You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insiden gastritis di dunia sekitar 1,8-1,2 juta dari jumlah penduduk setiap

tahun. Menurut data World Health Organization (WHO) angka kejadian

gastritis pada beberapa daerah di Indonesia dengan jumlah kasus 30.154 (4.9%).

Penyakit asam-peptik meliputi refluks gastro-esofagus, ulkus peptikum (gastric dan

duodenal) dan mukosa akibat stres. Pada semua keadaan tersebut terjadi erosi mukosa

atau ulserasi bila efek kaustik yang ditimbulkan oleh factor agresi (asam,

pepsin,empedu) mengalahkan factor pertahanan mukosa saluran cerna (sekresi mucus,

bikarbonat, prostaglandin, aliran darah, proses restitusi dan regenerasi pascajejas sel).

Obat yang digunakan dalam terapi kelainan asam-peptik dapat dibagi dua golongan

yaitu agen yang menurunkan keasaman dalam lambung dan agen yang meningkatkan

pertahaan mukosa. (Betram G. Katzung)

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung.

Burimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali

ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor

H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin.

Ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel.

Perangsanagan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung sehingga

dalam pemberian ranitidin sekresi asam lambung akan di hambat. Pengaruh


1
2

fisiologik ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya tidak begitu penting. Walaupun

tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basal ranitidin dapat

menghambat sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik,

stimulasi vagus atau gastrin. (farmakologi terapi).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi diperkirakan telah menyebabkan 4,5%

dari beban penyakit di dunia dan prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai

25,8% (WHO, 2003). Hipertensi merupakan keadaan tekanan darah dalam

pembuluh darah meningkat secara kronis. Penyakit hipertensi telah menjadi

masalah utama dalam kesehatan masyarakat Indonesia. Menurut Riset Kesehatan

Dasar (RisKesDas), (2013) telah terjadi peningkatan kasus hipertensi di

Indonesia dari 7,6% pada tahun 2007 menjadi 9,5% pada tahun 2013.

Salah satu terapi hipertensi adalah dengan obat - obatan. Salah satu studi

menyatakan bahwa pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi memiliki

resiko lima kali lebih besar terkena stroke (Herawati dan Wahyuni, 2016).

Amlodipin merupakan obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi dan

jantung koroner (Bhardwaj et al, 2010). Amlodipin tergolong dalam obat

antagonis kalsium golongan dihidropiridin, yang termasuk obat wajib

bioekivalensi (PERKA BPOM, 2011). Di dalam Biopharmaceutical

Classification System (BCS) dijelaskan bahwa Amlodipin termasuk ke dalam

kelas pertama dengan kelarutan tinggi dalam air dan mempunyai daya

permeabilitas yang tinggi (Regun et al, 2016).


3

Menurut Permenkes RI (1989), Luh menyatakan bahwa produk obat yang

beredar di Indonesia terdiri dari produk obat paten, produk bermerek dan

berlogo generik. Obat generik merupakan salah satu alternatif pilihan bagi

masyarakat karena harganya lebih murah dibandingkan harga obat bermerek.

Hal ini disebabkan karena adanya penekanan pada biaya produksi dan promosi.

Persaingan harga diikuti pengendalian mutu yang ketat akan mengarah pada

tersedianya obat generik bermutu tinggi dan dengan harga yang terjangkau (Luh,

2006).

Menurut Kepmenkes (2006), Nomor 069/MenKes/SK/II/2006 tentang

Pencantuman Harga Eceran tertinggi (HET) dan Kepmenkes (2006), Nomor

068/MenKes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Nama Generik pada Kemasan

bertujuan untuk merasionalisasi harga obat dan memberikan informasi pada

masyarakat. Informasi pada masyarakat dimaksudkan agar terjadi proses

substitusi generik di mana pemilihan obat tidak sepenuhnya ditentukan oleh

dokter tetapi masyarakat juga berwenang terhadap obat yang dibelinya (Luh,

2006).

Dalam Dona et al (2011), Febrianti dan Trisna menyatakan bahwa, banyak

anggapan yang beredar dalam masyarakat, bahwa obat bermerek mempunyai

efektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan obat generik. Harganya yang

terbilang murah dibanding obat bermerek membuat masyarakat tidak percaya

bahwa mutu obat generik sama dengan obat bermerek.

Harga yang terjangkau juga harus diikuti dengan mutu yang tinggi. Mutu

dijadikan acuan untuk menetapkan kebenaran khasiat (efikasi) dan keamanan


4

(safety). Mutu suatu sediaan obat dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain

aspek teknologi dan formulasi yang meliputi stabilitas fisik dan kimia di mana

sediaan obat harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan Farmakope Indonesia.

Selain itu mutu obat juga ditinjau dari waktu hancur dan profil disolusi. Obat

yang memiliki mutu fisik, keseragaman bahan berkhasiat dan profil disolusi

yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik karena ketersediaan

farmasetik dari obat tersebut tinggi (Harianto dan Sabarijah, 2006).

Informasi mengenai mutu produk obat sangat dibutuhkan untuk

memberikan kepercayaan kepada masyarakat terhadap produk obat tersebut

(Luh, 2006). Oleh karena itu dibutuhkan fakta ilmiah untuk mendukung

informasi mengenai mutu produk obat. Salah satu informasi yang dapat

digunakan untuk mendukung mutu obat agar dapat dilakukan substitusi generik

adalah data uji disolusi terbanding (Luh, 2006). Mutu obat generik harus

sebanding dengan kompetitor karena hal inilah perlu dilakukannya uji disolusi

terbanding (Olusola et al, 2011).

Disolusi adalah proses pelarutan atau pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan

ke dalam larutan suatu medium untuk mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut

dan memberi efek terapi di dalam tubuh. Pengujian dilakukan untuk menjamin

bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan diperlukan dalam

rangka pengembangan suatu obat baru (Farmakope Indonesia, 2014). Uji ini

juga diperlukan karena metode fabrikasi dan formulasi dapat mempengaruhi

bioavabilitas produk obat (Luh, 2006).


5

Beberapa penelitian mengenai uji disolusi sudah banyak dilakukan, seperti

yang dilakukan oleh Dona et al (2011), yaitu melakukan analisa mutu tablet

Ibuprofen generik dan bemerek dagang di daerah Padang, didapatkan bahwa

semua sampel memenuhi persyaratan disolusi Farmakope Indonesia yaitu berada

pada rentang 85,68 % - 96,29%.

Olosola et al (2012), melakukan penelitian uji ekivalensi dua produk

bermerek Amlodipin menggunakan media disolusi biowaiver di Nigeria dengan

hasil faktor kemiripan pada dapar Asetat pH 4,5 yaitu 46, hasil ini menunjukan

bahwa faktor kemiripan tidak memenuhi spesifikasi.

Fatima et al (2013), melakukan penelitian prediksi kinerja in Vivo

menggunakan media Biorelevant pada Simvastatin tablet. Hasil penelitian

menunjukan bahwa media Biorelevant FeSSIF (Fed State Simulated Intestinal

Fluid) dan FaSSIF (Fasted State Simulated Intestinal Fluid) dapat digunakan

untuk memprediksi pelepasan obat atau disolusi dalam tubuh.

Regun et al (2016), melakukan penelitian evaluasi comparative Amlodipin

bermerek di pasar Bangladesh, hasil penelitian menunjukan semua sampel

memenuhi persyaratan disolusi United States Pharmacopoeia (USP) yaitu

berada pada rentang 71,19 % - 99,87%.

Suatu metode pengujian dapat dikatakan baik atau dapat dipercaya jika

metode tersebut telah divalidasi (Yulia et al, 2010). Validasi dan verifikasi suatu

metode analisa menjadi faktor penting karena hanya metode analisa yang telah

dibuktikan validitasnya maka hasil pengukurannya dapat

dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan (Sugihartini et al, 2014).


6

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan uji disolusi Amlodipin

generik sebagai produk baru dan bermerek sebagai kompetitor untuk mengetahui

faktor kemiripan dan mutu produk tersebut.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi

masalah sebagai berikut :

1. Berapakah persentase disolusi Amlodipin pada obat generik dan bermerek?

2. Berapa faktor kemiripan (f2) Amlodipin pada obat generik dan bermerek?

3. Apakah Amlodipin generik sebanding terhadap Amlodipin bermerek?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase disolusi serta

membandingkan kualitas obat generik dan bermerek yang ditinjau dari uji

disolusi. Sedangkan tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Menentukan persentase disolusi Amlodipin generik dan Amlodipin

bermerek.

2. Menentukan faktor kemiripan Amlodipin generik dan bermerek.

3. Menetapkan mutu Amlodipin generik bila dibandingkan dengan obat

bermerek.
7

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini antara lain .

1. Memberikan informasi mengenai persentase disolusi Amlodipin generik dan

bermerek.

2. Memberikan informasi mengenai kualitas obat generik dan bermerek.

Sehingga jika faktor kemiripan memenuhi syarat dapat dilakukan subsitusi

ke obat generik.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara eksperimental sungguhan (true

experimental) di Laboratorium dengan beberapa tahap kerja. Metode kerja yang

dilakukan antara lain :

1. Studi literatur

2. Persiapan bahan, alat dan metode.

3. Verifikasi validasi metode analisa spektrofotometri.

4. Uji disolusi Amlodipin generik dan bermerek dengan media yang berbeda

yaitu larutan HCI pH 1,2; dapar asetat pH 4,5 dan dapat fosfat pH 6,8.

5. Penentuan pesetase disolusi Amlodipin generik dan bermerek menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis.

6. Pengolahan data dan evaluasi.


8

1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengawasan Mutu PT. Holi

Pharma Jalan Maharmartanegara No 100 Cimindi Cimahi. Waktu penelitian

dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Juli 2017.

You might also like