You are on page 1of 26

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Nn. RR
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Pembantu rumah tangga
Pendidikan : Tamat SLTP
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum menikah
Suku bangsa : Indonesia
Alamat : Pondok Labu Cilandak
Tanggal masuk RS : 15 Januari 2014

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 18 Januari 2014

Keluhan Utama :
Tidak sadarkan diri sejak 20 menit sebelum masuk RS

Keluhan Tambahan :
sakit kepala

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan penurunan kesadaran sejak 20 menit
SMRS. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan tertabrak taxi ketika sedang
menyeberang jalan bersama temannya. Pasien mengaku tidak mengingat mekanisme
terjadinya kecelakaan dan berapa lama pingsannya. Pasien sempat sadarkan diri saat
sudah di dalam taxi sebentar dan merasa kepalanya sakit seperti berputar, tidak ada
mual dan muntah. Pada saat sampai di IGD, pasien baru benar – benar sadar dan
mengeluhkan mual yang disertai muntah 1 kali yang isinya makanan dan tidak

1
menyembur. Pasien menyangkal adanya lemah dan kesemutan pada kedua tangan kaki,
nyeri pada leher, kejang, mimisan, dan keluarnya darah dari telinga. Gangguan
penglihatan dan pendengaran, serta bicara pelo juga disangkal pasien. Pasien cenderung
mengantuk dan sempat muntah lagi sebanyak 2 kali yang isinya air dan tidak
menyembur di ruang perawatan. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala yang berputar
jika kepala digerakkan. Saat kejadian pasien tidak sedang mengkonsumsi alcohol atau
obat-obatan.

Riwayat Penyakit dahulu

- Riwayat trauma (-), kejang (-)


- HIV (-), hepatitis (-)
- Riwayat alergi makanan dan obat-obatan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat stroke (-), kejang (-)


- riwayat penyakit paru (-), jantung (-), ginjal (-), hati (-), hipertensi (-), DM (-)
- HIV (-), hepatitis (-)
- Riwayat alergi makanan dan obat-obatan (-)

Riwayat Kebiasaan:
Pasien tidak merokok maupun minuman beralkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik di Ruang Perawatan RSUP Fatmawati tanggal 18 Januari jam 17.00
WIB:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4M6V5
Sikap : Berbaring
Koperasi : Kooperatif
Keadaan Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg
Nadi : 100 x/mnt
Suhu : 36,5 0C

2
Pernafasan : 20 x/mnt

Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : Terdapat vulnus laceratum pada regio occipital dextra ukuran
3 x 0,5 x 0,5 cm yang terpasang verban
Pulsasi A.Carotis : Teraba, kanan = kiri, reguler
Perdarahan Perifer : capilary refil < 2 detik
Columna Vertebralis : letak ditengah, skoliosis (-), lordosis (-)

Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)


Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, terdapat vulnus laceratum pada regio occipital dextra
ukuran 3 x 0,5 x 0,5 cm yang terpasang verban
Mata : konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, ptosis -/-,
lagoftalmus +/-, pupil bulat isokor,  3mm/3mm, refleks
cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+.
Telinga : Normotia +/+, perdarahan -/-, lapang -/-,
Hidung : Deviasi septum -/-, epistaksis -/-
Mulut : Bibir pucat, sianosis -, lidah kotor -
Tenggorok : Faring hiperemis -, tonsil T1-T1
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba
pembesaran KGB dan tiroid.

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 linea midklavikula sinistra.
Perkusi : batas kanan jantung di ICS 4 linea sternalis dekstra, batas kiri
jantung di 1 ICS 5 linea midklavikula sinistra, pinggang
jantung di ICS 3 linea para sternalis sinistra.
Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, murmur -, gallop -

3
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : perkusi di seluruh lapang paru sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki - / -, wheezing - /-

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, efloresensi -, venektasi -
Palpasi : supel, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus + normal, 2 x/menit

Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : akral hangat + / +, edema - / -
Bawah : akral hangat + / +, edema - / -

IV. STATUS NEUROLOGIS

a. Tanda rangsang meningeal


Kaku kuduk : negatif
Laseque : >70 / >70
Kernig : >135 / >135
Brudzinski I : -/-
Brudzinski II : -/-

b. Bicara
Afasia motorik : -
Afasia sensorik : -
Disartria :-

c. Nervus kranialis
N. I (Olfaktorius)
Subjektif : normosmia +/+

4
N.II (Optikus)
Tajam penglihatan (kualitatif) : baik/baik
Lapang penglihatan (kualitatif) : baik/baik
Melihat warna (kualitatif) : baik/baik
Fundus okuli : tidak dilakukan

N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abdusen)


Pergerakan bulbus : baik ke segala arah dan tidak ada hambatan.
Strabismus : -/-
Nistagmus : -/-
Eksoftalmus : -/-
Pupil : bulat isokor, dengan diameter 3mm/3mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tidak langsung : +/+

N. V (Trigeminus)
Membuka mulut : +/+
Mengunyah : +/+
Menggigit : +/+
Refleks kornea : +/+
Sensibilitas muka : baik/baik

N. VII (Facialis)
Mengerutkan dahi : +/+
Menutup mata : +/+
Memperlihatkan gigi : +/+
Perasaan lidah (2/3 anterior) : tidak dilakukan

N.VIII (Vestibulokokhlearis)
Detik arloji : +/+
Suara berbisik : +/+
Tes Swabach : tidak dilakukan
Tes Rinne : tidak dilakukan
Tes Weber : tidak dilakukan
5
N.IX (Glossofaringeus)
Perasaan lidah (1/3 posterior): tidak dilakukan

N.X (Vagus)
Arkus faring : arcus faring simetris, uvula di tengah
Berbicara : tidak serak
Menelan : baik

N.XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : +/+
Memalingkan kepala : +/+

N.XII (Hipoglossus)
Tremor lidah :-
Artikulasi : jelas
Menjulurkan lidah : simetris

d. Anggota gerak
Ekstremitas superior
Motorik : 5555/5555
Sensoris : baik/baik
Trofi : eutrofi/eutrofi
Tonus : +/+
Refleks fisiologis : +2/+2
Refleks patologis : -/-

Ekstremitas inferior
Motorik : 5555/5555
Sensoris : baik/baik
Trofi : eutrofi/eutrofi
Tonus : +/+
Refleks fisiologis :
Biceps : +2/+2
6
Triceps : +2/+2
Patella : +2/+2
Achilles : +2/+2

Refleks patologis :
Hoffman Tromer :-/-
Babinsky :-/-
Chaddok :-/-
Gordon :-/-
Schaefer :-/-
Klonus patella :-/-
Klonus achilles :-/-

e. Koordinasi, gait, dan keseimbangan


Cara berjalan : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
Disdiadokinesia : baik
Jari-hidung : baik
Tumit-lutut : baik
Rebound phenomena :-

f. Gerak abnormal
Tremor :-
Athetose :-
Mioklonik :-
Chorea :-

g. Fungsi luhur
Astereognosia :-
Apraxia :-
Afasia :-

7
h. Fungsi otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


HEMATOLOGI
Hb 11,1 14 – 18 g/dL
Ht 37 33 – 45 %
Leukosit 8,5 (4,5 – 13). 103/uL
Trombosit 386 (150 – 440). 103/uL
Eritrosit 4,47 3.8-5,2 106/uL
VER/HER/KHER/RDW
VER 83,4 80,0 - 100,0 fl
HER 24,8 26,0 - 34,0 pg
KHER 29,7 32,0 - 36,0 g/dl
RDW 13,7 11,5 - 14,5%
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 24 20 - 40 mg/dl
Kreatinin Darah 0,5 0,6 - 1,5 mg/dl
DIABETES
GDS 96 70 - 240 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 140 135 - 147 mmol/L
Kalium 3,32 3,10 - 5,10 mmol/L
Klorida 100 95 - 108 mmol/L

VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS


CT Scan kepala tanpa kontras potongan axial melalui orbitomeatal line, tebal irisan 3
mm dan 10mm

8
9
Deskripsi : sulci – sulci hemisfer cerebri dan fissure sylvii tampak menyempit
dengan gyri mendatar
Tak tampak perdarahan epidural/subdural, intraparenkin dan
subaraknoid
Diferensiasi white and gray matter masih baik
Garis midline ditengah

10
System ventrikel lateral, ventrikel III, IV dan system sisterna tidak
melebar/sempit
Infra tentorial tak tampak lesi hipo / hiperdens pada pons /
cerebellum dan CPA, Sella dan dorsum sella baik.
Tampak perselubungan di sinus ethmoidalis dan sphenoid bilateral
Tampak fraktur di sphenoid wing kanan-kiri

Kesan : Edema serebri


Perselubungan di sinus ethmoidalis dan sphenoid bilateral, DD/
hematosinus, sinusitis
Fraktur di sphenoid wing kanan-kiri
Tak tampak perdarahan epidural/subdural, intraparenkin dan
subaraknoid

VII. RESUME
Seorang pasien perempuan 20 tahun datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan
penurunan kesadaran sejak 20 menit SMRS. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan
tertabrak taxi ketika sedang menyeberang jalan bersama temannya. Pasien mengaku
tidak mengingat mekanisme terjadinya kecelakaan dan berapa lama pingsannya. Pasien
sempat sadarkan diri saat sudah di dalam taxi sebentar dan merasa kepalanya sakit
seperti berputar. Pada saat sampai di IGD, pasien baru benar – benar sadar dan
mengeluhkan mual yang disertai muntah 1 kali yang isinya makanan dan tidak
menyembur. Pasien cenderung mengantuk dan sempat muntah lagi sebanyak 2 kali
yang isinya air dan tidak menyembur di ruang perawatan. Pasien juga mengeluhkan
sakit kepala yang berputar jika kepala digerakkan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
vulnus laceratum pada regio occipital dextra ukuran 3 x 0,5 x 0,5 cm yang terpasang
verban. Pemeriksaan Neurologis dalam batas normal. Pada Pemerikssaan Laboratorium
didapatkan Hb 11,1 g/dL Pada CT Scan kepala didapatkan Edema serebri,
perselubungan di sinus ethmoidalis dan sphenoid bilateral, dan fraktur di sphenoid wing
kanan-kiri.

11
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, vomitus, vertigo, vulnus
laceratum e.r occipital dextra
Diagnosis etiologi : Trauma Kapitis
Diagnosis topis : Serebri

IX. TATALAKSANA
Non Madikamentosa :
Head elevation 30
Diet tinggi kalori, tinggi protein, dan tinggi serat ± 1800 kkal/hari dengan konsistensi
makanan lunak
Perawatan luka

Medikamentosa :
IVFD NaCl 0,9% 500 cc setiap 12 jam iv
Ranitidine 2 x 50 mg iv
Ketorolac 3 x 30 mg iv
Vit C 1 x 40mg iv
Asam mefenamat 3 x 500mg
Cefixime 2 x 100mg

X. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

B. EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien
meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab
kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian.
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma
kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000. Angka kematian trauma kepala
akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9
per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat
trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami
trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun
1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala
ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus)
dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala
mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada
tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat
sebanyak 1426 kasus.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh.
Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma
kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa.

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,
dan morfologi.

13
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda
tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera
otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injury yaitu :

3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone
Universitas Sumatera Utarawindow” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya

14
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;
 Gambaran fraktur, dibedakan atas :
o Linier
o Diastase
o Comminuted
o Depressed
 Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
o Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
o Basis cranii ( dasar tengkorak )
 Keadaan luka, dibedakan atas :
o Terbuka
o Tertutup

b. Lesi Intra Kraniald


 Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai
kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan
kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak
difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok
yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma.
Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini
dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma
otak berat dengan Universitas Sumatera Utaraprognosis yang buruk.
Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson
dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

15
 Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar
dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang
tengkorak.

 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi
daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan
perdarahan epidural.

16
 Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan
sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan
tindakan operasi.

D. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat
timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak
yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi
kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio
“coup”, di seberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
“countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang
sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.
Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio
coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan
otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra
17
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron
atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien
yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi
otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak.

18
E. DIAGNOSIS
Anamnesis:
Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi sifat
kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat terjadi
beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung
dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan
bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual
muntah.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum
terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan
adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial.
Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat
kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

Pemeriksaan fisik:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga
pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari
masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai
terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS
bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:
 GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
 GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang
 GCS > 13 : cedera kepala ringan

19
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah
terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun
1974. Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai
beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita
awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi.
Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan
hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam
menentukan prognosa.
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS
sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada
beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada atau yang
bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi
rediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 (bilateral flaksid) mempunyai
mortalitas 90 %.
Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun
merupakan kombinasi yang mematikan. Penentuan skor awal GCS yang dapat
dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi
mempunyai nilai yang sangat penting.

20
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya
harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak


Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman
leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak
dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan,
dan memar.

Pemeriksaan penunjang:
1. X-ray Tengkorak
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

2. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada waktu
masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan
21
mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila
dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di
atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan
menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat
berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan
dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering
berhubungan dengan outcome yang buruk.
Indikasi CT scan:
 Nyeri kepala menetap atau muntah–muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
 Adanya kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dicebandingkan dengan kejang general.
 Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor–faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
 Adanya lateralisasi.
 Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
 Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
 Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
 Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang
luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai
prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT
Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah
dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala

22
ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat
masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan.

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa
cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat
antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktur tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan


suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat
berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid,
23
furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala
memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan
panduan sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
c. tanda fokal neurologis semakin berat
d. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
e. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
f. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
g. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
h. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
i. terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis

G. KOMPLIKASI
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi
ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife
state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.

2. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.

3. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

24
4. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami
masalah kesadaran.

5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson


Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera.

H. PROGNOSIS
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators
(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan
terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor
Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas
pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3
dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap
sebagai 3.
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi
yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
pemulihan dari cedera kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada
saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Lenzlinger PM, Saatman K, Raghupati R. Overview of basic mechanism underlying


neuropathological consequences of head trauma. In: Miller LP, Hayer RL, editors. Head
trauma basic, preclinical and clinical directions. New York: Wiley-Liss; 2001. p. 3-23.
2. Mardjono mahar, Sidharta priguna. Neurologi Klinis Dasar.Cetakan ke 9. Dian
Rakyat.2003.Bab.VIII Mekanisme trauma susunan saraf. Hal 248-63.
3. Buku Pedoman SPM dan SPO NEUROLOGI. PERDOSSI. Bab. IX. Neurotrauma.
Hal.147-58.
4. Proceeding Updates In Neuroemergencies II. Hotel Aston Atrium. 28 Februari. FKUI.
Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Hal 51-72.
5. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala, Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992.
6. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.
EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.
7. A Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar,
Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259.
8. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme
Medical Publisher, New York,1996, 22.
9. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams
& Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178.
10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314.

26

You might also like