You are on page 1of 13

BAB 1

PENDAHULUAN

Sejak lahir setiap individu sudah dilengkapi dengan sistem pertahanan, sehingga tubuh dapat
mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam
tubuh. Sistem imun dirancang untuk melindungi inang (host) dari patogen-patogen penginvasi
dan untuk menghilangkan penyakit. Sistem imun diklasifikasikan sebagai sistem imun bawaan
(innate immunity system) atau sering juga disebut respon/sistem nonspesifik serta sistem imun
adaptif (adaptive immunity system) atau respon/sistem spesifik, bergantung pada derajat
selektivitas mekanisme pertahanan. Sistem imun terbagi menjadi dua cabang: imunitas humoral,
yang merupakan fungsi protektif imunisasi dapat ditemukan pada humor dan imunitas selular,
yang fungsi protektifnya berkaitan dengan sel.

Dalam menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau
kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem
pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe
pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen
yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang
didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik.
Inilah yang merupakan dasar dari pemeriksaan serologi yaitu dengan melihat antibodi yang ada
pada tubuh host sebagai respon adanya penyakit melalui kompleks antigen antibodi yang
terbentuk untuk membantu menegakkan diagnosa.
BAB 2

ISI

2.1 Defenisi pemeriksaan serologi


Serologi merupakan cabang imunologi yang mempelajari reaksi antigen-antibodi
secara invitro. Reaksi serologis dilakukan berdasarkan asumsi bahwa agen infeksius
memicu host untuk menghasilkan antibodi spesifik, yang akan bereaksi dengan agen
infeksius tersebut. Reaksi serologis dapat digunakan untuk mengetahui respon tubuh
terhadap agen infeksius secara kualitatif maupun kuantitatif. Proses menemukan dan
mendeteksi keberadaan antigen dan antibodi tersebut dikenal dengan pemeriksaan
serologi.
Keuntungan melakukan pemeriksaan serologis untuk menegakkan diagnosa suatu
penyakit antara lain karena reaksi serologis spesifik untuk suatu agen infeksius, waktu
yang diperlukan lebih singkat daripada pemeriksaan kultur/identifikasi bakteri, serologi
merupakan tes dengan menggunakan serum, dan pengambilan sampel relatif mudah yaitu
melalui darah. Beberapa contoh pemeriksaan serologi meliputi pemeriksaan Widal,
VDRL, Toxoplasma, HIV/AIDS, dan lain-lain.1
2.2 Dasar pemeriksaan serologi
Dasar dari pemeriksaan serologi yaitu reaksi antigen-antibodi yang bersifat
spesifik, dimana suatu antigen hanya bereaksi dengan antibodi spesifik. Saat kuman
masuk kedalam tubuh maka kuman tersebut akan merupakan suatu antigen bagi tubuh
dan selanjutnya akan merangsang tubuh untuk membentuk antibodi yang spesifik
terhadap kuman tersebut. Dengan dapat ditemukanya antibodi dengan antigen yang sudah
diketahui dalam tubuh atau sebaliknya, hal ini akan membantu dalam menegakkan
diagnosa suatu penyakit infeksi.1
2.3 Fungsi pemeriksaan serologi
Untuk mengetahui respon tubuh terhadap agen infeksius secara:
a. Kulitatif
Yaitu untuk mendeteksiadanya antigen atau antibodi yang terdapat pada serum
host
b. Kuantitatif
Yaitu untuk mengetahui titer antibodi atau antigen yang terdapat pada serum
host.1

2.4 Penggunaan pemeriksaan serologi


1. Untuk mendiagnosis penyakit infeksi oleh:
a. Mikroorganisme yang sulit dikultur, dikarenakan teknik kulltur dengan medium in
vitro belum ada hingga saat ini.
b. Mikroorganisme yang terlalu berbahaya untuk dikultur.
c. Mikroorganisme yang membutuhkan waktu lama untuk tumbuh.
2. Untuk mendiagnosis penyakit autoimun
Contoh penggunaan pemeriksaan serologi untuk mendiagnosis penyakit autoimun
adalah pada deteksi anti-dsDNA antibodi pada penyakit SLE (Systemic Lupus
Erythematosus)
3. Digunakan untuk penentuan golongan darah ABO dan jenis Rh.1

2.5 Interprestasi pemeriksaan serologi


Pemahaman umum dari konsep serologi adalah terjadinya peningkatan titer. Titer
antibodi sebanding dengan pengenceran tertinggi serum pasien dimana antibodi masih
dapat terdeteksi. Pasien dengan jumlah antibodi yang tinggi, karena antibodi masih dapat
terdeteksi pada pengenceran tertinggi, serum yang digunakan untuk penentuan titer
antibodi harus diambil selama fase akut dari penyakit (ketika pertama kali diketahui atau
masih tersangka) dan diulangi selama masa penyembuhan (biasanya dua minggu
kemudian). Specimennya disebut serum akut dan serum konvalesen. Untuk beberapa
infeksi, seperti penyakit Legionnaire’s dan Hepatitis, titer dapat tidak meningkat sampai
beberapa bulan setelah infeksi akut atau dapat tidak pernah meningkat sama sekali.
Untuk kebanyakan patogen, peningkatan titer dari pengenceran empat kalinya
(yaitu dari positif pada titer 1/8 menjadi 1/32 pada serum berpasangan (akut dan
konvalesen), dapat dipertimbangkan didiagnosa sebagai infeksi baru. Hasil yang akurat
untuk diagnosa penyakit infeksi ini akan didapatkan hanya ketika serum akut dan
konvalesen diperiksa bersama-sama dalam sistem pengujian yang sama.1
2.6 Prinsip pemeriksaan serologi
Penentuan antibodi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa kasus
antibodi terhadap satu jenis antigen dapat diperiksa dengan lebih dari satu cara tetapi
metode penentuan antibodi yang berbeda terhadap satu antigen boleh jadi mengukur
antibodi yang berbeda. Berdasarkan alasan tersebut adanya antibodi terhadap pathogen
tertentu yang dideteksi oleh satu metode mungkin saja tidak berhubungan dengan adanya
antibodi terhadap antigen yang sama tapi dengan metode yang berbeda. Kemudian pula
setiap metode pemeriksaan memiliki derajat sensitifitas yang bervariasi dalam
mendeteksi adanya antibodi. Walaupun demikian, karena IgM biasanya diproduksi hanya
pada pasien dengan infeksi pertama kali terhadap agent infeksi, penentuan IgM dapat
membantu klinisi dalam penentuan diagnosa, sehingga kebanyakan metode serologis
didasarkan kepada analisa IgM.2
2.7 Jenis-jenis pemeriksaan serologi
2.7.1 Aglutinasi
Reaksi aglutinasi adalah reaksi antara antigen yang tidak larut dengan antibodi
yang larut. Dapat juga antigen yang bereaksi adalah antigen larut, tetapi diikat
oleh suatu pembawa (carrier) yang tidak larut, misalnya: sel darah merah, butiran
latex dll.

Gambar 1. Reaksi aglutinasi pada


pemeriksaan serologi
Proses terjadinya aglutinasi
yaitu melalui 2 tahapan, yaitu:
a. Sensitisasi
Merupakan reaksi yang pertama terjadi, yaitu kombinasi antara antigen-
antibodi melalui penentu antigenik tunggal pada permukaan partikel.
b. Pembentukan kisi (Lattice formation)
Tahap kedua yaitu terjadi interaksi antara antibodi dan beberapa penentuk
antigenik pada suatu partikel sehingga terjadi pembentukan ikatan silang yang
membentuk agregat sehingga dapat terlihat, proses ini bergantung pada
kondisi lingkungan dan konsentrasi relatif antigen dan antibodi.1

Gambar 2. Proses sensitisasi ( kiri) , proses pembentukan kisi (kanan)


Menurut sifat partikelnya aglutinasi dibagi menjadi 2 :
c. Aglutinasi langsung (Direct agglutination)
Antigen yang digunakan adalah antigen yang dalam bentuk aslinya berupa
partikel, misalnya suspensi bakteri. Contoh dari pemeriksaan serologi jenis
aglutinasi adalah Widal test.
Pemeriksaan widal adalah pemeriksaan serologi untuk membantu menegakkan
diagnosa penyakit demam thypoid dengan menggunakan antigen H (flagel) dan
antigen O (somatic) Salmonella typhi yang direaksikan terhadap sampel serum
darah.2
Aplikasi lain direct agglutination adalah pada serotyping bakteri,
contohnya bakteri Salmonella dan Vibrio, Weil Felix test (Infeksi Rickettsia).

Gambar
3. Widal
test

d.
Aglutinasi pasif (Indirect agglutination)
Antigen dilekatkan pada suatu pembawa (carrier) berupa partikel (partikel inert)
agar hasil reaksi dapat terlihat dengan mata.
Jenis carrier yang digunakan adalah:
1. Komponen bakteri (koaglutinasi)
Contohnya dengan menggunakan protein A pada Staphylococcus aureus ,
aplikasi teknik ini digunakan pada identifikasi Salmonella.3

Gambar 4. Koaglutinasi
2. Latex
Contoh aplikasi latex agglutination
adalah Lancefield grouping
Streptococcus β hemolitik dan deteksi
Cryptococcus neoformans dalam serum atau CSF.3

Gambar 5. Latex Agglutination

3. Hemagglutinasi

Banyak virus yang menghemaglutinasi eritrosit dan reaksi dapat secara


spesifik dihambat oleh sistem imun atau serum konvalesen. Reaksi ini
merupakan dasar dari banyak tes dengan diagnostik bagi infeksi-inveksi virus.
Prinsip-prinsip yang umum dapat digunakan untuk hemaglutinasi adalah
mengaglutinasikan virus tertentu. Agara berguna untuk tujuan diagnostik,
suspensi eritrosit harus distandarkan dan difiltrasi kontrol positif dan kontrol
negatif harus dmasukkan ke dalam masing-masing tes.

Aplikasi hemaglutinasi pada Coombs test, TPHA (Treponema pallidum


hemagglutination).3

Gambar 6.
Hemagglutinasi

4. Hemagglutinasi inhibition
Asam nukleat terbungkus mantel protein yang dikelilingi oleh
membranedari lipid. Asam nukleat virus mengandung informasi penting untuk
dapat menghasilkan keturunannya yaitu dengan cara memprogram sel inang
yang diinfeksinya agar mensintesis makromolekul virus spesifik. Pemeriksaan
hemaglutinasi inhibisi bertujuan ntuk mengetahui titer HI yang masih dapat
menghambataktivitas hemaglutinasi virus secara sempurna.Prinsip dari
hemaglutinasi inhibition adalah antigen virus antibodiserum dan eritrosit
ditambahkan dengan perbandingan yang sama sehingga terjadi ikatanantigen
dan antibodi saja, tidak terjadi ikatan antara antigen dengan eritrosit. Sehingga
tidak terbentuk hemaglutinasi, hal ini menunjukkan tes hemaglutinasi inhibisi
positif .Hemaglutinasi inhibisi merupakan yang diinduksikan oleh virus
sebagai prosedur untuk mengidentifikasi hemaglutinasi oleh virus atau metode
untuk mengukur kensentrasi dari antigen terlarut dalam specimen biologis
dimana spesimen diinduksi dengan antibodi spesifik dan kemudian dengan
eritrosit.
Aplikasi HI yaitu pada diagnosis infeksi virus contohnya avian inflluenza.4
Gambar 7. Hemagglutinasi inhibition

2.7.2 Flokulasi
Reaksi flokulasi merupakan variasi dan reaksi presipitasi reaksi yang
menunjukkan adanya presipitat dan adanya endapan. Test ini lazim digunakan
untuk mendeteksi kekuatan toksin dan antitoksin.
Ada dua jenis tes berdasarkan flokulasi:
1. VDRL (Veneral Disease Research Laboratory test)
Merupakan metode yang menggunakan prinsip presipitasi dengan bentuk
produk akhir presipitin berkumpul terlihat secara makroskopis dan
mikroskopis. Pasien yang terinfeksi treponema, pada umumnya Treponema.
pallidum, penyebab shypilis membentuk antibodi seperti protein dinamakan
reagin yang akan berikatan dengan antigen cardiolipin-lecithin-coated
cholesterol partikel, menyebabkan partikel berflokulasi. Karena reagin bukan
merupakan antibodi langsung yang spesifik terhadap antigen T. pallidum, tes
ini kurang spesifik tetapi baik digunakan untuk skrining tes. VDRL merupakan
satu-satunya tes yang paling berguna untuk mendeteksi cairan LCS pasien
tersangka Neuroshypilis, meskipun kemungkinan terjadi positif palsu.
Pelaksanaan tes VDRL memerlukan ketelitian, alat gelas yang bersih, dan
harus memperhatikan rincian secara tepat, termasuk kontrol kualitas rutin.
Sebagai tambahan, reagen yang akan digunakan harus disiapkan baru setiap
pelaksanaan tes, serum pasien harus diinaktivasi dengan pemanasan selama 30
menit pada 56⁰C sebelum tes, dan hasilnya dibaca menggunakan mikroskop.
Untuk semua alasan tersebut banyak laboratorium klinik menggunakan tes
kualitatif tandingan Rapid Plasma Reagin (RPRtest)

Gambar 8. VDRL test

2. RPR (Rapid Plasma Reagin test)


RPR merupakan tes yang tersedia secara komersial lengkap dengan konrol
positif dan negatif, kartu tempat reaksi, dan reagen untuk persiapan suspensi
antigen. Antigen kardiolipin-lecithin-coated cholesterol dengan cholin klorida
dan juga mengandung partikel arang untuk memperlihatkan flokulasi
makroskopis. Serum tanpa pemanasan dan reaksi terjadi pada permukaan kartu
tes yang kemudian dibuang. RPR merupakan tes yang dianjurkan untuk
specimen LCS. Seluruh prosedur distandarisasi dan dijelaskan terperinci
dalam kit reagen dan harus diikuti dengan tepat. Secara keseluruhan RPR
merupakan tes skrining yang lebih sensitif dibandingkan VDRL, dan lebih
mudah dalam pengerjaannya. Beberapa modifikasi telah dibuat, misalnya
penggunaan zat warna untuk mempermudah melihat hasil reaksi.
Kondisi dan infeksi lain selain shypilis yang dapat menyebabkan hasil
positif pada pemeriksaan VDRL atau RPR disebut biologic false positive tes.
Penyakit autoimun, seperti lupus erythematosus dan demam reumatik,
mononucleosis infeksiosa, hepatitis, kehamilan dan usia tua,dapat
menyebabkan positif palsu sehingga untuk hasil positif dinyatakan sebagai
dugaan dan harus dikonfirmasi dengan tes spesifik treponemal.

Gambar 9. RPR test

2.7.3 Presipitasi

Presipitasi terjadi antara molekul pada proporsi antigen dan antibodi pada
campuran. Terdapat beberapa cara Ab dan Ag pada bentuk solubel. Pada pengujian
ini antigen berbentuk koloidal. Laju presipitasi sangat tergantung pengujian pada
metode presipitasi, yaitu:
A. Uji tabung
Dengan mencampur pada tabung, masukkan dilusi antigen atau antibodi
dengan jumlah tertentu. Dilusi dilakukan dari konsentrasi tinggi (tabung
pertama) sampai konsentrasi terendah (tabung terakhir). Presipitat timbul pada
tabung yang mengandung Ag dan Ab secara proporsional.
B. Presipitasi Cincin
Antigen dilapiskan pada serum (antibodi), terjadi difusi setelah mencapai
ikatan proporsional dengan antibodi akan menghasilkan presipitasi berbentuk
cincin.
C. Difusi Gel
Pada pengujian ini memungkinkan antigen dan antubodi berdifusi perlahan dari
arah tertentu melalui gel. Pada cara ini homogenitas dan derajat kemurnian dari
berbagai antigen dapat diuji. Pita presipitasi terbentuk pada setiap antigen dapat
saling bertemu, atau bersilangan menunjukkan:
 Bersambungan, antigen identik secara imunologik
(terhadap serum uji)
 Bercabang, antigen berhubungan sebagian
 Bersilangan, menunjukkan antigen tidak berhubungan

Gambar 10. Presipitasi test

2.7.4 Immunoelectrophoresis
Jenis tes lain yang menggunakan prinsip presipitasi dan penggunaannya
secara luas digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam jumlah sedikit. Kelebihan
tes ini menggunakan muatan listrik yang dialirkan pada antigen-antibodi yang dites
pada sistem buffer tertentu. Karena antigen dan antibodi dipertemukan satu sama
lainnya dengan bantuan arus listrik pada suatu matriks semisolid untuk bermigrasi
sehingga metode ini disebut Counterimmunoelectrophoresis (CIE). CIE merupakan
modifikasi metode Ouchterlony yang dipercepat migrasi antigen antibodinya oleh
adanya aliran listrik. Dengan pengecualian bakteri Streptococcus pneumonia
serotype 7 dan 14, antigen bakteri akan bermuatan negatif pada suasana sedikit
basa, sedangkan antibodi bersifat netral. Sifat antigen bakteri inilah yang digunakan
pada prinsip metode CIE, dimana larutan yang mengandung antibodi dan larutan
sampel diletakkan pada lubang sumur agarosa yang diletakkan pada permukaan
kaca.
Kertas atau fiber bersumbu digunakan untuk menjembatani dua agarosa
yang bersebrangan untuk dilalui buffer yang sedikit alkali. Ketika dialiri arus listrik
maka akan terjadi migrasi dari Antigen yang bermuatan negatif akan bermigrasi ke
elektoda positif. Antibodi yang bermuatan netral akan terbawa oleh elektroda
negatif . pada perbatasan antara sumur akan terbentuk zona ekuivalen, dan komplek
antigen-antibodi membentuk garis presipitasi yang nampak, proses migrasi ini
memerlukan waktu satu jam. Banyak antigen yang dapat diperiksa oleh metode
CIE, mendeteksi hampir 0,01 sampai 0,05 mg/ml antigen yang setara dengan 103
organisme/ml larutan. Perlu disertai control pada setiap pengerjaan, CIE merupakan
metode yang berdasarkan reaksi presipitasi yang cukup mahal, sehingga tidak
banyak digunakan lagi dalam imunodiagnostik.

2.7.5 Tes fiksasi komplemen


Tes fiksasi komplemen merupakan teknik imunologi yang digunakan untuk
menentukan antigen spesifik atau antibody apabila ada dalam serum pasien. Metode
ini sangat umum digunakan untuk membedakan dan menemukan penyebab infeksi.
Pada umumnya digunakan untuk pemeriksaan mikroorganisme yang sulit di
identifikasi melalui metode pembiakan. Akan tetapi metode ini telah tergantikan
oleh metode serological lainnya dalam dignosa klinik seperti ELISA dan metoda
identifikasi patogen yang didasarkan pada DNA khususnya polymerase chain
reaction (PCR)
Pada teknik fiksasi komplemen, komplemen digunakan ketika antigen
bereaksi dengan antibodi. Komplemen dapat ditemukan pada serum babi Guinea.
Ketika sel darah merah ditambahkan dengan anti-red-cell-antibody, sel darah merah
akan lisis ketika ditambahkan komplemen (hasil tes negatif). Apabila dalam serum
mengandung antibodi maka complemen akan menfiksasi ikatan antigen dan
antibodi sehingga ketika ditambahkan anti-red-cell antibodi tidak menghasilkan
hemolisis sehingga tes menunjukkan hasil positif.
Contoh pemeriksaan dengan metode fiksasi komplemen:
1. Adenovirus
2. Jamur (Blastomyces, Coccicioides, & Histoplasma)
3. Virus Influenza A & B
4. Parainfluenza 1, 2, & 3
5. Poliovirus 1, 2, & 3
6. Respiratory Syncitial Virus (RSV)

2.7.6 Immunoassay

You might also like