You are on page 1of 11

Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

POLA PENGHUNIAN DALAM TRANSFORMASI ALTITUDE DAN


KONTRIBUSINYA DALAM SISTIM VENTILASI
RUMAH TINGGAL PEDESAAN
FX Teddy Badai Samodra, Mas Santosa

Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember


e-mail: franxatebas@yahoo.com, massan@indo.net.id

ABSTRAK
Altitude dalam makalah ini dieksposisikan sebagai lokasi yang dibedakan oleh
ketinggian dari permukaan laut, yaitu dataran tinggi (>400m), dataran redah (100m-
400m), dan pesisir (<100m). Dalam konteks kinerja termal rumah tinggal pedesaan,
transformasi sosial budaya karena perbedaan altitude dapat diindikasikan oleh
perbedaan pola hidup (perbedaan mata pencaharian) yang berpengaruh pada pola
hunian. Perubahan pola hidup ini dapat juga dijadikan pedoman untuk menelusuri
kemampuan adaptasi pemakai bangunan (behavior adaptation) sebagai bentuk
physiological adaptation to climate atau aklimatisasi (Holm et al., 2005). Pola hunian ini
akan menjelaskan variasi pemakaian bangunan (jam aktif bangunan) yang selanjutnya
akan berpengaruh pada waktu pemakaian bangunan (waktu diperhitungkan untuk
kenyamanan termal), penjadwalan bukaan; waktu bukaan dibuka atau ditutup (secara
langsung berimbas pada pertukaran udara oleh ventilasi). Pada dataran tinggi rumah
tinggal pedesaan akan memiliki frekuensi occupancy tertinggi pada malam hari, dataran
rendah pada siang dan malam hari serta pesisir pada siang hari. Dalam makalah ini
analisa dilakukan dengan simulasi program AIOLOS v1.0 untuk menghasilkan keluaran
berupa pertukaran udara rumah tinggal pedesaan. Observasi dan analisa tentang pola
hunian menunjukkan bahwa pada daerah dataran tinggi akan memiliki optimalisasi sisitm
ventilasi karena memiliki persentase tertinggi dalam pemenuhan kebutuhan minimum
petukaran udara dibanding daerah lain.

Kata kunci: pola penghunian, rumah tinggal pedesaan, sistim ventilasi, transformasi
altitude

1. ALTITUDE DAN TRANFORMASINYA


Altitude dalam konteks ini menunjuk pada ketinggian dari permukaan laut.
Perbedaan altitude tidak hanya terjadi perubahan karena perbedaan lokasi atau
translokasi, namun lebih kepada transformasi yaitu perubahan perbedaan bentuk
lingkungan secara fisik yaitu akan berpengaruh pada iklim dan pola hidup secara sosial
budaya. Secara fisik perbedaan altitude dibedakan dalam tiga kategori yaitu dataran
tinggi (>400m), dataran rendah (100-400m), dan pesisir (<100m) (Samodra, 2006-c).
Gambar 1. menunjukkan perbedaan lokasi studi rumah tinggal pedesaan pada altitude
yang berbeda.

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006 II - 49


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

2. TRANSFORMASI FISIK
Korelasi temperatur dan lokasi ketinggian dari permukaan laut (altitude) dengan
teori Houbolt dalam Mangunwijaya (1994) menunjukkan bahwa pada daerah di bawah
garis lintang 600 setiap kenaikan 100m akan terjadi penurunan sebesar 0,570C. Angin
merupakan elemen iklim yang berubah karena perbedaan kekasaran permukaan. Karena
perbedaan altitude, topografi lingkungan berubah karena adanya perbedaan jenis
permukaan. Pada studi imej pedesaan, tipologi permukaan berupa rural atau yang lebih
rendah kekasarannya. Perbedaan yang terjadi adalah variasi permukaan karena
kepadatan dan jenis vegetasi bukan bangunan. Henderson (2003) menggambarkan
kekasaran permukaan pada daerah dengan altitude lebih rendah akan memiliki
kecepatan angin yang lebih tinggi karena daerahnya lebih terbuka seperti daerah pantai
terbuka (Gambar 2.).

Gambar 1. Lokasi Studi Rumah Tinggal Pedesaan

II - 50 UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

Gambar 2. Terrain dan Topografi


(Sumber: Henderson, 2003: 32)

Tabel 1. Standard Kekasaran Permukaan


Terrain
Building
Class constant Deskripsi
terrain
multiplier
I 0.10 1.30 Ocean or other body of water with at least 5
km of unrestricted expanse
II 0.15 1.00 Flat terrain with some isolated obstacle
III 0.20 0.85 Rural areas with low buildings
IV 0.25 0.67 Urban, industrial or forest areas
V 0.35 0.47 Center of large city
(Sumber: Swami dan Chandra, 1988: 257)

Dalam rumah tinggal pedesaaan (di Jawa Timur), orientasi rumah kampung pada
ruang luar bersama yang diidentifikasi sebagai jalan kampung, tidak ada aturan tertentu
yang mengindikasikan arah hadap rumah seperti arsitektur tradisional asli Jawa. Di sini,
peluang optimasi untuk orientasi sangat besar meskipun ada indikasi bahwa orientasi
tidak banyak berpengaruh pada kenyamanan termal pada bangunan berlantai rendah.
Namun, penghapusan panas oleh angin dengan bukaan oleh sistim konstruksi kulit
bangunan dapat mendukung proyeksi optimasi untuk orientasi (Samodra, 2006-a).
Menurut Swami dan Chandra (1988), standardisasi penentuan kekasaran
permukaan dalam terrain parameters terdiri dari 5 kelas terrain seperti dalam Tabel 1.
Berdasarkan tabel tersebut, rumah tinggal pedesaan berada pada lokasi dengan building
terrain = 0,20 (kelas III), namun tidak menutup kemungkinan pada lokasi kelas I dan II
yang memiliki kekasaran lebih rendah. Dalam konteks fisik lingkungan, rumah tinggal
pedesaan dideskripsikan sebagai kawasan ruang padat rongga dalam bentuk area rural

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006 II - 51


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

(Gambar 3.). Di sini, pergerakan angin dalam area pedesaan diindikasikan oleh
kekasaran permukaan bertipe rongga yang dominan.

Gambar 3. Variasi Kecepatan Angin oleh Bentuk Permukaan


(Sumber: Lam et al., 2005: 14)

Dalam lingkungan desa, penghalang lingkungan seperti bangunan (obstruction)


sangat kecil, jarak antar bangunan relatif jauh (kepadatan rendah) sehingga memiliki
potensi pertukaran udara yang cukup tinggi karena kecepatan angin memiliki eksistensi
yang lebih baik dibandingkan pada daerah berkepadatan tinggi seperti sub urban, urban
atau center of large city (Gambar 3. dan Gambar 4.). Daerah pedesaan merupakan tipe
permukaan dengan kepadatan rendah pada setiap orientasi bangunan. Karakter layout
bangunan adalah menyebar atau spread out, sehingga memungkinkan pembentukan
aliran udara (Givoni, 2006). Pembentukan aliran udara setiap perbedaan orientasi akan
tidak jauh berbeda. Namun, optimalisasi pertukaran udara akan cukup efektif pada
kondisi udara yang panas dan sebaliknya akan kritis pada lingkungan yang dingin.
Pertimbangan ini penting untuk pengaturan jadwal bukaan rumah tinggal pedesaan
dalam 24 jam tanpa harus mengabaikan pola penghunian yang dapat menambah
perolehan panas dalam bangunan (internal heat gain).

II - 52 UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

Gambar 4. Pengaruh Ketinggian terhadap Kecepatan Angin


(Sumber: Lam et al., 2005: 14)

3. TRANSFORMASI SOSIAL BUDAYA


Dalam arti yang lebih luas, transformasi mencakup bukan saja perubahan pada
bentuk luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan struktur atau
karakteristik perekonomian suatu masyarakat. Transformasi sosial budaya dapat
digambarkan oleh transformasi pertanian atau agribisnis di pedesaan, yaitu sebagai
perubahan bentuk, ciri, struktur, dan kemampuan sistem pertanian yang dapat
menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian
masyarakat pedesaan (Pranadji et al., 2004). Dalam konteks kinerja termal bangunan,
transformasi sosial budaya karena perbedaan altitude dapat diindikasi oleh perbedaan
pola hidup (perbedaan mata pencaharian) yang berpengaruh pada pola hunian. Pola
hunian ini akan menjelaskan variasi pemakaian bangunan (jam aktif bangunan) yang
selanjutnya akan berpengaruh pada aspek-aspek sebagai berikut:
1. Waktu pemakaian bangunan (waktu diperhitungkan untuk kenyamanan termal)
2. Penjadwalan bukaan; pemakaian bangunan akan berpengaruh pada waktu
bukaan dibuka atau ditutup (secara langsung berimbas pada nilai pertukaran
udara oleh ventilasi).
3. Internal heat gain; panas yang dihasilkan oleh aktivitas yang menjadi bagian pola
hidup pemakai bangunan.
Perubahan pola hidup ini dapat juga dijadikan pedoman untuk menelusuri kemampuan
adaptasi pemakai bangunan (behavior adaptation) sebagai bentuk physiological
adaptation to climate atau aklimatisasi (Holm et al., 2005).

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006 II - 53


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

Tabel 2. Sistim Ventilasi (Penjadwalan Bukaan) Rumah Tinggal Pedesaan


Penjadwalan Bukaan
Waktu Dataran Tinggi Dataran Rendah Pesisir
Pintu Jendela Pintu Jendela Pintu Jendela
01.00 0 0 0 0 0 0
02.00 0 0 0 0 0 0
03.00 0 0 0 0 0 0
04.00 0 0 0 0 0 0
05.00 1 1 1 1 0 0
06.00 1 1 1 1 0 0
07.00 0 1 0 0 1 1
08.00 0 1 0 0 1 1
09.00 0 1 0 0 1 1
10.00 0 1 0 0 1 1
11.00 0 1 0 0 1 1
12.00 1 1 0 0 0 1
13.00 1 1 0 0 0 1
14.00 0 1 0 0 0 1
15.00 0 1 1 1 0 1
16.00 0 1 1 1 0 1
17.00 1 1 1 1 1 1
18.00 1 1 1 1 1 1
19.00 1 1 1 1 1 1
20.00 1 1 1 1 1 1
21.00 1 1 1 1 1 1
22.00 0 0 0 0 1 1
23.00 0 0 0 0 1 1
24.00 0 0 0 0 1 1

Keterangan:
1 = Terbuka; 0 = Tertutup
Tidak Dihuni (Jam Tidak Aktif atau Pasif)
Dihuni (Jam Aktif )

4. POLA PENGHUNIAN DAN SISTIM VENTILASI


Dari studi observasi lapangan dapat ditunjukkan bahwa ketiga lokasi yang
dibedakan oleh ketinggian permukaan memiliki fenomena spesifik yanhg berbeda dalam
pola penghunian. Perbedaan kondisi ekonomi menyebabkan perbedaan perilaku yang
juga akan berpengaruh pada sistim ventilasi. Tabel 2. menggambarkan sisitim ventilasi
(penjadwalan bukaan) pada rumah tinggal pedesaan dalam rata-rata 24 jam.
Pada dataran tinggi, rumah dihuni pada jam 00.00 - 06.00, 12.00 - 13.00, dan
17.00 - 21.00. Kondisi ini identik dengan penjadwalan pembukaan pintu, sedang jendela
dibiarkan terbuka pada jam 05.00 - 21.00. Di daerah dataran rendah, penduduk
beraktivitas pada jam 07.00 - 14.00, oleh karena itu bangunan akan berperan aktif pada

II - 54 UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

jam 00.00 - 06.00 dan 15.00 - 24.00. Bukaan, baik pintu maupun jendela berfungsi sama
(terbuka) pada jam 05.00 - 06.00 dan 15.00 - 21.00. Dari deskrispsi sistim ventilasi
kedua lokasi dataran tersebut dapat ditunjukkan bahwa pada jam 22.00 - 04.00 akan
rentan dengan rendahnya nilai pertukaran udara pada jam pakai atau aktif bangunan.
Pada lokasi di daerah pesisir, pola hidup sebagai nelayan sedikit berbalik dengan kedua
lokasi di atas. Bangunan dipakai pada jam 07.00 - 24.00 dengan pembukaan pintu pada
jam 07.00 - 11.00 dan jendela pada jam 07.00 - 24.00. Pada lokasi ini kondisi kritis
terhadap rendahnya nilai pertukaran udara secara alami dapat dihindari karena
penjadwalan penutupan bukaan terjadi pada jam tidak aktif (bangunan tidak terpakai)
yaitu pada jam 01.00 - 06.00.

Tabel 3. Kinerja Sistim Ventilasi

Durasi
Sesuai
Lokasi 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
Standard
(Jam 01-12)
Dataran
3/7 = 43%
Tinggi
Dataran
2/6 = 33%
Tinggi
Pesisir 2/6 = 33%

Durasi Durasi
Sesuai Sesuai
Lokasi 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Standard Standard
(Jam 13-24) (Total)
Dataran
6/9 = 67% 12/16 = 75%
Tinggi
Dataran
7/10 = 70% 9/16 = 56%
Tinggi
Pesisir 7/12 = 58% 9/18 = 50%

Jam Bangunan Tak Terpakai


Memenuhi Standard
Tidak memenuhi Standard

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006 II - 55


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

13
12
12
11 11 11 11
11
PERTUKARAN UDARA/JAM

10
9 9 9
9
8
8
7 7 7 7 7
7 6 6 6 BULAN TERDINGIN
6 BULAN TERPANAS
5
5
4
3 Min-ACH = 4
2
11 1 1 11 1 1 11 11 1 1 11
1
0 0 00 0 0 00 0 0 00 0 0
0
14 13 16
13 17 18 19 20 21 22 23 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
13 12 12
WAKTU
12 11 11 11
11
PERTUKARAN UDARA/JAM

10 10 10 10
10 9 9 9
9 8
8
BULAN TERDINGIN
7 6 6 6 BULAN TERPANAS
6
5
4
3
Min-ACH = 4
2
1 0 0 00 0 0 00 00 0 0 00 0 0 00 0 0 0 0 00 0 0 00 0 0
0
11 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
10 12
10 13 14 15 16 17
10 18 19 20 21 22 23 24
10 WAKTU
9 9 9
9
8 8 8
PERTUKARAN UDARA/JAM

8
7 7 7 7 7
7
6 6 6 6 6 6
6 BULAN TERDINGIN
5 5 5
5 BULAN TERPANAS
4
4 Min-ACH = 4
33 3 3 3
3
2 2
2
11 1 11
1
0 0 00 0 0 00 0 0 0 0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
WAKTU

Gambar 5. Pertukaran Udara oleh Perbedaan Altitude

5. DISKUSI
Standard minimum pertukaran udara untuk rumah tringgal adalah 4 kali/jam
(Szokolay, 1987). Dari hasil Simulasi AIOLOS v1.0, pertukaran udara dalam 24 jam
dengan eksisting penjadwalan bukaan dalam Tabel 2. ditunjukkan oleh Gambar 5. Variasi
nilai sangat dipengaruhi oleh pola bukaan dan signifikan pada bulan-bulan tertentu. Pada
dataran rendah dan pesisir, bulan terpanas cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dari
bulan terdingin, sedang pada lokasi dataran tinggi bulan terdingin cenderung lebih tinggi
nilainya dari bulan terpanas.

II - 56 UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

Pada Tabel 3. ditunjukkan kinerja sistim ventilasi dalam mengakomodasi


pertukaran udara. Dalam jam aktif (bangunan dihuni), rumah tinggal pedesaan di dataran
tinggi memiliki perfoma yang paling optimal. Durasi waktu dalam sehari yang memenuhi
persyaratan atau standard minimum pertukaran udara adalah 75%, sedangkan lokasi lain
lebih rendah, yaitu 56% untuk dataran rendah dan 50% untuk daerah pesisir. Kondisi ini
dimungkinkan terjadi karena sistim ventilasi dalam penjadwalan bukaan di dataran tinggi
sesuai kebutuhan penghunian, artinya baik pintu maupun jendela dibuka pada kondisi
diperlukan (pada jam aktif bangunan). Hal lain yang memiliki kontribusi besar adalah arah
dan kecepatan angin. Arah angin pada lokasi dataran tinggi memungkinkan terjadinya
pemasukan udara pada sisi yang memeiliki bukaan besar (sisi Selatan atau Utara)
dengan kecepatan yang relevan (berkisar 2 m/s).

6. KESIMPULAN
Pembahasan sistim ventilasi dalam konteks kebutuhan pertukaran udara rumah
tinggal pedesaan bervariasi sesuai pola penghunian. Berikut beberapa konsep pola
penghunian karena perbedaan altitude dan kontribusinya dalam sisitim ventilasi:
1. Pola penghunian akan bervariasi sesuai lokasi altitude karena perbedaan pola
hidup penduduk (pengaruh faktor ekonomi).
2. Pola penghunian mempengaruhi penjadwalan bukaan rumah tinggal pedesaan
dalam 24 jam.
3. Penjadwalan bukaan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertukaran
udara, baik pada bulan terpanas maupun terdingin.
4. Rumah tinggal pedesaan di dataran tinggi menunjukkan optimalisasi kinerja sistim
ventilasi karena beberapa faktor, yaitu kesesuaian kebutuhan penghunian dengan
penjadwalan bukaan, pengaruh klimatik seperti arah dan kecepatan angin.

DAFTAR PUSTAKA
Allard, F. (1998) Natural Ventilation in Buildings. James & James LTD, London
ASHRAE- American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers
(1977) Handbook of Fundamentals
Aynsley, R.M. (1977) Architectural Aerodynamics. Applied Science publishers LTD,
London
Frick, H. (1997) Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia. Kanisius, Yogyakarta
Frick, H. (1998) Dasar-Dasar Eko-Arsitektur. Kanisius, Yogyakarta

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006 II - 57


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

Givoni, B. (2006) Climate Aspects in Building Design in Hot Humid Regions, 2nd
Proceeding International Conference iNTA DWCU Jogjakarta. April 3-5. pp PS1-1 –
PS2-7
Gunadi S., Prijotomo, J. (1979) Perkembangan Arsitektur Pedesaan. FTA – ITS,
Surabaya
Henderson, D., Haper, B. (2003) Climate Change and Tropical Cyclone Impact on
Coastal Communities’ Vulneralibity. Queensland State Government’ Department of
Natural Resources and Mines and the Department of Emergency Services. CTS
Report TS582, September, 2003
Holm, D., Engelbrecht, F.A. (2005) Practical choice of thermal comfort scale and range in
naturally ventilated buildings in South Africa. Journal of the South African Institution
of Civil Engineering. Volume 47 Number 2, 2005
Ismunandar, R. (1997) Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Daahra Prize, Semarang
Lam, K. Satwiko, P., Kim, A. (2005) Assessment of Physical And Computational Airflow
Analysis And Evaluation Tools For Building Design. Northwest Energy Efficiency
Alliance Portland, Oregon
Lippsmeier, G. (1997) Bangunan Tropis. Erlangga, Jakarta
Mangunwijaya Y.B. (1994) Pengantar Fisika Bangunan. Djambatan, Jakarta
Mudjiono, Z. (1987) Permukiman: Masalah, Potensi, Konsep. Laboratorium Tradisional
Jurusan Arsitektur-ITS, Surabaya
Nirvansjah, R. dan Hariadi, D. (1988) Study Faktor Kenyamaman dan Kenikmatan
Bangunan Kolonial di Surabaya. Pusat Penelitian ITS, Surabaya
Olgyay, V. (1992) Design with Climate. Van Nostrand Reinhold. New York
Pranadji, T., Hastuti, E. Transformasi Sosio-Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jurnal AKP.
Volume 2 No. 1, Maret 2004. pp 77-92
Samodra, FX. T.B.S. (2005-a) Optimasi Kinerja Termal Rumah Tinggal Pedesaan. Tesis
Program Studi Magister Arsitektur ITS. Surabaya
Samodra, FX. T.B.S. (2005-b) Thermal Performance Optimization for Javanese Village
Houses, Proceeding International Seminar SENVAR VI ITB Bandung. September
19-20. pp 19-25
Samodra, FX. T.B.S. (2006-a) Thermal Performance of Kloneng as Local Material on
Javanese Village Houses, 2nd Proceeding International Conference iNTA DWCU
Jogjakarta. April 3-5. pp P11-1 – P11-6

II - 58 UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006


Seminar Nasional : Transformasi Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup Manusia

Samodra, FX. T.B.S. (2006-b) Image of Village Architecture in The Watery Area and Its
Environment Influences to The Building Through Opening, Proceeding International
Seminar SENVAR VII Unhas Makassar. November 20-21. pp 399-406
Samodra, FX. T.B.S. (2006-b) Thermal Performance of Skin Construction System of
Javanese Village House in the Coastal as The Lowest Altitude Region, Proceeding
International Seminar SENVAR VII Unhas Makassar. November 20-21. pp 417-424
Santosa, M. (1993). Sistim Informasi Aspek Panas dalam Rancang Arsitektur. Lemlit
ITS, Surabaya
Santosa, M. (1994) Rancangan Geometri dan Konstruksi Atap sebagai Aspek Penentu
Tingkat Kenyamanan Hunian bangunan. Lemlit ITS, Surabaya
Santosa, M. (2000) Specific Responses of Traditional Houses to Hot Tropic, Proceedings
SENVAR2000 ITS Surabaya, October 23-24. pp 13-17.
Santosa, M. (2003) Totalitas Arsitektur Tropis. Orasi Pengukuhan Guru Besar ITS.
Surabaya
Swami dan Chandra (1994) Correlation for Pressure Distribution on Buildings and
calculation of Natural-Ventilation Airflow. ASHRAE Transactions, vol. 94. no.1
Szokolay, S.V. (1987) Thermal Design of Buildings. RAIA Education Division, Canberra

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA - 2006 II - 59

You might also like