebabkan penurunan kekebalan tubuh,
kegagalan program vaksinasi, kerusakan kromosom, perdarahan, dan memar . Semua gangguan tersebut akan
berakibat terhambatnya pertumbuhan dan meningkatnya kematian ternak, sehingga produksi ternak menurun (Jassar
dan Balwant Singh, 1989 ; Abdelhamid dan Dorra, 1990 ; Dimri et al.1994 ; Mani et al.2001 ; Prabaharan et
al.1999) .
1. Nefrotoksik, menyebabkan gangguan : metabolisme, absorbsi lemak, penyerapan unsur mineral (Cu, Fe, Ca, P,
beta-karoten), juga perdarahan dan memar.
2. Imunosupresif, menyebabkan penurunan fungsi kekebalan tubuh, mengakibatkan pertumbuhan terhambat,
kematian meningkat, dan produksi menurun.
3. Aflatoksin M1, merupakan hasil metabolisme aflatoksin B1, pada ruminansia diekskresikan melalui air susu,
mempunyai sifat karsinogenik, genotoksik, hepatotoksik pada manusia.

You might also like