You are on page 1of 9

Contoh Artikel Ilmiah Pendidikan

PENDIDIKAN SANGAT BERPENGARUH TERHADAP PENINGKATAN


KUALITAS HIDUP SUKU ANAK DALAM

karya: Melga Melgina


Universitas Garut
ABSTRAK
Pendidikan sangatlah penting untuk semua makhluk hidup di dunia ini salah
satunya adalah kita sebagai manusia yang di beri akal dan pikiran untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia itu sendiri. Pendidikan dapat menunjang
kehidupan seseorang maupun kelompok orang. Dalam konteks universal pendidikan
mencakup semua golongan dan salah satunya suku anak dalam, mereka sangatlah
membutuhkan pendidikan yang layak untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya
dalam menjalani kehidupan.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan secara literatur ditemukan beberapa
persoalan mengenai minimnya pendidikan di tingkat suku anak dalam. Dari hasil
analisis tersebut di harapkan agar pemerintah dapat menciptakan pendidikan yang
mengarah kepada penerapan pendidikan di daerah pelosok suku anak dalam.
Kata Kunci : Pendidikan, Suku Anak Dalam, dan Kesejahteraan
PENDAHULUAN
Indonesia sangatlah kaya akan budaya, banyak sekali etnik-etnik budaya dalam
bentuk kelompok-kelompok tertentu, mereka bertempat tinggal dipelosok-pelosok
kota modern. Mereka hidup di antara rerimbunan pohon-pohon besar, Sehingga
mereka sering disebut Orang Rimba.
Disamping memiliki budaya leluhur yang sangat banyak dan unik, Orang rimba juga
memiliki beberapa keterbatasan salahsatunya pendidikan yang minim. Minimnya
penerapan pendidikan di pelosok ini memungkinkan terjadinya kesenjangan
pendidikan sehingga menimbulkan tertinggalnya Orang Rimba dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang harus
terpenuhi, selain menjadi bagian dari hak asasi manusia, pendidikan juga merupakan
salah satu elemen penting dimana suatu kesuksesan dan kemajuan Negara di ukur
oleh seperti apa pendidikan di Negara tersebut. Oleh karena itu setiap warga negara
Indonesia berhak untuk memperoleh kesempatan belajar sebaik-baiknya dengan
ditunjang oleh sarana dan prasarana yang layak. Sehingga dimanapun mereka berada
harus dapat dijangkau oleh fasilitas pendidikan yang layak sebagai hak-hak asasi
bagi mereka. Pendidikan adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap orang
karena, pendidikan adalah modal utama manusia dalam menjalankan kehidupannya
sehari-hari. Pendidikan dapat mensejahterakan manusia dalam segi kehidupan
sekarang ataupun kedepannya. Kualitas hidup suku anak dalam bergantung pada
banyak hal dan salah satunya adalah pendidikan yang layak di dapatkan seperti apa
yang manusia lain pada umumnya dapatkan.
Namun di era modernisasi ini seolah-olah suku anak dalam terpinggirkan.
Dalam konteks pendidikan tidak hanya pemerintah yang bergerak tetapi sesama
manusia juga harus saling membantu menyangkut kesejahteraan bersama. Dalam
kehidupan sehari-hari pengetahuan tentang aturan-aturan oleh dewa yang menguasai
alam turut mempengaruhi pola hidup Orang Rimba, khususnya dalam mengelola
alam sekitar. Orang Rimba sangat menghargai dan terikat dengan lingkungan sekitar
(hutan). Mereka makan dan minum dari apa yang disediakan di hutan. Bagi Orang
Rimba, hutan merupakan bagian dari hidup mereka yang harus di lindungi. Mereka
mempunyai semboyan “huatan adalah kehidupan dan kehidupan adalah hutan”.
Keduanya berjalan seiring dan mereka tidak pernah menginginkan untuk hidup
diluar hutan karena hutan dirasakan sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup
mereka (Lucky Ayu Wulandari, 2009).
Di samping kehidupan mereka yang sangat bergantung pada alam mereka juga
harus di berikan pendidikan yang layak. Untuk mendapatkan kehidupan yang
sejahtera, selain itu juga dengan diterapkannya pendidikan mereka mampu menjaga
keseimbangan ekosistem di alam mereka sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan mereka sehari-hari yang sangat bergantung pada ekosistem alam yang ada
agar tidak punah dan mereka dapat hidup selayaknya orang modern zaman sekarang.
Dengan begitu mereka ridak merasa terpinggirkan. Peran pemerintah dan
masyarakat dalam membantu menerapkan pendidikan di pelosok suku anak dalam
sangatlah dibutuhkan.

TUJUAN
Tujuan pembuatan artikel ilmiah ini adalah untuk menerapkan,
mengembangkan, dan menyampaikan tentang dunia pendidikan dikalangan pelosok-
pelsokok suku pedalaman. Karena, pendidikan sangat penting untuk mereka di masa
sekarang dan dimasa yang akan datang, pendidikan memiliki sifatnya nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu dengan berkembangnya dunia pendidikan di
kalangan suku anak dalam, mereka dapat meminimalisir degredasi ekosistem di
hutan dengan bekal pendidikan yang diberikan. Mengajak seluruh warga masyarakat
untuk memiliki bekal pendidikan yang layak sehingga seluruh mayarakat dapat
menjaga hidup dan hidup sejahtera terbebas dari kesenjangan pendidikan yang
menimbulkan kesenjangan hidup.

METODE LITERATUR
Dalam analisis masalah artikel ilmiah ini, penulis menggunakan metode
literatur. Penulis menggunakan berbagai macam sumber pustaka dan data sensus
internet yang menjelaskan tentang minimnya pendidikan di pelosok-pelosok
khususnya suku anak dalam. Untuk memperoleh data/informasi penulis mengolah
data dari berbagai jenis sumber berita internet. Berbagai macam sumber referensi
yang ada menjadikan penulisan artikel ilmiah ini berjalan dengan baik.
PEMBAHASAN
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ribuan suku bangsa yang
beraneka ragam. Masing-masing daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
kebu dayaan daerah lain atau kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu
kebudayaan tersebut adalah Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam terdapat di daerah
Jambi dan Sumatera Selatan. Suku Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh
masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam sudah sangat langka dan mereka
tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan orang-orang. Suku Anak
Dalam disebut juga Suku Kubu tau Orang Rimba. Menurut tradisi lisan suku Anak
Dalam merupakan orang Malau sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air Hitam,
Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinbmakan Moyang Segayo.
Sistem kemasyarakatan mereka , hidup mereka secara nomaden atau tidak menetap
dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka
sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lanilla.
Orang Rimba merupakan sebutan lain untuk Suku Anak Dalam yang tinggal di
pedalaman rimba. Istilah “Orang Rimba” dianggap orang rimba sendiri lebih sesuai
dengan kehidupan mereka yang tinggal di rimba dan “tidak mau” keluar dari hutan.
Ketidakmauan mereka keluar dari hutan ini berkaitan erat dengan dunia mereka yang
menganggap bahwa hutan adalah tempat hidup dan rumah mereka sejak dulu (Butet
Manurung, 2007). Saat ini mayoritas Orang Rimba menghuni tiga daerah terpisah
disekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Provinsi Jambi, yaitu sekitar
TNBD 30, TNBD 12 (Keduanya di wilayah utara Jambi) dan sepanjang jalan lintas
Sumatra (Wilayah Selatan Jambi). Ketiga wilayah ini diyakini Orang Rimba sebagai
tempat tinggal leluhur mereka dahulu. Diwilayah ini sekarang sedang digalakan
program konversi hutan, salah satunya untuk melindungi keberadaan Orang Rimba
(Lucky Ayu Wulandari, 2009).
Hidup nomaden dan semi nomaden (berpindah-pindah) di dalam hutan luas,
tempat para dewa-dewa, jin, dan setan mereka juga ikut tinggal di kolong dedaunan
yang sama. Mereka mencukupi kebutuhan hidup dari hasil alam. Alam adalah
segala-galanya bagi mereka. Merekalah gambaran kehidupan manusia di zaman
meramu dan berburu ratusan bahkan ribuan tahun lalu, yang masih kasat terlihat oleh
mata. Sistem barter pun masih tetap mewarnai kehidupan ekonomi Orang Rimba ini.
Walau sesekali mereka berjualan hasil hutan di desa-desa pinggir hutan, dan
mendapatkan sedikit uang. Namun Se-kuno apapun manusia peninggalan pra-sejarah
ini. Kita harus menyadarinya, bahwa mereka tetap bagian dari keluarga besar bangsa
Indonesia (Butet Manurung, 2007).
Orang Rimba yang tak mengenal baca tulis dan hitung-berhitung ini pun tak luput
dari beratnya cobaan hidup. Mereka yang mencintai hutan, mengasihi, dan merawat
peninggalan leluhur tersebut. Tidak pernah tahu, bahwa manusia yang hidup dalam
dimensi waktu yang berbeda di pinggir hutan. Telah merusak alam dan hutan
mereka.
Hutan ialah rumah dan sumber penghidupan orang rimba. Mereka sangat
memahami bahwa bumi menyediakan makanan cukup untuk kebutuhan setiap orang,
tetapi bukan untuk keserakahannya. Karena itu pula, mereka menyatu dengan hutan
dalam tatanan kearifan lokal. Ironisnya, kawasan hutan yang menjadi permukiman
orang rimba secara turun-temurun dibiarkan dibabat. Inilah negara yang pada satu
sisi mendewakan secara berlebihan penanam modal, tetapi pada sisi lain
membiarkan dengan penuh kesadaran orang rimba terpinggirkan, bahkan tercerabut
dari akar budayanya lewat pembabatan hutan yang sungguh ironis dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.Harus jujur dikatakan bahwa
perlindungan terhadap orang rimba di negeri ini cuma indah di atas kertas, tetapi
miskin, sangat miskin, dalam implementasi. Sebagai contoh, lewat Keputusan
Presiden Nomor 111 Tahun 1999, sebutan suku terasing diubah menjadi komunitas
adat terpencil. Tidak hanya itu. Terang benderang tersurat dalam sejumlah hukum
positif perihal pengakuan dari pemerintah akan eksistensi komunitas adat terpencil,
termasuk pengakuan atas hak sosial dan ekonomi, termasuk pengakuan terhadap
perlindungan tradisi dan adat istiadat komunitas adat terpencil. Pengakuan dan
perlindungan itu tersebar mulai undang-undang agraria hingga undang-undang tata
ruang.
Orang Rimba yang lugu dan polos itu. Bertahan hidup di hutan, berburu,
mencintai alam, dan humanisme. Pada awalnya, para individu Suku Anak Dalam
cenderung memiliki pandangan atau persepsi negatif terhadap pendidikan formal.
Fenomena tersebut terkait dengan ajaran dari orang tua, temenggung (kepala suku),
dan bahkan nenekmoyang mereka yang mengasumsikan bahwa pendidikan yang
diterima darisekolah bukanlah sebuah kegiatan yang wajib untuk dilakukan.
Alasannya, dengan mengikuti kegiatan belajar di sekolah, maka waktu mereka
untukmelakukan kegiatan seperti berhutan menjadi tersisihkan, sehingga label
yangkemudian muncul adalah mereka akan meninggal karena tidak dapat
memenuhikebutuhan hidup mereka dari berhutan. Pendidikan formal atau bersekolah
adalah salah satu fenomena yang relatif baru bagi individu Suku Anak Dalam.
Sebelumnya, mereka tidak pernah diperkenalkan adanya istilah pendidikan maupun
istilah bersekolah. Seperti yang disampaikan oleh Edmund Husserl, bahwa
fenomenologi berfokus pada bagaimana orang mengalami fenomena tertentu,
menyelidiki bagaimana individu mengkonstruksikan makna dari sebuah pengalaman
yang mereka alami dan bagaimana makna yang ditangkap oleh individu tersebut bisa
memicu terbentuknya makna kelompok atau bahkan membentuk pemahaman baru
pada kebudayaan tertentu (Vandersteop dan Johnston, 2009:206).
Terkait dalam hal ini adalah kemunculan pengetahuan baru dari pengalaman
individu Suku Anak Dalam mengenai pendidikan yang diperolehnya, serta
menghasilkan beberapa pandangan yang berhasil dimaknai oleh individu Suku Anak
Dalam. Persepsi awal dari Suku Anak Dalam terhadap pendidikan yang terbentuk
cenderung negatif. Namun, seiring dengan terus dilakukannya sosialisasi oleh
pemerintah tentang pentingnya pendidikan serta adanya faktor pendorong internal
(cita-cita hidup) dalam diri individu Suku Anak Dalam, sebagian individu Suku
Anak Dalam cenderung menjadi lebih aktif untuk mengikuti kegiatan belajar di
sekolah. Bahkan, pemerintah membangun Sekolah Dasar khusus bagi Suku Anak
Dalam. Persepsi individu Suku Anak Dalam terhadap pendidikan formal yang pada
awalnya menganggap bahwa pendidikan adalah ajaran yang tidak benar, dalam
perkembangannya cenderung mulai mengalami perubahan, dan bahkan Suku Anak
Dalam telah bersekolah dan menempati rumah yang disediakan oleh pemerintah.
Individu Suku Anak Dalam cenderung memaknai pendidikan dan bersekolah sebagai
salah satu hal yang menyenangkan sekaligus menguntungkan.
Fenomena paling menonjol terkait dengan konstruksi makna pendidikan bagi
individu Suku Anak Dalam adalah bahwa dengan mengikuti pelajaran di sekolah
mereka memiliki gambaran tentang cita-cita hidup. Hal tersebut mengindikasikan
adanya perubahan dalam memahami makna pendidikan formal yang diterima oleh
individu Suku Anak Dalam. Pada awalnya, keinginan bersekolah terbentuk bukan
karena adanya dorongan pribadi (faktor internal) dari individu Suku Anak Dalam.
Para informan mengatakan bahwa alasan pertama mereka bersekolah lebih kepada
faktor eksternal, yaitu dorongan dari orang tua mereka. Alasan orang tua Suku Anak
Dalam meminta anaknya untuk bersekolahpun bukan tanpa alasan, para orang tua
mengatakan, dengan bersekolah maka akan diberikan makanan serta pakaian baru
tanpa dipungut biaya. Kemampuan mengoperasikan benda elektronik juga menjadi
salah satu pengalaman berbeda yang sebelumnya tidak mereka dapatkan.
Kemampuan mengoperasikan benda elektronik lainnya seperti handphone juga
menjadi salah satu pengalaman baru bagi Suku Anak Dalam. Ketika Suku Anak
Dalam sebelum bersekolah, mereka hanya menggunakan handphone sekedar untuk
menonton televisi dan memutar lagu, kinimereka mampu memaksimalkan kegunaan
handphone tersebut, selain untukberkomunikasi, mereka telah mampu meng akses
facebook dari handphone mereka.
Dengan bersekolah dan belajar menjadikan mereka memiliki kemampuan untuk
membaca serta menulis, memiliki kemampuan bersosialisasi dan bernegosiasi.
Dibandingkan dengan ketika Suku Anak Dalam belum bersekolah, Suku Anak
Dalam tidak pernah berhubungan, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan orang luar,
meskipun pernah, interaksi hanya terjadi beberapa kali dan tidak sesering sekarang.
Hal ini terjadi dikarenakan kehidupan Suku Anak Dalam yang lebih banyak berada
di hutan. Sebelum sekolah, Suku Anak Dalam keluar dari hutan hanya ketika hendak
menjual hasil hutan mereka. Berbeda denganketika Suku Anak Dalam telah
bersekolah seperti sekarang, bagi Suku Anak Dalam yang telah bersekolah,
bersosialisasi dengan orang luar kini lebih seringterjadi. Hal ini terjadi karena selain
di sekolah mereka harus bersosialisasi dengan orang luar, kehidupan sehari-hari juga
menuntut Suku Anak Dalan untuk lebihsering bersosialisasi dengan orang luar,
karena perumahan yang Suku AnakDalam tempati berada di lingkungan dan di
sekitar rumah warga atau hampir semua tetangga mereka adalah orang luar.
Dengan berpindah serta bertempat tinggal Suku Anak Dalam di sekitaratau
bertetangga dengan orang luar telah merubah anggapan serta stereotypeSuku Anak
Dalam terhadap orang luar. Dengan berteman dengan orang luar,komunikasi serta
interaksi mereka menjadi semakin intens dan semakin sering. Fenomena tersebut
membuat mereka saling membuka diri satu sama lain. Menurut Irwin Altman dan
Dalmas Taylor (Littlejohn, 2005 : 194) dalam teori penetrasisosial (Social
Penetration Theory) bahwa seseorang melakukan komunikasi yangbergerak dari
unintimate kemudian mencapai puncak pada titik intimate. Proses tersebut adalah
penetrasi yang mana syarat mutlaknya yaitu self disclosure atauketerbukaan.
Terjadinya keterbukaan diri diantara Suku Anak Dalam denganorang luar lebih
dilatar belakangi adanya keinginan untuk saling mengenal satusama lain,
memperoleh pengetahuan dari apa yang sebelumnya belum pernah didapat oleh
mereka. Suku Anak Dalam yang telah mampu dan melangsungkan komunikasiatau
sosialisasi dengan orang luar merupakan salah satu contoh adanya upaya dari Suku
Anak Dalam (kelompok minoritas) agar diterima oleh orang luar
(kelompokmayoritas). Orbe menjelaskan dalam co-cultural theory, yang mengkaji
bagaimana anggota kelompok minoritas berkomunikasi dengan anggota
kelompokdominan (Littlejohn, 2009: 264).

KESIMPULAN
Pada awalnya, individu Suku Anak Dalam cenderung memiliki persepsi negatif
terhadap pendidikan yang disosialisasikan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena
bertentangan dengan ajaran leluhur, sehingga individu Suku Anak Dalam merasa
tidak perlu bersekolah. Namun seiring dengan perkembangan waktu, persepsi
mereka mulai berubah. Individu Suku Anak Dalam merasa senang dengan
bersekolah, karena ketika bersekolah, mereka akan mendapatkan makanan serta
jajan yang dibagikan oleh pihak sekolah. Ada beberapa faktor yang akhirnya mampu
membuat para individu Suku Anak Dalam menerima pendidikan.
Penerimaan individu Suku Anak Dalam dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar,
seperti adanya imbalan atau sesuatu yang menarik yang diberikan dan disampaikan
oleh pemerintah. Serta adanya dorongan atau ‘perintah’ dari orang tua mereka untuk
bersekolah. Meskipun dorongan dari orang tua mereka dilatar belakangi dengan
adanya imbalan berupa akan dibagikannya pakaian baru (seragam sekolah) dan
makanan oleh pihak sekolah.
Dengan bersekolahnya individu Suku Anak Dalam, pengalaman-
pengalamanbaru dialami oleh mereka. Memiliki teman serta bersosialisasi dengan
orang luar (bukan Suku Anak Dalam) menjadi pengalaman baru yang didapat ketika
bersekolah. Kemampuan menggunakan dan mengoptimalkan peralatan elektronik,
memiliki kemampuan membuat serta log in sosial media seperti facebook di
handphone juga dimiliki oleh individu Suku Anak Dalam setelah bersekolah. Hal ini
didasari pada kemampuan menulis, membaca, dan berbahasa Inggris yang diajarkan
ketika mereka bersekolah.

UCAPAN TERIMAKSIH
Dengan selesainya pembuatan Artikel Ilmiah ini saya mengucapkan banyak
terimakasih kepada Allah swt dan pihak-pihak yang telah membantu dalam proses
pembuatan Artikel Ilmiah ini, terkait dengan referensi landasan teori dari berbagai
tokoh , pemberitaan lewat internet, selain itu juga kepada dosen pembimbing yang
telah banyak membantu dalam proses penyelesaian Artikel Ilmiah ini. Sampai
dengan Artikel ini selesai dibuat.

You might also like