You are on page 1of 14

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN
2008

BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis. Meningitis merupakan
penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak, dan dewasa
muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena meningitis. Di
Inggris, dilaporkan bahwa 3000 orang terkena meningitis setiap tahunnya, baik dewasa maupun
anak-anak. Dilaporkan juga bahwa satu dari sepuluh orang yang menderita meningitis akan
meninggal, dan sisanya akan sembuh dengan meninggalkan kecacatan (www.meningitis.org).
Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya infeksi virus,
bakteri, dan jamur (www.meningitis.org). Sebab lain adalah akibat trauma, kanker, dan obat-
obatan tertentu (en.wikipedia.org). Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai salah satu
meningitis yang disebabkan oleh bakteri, yakni meningitis tuberkulosis.
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosis dapat membantu untuk
mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis, mengingat bahwa insidensi kematian
akibat meningitis masih cukup tinggi.
BAB II
MENINGITIS TUBERKULOSIS
BATASAN
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis (en.wikipedia.org). Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Kliegman, et
al. 2004).
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram
positif, berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu
dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini
merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan
manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan
tuberkulosis adalah Mycobacterium. bovis,Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium
microti (en.wikipedia.org, www.microbiologybytes.com).
Gambar 1. Mycobacterium tuberkulosis
INSIDENSI
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk,
yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara
endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang
bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua
kasus tuberkulosis (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007)
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur
dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati (Kliegman, et
al. 2004). Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar
memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual (Hardiono D. Poesponegoro dkk, 2005).
PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer.
Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen
(22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari
fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe
regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya
menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang (Darto Saharso, 1999).
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya
meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medula
spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau
selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran
hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis
primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses
reaktivasi tersebut adalah trauma kepala (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Gambar 2. Penyebaran Mycobacterium tuberculosis Dari Tempat Infeksi
Primernya Di Paru-Paru
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan
protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas
yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal
otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan
saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening
ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada
stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta
mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf
yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan
timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil
saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran
yang sifatnya permanen (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media
atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi
sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe,
dkk., 2007).
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Darto Saharso, 1999., Nastiti N.
Rahajoe, dkk., 2007).
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
menyebabkan spinal block dan paraplegia (Kliegman, et al. 2004).
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
 Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
 Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
 Terlokalisasi, pada selaput otak
 Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien.
Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya
sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah
kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga
stadium:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
 Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
 Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis
 Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi) * rasa lemah
* nafsu makan menurun (anorexia) * nyeri perut
* sakit kepala * tidur terganggu
* mual, muntah * konstipasi
* apatis * irritable
 Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati
yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai
demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-
15%.
 Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan berlangsung
singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
 Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
 Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung
serebri.
 Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.
 Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar
otak  menyebabkan gangguan otak / batang otak.
 Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf
kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla
spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat
terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
 Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
 Gejala:
* Akibat rangsang meningen  sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama)
* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
- ptosis - reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur

Gambar 3. Kaku Kuduk (Nuchal Rigidity) Pada Penderita Meningitis


3. Stadium III (koma / fase paralitik)
 Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
 Gangguan fungsi otak semakin jelas.
 Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat
yang mengalami organisasi.
 Gejala: * pernapasan irregular
* demam tinggi
* edema papil
* hiperglikemia
* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,
opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
* nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
* hiperpireksia
* akhirnya, pasien dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain,
tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal. Dikatakan
akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat
(Darto Saharso, 1999., Kliegman, et al. 2004., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
KRITERIA DIAGNOSIS
 Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala,
maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai
dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan
dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,
muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada
33,3% kasus)
 Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku
kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun (Herry Garna dan
Nataprawira., 2005).
 Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini
cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan
PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter daripembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan : 0–4 mm → uji mantoux negatif.
(Indurasi) Arti klinis : tidak ada
infeksiMycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan : 3–9 mm → uji mantoux meragukan.
(Indurasi) Hal ini bisa karena kesalahan teknik,
reaksi silang dengan Mycobacterium
atypic atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan : ≥ 10 mm → uji mantoux positif.
(Indurasi) Arti klinis : sedang atau pernah
terinfeksi Mycobacterium
tuberculosa (www.mediastore.com., 2008)

Gambar 4. Uji Mantoux

Gambar 5. Salah Satu Contoh Kemasan Purified Protein Derivative (PPD)


 Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) terjadi reaksi cepat (dalam 3-
7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak dicurigai telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (tbcindonesia.or.id., 2008).
 Dari hasil pemeriksaan laboratorium
o Darah: - anemia ringan
- peningkatan laju endap darah pada 80% kasus (Darto Saharso,
1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005).
o Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi lumbal) :
- Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang.
Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama
dan ada hambatan di medulla spinalis.
- Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut
dapat mencapai 1000 / mm3.
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarnaxanthochrom dan pada
permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan
tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002).
- Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor
cerebrospinalis adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman
(Darto Suharso. 1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005., Nastiti N.
Rahajoe, dkk., 2007).
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama 3
hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan
pungsi lumbal kedua dan ketiga (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
 Dari pemeriksaan radiologi:
- Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
- Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira
pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal (Darto Suharso. 1999).
- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal,
serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal
penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan
adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang
disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.
Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah
korteks serebri atau talamus (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
PENGOBATAN
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang
sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus
segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis (Darto
Suharso. 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
 Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
 Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12
bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan pada terapi
meningitis tuberkulosis:
 Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasukliquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memilikiadverse
reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan
dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor
cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8
jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus
sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien
dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah
timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari,
atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
 Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan
dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah,
hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150
mg, 300 mg, dan 450 mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
 Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel
dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg
(Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
 Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat
ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /
kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati
selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan
cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan
pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu
30% bayi akan menderita tuli berat (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
 Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman,
obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah
15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral
dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian
etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika
pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak
dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai terapi
ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2
mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara
bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,
2007).
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan
sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,
gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi
optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat
streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien
yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan
kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi
pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan
kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan
defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin (Darto Suharso. 1999).
PROGNOSIS
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak diobati
sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung
pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih
buruk daripada pasien yang lebih tua usianya (Darto Suharso. 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika. Infeksi Penyakit Tropik.
Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda Melinda. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. p. 221-229.
Gerdunas TBC. 2005. Penemuan Penderita TBC Pada
Anak.http://update.tbcindonesia.or.id/module/article.php?articleid=11&print=1&pathid=. A
pril 13 th, 2008.
Hill, Mark. 2008. Mycobacterium
tuberculosis.http://embryology.med.unsw.edu.au/Defect/images/Mycobacterium-
tuberculosis.jpg. April 7 th, 2008.
Japardi, Iskandar. 2002. Cairan Serebrospinal. http://72.14.235.104/search?
q=cache:xphPjYDb40J:library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar
%2520japardi5.pdf+sarang+laba-laba
%2Bmeningitis&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id&client=firefox-a. April 13 th, 2008.
Mediastore. 2008. Uji Tuberkulin Dan Klasifikasi
Tuberculosishttp://www.medicastore.com/tbc/uji_tbc.htm. April 13 th, 2008.
Meningitis Research Foundation. 2008. Understand Meningits And
Septicaemia.http://www.meningitis.org/. April 7 th, 2008.
Microbiology Bytes. 2007. Mycobacterium
tuberculosis.http://www.microbiologybytes.com/video/Mtuberculosis.html. April 7 th, 2008.
Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak,
Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.
Soetomenggolo T S, Ismael S, 1999, Buku Ajar Neurologi Anak, IDAI, Jakarta, halaman 363-
371.
Wikipedia. 2008. Meningitis. http://en.wikipedia.org/wiki/Meningitis. April 7 th, 2008.
Wikipedia. 2008. Mycobacterium
tuberculosis.http://en.wikipedia.org/wiki/Mycobacterium_tuberculosis. April 7 th, 2008.
Wikipedia.
2008. Tuberculous Meningitis.http://en.wikipedia.org/wiki/Tuberculous_meningitis. April
7 th, 2008.

You might also like