Professional Documents
Culture Documents
FAKULTAS KEDOKTERAN
2008
BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis. Meningitis merupakan
penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak, dan dewasa
muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena meningitis. Di
Inggris, dilaporkan bahwa 3000 orang terkena meningitis setiap tahunnya, baik dewasa maupun
anak-anak. Dilaporkan juga bahwa satu dari sepuluh orang yang menderita meningitis akan
meninggal, dan sisanya akan sembuh dengan meninggalkan kecacatan (www.meningitis.org).
Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya infeksi virus,
bakteri, dan jamur (www.meningitis.org). Sebab lain adalah akibat trauma, kanker, dan obat-
obatan tertentu (en.wikipedia.org). Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai salah satu
meningitis yang disebabkan oleh bakteri, yakni meningitis tuberkulosis.
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosis dapat membantu untuk
mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis, mengingat bahwa insidensi kematian
akibat meningitis masih cukup tinggi.
BAB II
MENINGITIS TUBERKULOSIS
BATASAN
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis (en.wikipedia.org). Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Kliegman, et
al. 2004).
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram
positif, berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu
dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini
merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan
manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan
tuberkulosis adalah Mycobacterium. bovis,Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium
microti (en.wikipedia.org, www.microbiologybytes.com).
Gambar 1. Mycobacterium tuberkulosis
INSIDENSI
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk,
yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara
endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang
bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua
kasus tuberkulosis (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007)
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur
dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati (Kliegman, et
al. 2004). Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar
memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual (Hardiono D. Poesponegoro dkk, 2005).
PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer.
Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen
(22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari
fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe
regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya
menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang (Darto Saharso, 1999).
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya
meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medula
spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau
selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran
hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis
primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses
reaktivasi tersebut adalah trauma kepala (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Gambar 2. Penyebaran Mycobacterium tuberculosis Dari Tempat Infeksi
Primernya Di Paru-Paru
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan
protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas
yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal
otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan
saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening
ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada
stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta
mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf
yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan
timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil
saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran
yang sifatnya permanen (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media
atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi
sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe,
dkk., 2007).
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Darto Saharso, 1999., Nastiti N.
Rahajoe, dkk., 2007).
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
menyebabkan spinal block dan paraplegia (Kliegman, et al. 2004).
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien.
Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya
sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah
kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga
stadium:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis
Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi) * rasa lemah
* nafsu makan menurun (anorexia) * nyeri perut
* sakit kepala * tidur terganggu
* mual, muntah * konstipasi
* apatis * irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati
yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai
demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-
15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan berlangsung
singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung
serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar
otak menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf
kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla
spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat
terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala:
* Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama)
* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
- ptosis - reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur