You are on page 1of 7

Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu tujuan dari hukum
tersebut yaitu untuk menjamin adanya kepastian hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut
pemerintah berupaya secara maksimal mungkin untuk memberikan perlindungan terhadap
seluruh warga Negara dalam berbagai bidang kehidupan, dengan melaksanakan
pembangunan diberbagai bidang dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarakan Undang-undang No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang ditujukan sebagai upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan dalam bidang kesehatan. Dimana
Undang-untung tersebut bertujuan untuk mengarahkan atau mempertinggi derajat kesehatan.1
Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang memuaskan kepada masyarakat dan
memberikan perlindungan hukum, maka pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang No.
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Diharapkan Undang-undang tersebut mampu
memberikan perlindungan kepada masyarakat, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan serta memberikan kepastian hukum. 1
Sebelumnya banyak hal yang tidak menjadi pusat perhatian, tetapi seiring berjalannya
waktu terdapat beberapa hal yang kini mencuat ke permukaan dan menjadi sorotan
masyarakat. Salah satunya yaitu mengenai masalah malpraktik, yang mana malpraktik
merupakan masalah hukum yang dihadapi dalam praktik kedokteran. Dalam pembicaraan
mengenai masalah malpraktik kita tidak hanya membicarakan masalah hukum dan praktik
kedokteran belaka, tetapi kitapun harus pula menyoroti hubungan timbal balik antara profesi
kedokteran dan masyarakat. Antara dokter dan pasien ada saling ketergantungan yang sangat
erat antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak masyarakat memerlukan kehadiran dokter
untuk menyembuhkan penyakitnya, sedangkan di pihak lain dokter harus menjalankan
profesinya yang membutuhkan masyarakat.2
Malpraktik adalah menjalankan praktik buruk atau salah dalam menjalankan profesinya
yang dilakukan oleh tenaga medik (dokter) terhadap orang lain (pasien) dengan
menggunakan cara yang tidak tepat atau wajar dan tidak melalui prosedur pelayanan medis
yang telah ditentukan standar operasioanal prosedur (SOP). “Kesalahan dalam menjalankan
profesi kedokteran akan membentuk pertanggungjawaban hukum termasuk hukum pidana,
apabila membawa akibat suatu kerugian yang diatur dalam hukum”.2
Masyarakat yang dirugikan atas adanya malapraktik kedokteran membutuhkan
perlindungan hukum yang telah mengakibatkan kerugian atau penderitaan lebih lanjut pada
pasien, Untuk menciptakan suatu bentuk kepastian hukum dan menjamin pelayanan upaya
kesehatan dalam pertanggungjawaban pidana dokter yang melakukan malpraktik serta untuk
mengakomodasi kebutuhan tersebut selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Dokter. .1
UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) memuat 12 Pasal yang
mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 190 sampai dengan Pasal 201. Dilihat dari
subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan ada yang
subjeknya setiap orang. Tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek
tertentu/khusus diatur dalam 190 yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh
Pimpinan fasilitas kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau
pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan tindak pidana yang bisa dilakukan
oleh setiap orang diatur dalam Pasal 191 sampai dengan Pasal 200.3
Dengan meningkatnya kejadian malpraktek, akan berdampak pada peningkatan
pengaduan kepada pengadilan yang berakhir dengan litigasi. Sering kali kasus yang berakhir
di pengadilan hanya menguntungkan salah satu pihak dan juga membuat hubungan antara
pasien dan dokter maupun ataupun tenaga kesehatan lainnya menjadi buruk. Oleh sebab
itulah Hukum mengeluarkan Undang-undang tentang penyelesaian masalah secara
alternative, tanpa melibatkan hukum pengadilan.4
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yang mana penyelesaiannya dilakukan
di luar pengadilan yang di atur dalam pasal 1 ayat 10 UU No 30 tahun 1999. Tujuan dari
alternative penyelesaian sengketa tersebut yaitu untuk mengurangi kemacetan pengadilan,
meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa, memperlancar
jalur memperoleh keadilan dan memperoleh penyelesaian sengketa secara win-win solution
atau mutual acceptable solution. Alternatif Penyelesaian Sengketa terdiri dari beberapa
macam yaitu yang pertama negosiasi, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan
yang berbeda, kedua mediasi, yang merupakan penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Perma No. 2 tahun 2003, untuk
mencapai suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak, ketiga konsilasi, yaitu
usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan
menyelesaikan perselisihan itu, dan yang keempat arbitrasi, arbitrasi merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Hal lain yang juga
membuat para pihak akhirnya menggunakan proses ARD ini disebabkan karena tuntutan
dunia bisnis, kritik bagi lembaga peradilan, peradilan yang tidak responsif kemampuan dan
hakim yang generalis.4
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016,
menerangkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan dengan dibantu oleh Mediator. Mediator itu sendiri adalah
Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang
membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian. Seorang mediator harus memiliki Sertifikat Mediator yaitu dokumen yang
diterbitkan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari
Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti dan lulus pelatihan
sertifikasi Mediasi.5
Perma RI Nomor 1 tahun 2016 pasal 35 menerangkan bahwa jika para pihak tidak
berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara. Dan juga Catatan
Mediator wajib dimusnahkan dengan berakhirnya proses Mediasi. Mediator juga tidak dapat
menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan dan Mediator tidak dapat
dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi Kesepakatan Perdamaian hasil
Mediasi. 5
Mediasi sendiri memiliki masing-masing kekuatan dan kelemahan, tetapi kekuatan
yang dimiliki mediasi inilah yang menyebakan kenapa para pihak lebih sering menggunakan
mediasi dari pada litigasi maupun alternative penyelesaian sengketa lainnya, kekuatan-
kekuatan mediasi tersebut terdiri dari penyelesaian bersifat informal, penyelesaian sengketa
tersebut dilakukan para pihak sendiri, jangka waktu penyelesainnya lebih pendek, biayanya
juga lebih ringan, aturan pembuktian tidak perlu, proses penyelesainnya lebih bersifat
konfidensial, hubungan para pihak lebih bersifat kooperatif, komunikasi lebih baik,
penyelesaian serta hasil yang di tuju juga lebih menguntungkan kedua belah pihak,
sedangkan kelemahannya lebih berarah kepada mediator. Dimana mediator tidak memiliki
cukup pengetahuan dan pemahaman serta kemampuan dalam setiap masalah yang di hadapi
oleh kedua pihak, oleh seba itulah, MA menegaskan bahwa seorang mediator harus memilki
sertifikat mediator.
Daftar Pustaka
1. Caturi P.I. 2017. Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktik
Medik Dihubungkan Dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Instutional Repositories & Scientific Journals. Universitas Pasundan.
2. Sulistyani, V et al. Pertanggungjawaban Perdata Seorang Dokter Dalam Kasus
Malpraktek Medis. Lex Jurnalica. Volume 12 Nomor 2, Agustus 2015
3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, , Jakarta, 2009.
4. Sembiring, J. J. 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, Dan Arbitrase). Transmedia Pustaka. Jakarta.
5. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 1 Tahun 2016
6. Nugroho, S. A. 2009. Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT.
Telaga Ilmu Indonesia. h.24-5.

Pembahasan
Hukum dan pasal pidana di bidang Kesehatan
UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) memuat 12 Pasal yang
mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 190 sampai dengan Pasal 201. Dilihat dari
subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan ada yang
subjeknya setiap orang. Tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek
tertentu/khusus diatur dalam 190 yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh
Pimpinan fasilitas kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau
pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan. Tindak pidana yang bisa dilakukan oleh setiap
orang diatur dalam Pasal 191 sampai dengan Pasal 200. Yang dimaksud dengan “setiap
orang” adalah orang perseorangan dan korporasi. Tindak pidana dalam UU
Kesehatan,ditinjau dari rumusannya dapat dibagi dua yaitu tindak pidana formil dan tindak
pidana materiil. Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan yang tanpa
menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu. Tindak pidana materiil dirumuskan
sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu,tanpa merumuskan wujud dari
perbuatan itu. Dalam praktek sering terjadi wujud perbuatan dan akibat yang ditimbulkan
dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Tindak pidana materiil diatur dalam Pasal 190
ayat (2) dan Pasal 191. Pasal selebihnya mengatur tindak pidana formil. Ancaman pidana
yang teringan adalah denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta-rupiah) dan
yang terberat adalah paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) Tindak pidana dalam UU Kesehatan ,
sebagai berikut. Tidak memberi pertolongan pertama kepada pasien. Pasal 190 ayat (1)
menentukan bahwa “Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja
tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). Pada ayat (2) ditentukan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tanpa
izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional. Pasal 191 menentukan bahwa setiap
orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan
kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tindak pidana
yang tercantum dalam Pasal ini merupakan tindak pidana materiil. Ancaman hukumannya
jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan ancaman hukuaman yang tercantum dalam Pasal
190 ayat (2),meskipun keduanya dapat mengakibatkan kematian. Memperjual belikan organ
atau jaringan tubuh. Pasal 192 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
memperjual belikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Bedah plastik dan rekonstruksi untuk mengubah identitas seseorang. Selanjutnya
Pasal 193 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan
rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Aborsi. Aborsi dilarang oleh UU, kecuali
berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.Itupun hanya dapat dilakukan setelah
persyaratan yang ditentukan UU dipenuhi. Aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan UU
merupakan tindak pidana. Pasal 194 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh)tahun dan denda paling banyak
Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Memperjual belikan darah. Darah sangat penting
peranannya bagi kesehatan seseorang. UU menentukan bahwa pelayanan darah merupakan
upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan
tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial. Karena itulah UU melarang darah
untuk diperjual belikan dengan dalih apapun. Bagi yang melanggar larangan tersebut diancam
dengan pidana. Pasal 195 menentukan setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan
darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Tindak pidana kefarmasian dan/atau alat kesehatan. UU menentukan tiga
macam tindak pidana kefarmasian dan /atau alat kesehatan. Masing masing diatur dalam
Pasal 196,197 dan 198. Pasal 196 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memenuhi standard dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Selanjutnya Pasal 197 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki
izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah). Kemudian Pasal 198 menentukan bahwa setiap orang yang tidak
memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah NKRI tanpa
mencantumkan peringatan kesehatan dan pelanggaran kawasan tanpa rokok. Pasal 199 ayat
(1) menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan
rokok ke dalam wilayah NKRI dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk
gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2)
menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana denda paling
banyakRp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Menghalangi program pemberian air susu
ibu eksklusif. Kemudian Pasal 200 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam pasal
128 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal korporasi melakukan tindak
pidana. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal
192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi,
menurut ketentuan Pasal 201, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali daripada pidana denda seagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal
192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal 200. Selain itu korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa: 1. Pencabutan izin usaha; dan/atau 2. Pencabutan status
badan hukum. (Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, , Jakarta,
2009.)

You might also like