You are on page 1of 44

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTHESIA PADA PASIEN KISTA OVARIUM CURIGA


GANAS DENGAN CHF (Chronic Heart Failure)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Dalam Pendidikan Program


Profesi Dokter Stase Ilmu Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun Oleh :
Moh. Ilham Akbar, S.Ked J510170090

Pembimbing
dr. Bambang Sutanto, Sp.An
dr. Ricka Lesmana, Sp.An
dr. Febrian Dwi Cahyo, Sp.An

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
LAPORAN KASUS
GENERAL ANESTHESIA PADA PASIEN KISTA OVARIUM CURIGA
GANAS DENGAN CHF (Chronic Heart Failure)
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Dalam Pendidikan Program
Profesi Dokter Stase Ilmu Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :

Moh. Ilham Akbar, S.Ked J510170090

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Stase Ilmu Anestesi dan
Reanimasi Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Pembimbing :

dr. Bambang Sutanto, Sp.An (………………………………)

dr. Ricka Lesmana, Sp.An (………………………………)

dr. Febrian Dwi Cahyo, Sp.An (………………………………)

dipersentasekan dihadapan

dr. Bambang Sutanto, Sp.An (………………………………)


BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an-
"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk
mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh
selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi,
maintenance, dan pemulihan. Ada tiga kategori utama anestesi, yaitu anestesi
umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk
dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang
menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
dari masing-masing tindakan tersebut.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya
mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum
dapat dilakukan dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui
intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk anak-anak) dan
inhalasi.

Ovarium mempunyai fungsi yang sangat penting pada reproduksi dan


menstruasi. Gangguan pada ovarium dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan, perkembangan dan kematangan sel telur. Gangguan yang paling
sering terjadi adalah kista ovarium, sindrom ovarium polikistik, dan kanker
ovarium.
Kista adalah pertumbuhan berupa kantung (pocket, pouch) yang
tumbuh dibagian tubuh tertentu. Kista ovarium adalah suatu kantung yang
berisi cairan atau materi semisolid yang tumbuh dalam ovarium.1 Penemuan
kista ovarium pada seorang wanita akan sangat ditakuti oleh karena adanya
kecenderungan menjadi ganas, tetapi kebanyakan kista ovarium memiliki sifat
yang jinak (80-84%). Pada wanita usia muda (biasanya kurang dari 40 tahun)
resiko pertumbuhan menjadi ganas berkurang, oleh karena itu kista dapat
dikontrol dengan USG pelvic. Ada beberapa yang menjadi ganas, dengan
risiko terjadinya karsinoma terutama pada wanita wanita yang mulai
menopause.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KISTA OVARIUM

2.1 Anatomi Ovarium

Gambar 1 : Anatomi Ovarium dan Tuba

Wanita pada umumnya memiliki dua indung telur kanan dan kiri, dengan
penggantung mesovarium di bagian belakang ligamentum latum, kiri dan kanan.
Ovarium adalah kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang kira-
kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm.1

Hilusnya berhubungan dengan mesovarium tempat ditemukannya pembuluh-


pembuluh darah dan serabut-serabut saraf untuk ovarium. Pinggir bawahnya
bebas. Permukaan belakangnya pinggir keatas dan belakang , sedangkan
permukaan depannya ke bawah dan depan. Ujung yang dekat dengan tuba terletak
lebih tinggi dari pada ujung yang dekat pada uterus, dan tidak jarang diselubungi
oleh beberapa fimbria dari infundibulum.1,4
Ujung ovarium yang lebih rendah berhubungan dengan uterus dengan
ligamentum ovarii proprium tempat ditemukannya jaringan otot yang menjadi

satu dengan yang ada di ligamentum rotundum. Embriologik kedua ligamentum


berasal dari gubernakulum1,2,3

Gambar 2 : Anatomi Ovarium

Secara histologik, ovarium dilapisi oleh epitelium germinalis dan tunika


albugenia. Sisi dalam ovarium terdiri dari sel-sel folikel dan jaringan ikat yang
sangat sensitif terhadap hormon seks. Ovarium diperdarahi oleh arteri ovarica
kanan dan kiri yang merupakan cabang dari aorta desendens. Vena sebagai
drainase mengikuti perjalanan arteri ovarica sebagai vena ovarica kanan dan kiri.4

2.2 Definisi Tumor Ovarium

Secara harfiah, Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam
tubuh akibat pengaruh berbagai faktor penyebab dan menyebabkan jaringan
setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya.
Istilah neoplasma pada dasarnya memiliki makna sama dengan tumor. Keganasan
merujuk kepada segala penyakit yang ditandai hiperplasia sel ganas.
Tumor ovarium adalah sebuah proses penumbuhan jaringan baru yang berasal
dari ovarium baik yang bersifat jinak maupun ganas. Beberapa literatur
menggolongkan kista sebagai tumor namun beberapa literatur lain memisahkan

antara tumor dengan kista. Perlu diketahui bahwa definisi kista adalah suatu jenis
tumor berupa kantong abnormal yang berisi cairan. Karena secara definisi tumor
adalah jaringan, oleh karena itu beberapa literatur membedakan antara kista
dengan tumor ovarium.

Gambar 3 : Ilustrasi Tumor Ovarium

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan data penilitian Jurnal Medscape di Amerika Serikat, umumnya


kista ovarium ditemukan saat pasien melakukan pemeriksaan USG baik abdominal
maupun transvaginal dan transrektal. Kista ovarium terdapat disekitar 18% yang
sudah postmenopause. Sebagian besar kista yang ditemukan merupakan kista jinak,
dan 10% sisanya adalah kista yang mengarah ke keganasan.

Kista ovarium fungsional umumnya terjadi pada usia produktif dan relatif
jarang pada wanita postmenopause. Secara umum, tidak ada persebaran umur yang
spesifik mengenai usia terjadinya kista ovarium.5

2.4 Klasifikasi Tumor Ovarium


Diantara tumor-tumor ovarium ada yang bersifat neoplastik dan non
neoplastik. Tumor neoplastik dibagi atas tumor jinak dan ganas, dan tumor jinak
dibagi dalam tumor kistik dan solid

A. Tumor Non Neoplastik


a. Tumor akibat radang
i. Abses ovarial
ii. Abses tubo – ovarial
iii. Kista tubo – ovarial
b. Tumor lain
i. Kista folikel
ii. Kista korpus lutein
iii. Kista teka-lutein
iv. Kista inklusi germinal
v. Kista endometrium
B. Tumor Neoplastik Jinak
a. Kistik
i. Kistoma ovarii simpleks
ii. Kistadenoma ovarii musinosum
iii. Kistadenoma ovarii serosum
iv. Kista endometroid
v. Kista dermoid
b. Solid
i. Fibroma, leiomioma, fibroadenoma, papiloma, angioma,
limfangioma
ii. Tumor Brenner
iii. Tumor sisi aderenal (makulinovo-blastoma).1
2.5 Etiologi

Penyebab terjadinya kista ovarium yaitu terjadinya gangguan


pembentukan hormon pada hipotalamus, hipofise, atau ovarium itu sendiri. Kista
ovarium timbul dari folikel yang tidak berfungsi selama siklus menstruasi.1
Faktor resiko terjadinya kista ovarium.4

a. Riwayat kista ovarium sebelumnya


b. Siklus menstruasi yang tidak teratur
c. Meningkatnya distribusi lemak tubuh bagian atas
d. Menstruasi dini
e. Tingkat kesuburan
f. Hipotiroid atau hormon yang tidak seimbang
g. Terapi tamosifen pada kanker mamma

Sedangkan pada tumor padat, etiologi pasti belum diketahui, diduga akibat
abnormalitas pertumbuhan sel embrional, atau sifat genetis kanker yang tercetus
oleh radikal bebas atau bahan bahan karsinogenik.

2.6 Patofisiologi

Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang
disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan
diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang ruptur
akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2 cm
dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus
luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila
terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian secara
gradual akan mengecil selama kehamilan.1,6

Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista
fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal yang kadang-
kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh
gonadotropin, termasuk FSH dan HCG.1,2

Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin


atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada neoplasia tropoblastik
gestasional (hydatidiform mole dan choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada
kehamilan multiple dengan diabetes, hcg menyebabkan kondisi yang disebut
hiperreaktif lutein. Pasien dalam terapi infertilitas, induksi ovulasi dengan
menggunakan gonadotropin (FSH dan LH) atau terkadang clomiphene citrate,
dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan
pemberian HCG.1,2

Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih dan tidak
terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasia yang
ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan ovarium. Sejauh ini,
keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan (mesotelium) dan sebagian
besar lesi kistik parsial. Jenis kista jinak yang serupa dengan keganasan ini adalah
kistadenoma serosa dan mucinous. Tumor ovari ganas yang lain dapat terdiri dari
area kistik, termasuk jenis ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan
germ cel tumor dari germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel
yang berisi elemen dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal,
dan mesodermal. Endometrioma adalah kista berisi darah dari endometrium
ektopik. Pada sindroma ovari pilokistik, ovarium biasanya terdiri folikel-folikel
dengan multipel kistik berdiameter 2-5 mm, seperti terlihat dalam sonogram.1,2

2.7 Tanda dan Gejala

Kebanyakan wanita dengan kanker ovarium tidak menimbulkan gejala


dalam waktu yang lama. Gejala umumnya sangat bervariasi dan tidak spesifik.4,6

Pada stadium awal gejalanya dapat berupa:

a. Gangguan haid
b. Jika sudah menekan rectum atau VU mungkin terjadi konstipasi
atau sering berkemih.
c. Dapat terjadi peregangan atau penekanan daerah panggul yang
menyebabkan nyeri spontan dan sakit diperut.
d. Nyeri saat bersenggama.
Pada stadium lanjut:

a. Asites
b. Penyebaran ke omentum (lemak perut) serta organ di dalam rongga
perut
c. Perut membuncit, kembung, mual, gangguan nafsu makan
d. Gangguan buang air besar dan kecil.
e. Sesak nafas akibat penumpukan cairan di rongga dada.4

2.8 Diagnosis
Diagnosis kista ovarium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik.
Namun biasanya sangat sulit untuk menemukan kista melalui pemeriksaan fisik.
Maka kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kista
ovarium. Pemeriksaan yang umum digunakan adalah :
1. Ultrasonografi (USG)
Alat peraba (transducer) digunakan untuk memastikan keberadaan
kista, membantu mengenali lokasinya dan menentukan apakah isi
kista cairan atau padat. Kista berisi cairan cenderung lebih jinak, kista
berisi material padat memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.5,6
Dari gambaran USG dapat terlihat:
a. Akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-kadang
oval) dan terlihat sangat echolucent dengan dinding yang
tipis/tegas/licin, dan di tepi belakang kista nampak bayangan
echo yang lebih putih dari dinding depannya.
b. Kista ini dapat bersifat unillokuler (tidak bersepta) atau
multilokuler (bersepta-septa).
c. Kadang-kadang terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus
(internal echoes) di dalam kista yang berasal dari elemen-
elemen darah di dalam kista.
Gambar 11 : Gambaran Kista pada USG

2. Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan lab dapat berguna sebagai screening maupun diagnosis
apakah tumor tersebut bersifat jinak atau ganas. Berikut pemeriksaan
yang umum dilakukan untuk mendiagnosis kista ovarium.
 Pemeriksaan Beta-HCG Pemeriksaan ini digunakan untuk
screening awal apakah wanita tersebut hamil atau tidak.
Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan kemungkinan kehamilan
ektopik.
 Pemeriksaan Darah Lengkap Untuk sebuah penyakit
keganasan, dapat diperkirakan melalui LED. Parameter lain
seperti leukosit, HB, HT juga dapat membantu pemeriksa
menilai keadaan pasien.
 Urinalisis Urinalisis penting untuk mencari apakah ada
kemungkinan lain, baik batu saluran kemih, atau infeksi dan
untuk menyingkirkan diagnosis banding.
 Pemeriksaan Tumor Marker Tumor marker spesifik pada
keganasan ovarium adalah CA125. CEA juga dapat diperiksa,
namun CEA kurang spesifik karena marker ini juga mewakili
keganasan kolorektal, uterus dan ovarium.

3. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Merupakan pemeriksaan untuk memastikan tingkat keganasan dari
tumor ovarium. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersama dengan
proses operasi, kemudian sampel difiksasi dan diperiksa dibawah
mikroskop.6

2.9 Penatalaksanaan

1. Observasi dan Manajemen Gejala


Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor
(dipantau) selama 1-2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang
dengan sendirinya setelah satu atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil
jika tidak curiga ganas. Apabila terdapat nyeri, maka dapat diberikan obat-
obatan simptomatik seperti penghilang nyeri NSAID1,2,4
2. Operasi
Jika kista membesar, maka dilakukan tindakan pembedahan, yakni
dilakukan pengambilan kista dengan tindakan laparoskopi atau laparotomi.
Biasanya kista yang ganas tumbuh dengan cepat dan pasien mengalami
penurunan berat badan yang signifikan. Akan tetapi kepastian suatu kista
itu bersifat jinak atau ganas jika telah dilakukan pemeriksaan Patologi
Anatomi setelah dilakukan pengangkatan kista itu sendiri melalui operasi.
Biasanya untuk laparoskopi diperbolehkan pulang pada hari ke-3 atau ke-
4, sedangkan untuk laparotomi diperbolehkan pulang pada hari ke-8 atau
ke-9.1,2,4
Indikasi umum operasi pada tumor ovarium melalui screening
USG umumnya dilakukan apabila besar tumor melebihi 5cm baik dengan
gejala maupun tanpa gejala. Hal tersebut diikuti dengan pemeriksaan
patologi anatomi untuk memastikan keganasan sel dari tumor tersebut.
1,2,4,6

2.10 Anastesi pada tindakan laparotomi


Laparotomi adalah suatu tindakan pembedahan yang dilakukan dengan
cara membuka cavum pada abdomen yang bertujuan untuk mengangkat tumor
adneksa. Indikasi dilakukan laparotomy adalah :

a. Folikel matang berfungsi pada program fertilisasi in-vitro


b. Biopsi ovarium pada keadaan tertentu (kelainan kromosom atau bawaan,
curiga keganasan)
c. Kistektomi, terdapat pada kista coklat(endometrioma), kista dermoid dan
kista ovarium lain
d. Ovariolisis, pada perlekatan periovarium

Persiapan pra laparotomi terdiri dari:

a. Melakukan penilaian kondisi klien


b. Sekurang-kurangnya 6 jam sebelum dilakukan tindakan laparatomi
klien tidak di izinkan makan dan minum
c. Pemberian obat tidur agar kualitas tidur klien baik
d. Pemasangan kateter, agar kandung kencing tetap kosong saat
dilakukan operasi

Perawatan Post Laparatomi berupa:

a. Balutan dari kamar operasi dapat dibuka pada hari pertama pasca
operasi
b. Klien harus mandi shower bila memungkinkan
c. Luka mengaluarkan eksudat cair atau tembus ke pakaian, pembalutan
luka harus di ulang bila tidak kemungkinan luka akan terbuka
d. Luka harus dikaji setelah operasi dan kemudian setiap hari selama
masa pasca operasi sampai ibu diperolehkan pulang atau rujuk
e. Bila luka perlu dibalut ulang, balutan yang digunakan harus yang
sesuai dan tidak lengket.
B. GENERAL ANESTESI
General anestesi / anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa
nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih
kembali (reversibel).Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia,
hipnotik, dan relaksasi otot3.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun
atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang
memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis3,4.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal.Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia5
1. Stadium Anestesi
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum
(menggunakan zat anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter):

Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya


kesadaran.
Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau
muntah.
Stadium III : Dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.
Dibagi 4 plane:
Plane 1 :dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
Plane 2 :dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya
paralisis interkostal.
Plane 3:dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
Plane 4 :dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.

Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga


cardiac arrest.

2. Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:3,5
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
3. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum
anestesi.Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :10,11
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan4.
4. Obat Analgesik Narkotik
Obat analgesic narkotik yang digunakan pada kasus ini adalah:
Pethidin
Petidin atau meperidin merupakan derivat fenilpiperidin. Secara
kimia adalah etil-1metil-4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Farmakokinetik: kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai
dalam 45 menit dan kadar yang dicapai sangat bervariasi antar individu.
Setelah pemberian lintas oral, sekitar 50% obat mengalami metabolisme
lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam,
setelah pemberian secara IV, kadar dalam plasma menurun secara cepat
dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan lambat.
Kurang lebih 6% petidin terikat dengan protein dalam plasma. Petidin
dimetabolisme didalam hati, dihidrolisis menjadi asam meperidinat yang
selanjutnya mengalami konjugasi. Masa paruhnya ± 3 jam. Pada pasien
sirosis hati bioavaibilitasnya meningkat menjadi 80%. Dan masa paruhnya
memanjang.3,7
Farmakodinamik: petidin atau meperidin bekerja pada reseptor μ.
Pada susunan saraf pusat petidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas, dan efek sentral lain. Efek analgesia petidin mulai timbul 15
menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek
analgetik lebih cepat timbul dengan pemberian secara subkutan dan IM
sekitar 10 menit, mencapai puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5
jam. Efektifitaspetidin 75-100mg parenteral kurang lebih sama dengan
10mg morfin. Bioavaibilitas peroral 40-60%, maka bila diberikan per
parenteral diberikan setengahnya. Sedasi, euforia dan eksitasi, pemberian
petidin kepada pasien yang nyeri atau cemas akan menimbulkan euforia.
Dosis toksik petidin menimbulkan perangsangan SSP, berupa tremor,
kedutan otot, dan konvulsi. Petidin depresi nafas dengan menurunkan
kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat yang
mengatur irama nafas dalam pons. Petidin menurunkan tidal volume,
sedangkan frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Sebaliknya morfin
terutama menimbulkan penurunan frekuensi nafas. Kardiovaskular,
pemberian petidin pada pasien berbaring tidak mempengaruhi
kardiovaskular. Bila berobat jalan dapat menyebabkan sinkop akibat
penurunan tekanan darah akibat depresi nafas yang menyebabkan
peningkatan kadar CO2, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah otak
sehingga timbul kenaikan tekanan cairan cerebrospinal. Petidin tidak
menimbulkan konstipasi sekuat morfin. Uterus, dosis terapi petidin yang
diberikan sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan partus dan
tidak mengubah kontraksi uterus, dan juga tidak mengganggu kontraksi
atau involusi uterus pascapersalinan dan tidak menambah frekuensi
perdarahan pasca persalinan. 3,7
Dosis. Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan
100mg dan ampul 2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau
IM. Pemberian IV menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat.
Pemberian 50-100mgpetidin secara parenteral menghilangkan nyeri
sedang atau hebat pada sebagian besar pasien. 3,5,7
Efek samping. Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering,
mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi. Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis
obat harus dikurangi karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat
diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain
penekan SSP, dosis obat juga harus dikurangi. 1,5,7
5. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara
depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.8
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.8
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah :

a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu


reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit.8
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang
berat.8
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
6. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam


air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.6
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.6
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.6
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.6
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol
dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja
lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.6
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.6
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).6
7. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.11.12
b. Isofluran
Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran,
merupakan cairan tidak berwarna dan berbau tajam, menimbulkan
iritasi jalan nafas jika dipakai dengan konsentrasi tinggi
menggunakan sungkup muka. Tidak mudah terbakar, tidak
terpengaruh cahaya dan proses induksi dan pemulihannya relatif
cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada
saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.7,9,10
1) Dosis
Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara
inspirasi adalah 2-3% bersamasama dengan N2O.Untuk
pemeliharaan dengan pola nafas spontan konsentrasinya berkisar
antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara
0,5-1%.12,18,19
Pada pasien yang mendapat anestesi isofluran kurang
dari 1 jam akan sadar kembali sekitar 7 menit setelah obat
dihentikan. Sedangkan pada tindakan 5-6jam, kembali sadar
sekitar 11 menit setelah obat dihentikan.
2) Efek Farmakologi
(a) Terhadap SSP
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis
yang diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG
seperti yang ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis anestesi
tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi
serebrum serta mekanisme autoregulasi aliran darah otak
tetap stabil. Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran
adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan
demikian isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi
pada kraniotomi, karena tidak berperngaruh pada tekanan
intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek
metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi
kendali.
(b) Terhadap sistem KV
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh
darah lebih ringan dibanding dengan obat anesetesi volatil
yang lain. Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil
selama anestesi. Dengan demikian isofluran merupakan
obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita
kelainan kardiovaskuler.
(c) Terhadap sistem respirasi
Isofluran juga menimbulkan depresi pernafasan yang
derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan.
(d) Terhadap ginjal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran
darah ginjal dan laju fitrasi glomerulus sehingga produksi
urin berkurang, akan tetapi masih dalam batas normal.
Toksisitas pada ginjal tidak terjadi.
(e) Terhadap otot rangka
Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme
depresi pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan
demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non
depolarisasi. Walaupun demikian, masih diperlukan obat
pelumpuh otot untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot
yang optimal terutama pada operasai laparatomi.
3) Kontra indikasi
Tidak ada kontra indikasi yang absolut. Hati-hati pada
hipovolemik berat.
4) Keuntungan Dan Kelemahan
(a) Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak
iritatif terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih
cepat dari halotan, tidak menimbulkan mual muntah, dan
tidak menimbulkan menggigil serta tidak mudah meledak
atau terbakar. Penilaian terhadap pemakaian isofluran saat
ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan guncangan
terhadap fungsi kardiovskuler, tidak megubah sensitivitas
otot jantung terhadap katekolamin, sangat sedikit yang
mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan
efek eksitasi SSP.
Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi
kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga harus
dikombinasikan dengan obat lain.
8. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :4
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
9. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk.7
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
1) Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
2) Sedang = 6 ml/kgBB/jam
3) Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
10. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya11.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk
anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward
mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat
luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk
regional anestesi digunakan skor Bromage.9

Tabel 1. Aldrete Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna  Kemerahan atau seperti semula 2
kulit  Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 2. Steward Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli 1
 Tak ada respon 0
2 Jalan  Batuk atas perintah atau menangis 2
napas  Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 0
nafas
3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan

Tabel 3. Scoring System untuk pasien anak

Tanda Kriteria
Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng Mampu menelan, batuk, dan muntah
Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
perkembangan
Muntah Muntah, mual pusing minimal
Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan
mendengkur
Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 4. Bromage Scoring System


Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage score < 2  boleh pindah ke ruang perawatan.
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SR
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Surakarta
Nomer RM : 037XXXX
Tanggal MRS : 29-10-2018
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri perut bagian bawah kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan perut membuncit di bagian kanan bawah
dan terasa nyeri. Nyeri dirasakan terus-menerus, tidak menjalar, namun
tidak disertai dengan keluar cairan ataupun darah dari jalan lahir.
Pasien mengatakan pertama kali haid pada usia 10 tahun. Pasien mengaku
siklus haidtidak teratur tiap bulan. Nyeri saat haid (+) pasien ganti
pembalut 3x dalam sehari. Lama haid kurang lebih 7 hari.
Riwayat keputihan (+) penurunan nafsu makan (+) penurunan berat badan
drastis 10 kg dalam 3 bulan (+).
Riwayat KB : Pasien mengaku menggunakan KB suntik 3 bulan selama 10
tahun ini.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat CKD : disangkal
Riwayat hipertiroid : disangkal
Riwayat hipertensi : diakui
Riwayat DM : diakui
Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat Alergi :
Alergi obat : Disangkal
Alergi makanan : Disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a) Keadaan Umum : Sedang
b) Kesadaran : Compos mentis
c) Tekanan Darah : 109/67 mmHg
d) Nadi : 60 kali/menit
e) Respirasi :20 kali/menit
f) Suhu :36oC
2. Pemeriksaan Fisik
a) Status Gizi
1) Berat Badan : 48 kg
2) Tinggi Badan : 145 cm
b) Kepala : Konjungtiva anemis (-/-)
c) Leher : JVP meningkat (+)
d) Thorax
Paru : Simetris, SDV (+/+), RBK (+/+), WHZ (-/-)
Jantung :
I :iktus kordis tidak kuat angkat
P : iktus kordos teraba
P : dbn
A : BJ I BJ II reguler
e) Abdomen : Distended (+), peristaltik (-), BU (-), nyeri tekan
(+)
f) Ekstremitas : akral hangat
a. Airway
- Clear, pasien dapat berbicara dengan lancar, tidak ada suara nafas
tambahan, dan hembusan nafas dapat dirasakan.
- Penilaian LEMON
 L (Look) : Tidak terdapat kelainan.
 E (Evaluation) : Jarak antara gigi seri pasien 3 jari.
Jarak tulang tiroid dengan dagu 3 jari.
Jarak benjolan tiroid dengan dasar mulut 2
jari
 M (mallampati Score) : Grade 1
 O (Obstruction) : Tidak ada sumbatan jalan napas. Trauma(-
)
 N (Neck Mobility) : Tidak ada keterbatasan gerakan leher.

b. B1 (Breath)
- Respiratory Rate (RR) : 26 kali/menit
- Tidak ada suara ronkhi pada kedua basal paru
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
c. B2 (Blood)
- Akral hangat, merah, kering
- Nadi 86 x/ menit, kuat angkat dan pengisian penuh
- CRT <2 detik
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
d. B3 (Brain)
- Kesadaran komposmentis
- GCS 15
- Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm. Refleks cahaya (+/+)
- Kekuatan motorik
5 5
5 5

e. B4 (Bladder)
Terpasang kateter no.16F ±300cc berwarna kuning jernih
f. B5 (Bowel)
Perut tampak cembung simetris, BU (+) 12x/menit
g. B6 (Bone)
- Fraktur dan trauma (-)
- Muskuloskeletal dalam batas normal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Hematologi
29 Oktober 2018
Darah Rutin
Leukosit : 8.3 x 103
Eritrosit : 3,84 x 106
Hemoglobin : 11.0 g/Dl L
Hematokrit : 32,7 % L
Trombosit : 337 x 103
Neutrofil : 66.0 %
Limfosit : 23.0(L) %
Monosit : 7.0 %
Eosinofil : 4.0 %
Basofil : 0.0 %
MCV : 86.0 fL
MCH : 30.0 pg
MCHC : 34.8 g/dL
RDW-CV : 12.6 %

Golongan Darah + Rhesus


Golongan Darah :A
Rhesus : Positif
Waktu Pedarahan/Pembekuan
Waktu perdarahan : 3 min 00 sec
Waktu pembekuan : 5 min 00 sec

Kimia Klinik
SGOT : 21 U/L
Creatinin : 1.3 mg/dL (H)

Imunoserologi
HbsAg : Non Reaktif

2. Pemeriksaan Radiologi
a. Rontgen Thoraks
Kesan : Kesan cor dan pulmo dalam batas normal
b. Ct scan abdomen
Kesan : Tumor dengan densitas kistikbersepta-septa, besar pada cavum
pelvis meluas ke abdomen susp. Malignancy.
E. DIAGNOSIS
Kistoma ovarii Susp. Malignancy dengan CHF (Chronic heart Failure)
F. TINDAKAN / TATALAKSANA
Laparotomy
G. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI
Diagnosis Pre-operatif : Kistoma ovarii
Macam Operasi : Laparotomi
Tanggal Operasi : 30 Oktober 2018
1. Keadaan Pra Induksi
a. Berat Badan : 48 kg
b. Tekanan Darah : 133/91 mmHg
c. Respirasi : 18 kali/menit
d. Nadi : 66 kali/menit
e. SpO2 : 98%
f. Alergi :Tidak ada
g. GCS :15, Compos Mentis
h. Hb :16.3 g/dL
i. GDS :166 mg/dL
2. Pemeriksaan Fisik
a. Jalan Nafas :Normal
b. Anamnesis :Autoanamnesis
3. Status Fisik ASA
ASA II
4. Teknik Anestesi
a. Jenis : General Anestesi dengan Endotracheal tube
b. Obat :
1) Inhalasi Awal : Isofluran 1-2 %
2) Intravena : - Petidin 100 mg
- Notrixum 25 mg (atracurium besylate)
- Recofil 160mg (propofol)
5. Monitoring Durante Operasi
a. Obat
- Ondancetron 4 mg
- Ketorolac 30mg
b. Infus
- Ringer Laktat
c. Keterangan
- Induksi : 15.20 WIB
- Pasien siap insisi : 15.25 WIB
- Insisi mulai : 15.28 WIB
- Operasi selesai :17.51WIB
6. Pemantauan Tanda Vital

7. Instruksi Pasca Anestesi dan Sedasi


a. Posisi : Supine
b. Analgesia : Ketorolac 30mg
c. Anti Emetik : Ondansetron 4 mg
d. Infus :Ringer Laktat 20tpm
e. Obat-obatan lain : Tidak ada
f. Makan / Minum : Post operasi jika tidak mual boleh minum
g. Pemantauan : Tensi, Nadi, Nafas tiap 15 menit selama 1 jam
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pre Operasi
Pasien dikonsulkan dengan dokter spesialis kandungan onkologi lalu
direncanakan operasi laparotomi. Sebelum dilakukan operasi tanda vital
pasien; TD: 109/67 mmHg, N: 60x/menit, S: afebris, SpO2: 98% dan GCS : 15
(E4V5M6). Pasien riwayat hipertensi (-) dan DM (+)
B. Durante Operasi
Sebelum dilakukan tindakan operatif pada pasien ini diputuskan akan
dilakukan general anestesi dan memakai fasilitas intubasi atasindikasi prosedur
yang dikerjakan adalah eksisi jaringan limfadenopati coli, sehingga dengan
teknik ini diharapkan dapat mengendalikan jalan napas dengan baik. Pasien ini
dilakukan tindakan pemasangan Endotrakeal tube (ET).
Induksi anestesi pada pasien ini dimulai dengan pemberian Petidin 100
mg IV yang merupakan obat analgesic narkotik kemudian dimasukkan.
Notrixum 25 mg IV yang isinya atracurium besylate sebagai pelumpuh otot.
Obat hipnotik pada operasi ini menggunakan Recofil 160mg IV yang isinya
merupakan propofol.
Petidin atau meperidin merupakan derivat fenilpiperidin. Petidin atau
meperidin bekerja pada reseptor μ. Pada susunan saraf pusat petidin
menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas, dan efek sentral lain.
Efek analgesia petidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan
mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik lebih cepat timbul dengan
pemberian secara subkutan dan IM sekitar 10 menit, mencapai puncak dalam 1
jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektifitaspetidin 75-100mg parenteral kurang
lebih sama dengan 10mg morfin. Bioavaibilitas peroral 40-60%, maka bila
diberikan per parenteral diberikan setengahnya. Sedasi, euforia dan eksitasi,
pemberian petidin kepada pasien yang nyeri atau cemas akan menimbulkan
euforia. Dosis toksik petidin menimbulkan perangsangan SSP, berupa tremor,
kedutan otot, dan konvulsi. Dosis pemberian petidin atau meperidin HCl
tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg dan ampul 2ml/100mg.
pemberian petidin biasanya peroral atau IM. Pemberian IV menimbulkan
reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian 50-100mgpetidin secara
parenteral menghilangkan nyeri sedang atau hebat pada sebagian besar pasien.
Efek samping dari pemberian petidin pusing, berkeringat, euforia, mulut
kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi,
disforia, sinkop dan sedasi.
Selanjutnya pada induksi, pasien diberikan obat Notrixum (atracurium
besylate) sebagai obat pelumpuh otot. Obat ini bekerja berikatan dengan
reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat
bekerja.Waktu paruh eliminasi kira-kira 20 menit. Atracurium diinaktivasi
melalui eliminasi Hoffman, suatu proses non enzimatik yang terjadi pada pH
dan suhu fisiologis, dan melalui hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase
non-spesifik.Eliminasi atracurium tidak tergantung pada fungsi ginjal atau hati.
Produk urai yang utama adalah laudanosine dan alcohol monoquartenary yang
tidak memiliki aktivitas blokade neuromuscular. Alcohol monoquartenary
tersebut secara spontan terdegradasi oleh proses eliminasi Hofmann dan
diekskresi melalui ginjal. Laudanosine diekskresi melalui ginjal dan
dimetabolisme di hati. Waktu paruh laudanosine berkisar 3-6 jam pada pasien
dengan fungsi ginjal dan hati normal, dan sekitar 15 jam pada pasien gagal
ginjal, sedangkan pada pasien gagal ginjal dan hati sekitar 40 jam. Terminasi
kerja blokade neuromuscular atracurium tidak tergantung pada metabolisme
ataupun ekskresi hati atau ginjal. Oleh karena itu, lama kerjanya tidak
dipengaruhi oleh gangguan fungsi ginjal, hati, ataupun peredaran darah.
Selanjutnya pasien diberikan obat Recofol (Propofol) untuk induksi
yang terakhir.Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual
dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun
mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi
pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol
sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologik11,12.Pemberian propofol (2mg/kg)
intravena menginduksi anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi
di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat,
N2O dan/atau anestetik inhalasi lain10,12.Propofol dapat menyebabkan
turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama induksi anestesi karena
menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.Propofol menurunkan
tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena
vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea. Setelah pemberian propofol secara
intravena, waktu paruh distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh
redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10
kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke
dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1%
diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan
ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai
akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler
sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan
tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat
adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah
penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan
lidokain (20-50 mg).
Untuk pemeliharaan anestesi diberikan secara inhalasi. Zat yang
diberikan adalah N2O (Nitrous Oksida), O2(Osigen), dan Isofluran. N2O
merupakan gas yang tidak berwarna, berbau harum manis dan tidak mudah
terbakar. N2O di dalam darah tidak berikatan dengan hemoglobin tetapi larut
dalam plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar dari kelarutan oksigen. N2O
mampu berdifusi di semua rongga tubuh, sehingga dapat menimbulkan
hipoksia apabila tidak diberikan bersamaan dengan oksigen. Oleh karena itu,
oksigen harus diberikan setiap memberikan N2O. Pada pasien ini diberikan
N2O : O2 sebanyak 1 : 3 L/menit (25:75).
Selain itu, sebagai anestesi inhalasi juga diberikan Isofluran. Isofluran
adalah obat anestesi isomer dari enfluran, merupakan cairan tidak berwarna
dan berbau tajam, menimbulkan iritasi jalan nafas jika dipakai dengan
konsentrasi tinggi menggunakan sungkup muka. Tidak mudah terbakar, tidak
terpengaruh cahaya dan proses induksi dan pemulihannya relatif cepat
dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini tapi
masih lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.
Dosis untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi
adalah 2-3% bersamasama dengan N2O. Untuk pemeliharaan dengan pola
nafas spontan konsentrasinya berkisar antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas
kendali berkisar antara 0,5-1%.Pada pasien yang mendapat anestesi isofluran
kurang dari 1 jam akan sadar kembali sekitar 7 menit setelah obat dihentikan.
Sedangkan pada tindakan 5-6jam, kembali sadar sekitar 11 menit setelah obat
dihentikan
Terhadap SSP Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang
diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang
ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi
dan perubahan sirkulasi serebrum serta mekanisme autoregulasi aliran darah
otak tetap stabil. Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan
konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian isofluran merupakan obat
pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak berperngaruh pada
tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya
yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali. Terhadap sistem
Kardiovaskuler efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih
ringan dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Tekanan darah dan
denyut nadi relatif stabil selama anestesi. Dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan
kardiovaskuler. Terhadap sistem respirasiIsofluran juga menimbulkan depresi
pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan. Terhadap
ginjal pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju
fitrasi glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi masih dalam
batas normal. Toksisitas pada ginjal tidak terjadi. Terhadap otot rangka
menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi pusat motorik pada
serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot
non depolarisasi. Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot
untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada
operasai laparatomi.
Obat tambahan yang diberikan selama operasi adalah ketorolac 30mg
IV. Dosis ketorolac jika diberikan IM adalah 30-60mg, jika diberikan IV 15-30
mg. Efek sampingnya berupa nyeri ditempat suntikan, gangguan saluran cerna,
kantuk, pusing , dan sakit kepala terjadi kira-kira 2 kali placebo. Karena
ketorolak sangat selektif menghambat COX-1, maka obat ini tidak dilanjur
dipakai lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak lambung. (1) (4)
Selanjutnya pasien juga diberikan ondansetron 1 ampul (4mg) sebagai
antiemetik. Ondansetron merupakan obat selektif pada reseptor antagonis 5
hidroksi triptamin (5HT3) di otak dan juga aferen saraf vagal saluran cerna.
Obat ini selektif dan kompetitif untuk mencegah mual dan muntah setelah
operasi dan radioterapi. Obat anastesi akan menyebabkan pelepasan serotonin
dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang
melibatkan 5HT3 dapat merangsang area post trema menimbulkan
muntah.Ondansetron memblok reseptor di gastrointestinal dan area postrema
CNS.Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5HT3 dan memicu aferen vagus
untuk mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga diaktifkan akibat
manipulasi pembedahan atau iriasi usus yang merangsang distensi
gastrointestinal. Kerja obat ini adalah dengan memblokade sentral pada area
post trema dan nukleus traktus solitorius melalui kompetitif selektif di reseptor
5HT3. Ondansetron juga memblokade reseptor perifer pada ujung saraf vagus
yaitu dengan menghambat ikatan serotonin dan reseptor pada ujung saraf
vagus. Dosis ondansetron adalah 0,1mg/kgBB.
Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan
kristaloidringer lactat 20 tetes per menit untuk menjaga keseimbangan cairan
selama operasi. Selama operasi tanda vital pasien juga dipantau setiap 5 menit.
C. Post Operasi
Tanda vital pasien TD: 110/76 mmHg, ND: 65 x/menit, RR: 20
x/menit, SpO2: 100%. Pasien langsung dibawa ke ruang pulih sadar dengan
posisi supine. Diberikan infus RL 20tpm, ketorolac 30mg IV dan ondansentron
4 mg IV. Pasien diperbolehkan makan dan minum pasca operasi jika tidak
mual dan dipantau tensi, nadi, dan suhu tiap 15 menit selama 1 jam dan
dimonitoring kondisinya.
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien terdiagnosa kista ovarium curiga keganasan


.Dilakukan operasi laparotomi menggunakan anestesi umum (General Anestesi)
denganintubasi endotracheal tube ukuran 7.5 dengan obat-obatan anestesi
intravenamaupun inhalasi yang sesuai. Dalam operasi ini menggunakan
generalanestesi dikarenakan general anestesi menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuhsecara sentral dan juga memblock nervus vagus (saraf simpatis).
General Anestesipada pasien ini diinduksi denganPetidin 100 mg,
Notrixum 25 mg IV (atracurium besylate) sebagai pelumpuh otot; Recofil 160 mg
(propofol) yang merupakan obat derivat fenol bersifat sedatif dengan onset yang
cukup cepat. Kemudian diberi rumatananestesi dengan N2O, O2, dan Isofluran.
Obat-obat yang diberikan selama anestesiberlangsung adalahketorolac 30 mg
sebagai analgesik, ondansetron 4 mg untuk mencegah terjadinya mual.
Setelah operasi pasien langsung dibawa ke ruang recovery dan setelahnya
langsung dibawa ke bangsal perawatan.Pasien diperbolehkan makan dan minum
setelah operasi jika sudah tidak mual dan dipantau tensi, nadi, dan nadi tiap 15
menit selama 1 jam dan dimonitoring kondisinya.
DAFTAR PUSTAKA

FerrerR.Lymphadenopathy:Differentialdiagnosisandevaluation.AmFamPhysician.199
8;58:1315
Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenopathy and malignancy. Am Fam
Physician. 2002;66:2103-10
Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan
tambahan, tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit
FKUI Jakarta 2012; 210-218.
Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71
Katzung, B. G., Masters, S. B., dan Trevor, A. J. (2014). Farmakologi Dasar dan
Klinik : Edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Singapore :
Mc Graw Hill Lange. 2007. p.401-17.
Soenarjo; Jatmiko, Heru Dwi. Anestesiologi. Semarang : Ikatan Dokter Spesialis
Anestesi dan Reanimasi. 2010. p.121-135.
Hurford - Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital
6th ed
P.G.Barash, B.F.Cullen, R.K.Stoelting - Clinical Anesthesia. 4th edition

You might also like