You are on page 1of 29

Referat

BIBIR SUMBING

Oleh:
Al Ahda Adawiyah, S. Ked 04084821820017
Rizky Vania Oka, S.Ked 04084821820036

Pembimbing:
dr. Mufida Muzakkie, SpBP-RE

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

BIBIR SUMBING

Al Ahda Adawiyah, S. Ked 04084821820017


Rizky Vania Oka, S.Ked 04084821820036

Pembimbing:
dr. Mufida Muzakkie, SpBP-RE

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode
4 Juni -15 Agustus 2018.

Palembang, 5 Juli 2018


Pembimbing,

dr. Mufida Muzakkie, SpBP-RE


BAB I
PENDAHULUAN

Cacat lahir sering juga disebut malformasi kongenital atau


anomali kongenital adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan kelainan
struktur, perilaku, faal, dan kelainan metabolik yang ditemukan pada waktu lahir.1
Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan, antara lain
prosesus frontonasalis, prosesus nasalis medialis dan lateralis, prosesus
maksilaris, dan prosesus mandibularis.2
Kegagalan penyatuan tonjolan maksila dan tonjolan hidung medial
terutama pada minggu ke 5–7 kehamilan akan menimbulkan labioskiziz unilateral
atau bilateral. Bila tonjolan hidung medialis, yang merupakan bagian yang
membentuk dua segmen antara maksila, gagal menyatu, terjadi celah yang disebut
palatoskisis. Labiopalatoskisis merupakan gabungan dari dua kelainan tersebut
diatas.2
Secara anatomi, kelainan ini mencakup organ-organ antara lain labium
oris, gnathum yang melibatkan gigi–geligi, palatum, nasal bahkan maksila.
Etiologi bibir sumbing dan celah langit–langit adalah multifaktor. Selain faktor
genetik juga terdapat faktor non genetik atau lingkungan. Faktor – faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing dan celah langit – langit adalah usia
ibu waktu melahirkan, perkawinan antara penderita bibir sumbing, defisiensi Zn
saat hamil dan defisiensi asam folat.1,2,3
Kasus bibir sumbing dan celah langit–langit merupakan cacat bawaan
yang masih menjadi masalah di tengah masyarakat, terutama penduduk dengan
status sosial ekonomi yang lemah. Akibatnya operasi dilakukan terlambat dan
malah dibiarkan sampai dewasa.1,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi dan Anatomi


Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan antara
lain prosesus frontonasalis, prosesus nasalis medialis dan lateralis, prosesus
maksilaris dan prosesus mandilbularis. Pada awal perkembangan, wajah janin
adalah daerah yang dibatasi di sebelah cranial oleh lempeng neural, di cauda oleh
pericardium, dan di lateral oleh processus mandibularis arcus pharyngeus pertama
kanan dan kiri. Di tengah – tengah daerah ini, terdapat cekungan ektoderm yang
dikenal sebagai stomodeum. Pada dasar cekungan terdapat membran
buccopharyngeal. Pada minggu keempat, membran buccopharyngeal pecah
sehingga stomodeum berhubungan langsung dengan usus depan (foregut).4,5
Perkembangan wajah selanjutnya bergantung pada menyatunya
sejumlah processus penting (teori fusi processus), yaitu processus
frontonasalis, processus maxillariss, dan processsus mandibularis. Processus
frontonasalis mulai sebagai proliferasi mesenkim pada permukaan ventral otak
yang sedang berkembang, menuju kearah stomodeum. Sementara itu, processus
maxillaris tumbuh keluar dari ujung atas arcus pertama dan berjalan ke
medial, membentuk pinggiran bawah orbita. Processus mandibularis arcus
pertama kini saling mendekat satu dengan yang lain di garis tengah, di bawah
stomodeum dan bersatu membentuk rahang bawah dan bibir bawah.4,5
Gambar 2.2. Proses perkembangan wajah manusia4

Primordium kavum nasi tampak sebagai cekungan pada ujung bawah


processus frontonasalis yang sedang berkembang, membaginya menjadi
processus nasalis medialis dan processus nasalis lateralis. Dengan
berlanjutnya perkembangan, processus maxillaris tumbuh ke medial dan
menyatu dengan processus nasalis medialis. Processus nasalis medialis
membentuk philtrum pada bibir atas dan premaxilla. Processus maxillaris meluas
ke medial, membentuk rahang atas dan pipi, dan akhirnya menutupi premaxilla
dan menyatu pada garis tengah. Berbagai processus yang membentuk
wajah menyatu selama dua bulan kedua.4,5
Bibir atas dibentuk oleh pertumbuhan processus maxillaris arcus
pharyngeus pertama pada masing – masing sisi ke arah medial. Akhirnya,
processus maxillaris saling bertemu di garis tengah dan bersatu, juga dengan
processus nasalis medialis. Jadi bagian lateral bibir atas dibentuk oleh
processus maxillaris, dan bagian medial atau philtrum dibentuk oleh
processus nasalis medialis dengan bantuan processus maxillaris pada akhir
minggu ke-6 sampai minggu ke-7.4,5
Bibir bawah dibentuk dari processus mandibularis arcus pharyngeus
pertama masing – masing sisi. Processus ini tumbuh ke arah medial di bawah
stomodeum dan bersatu di garis tengah untuk membentuk seluruh bibir
bawah. Kulit yang menutupi processus frontonasalis dan derivatnya mendapat
persarafan sensoris dari divisi ophthalmica n. trigeminus, sedangkan divisi
maxillaris n. trigeminus mempersarafi kulit di daerah processus maxillaris. Kulit
yang meliputi processus mandibularis dipersarafi oleh divisi mandibularis
n. trigeminus. Otot-otot untuk ekspresi wajah berasal dari mesenkim
arcus pharyngeus kedua. Saraf yang menyuplai ini adalah saraf arcus pharyngeus
kedua, yaitu nervus kranialis.4,5

Gambar 2.2. Anatomi wajah manusia5

Palatum
Embriogenesis
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu
pembentukan palatum primer yang diikuti dengan pembentukan palatum
sekunder. Pertumbuhan palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 kehamilan atau
minggu ke-4 kehamilan yang ditandai dengan pembentukan processus fasialis.4
Penyatuan prosesus nasalis medialis dengan prosesus maxillaris,
dilanjutkan dengan penyatuan prosesus nasalis lateralis dengan prosesus
nasalis medialis, menyempurnakan pembentukan palatum primer. Kegagalan atau
kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan processus ini
menyebabkan terbentuknya celah pada palatum primer.4
Pembentukan palatum skunder dimulai setelah palatum primer
terbentuk sempurna, kira-kira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder
terbentuk dari sisi bilateral yang berkembang dari bagian medial dari prosesus
maxilaris. Kemudian kedua sisi ini akan bertemu di midline dengan
terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang ke arah superior, proses
penyatuan ini dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan
terbentuknya celah pada palatum sekunder.4
Palatum membentuk atap mulut, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
palatum durum di depan (bagian dari rongga mulut) dan palatum molle di
belakang (bagian dari orofaring). Palatum memisahkan rongga mulut dengan
rongga hidung dan sinus maksilaris.4
Suplai darah terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk
melalui foramen palitina mayor. Sedangkan a. Palatina minor dan m. Palatina
minor lewat melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum berasal dari
n.trigeminus cabang maxilla yang membentuk pleksus yang menginervasi otot-
otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat innervasi dari nervus cranial VII
dan IX yang berjalan di sebelah posterior dari pleksus.4
Palatum Durum

Gambar 2.3. Perbedaan palatum normal dengan celah palatum (cleft palate/palatoschizis) 4.

Palatum durum dibentuk oleh processus palatines ossis maxilla dan


lamina horizontalis ossis palatini. Dibatasi oleh arcus alveolaris dan di
belakang berlanjut sebagai palatum molle. Palatum durum membentuk dasar
cavum nasi. Permukaan bawah palatum durum diliputi oleh mukoperiosteum dan
mempunyai rigi mediana. Membran mukosa di kanan dan kiri rigi ini tampak
berlipat-lipat.4

Palatum Molle

Gambar 2.4. Anatomi rongga mulut dan otot – otot palatum molle5
Palatum molle merupakan lipatan yang melekat pada pinggir
posterior palatum durum. Pada garis tenggah pinggir posteriornya terdapat uvula.
Pinggir-pinggir palatum molle dilanjutkan sebagai dinding lateral faring. Palatum
molle terdiri atas membran mukosa meliputi permukaan atas dan bawah
palatum molle dan aponeurosis palatina adalah lapisan fibrosa yang melekat pada
pinggir – pinggir posterior palatum durum dan merupakan lanjutan dari tendo m.
tensor veli palatini. Otot palatum molle adalah m. tensor veli palatine, m.
levator veli palatine, m. palatoglossus, m. palatopharyngeus, dan m. uvulae.4
Secara fungsional, palatum molle berperan memisahkan orofaring dari
nasofaring selama menelan dan berbicara. Palatum molle mendekat ke
dinding posterior pharyngeal selama menelan untuk mencegah regurgitasi
nasopharyngeal dan mendekat selama berbicara untuk mencegah udara keluar dari
hidung.6
Berdasarkan teori di atas, hipotesis terjadinya bibir sumbing yaitu karena
kegagalan fusi antara processus maksilaris dengan processus nasalis medialis
dimana pertama terjadi pendekatan masing–masing processus, setelah processus
bertemu, terjadi regresi lapisan epitel dan pada akhirnya mesoderm saling bertemu
dan mengadakan fusi.4
Teori terjadinya labio atau palatoschizis adalah sebagai berikut:
- Labioschizis: perkembangan abnormal dari processus nasomedial dan
maksilaris
- Palatoschizis: kegagalan fusi antara 2 processus palatine

2.2. Labiopalatoskisis
2.2.1. Definisi
Labioschizis atau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana
terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat
berupa takik kecil pada bagian bibir yang berwarna sampai pada pemisahan
komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung. Palatoschizis
adalah fissura garis tengah pada palatum yang terjadi karena kegagalan 2 sisi
untuk menyatu karena perkembangan embriotik.1,2,3
Labioschizis dan labiopalatoschizis merupakan deformitas daerah mulut
berupa celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa
perkembangan embrional di mana bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak
tumbuh bersatu. Kegagalan penyatuan tonjolan maksila dan tonjolan
hidung medial akan menimbulkan labioschizis (bibir sumbing) yang terjadi
unilateral maupun bilateral. Bila tonjolan hidung medialis , bagian yang
membentuk dua segmen antara maksila, gagal menyatu, terjadi celah yang disebut
palatoschizis (celah langit - langit).4

2.2.2. Etiologi
Penyebab labiopalatoschizis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan
ilmuwan berpendapat bahwa labiopalatoschizis muncul akibat kombinasi
dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor penyebab yang diduga
dapat menyebabkannya yaitu:1,2,3,6,7,8
a. Genetik
Dia Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan
bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labiopalatoschizis akan
mengalami labiopalatoschizis. Kemungkinan seseorang bayi dilahirkan
dengan labiopalatoschizis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah,
saudara kandung) mempunyai riwayat labiopalatoschizis. Pada penderita bibir
sumbing terjadi trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai
kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total kromosom pada
setiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir
sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada perkembangan otak,
jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi
1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
b. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam
hal kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi
asam folat, vitamin C dan Zn) serta penggunaan vitamin A dalam bentuk 13-
cis-retinoic acid dapat menigkatkan risiko melahirkan anak dengan
labio/palatoschizis.
c. Penggunaan obat teratologi termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat berpengaruh pada janin.
Akan tetapi jenis jamu apa yang menyebabkan kelainan kongenital ini masih
belum jelas. Kontrasepsi hormonal pada ibu hamil terutama hormone estrogen
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga
berpengaruh terhadap sirkulasi fetomaternal. Obat – obatan seperti
thalidomide, kortikosteroid dan obat penenang (diazepam, phenytoin) juga
dapat menyebabkan kelainan ini.
d. Infeksi, terutama pada infeksi toksoplasma dan klamidia.
e. Faktor usia ibu
Semakin bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula risiko
ketidak sempurnaan pembelahan meiosis.
f. Faktor lingkungan
Zat kimia (rokok dan alkohol) karena zat toksik yang terkandung pada rokok
dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ selama masa
embrional. Gangguan metabolik seperti diabetes mellitus dan
penyinaran radioaktif juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ
selama masa embrional.

2.2.3. Epidemiologi
Insiden labioskisis sebanyak 2,1 dalam 1000 kehahiran hidup pada etnis
Asia, 1 : 1000 pada etnis Kaukasia, dan 0,41 : 1000 pada etnis Afrika Amerika.
Persentase labioskisis adalah 21% dari seluruh kasus bibir sumbing.2
Insiden palatoskisis adalah 1 : 2000. Hampir 50% kasus
palatoskisis disertai dengan sindrom kelainan bawaan lain. Persentase kasus
palatum sumbing saja adalah 33% dari seluruh kasus sumbing.2
Sedangkan untuk insiden labiopalatoskisis adalah 46% dari seluruh kasus
sumbing.2
2.2.4. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, celah bibir dan
palatum nyata sekali berhubungan erat secara embriologis, fungsional dan genetik.
Prosesnya karena terdapat hipoplasia lapisan mesenkim, menyebabkan kegagalan
penyatuan processus nasalis media dan processus maksilaris. Celah
palatum muncul akibat terjadinya kegagalan dalam mendekatkan atau mefusikan
lempeng palatum. Cacat ini berupa celah pada bibir atas yang dapat
meneruskan diri sampai ke gusi, rahang dan langitan, sehingga besarnya cacat
bervariasi. Juga dapat terjadi pada dua sisi. Diagnosis dalam bahasa latin
tergantung dari cacatnya, misalnya bila mengenai bibir, gusi dan rahang
disebut Labiognatopalatoschizis.4,8,10
Dua teori yang muncul tentang embryogenesis bibir sumbing:8-10
1. Teori klasik
Kegagalan fusi processus maksila dan processus nasalis medialis
selama interval waktu menghasilkan celah palatum primer.
2. Teori penetrasi mesodermal (dikemukakan oleh Stark)
Penutupan palatum didasari oleh penetrasi mesodermal, tanpa migrasi dan
penguatan oleh mesodermal ini, akan terjadi kerusakan epitel dan bagian yang
telah menyatu (proses nasalis dan maksilaris) pecah kembali sehingga terjadi
pemisahan yang berakibat adanya celah bibir atau palatum.
Masalah yang ditimbulkan cacat ini adaah psikis, fungsi dan
estetik, ketiganya saling berhubungan. Masalah psikis yang mengenai orang tua
dapat diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai
langit–langit, bayi tak dapat menghisap, ASI harus dimanfaatkan dengan cara
lain, dipompa dulu dan diberikan per sendok atau dengan botol yang lubang
dotnya cukup besar. Karena sfingter pada muara tuba eustachii kurang normal
lebih mudah terjadi infeksi ruang telinga tengah. Kemungkinan ini harus selalu
diingat supaya tidak sampai terjadi otitis media perforate.8-10
2.2.5. Klasifikasi
Labioschisis diklasifikasikan berdasarkan lengkap atau tidaknya
celah yang terbentuk:1,4,10
1. Inkomplit
Ditandai oleh garis sumbing yang tidak mencapai dasar lubang hidung. Dalam
hal ini dasar lubang hidung harus intak, dan bagian ini sering disebut sebagai
Simonart’s band.2
2. Komplit
Melibatkan seluruh ketebalan bibir dan prosesus alveolaris (palatum primer),
meluas menuju dasar lubang hidung dan tidak terdapat Simonart’s band, serta
sering disertai palatoscisis. Premaksila biasanya terotari kearah luar
dan terproyeksi anterior dibandingkan dengan elemen alveolus maksilaris
anterior yang terposisikan relatif kebelakang.2
Berdasarkan lokasi atau jumlah kelainan:
a. Unilateral : apabila celah sumbing terjadi hanya pada salah satu bibir
b. Bilateral : apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir
Bisa tanpa atau disertai belah langit-langit.

Gambar 2.5. Klasifikasi berdasarkan The Royal College of Surgeons of England (2000)
Celah bibir dapat terjadi dalam berbagai variasi, mulai dari takik kecil
pada batas yang merah terang sampai celah sempurna yang meluas ke dasar
hidung.11
1. Celah unilateral (lebih sering pada sisi kiri)
2. Celah bilateral biasanya melibatkan rigi – rigi alveolus
3. Biasanya disertai dengan gigi yang cacat bentuk, gigi tambahan atau
bahkan tidak tumbuh gigi. Celah kartilago cuping hidung – bibir seringkali
disertai dengan defisiensi sekat hidung dan pemanjangan vomer,
menghasilkan tonjolan keluar bagian anterior celah prosesus maksilaris.
4. Celah palatum murni terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan hanya
uvula saja atau dapat meluas ke dalam atau melalui palatum molle dan
palatum durum sampai ke foramen incisivus. Apabila celah palatum ini terjadi
bersamaan dengan celah bibir (sumbing), cacat ini dapat melibatkan linea
mediana palatum molle dan meluas sampai ke palatum durum pada satu atau
kedua sisi, memaparkan satu atau kedua rongga hidung sebagai celah palatum
unilateral atau bilateral.

2.2.6. Manifestasi Klinik


Labioschizis
Labioschizis terjadi pada satu dari seribu kelahiran, faktor
genetik berperan pada etiologi, selain obat seperti fenobarbital atau
difenilhidantoin yang digunakan saat hamil muda. Kelainan ini sebaiknya secepat
mungkin diperbaiki karena akan mengganggu pada waktu menyusui dan
akan mempengaruhi pertumbuhan normal rahang serta perkembangan
bicara. Labioschizis selalu disertai dengan hidung yang asimetrik karena
gnatoschizis dan palatoschizis.4,8

Palatoschizis
Karena terdapat hubungan antara rongga mulut dan hidung pada
palatoschizis, anak pada waktu minum sering tersedak dan suaranya sengau.
Koreksi sebaiknya dilakukan sebelum anak mulai bicara untuk
mencegah terganggunya perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak
sangat penting, terutama dalam cara memberikan minum agar gizi anak
memadai saat akan menjalani bedah rekonstruksi. Labiognatopalatoschizis
merupakan gabungan dari dua kelainan tersebut di atas. Koreksinya dapat
dilakukan bertahap maupun sekaligus.4,8
Manifestasi klinis yang terjadi pada labiopalatoschizis yaitu :
1. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschizis.
Adanya kelainan ini memberikan kesulitan pada bayi untuk
melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi
bayi dengan labioschizis mungkin dapat juga meningkatkan
kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex
hisap dan reflex menelan pada bayi dengan laboschizis tidak sebaik pada bayi
normal dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu.
Memegang bayi dengan posisi tegak lurus dapat membantu proses menyusu
bayi. Menepuk – nepuk bayi secara berkala juga dapat membantu. Bayi yang
hanya menderita labioschizis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya
dapat menyusui, namun pada bayi dengan labiopalatoschizis biasanya
membutuhkan penggunaan dot khusus (cairan dalam dot dapat keluar dengan
tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labiopalatoschizis dan bayi
dengan masalah pemberian makan atau asupan makanan tertentu serta
mencegah aspirasi.1.4,8

Gambar 2.6 The Haberman Feeder4,8


2. Masalah dental
Anak yang lahir dengan labioschizis mungkin mempunyai masalah tertentu
yang berhubungan dengan kehilangan malformasi dan malposisi dari gigi
geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk.1.4,8
3. Infeksi telinga
Anak dengan labiopalatoschizis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga
karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot – otot yang
mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.4,8
4. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labiopalatoschizis biasanya juga memiliki abnormalitas
pada perkembangan otot – otot yang mengurus palatum molle. Saat palatum
molle tidak dapat menutup ruang atau rongga nasal pada saat bicara, maka
didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of
speech). Meskipun telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot–otot
tersebut di atas untuk menutup ruang atau rongga nasal pada saat bicara
mungkin tidak dapat lagi kembali sepenuhnya normal. Anak mungkin
mempunyai kesulitan berbicara atau memproduksi suara atau kata “p, b, d, t,
h, k, g, s, sh dan ch” dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat
membantu.1.4,8

Gambar 2.7 (A) palatum pada anak normal (B) palatoschizis1,4


2.2.7. Diagnosis
Penegakkan diagnosa adanya celah bibir atau bibir sumbing maupun celah
palatum terlihat dari tampilan klinis anak tersebut dan dinilai apa saja bagian yang
mengalami defek. Sebanyak 86% anak dengan labioschizis bilateral
disertai dengan palatoschizis dan 68% labioschizis unilateral disertai
palatoschizis.11
 Labioschisis inkomplit atau komplit
 Labiognathoschisis
 Labiognathopalatoschisis
 Palatoschisis
Selain pemeriksaan fisik yang dapt dilakukan saat bayi lahir, Labioschizis
juga dapat dideteksi selama kehamilan dengan USG rutin.11

Gambar 2.8 Antenatal diagnosis pada labioschizis dengan USG.11

2.2.8. Penatalaksanaan
Masalah yang mendesak adalah proses makan, segera setelah lahir, bayi
dipasangi penutup plastik yang cocok, maksudnya untuk membantu pengendalian
cairan, memberikan bidang referensi untuk pengisapan dan menjaga stabilitas
segmen – segmen arkus lateral. Pertumbuhan arkus gigi yang cepat memerlukan
pengukuran alat penutup yang berulang–ulang setiap beberapa minggu. Putting
artificial lunak dengan lubang yang besar berguna pada penderita celah palatum.
Penderita dengan celah bibir (sumbing) murni mungkin dapat minum ASI.1
Program habilisasi yang menyeluruh untuk anak yang menderita bibir
sumbing atau celah palatum bisa memerlukan pengobatan khusus dalam waktu
bertahun – tahun, dari tim yang terdiri dari dokter ahli anak, ahli bedah atau bedah
plastik, ahli THT, ahli ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan rahang dan
giginya serta ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara.4

A. Penatalaksanaan pada labioschizies


Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschizis yaitu:
1. Tahap sebelum operasi1,4,8
a. Mempersiapkan ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi
Asupan gizi yang cukup, dilihat dari keseimbangan berat badan yang
dicapai dan usia yang memadai tindakan operasi pertama dikerjakan untuk
menutup celah bibirnya, biasanya pada umur tiga bulan. Patokan yang
biasa dipakai adalah rule of ten yaitu. Saat melaksanakan tindakan
koreksi dianut hukum sepuluh, yaitu berat badan minimal empat setengah
kilo (10 pon), kadar hemoglobin 10 gram persen dan umur sekurang –
kurangnya 10 minggu dan tidak ada infeksi, leukosit dibawah 10.000.
b. Edukasi kepada orang tua
Jika bayi belum mencapai rule of ten, ada beberapa nasehat yang
seharusnya diberikan kepada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang
terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot
khusus dimana ketika dot dibalik, susu dapat memancar keluar sendiri
dengan jumlah optimal artinya tidak terlalu besar sehingga
membuat bayi tersedak dan tidak terlalu kecil sehingga membuat
asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan lubang khusus ini tidak
tersedia, maka pemberian minum dapat dilakukan dengan bantuan sendok
secara perlahan dengan posisi setengah duduk atau tegak untuk
menghindari masuknya susu melewati langit –langit yang terbelah.
c. Celah bibir direkatkan dengan menggunakan plaster khusus non alergenik
Untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat
proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi ke arah
depan (protrusion pre maksila) akibat dorongan lidah prolabium,
karena jika hasil ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan
menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak
sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu
operasi tiba.

2. Tahap operasi
Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya dilakukan setelah umur 3
bulan, ketika anak itu telah menunjukkan kenaikan berat badan yang
memuaskan dan bebas dari infeksi oral, saluran nafas atau sistemik.1,8
Tujuan pembedahan atau operasi:1
a. Menyatukan bagian – bagian celah
b. Mewujudkan bicara yang bagus dan jelas
c. Mewujudkan pemberian makan secara normal
d. Mengurangi regurgitasi hidung
e. Menghindari cedera pada pertumbuhan maksila

Teknik operasi:8
a. Labioplasty
Cara operasi yang umum dipakai adalah cara Millard dengan: “rule of ten” (10
minggu, 10 pound, Hb ≥10 gr%, leukosit < 10.000) yang caranya memutar
dan memajukan (rotation and advacement).
Teknik operasinya yaitu:1,8,11
1. Dari sisi lateral, mukosa dikupas dari otot orbikularis oris,
kemudian otot orbikularis oris bagian merah bibir dipisahkan dari sisanya.
2. Kulit dan subkutis dibebaskan dari otot orbikularis oris secara tajam,
sampai kira – kira sulkus nasolabialis.
3. Lepaskan mukosa bibir dari rahang pada lekuk pertemuannya,
secukupnya, kemudian otot dibebaskan dari mukosa hingga
terbentuk 3 lapis flap: mukosa, otot dan kulit.
4. Lalu pada sisi medial, mukosa dilepaskan dari otot. Dibuat flap C,
kemudian dibuat insisi 2 mm dari pinggir atap lubang hidung.
5. Bebaskan kulit dari mukosa dan tulang rawan alae, menggunakan gunting
halus melengkung.
6. Letak tulang rawan alae diperbaiki dengan tarikan jahitan yang dipasang
ke kulit.
7. Setelah jahitan terpasang, lekuk atap dan lengkung atas atap lubang hidung
lebih simetris. Kolumela dan rangka tulang rawan dan vomer yang
miring dari depan ke belakang sulit diperbaiki,sehingga masih
miring.
8. Luka dipinggir dalam atap nares dijahit, kemudian mukosa oral mulai
dari cranial, menghubungkan sulkus ginngivo labialis. Jahitan
diteruskan sampai ke dekat merah bibir.
9. Setelah itu, otot dijahit lapis demi lapis. Jahitan kulit dimulai dari titik
yang perlu ditemukan yaitu ujung busur Cupido. Diteruskan ke atas dan ke
mukosa bibir. Jaringan kulit atau mukosa yang berlebihan dapat dibuang.
10. Terakhir luka operasi ditutup dengan tulle dan kasa lembab selama 1 hari,
untuk menyerap rembesan darah atau serum yang masih akan keluar. 1
hari sesudahnya, barulah luka dirawat terbuka dengan pemberian
salep antibiotik.

B. Penatalaksanaan pada palatoschizis


Palatoplasti dilakukan pada usia ± 20 bulan saat anak mulai belajar bicara
Gambar 2.9 Reparasi labioschizis (labioplasti) (A dan B) pemotongan sudut celah pada bibir dan
hidung (C) bagian bawah nostril disatukan dengan sutura (D) bagian atas bibir disatukan dan (E)
jahitan memanjang sampai ke bawah untuk menutup celah secara keseluruhan

Gambar 2.10 Teknik operasi labioplasty dan palatoplasty4,11

Tindakan selanjutnya adalah menutup langitan (palatoplasty), dikerjakan


sedini mungkin (15 – 24 bulan) sebelum anak mampu bicara lengkap sehingga
pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan
lambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan bicara atau mengeluarkan
suara normal atau tak sengau, sulit di capai.4,11
Perbaikan celah palatum dapat dilakukan dengan teknik:1,11
1. Von Langenbeck Palatoplasty
Dasar teknik ini yaitu memisahkan celah palatum yang terpisah.
Pembedahan dan penjahitan otot merupakan prosedur untuk membuat
sling otot. Skematik palatoplasti Von Langenbeck, melibatkan flap
bipedikel mukoperiosteal untuk menutup celah patum durum dan molle.

Gambar 2.11 Von Langenbeck Palatoplasty

2. Veau – Wardill – Kilner Pushback palatoplasty (V-Y)


Penutupan mukoperiosteal dibuat dengan W – shaped incison.
Pembebasan mukoperiostal dari palatum disambung ke palatum durum dan
pembukaan tulang secara anterior dan lateral.

Gambar 2.12 Veau – Wardill – Kilner Pushback palatoplasty (V-Y)

3. Bardach Two flap


Dilakukan pada bibir sumbing bilateral, merupakan modifikasi dari teknik
Von Langenbeck dimana dilakukan insisi di sepanjang tepi celah palatum dan
tepi alveolar. Penggabungan secara anterior ini, untuk membebaskan
penutupan mucoperiosteal. Palatum molle diperbaiki pada jahitan garis lurus.
Pemotongan dan rekonstruksi m. levator veli palatine sebagai sling otot
dinamakan intravelar palatoplasty.

Gambar 2.13 Bardach Two flap

4. Furlow Z plasty
Teknik dimana bagian palatum di reposisi dan veli palatine disambung oleh
double opposing (menyilang) secara Z plasty. Operasi plastik cara ini adalah
teknik yang paling sering digunakan, garis jahitan yang diatur berguna
untuk memperkecil takik bibir akibat retraksi jaringan parut.

Gambar 2.14 Skema palatoplasti Z plasty. (A) Garis ganda adalah garis insisi dan garis
putus-putus adalah garis lipat. (B) Flap kiri terdiri dari otot dan mukosa oral dan flap kanan
hanya terdiri dari mukosa oral. (C) Penutupan akhir Z plasty
Karena celah palatum sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan derajat
kerusaknnya, penentuan waktu operasi koreksi seharusnya bersifat individual.
Kriteria seperti lebarnya celah, cukupnya segmen palatum yang ada, morfologi
daerah sekitarnya (seperti lebarnya orofaring) dan fungsi neuromuskuler
palatum mulut serta dinding faring mempengaruhi pengambilan keputusan.1
Cacat celah ini hampir selalu menyilang rigi – rigi alveoulus dan
menganggu pembentukan gigi pada daerah tersebut. Elemen – elemen gigi yang
hilang harus diganti dengan alat – alat prostetik; kemungkinan juga diperlukan
perubahan posisi gigi. Setelah operasi, pada usia anak dapat belajar
bicara dari orang lain, speech therapist dapat diminta mengajar atau melatih anak
bicara yang normal. Bila ini telah dilakukan tetapi suara yang keluar masi sengau
maka dapat dilakukan Faringoplasti. Operasi ini adalah membuat bendungan pada
faring untuk memperbaiki fonasi, biasanya pada umur 6 tahun ke atas.1
Pada umur 8 – 9 tahun dilakukan tindakan operasi penambalan tulang pada
celah alveolus atau maksila untuk memungkinkan ahli ortodonti nanti mengatur
pertumbuhan gigi dikanan kiri celah supaya normal. Graft tulang diambil dari
bagian spongius Krista iliaka. Tindakan operasi terakhir yang mungkin diperlukan
dikerjakan setelah pertumbuhan tulang – tulang muka mendekati selesai yaitu
pada umur 15 – 17 tahun.7
Sering ditemukan hipoplasi pertumbuhan maksila sehingga gigi geligi
depan atas atau rahang atas kurang maju pertumbuhannya. Dapat dilakukan bedah
ortognatik, memotong bagian tulang yang tertinggal pertumbuhannya dan
mengubah posisinya maju ke depan. Bila gusi juga terbelah
(gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk usi
dilakukan pada saat usia 8 – 9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli
ortodonsi.1,4
Pengelolaan bibir sumbing langitan merupakan pengelolaan terpadu
(multidisipliner). Dokter umum, biasanya orang tua penderita mengontrol
kesehatan bayi atau anak dan menulis surat rujukan yang perlu. Ahli bedah plastik
memberikan keterangan yang lebih terperinci dan melakukan semua tindakan
operasi. Ahli THT mungkin diperlukan bila terjadi gangguan pada telinga.
Speech therapist untuk mengajarkan bicara dan dokter gigi untuk tindakan
ortodonti.1,7

C. Penanganan Prabedah dan Pasca Bedah


Garis jahitan yang terpapar pada dasar hidung dan bibir dapat
dibersihkan dengan kapas yang diberi larutan hidrogen peroksida dan salep
antibiotika yang diberikan beberapa kali perhari. Jahitan dapat diangkat pada hari
ke 5-7. Kecurigaan infeksi merupakan kontraindikasi operasi, jika gizi anak baik,
cairan dan elektrolit seimbang, pemberian makan dapat diijinkan pada hari ke
enam pasca bedah. Selama waktu yang singkat dalam masa pasca bedah,
perawatan khusus sangat diperlukan. Tindakan pengisapan nasofaring yang
dilakukan secara lembut mengurangi kemungkinan komplikasi yang lazim
terjadi, sperti atelektasis dan pneumonia.1
Pertimbangan primer pada perawatan pasca bedah adalah rumatan
kebersihan garis jahitan dan menghindari ketegangan pada jahitan, karenanya bayi
diberikan makan dengan penetes obat dan tangan diikat manset siku. Diet cair
atau setengah cair dipertahankan.selama 3 minggu dan pemberian
makanan dilakukan dengan tetesan atau sendok. Tangan penderita dan mainan
juga benda – benda asing harus dijauhkan dari palatum. Setelah operasi
labioplasti, pasien harus dievaluasi secara periodik terutama status kebersihan
mulut dan gigi, pendengaran dan kemampuan berbicara, dan juga keadaan
sikososial.1

2.2.9. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami
labiopalatoschizis yaitu:1
1. Labioschizis dapat menyebabkan masalah kosmetik, serta susunan gigi yang
tidak beraturan
2. Palatoschizis dapat menyebabkan mudahnya mengalami penyakit ISPA
(infeksi saluran pernapasan akut) serta berbicara sengau
3. Otitis media berulang dan ketulian sering kali terjadi, jarang dijumpai kasus
karies gigi yang berlebihan. Koreksi ortodontik dibutuhkan apabila
terdapat kesalahan penempatan arkus maksilaris dan letak gigi geligi.
4. Cacat bicara bisa ada dan atau menetap meskipun penutupan palatum secara
anatomi telah dilakukan dengan baik. Cacat wicara yang demikian ditandai
dengan pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan
kualitas hipernasal jika membuat suara tertentu. Baik sebelum dan sesudah
operasi palatum, cacat bicara disebabkan oleh fungsi otot – otot palatum dan
faring yang tidak adekuat. Selama proses menelan dan saat mengeluarkan
suara tertentu, otot – otot palatum molle dan dinding lateral serta
posterior nasofaring membentuk suatu katup yang memisahkan
nasofaring dan orofaring. Jika katup tersebut tidak berfungsi secara adekuat,
orang itu sukar mencipatkan tekanan yang cukup di dalam mulutnya untuk
membuat suara –suara tertentu. Kemungkinan terapi wicara diperlukan setelah
suatu operasi.

Komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi:11


1. Wound dehiscence paling sering terjadi akibat ketegangan yang berlebihan
dari tempat operasi.
2. Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila
hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari
rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut
dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
3. Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena
wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat
kontaminasi pasca operasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif
dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi
lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
4. Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat
terjadi setelah operasi.
5. Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin
berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat
dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
6. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir. Hal ini dapat dihindari dengan
pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang
penting lengkung.

2.2.10. Prognosis
Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat
dimodifikasi atau disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini
melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat
memperbaiki penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik
pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan labioschisis yang
telah ditatalaksana mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik.
Terapi bicara yang berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang
baik pada masalah-masalah berbicara pada anak labioschsis.11

2.2.11. Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya bibir
sumbing adalah:
1. Menghindari Merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor resiko lingkungan terkait untuk
terjadinya celah. Ibu yang menggunakan tembakau selama kehamilan secara
konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya plate.
2. Menghindari Alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi
tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan
memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus
pada sindrom alkohol fetal.
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan
sangat penting bagi tumbuh kembang yang normal bagi fetus.
1. Asam Folat
Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil
kehamilan. Pertama dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk
mencegah terjadinya anemia dalam kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam
mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik.
2. Vitamin B6
Diketahui bahwa Vitamin B6 dapat melindungi terhadap induksi
terjadinya celah pada penelitian terhadap binatang. Namun penelitian pada
manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B6
dalam terjadinya celah.
3. Vitamin A
Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A
pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan
defek kelahiran lainnya pada mamalia. Penelitian klinis pada
manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi
vitamin A juga dapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Johnsen DC. Celah Bibir dan Palatum. Dalam : WE Nelson, RE Behrman,
editor. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Edisi ke – 15. Volume 2.
Jakarta: EGC; 1999.1282 - 1284.
2. Reksoprawino, Sunarto, Yoga Wijayahadi, Bisono, dkk. Kelainan Bawaan
Kepala dan Leher. Dalam : R Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi ke – 3. Jakarta: EGC; 2010. 424 – 426.
3. Converse JM, VM Hogan, JG McCarthy. Cleft Lip and Palate,
Introduction. Dalam :Reconstructive Plastic Surgery. Edisi ke – 11.
Volume 4. Philadelphia : WB Saunders.
4. Sadler TW. Wajah Dalam : Embriologi Langman. Edisi ke – 7. Jakarta: EGC;
1997. 334 – 338
5. Snell RS. Perkembangan Wajah dan Kelainana Kongenital. Dalam :
Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke – 6. Jakarta: EGC.
2006. 714 - 716.
6. Shenaq SM, JYS Kim, A Bienstock. Plastic and Reconstructive Surgery.
Dalam :Schwartz’s Principles of Surgery. FC Brunicardi, DK Andersen, TR
Billiar, DL Dunn, JG Hunter, RE PUllock. Edisi ke 8. Volume 2.
Library of Congress Cataloging in Publication Data; 1999. 1796 –1800.
7. Sacharin, Rosa M. Text Book of Pediatric. Edisi ke – 12. Jakarta: EGC. 2002
8. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Sumbing Bibir dan Langitan. Dalam :
Kapita Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aeusculapius. FKUI. 2005
9. Muhammad AH. Cleft Lip and Palate :Etiological Factos, a Review.
Indian J Adv (serial online) 2012 June (diakses 13 Februari 2015); 4(2): (8
layar).
10. Bisono. Sumbing Bibir / Langitan. Dalam : Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta: Binarupa Aksara. 393 – 396.
11. The Northern and Yorkshire Cleft Lip and Palate Service. Cleft Lip and
Palate. Dalam : Neonatal Network Handout.

You might also like