You are on page 1of 24

POLITIK HUKUM PANCASILA PENGELOLAAN TENAGA KERJA

INDONESIA SEBAGAI INSTRUMEN PENANGGULANGAN KEMISKINAN


(STUDI KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA )

Diajukan kepada Bapak Dr. Didik Suhariyanto, SH.,MH sebagai Salah Satu Syarat
untuk mengikuti Ujian Akhir Semester untuk Mata Kuliah Politik Hukum Pancasila

Oleh :
ROYNAL CHRISTIAN PASARIBU
NPM : 2202171055

Makalah

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS BUNG KARNO
Jakana 2019

Hal 1 dari 24
A. LATAR BELAKANG
Konsep negara hukum kesejahteraan sebagai sistem dalam pengaturan kehidupan
bernegara menjadi pilihan sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang didalam Pembukaa Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke empat dapat ditemukan konsep negara
kesejahteraan yaitu “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial...”

Salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan negara RI tersebut terutama dalam ha1
memajukan kesejateraan umum di jabarkan dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 27
ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan amanah kepada
penyelenggara negara untuk menjamin Tiap-tiap warga negara memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Berbicara tentang
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan yang pada hakikatnya adalah
tugas pemerintah walaupun pada kenyataanya banyak harus disediakan oleh pihak
swasta namun pemerintah tidak boleh lupa tugas untuk mensejahterakan rakyat itu (baik
pengusahanya maupun pekerjanya) adalah ada pada pemerintah. Pihak swasta tidak ada
kewajiban untuk mensejahterakan karyawannya. Untuk itu pemerintah melalui
kebijakannya karena di Indonesia dasar negaranya Pancasila maka pemerintah harus
memiliki Politik Hukum Pancasila untuk meminimkan tingkat pengangguran dan
memastikan upah yang layak bagi pekerja serta produktivitas pekerja yang tinggi bagi
pengusaha. Jika ini sudah tercapai maka dipastikan kemiskinan akan semakin
berkurang di negeri ini.

Namun kenyataannya hingga sekarang masalah kemiskinan belum dapat diatasi,


bahkan cenderung meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk
miskin yakni penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis
kemiskinan di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31, 02 juta jiwa atau 13,32% dari
jurnlah penduduk Indonesia, untuk mengukur kemiskinan BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic needs approach) dengan pendekatan ini
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi

Hal 2 dari 24
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluarannya.1
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk
miskin, dirnensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan
dari kemiskinan selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin kebijakan
kemiskinan juga harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Tahun 2012 jumlah dan presentase penduduk miskin Indonesia di kota sebanyak
13.559.300, desa sebanyak 23.609.000, jumlah keseluruhan 37. 168.300, atau sebanyak
16,58 %.2. Miskin dalam Kamus besar bahasa Indonesia dianikan sebagai tidak berhana
benda, serba kekurangan (berpenghasilan rendah), sedangkan fakir adalah orang yang
sangat kekurangan atau sangat miskin.3

Kemiskinan di Negara RI pada hakikatnya bersumber dari tingginya tingkat


pengangguran atau bekerja namun dengan upah yang rendah hal ini karena disamping
reformasi agraria yang tidak kunjung dapat direalisasikan sejak UUPA dibuat sejak
tahun 1960 silam juga karena kesenjangan sosial yang semakin tinggi diantara
penduduk Indonesia yang diantara keduanya memiliki hubungan kausalitas yang tinggi
karena tidak memiliki tanah maka satu-satunya faktor produksi yang dimiliki sebagian
besar rakyat Indonesia adalah dengan bekerja. Artinya variable yang perlu dikendalikan
pemerintah adalah tingkat pengangguran yang kecil dan upah yang tinggi.

Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengendalikan pengangguran dan tingkat


upah dan produktivitas yang tinggi secara langsung dapat dilihat pada hukum positif
yang sedang berlaku dewasa ini dibidang ketenagakerjaan RI yaitu Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK) namun ternyata pada
kenyataanya UUK yang diharapkan menjadi motor penggerak hukum ketenagakerjaan
RI ternyata penuh permasalahan dan pertentangan terhadap pasal 27 ayat 2 UUD 1945
hal itu dapat dilihat dari banyaknya Pasal-pasal dalam UU 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menjadi tidak berlaku mengikat setelah di judicial review ke
mahkamah konstitusi; untuk itulah perlu sekali dikaji bagaimana politik hukum
Pancasila pemerintah RI dalam menata hukum ketenagakerjaan Indonesia menurut UU

1 Berita Resmi Statistik, No. 45107 / Th.XII. 1 Juli 2010.


2
www.bps.po.id, diakses, 20 April 2013.
3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm 571

Hal 3 dari 24
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Berdasarkan latar belakang tersebutlah maka
makalah ini diberi judul : Politik Hukum Pancasila Pengelolaan Tenaga Kerja
Indonesia Sebagai Instrumen Penanggulangan Kemiskinan (Studi Kebijakan
Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia)

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Politik Hukum Pancasila Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dalam Menanggulangi Kemiskinan Di Indonesia?

C. PEMBAHASAN

Politik hukum yang dimaksud Dalam tulisan ini meliputi dua dimensi : 4 Pertama,
politik hukum dianikan sebagai alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan
perundang-undangan disebut juga sebagai kebijakan dasar (basic policy), Kedua,
politik hukum dianikan sebagai tujuan atau alasan yang muncul di batik pemberlakuan
suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai kebijakan pemberlakuan
(enacment policy). Disini pemberlakuan suatu peraturan perundangan
dipandangsebagai instrumen politik pemerintah atau penguasanya untuk tujuan
tertentu. Kedua dimensi dari politik hukum ini akan terlihat Dalam pembahasan Dalam
buku ini, hal ini berguna untuk melakukan pembahasan secara menyeluruh dan
komprehensif.
1. Politik Hukum sebagai Kebijakan dasar
Kebijakan dasar Dalam Hukum Ketenagakerjaan adalah untuk melindungi pihak yang
lemah, Dalam hal ini pekerja/buruhdari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha
yang dapattimbul Dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikanperlindungan
hukum dan mewujudkan keadilan sosial.
“the main ofyect of labour law has always been, and I venture to say will always be to
be a countervailing force to counteract the inequaliw of bargaining power which is
inherent and must be inherent in the employment relationship... It is an attempt to infuse
law in to a relation of command and subordination

4 Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di indonesia , Jumal Hukum, Vol. 01 No. 1
tahun 2005, Program Magister I1mu Hukum Pascasarjana USU Medan, hlm. 29.

Hal 4 dari 24
Timbulnya Hukum Ketenagakerjaan ini dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi
tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara pekerja/buruh dengan
pengusaha/majikan), dengan alasan itu pula dapat dilihat bahwa tujuan utama Hukum
Ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan diantara
keduanya.

Fungsi dan tujuan Hukum Ketenagakerjaan tidak lepas dari tujuan hukum pada
umumnya, yang oleh Gustav Radbrugh dan kepastian hukum. 5 disebut tiga nilai dasar
dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, Theo Huijbers menguraikan tiga tujuan
hukum sebagai pertama, memelihara kepentingan umum Dalam masyarakat,kedua,
menjaga hak-hak manusia, ketiga, mewujudkan keadilan Dalam hidup bersama. 6

Demikian ideal tujuan dari hukum, disamping itu perlu juga menyimak pendapat
Sunaryati Hanono, bahwa hukum bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya
merupakan jembatan, yang akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.7 Ide
yang dicita-citakan itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan tujuan hukum itu
sendiri. Keberadaan Hukum Ketenagakerjaan sangat strategis dan mendasar, hal ini
terjadi karena muatannya bukan hanya teknis ketenagakerjaan semata, tetapi juga
penuh dengan muatan sosial, ekonomi, dan politik yang juga berkaitan dengan masalah
hak asasi manusia, 8 dengan kata lain, bersifat multidimensional. Dalam hal ini, selain
pengaruh kepentingan politik elit penguasa, pengaruh politik ekonomi juga sangat
menentukan Hukum Ketenagakerjaan. "Dalam era globalisasi perdagangan, hukum
yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah
menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi lebih besar. Hukum ini berlaku

5
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan I1mu-11mu Sosial Bagi pengembangan Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 1 977, h]m. 42.

6
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 289.

7
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju satu sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991 ; hlm
1.

8
Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat bagi Pekerja, Mandar Maju,
Bandung, 2004, hlm. 4.

Hal 5 dari 24
juga untukbidang ketenagakerjaan,...."9 perubahan dunia ketenagakerjaan di Indonesia
saat ini'bersiht multidimensional, yang berani perubahan itu meliputi aspek kehidupan
ekonomi, sosial budaya, politik dan pemerintahan. paaa mekanisme pasar. Selain itu,
system hukum Indonesia juga tidak memberi ruang yang cukup luas untuk itu. Disinilah
pemerintah ditantang untuk menjalankankebijakan perburuhan yang mampu
mengakomodir semuakepentingan, baik pemodal, pekerja/buruh maupun pemerintah
sendiri.

"Government policy may to varying degrees, moderate or intensqy the bias of


globalization that Javors capital rather than labor. Globalization challeng es labor
market and workplace procedures to deliver substantive outcomes (competitive
wage levels, labor practices and regulation of industrial con$lict) that are
acceptable to employers and investors, employees, and goverments."

Keadilan yang merupakan tujuan dasar Dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum,
bahkan yang menjaditujuan hidup bernegara tidak akan dapat dicapai dengan
menyerahkan sistem ekonomi semata-mata pada mekanisme pasar. Keadilan bukanlah
nilai yang diperhitungkan dari ekonomi pasar karena itu pendekatan pasar harus selalu
diikutioleh pendekatan normatif, salah satunya melalui hukum yang meletakkan batas-
batas dan aturan-aturan. Bila mengambil kajian Tamara Lothion, dimana dibedakannya
tipe Hukum Ketenagakerjaan ke Dalam tipe kontraktualis dan tipe korporatis, maka
tipe korporatis-lah yang mendominasi peraturan di bidang Hukum Ketenagakerjaan.
hal ini semakin mendapatkan dasar pembenaran jika dihubungkan dengan system
hukum yang dianut Indonesia sejak awal kemerdekaan berdasarkan asas konkorclansl
[dari hukurn negara Belanda) yang menganut sistem hukum EropaKontinental (Civil
Law). Model korporatis digunakan dikarenakan model hubungan ketenagakerjaan yang
hendak ditumbuhkan adalah harmonie model, karena para pihak tidak memiliki
pemerintah melalui ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat refresif, kedua,
konsensus (kerjasama) diharuskan dengan melarang terjadinya konflik (pemogokan),
ketiqa, diwajibkan menggunakan penyelesaian secara damai dan melarang penggunaan

9 A1oysius Uwiyono (2003), O'p. Cit., hilo. 41. G1obalisasi merupakan benfuk kapitalisme global yang
tahir setelah berakhirnya perang dingin di tahun 1989 dimana banyaknya pihak yang
mengumandangkan'kejayaan kapitalisme

Hal 6 dari 24
cara-cara paksaan (mogok atau pun lock out). Sedangkan Dalam model Hukum
Ketenagakerjaan yang kontraktualis hubungan ketenagakerjaan lebih didasarkan pada
kekuatan tawar (bargaining position) pekerja/buruh terhadap pengusaha, dimana
pemerintah bukan sebagai pihak yang aktif membuat regulasi ketenagakerjaan,
melainkan hanya bertindak memfasilitasi organisasi pekerja/buruh dengan menjamin
hak berorganisasi10, maka ciri ini merujuk pada model koalisi yang memiliki ciri
hubungan ketenagakerjaan harmonis dan sekaligus hubungan ketenagakerjaan konflik.
pertama para pihak memiliki kebebasan, Dalam hal ini pemerintah campur tangan
melalui Penciptaan institusi-institusi yang dapat digunakan untuk menghindari
penggunaan kebebasan yang berlebihan. Kedua, konsensus yang dihasilkan, didorong
oleh institusi-institusi (pemerintah) yang dibentuk untuk itu, namun konsensus tidak
didasarkan pada ketentuan yang represif ataupun sebagai konsekwensi adanya konflik.
Ketiga penyelesaian peselisihan diupayakan secara damai dengan tidak menutup
kemungkinan digunakannya mekanisme paksaan. 1131 Hal ini telah tergambar Dalam
UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihanHubungan Industrial, dimana
para pihak wajib mengupayakan penyelesaian perselisihan melalui jalan penyelesaian
perselisihan melalui jalan perundingan bipartite sebelum melakukan upaya lain (Pasal
3 ayat (13). Dalam pembuatan regulasi Ketenagakerjaan dewasa ini, d Iantaranya
adalah diberlakukannya sistem kerja kontrak dan outsourching (sistem flexible worker),
serta tidak jelasnya perlindungan atas kebebasan berserikat. Tuntutan kapitalisme
global menghendaki agar negaratidak terlalu mencampuri persoalan pekerja/buruh
denganpengusaha/majikan melainkan diserahkan pada mekanismepasar. Sistem kerja
fleksibel itu dianggap yang terbaik saat ini. Tetapi kembali pada tujuan Hukum
Ketenagakerjaan serta peranpemerintah yang masih sangat dibutuhkan di negara kita
maka meniadakan peran negara bukan solusi yang benar-benar tepat.Dari kepustakaan
ekonomi antara peran pasar dan campurtangan negara maupun antara pembangunan
ekonomi dengan pendekatan pasar dan normatif (konstitusional) harusnya saling
melengkapi, dikarenakan menjalankan pembangunan ekonomi Dalam kevakuman
politik adalah hal yang mustahil "Pertama, peran pasar sangat penting Dalam rangka

10
Tamara lothion, The Political Consequences of Labor Law Regimes : The Contractualist and Corporatist
Models Compared, Cardozo Law Rexew, Vol.7, 1986, hlm,.,hlm 5

11 A1oysius Uwiyono (2001), O'p. Cit., hlm. 224.

Hal 7 dari 24
perusahaan memaksimalkan keuntungan dan individu serta masyarakat
memaksimalkan kesejahteraannya, namun peran pemerintah penting juga Dalam
melakukan koreksi terhadap kegagalan pasar. Kedua, peran konstitusi dan aturan main
Dalam pembuatan kebijakan ekonomi sangat penting untuk memastikan kebijakan
ekonomi yang baik Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal itu
dilakukan untuk jangka panjang. Ketiqa, kebijakan ekonomi Dalam mengejar
pertumbuhan maupun pemerataan hasil sangat berkaitan dengan proses politik yang
berlangsung terus menerus. Kebijakan ekonomi tidak berjalan Dalam kevakuman
politik karena secara praktis pendekatan normatif atau konstitusiona1 dapat
memberikan arahan yang jelas bagi pembangunan ekonomi dengan saling melengkapi.
Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan dirinya sebagai regulator yang bijak
melalui. Sarana pembentukan dan pelaksanaan Hukum Ketenagakerjaan, dikarenakan
hukum ketenagakerjaan akan menjadi sarana utama untuk menjalankan kebijakan
pemerintah di bidang ketenagakerjaan itu sendiri.-Kebijakan ketenagakerjaan (labor
policy) di Indonesia dapat dilihat Dalam UUD 1945 sebagai Konstitusi negara, juga
Dalam peraturan perundang-undangan yang terkait : 12
"Labour law will most probably become the major tool toimplement the
government's labour policies."
Jika kesimpang siuran Hukum Ketenagakerjaan terus berlanjut, maka akan ·
menimbulkan konflik di kalangan pekerja dan juga pengusaha dan lebih jauh lagi
adalah adanya ketidakpastian hukum yang menjadi prasyarat penting bagi investor
menanamkan modal di Indonesia. Kondisi ini harus segera diatasi, mengingat
pembangunan harus terus dijalankan sebagai bangsa kehidupan yang lebih baik.
Peraturan perundangan Ketenagakerjaan, selaiil erat kaitannya dengan bidang hukum
juga sangat terkait erat dengan bidang ekonomi serta politik. Dalam wacana yang ada,
politik hukum merupakan realitas yang didapat antara interaksi darifaktor-faktor
politik, ekonomi, baik nasional maupun internasional juga perkembangan yang terjadi
Dalam dunia industri di Indonesia dewasa ini, seperti munculnya multi serikat pekerja,
LSM, dan ]embaga sosial politik yang consern terhadap persoalan
perburuhan/ketenagakerjaan dan lain-lain, Kesemuanya ini perlu dilihat secara holistik

12 Naoyuki Sakumoto, O'P. Cit., hl]u. 128. Dapat juga dilihat Dalam John W. Budd and Yijiang Wang,
Labor Policy and Investment, Industrial Relation center University of Minnesota, Minneapolis, 2001,
hlm. 1.,

Hal 8 dari 24
dan sistemik, sehingga benar-benar akan terlihat bagaimana politik hukum
mengarahkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sehingga nantinya
peraturan ketenagakerjaan dapat aplikatif dan benar-benar mampu membawa kemajuan
dibidang ketenagakerjaan di Indonesia. Ekonomi dan hukum yang mengharapkan
model Hukum Ketenagakerjaan yang korporatis.13 Dalam model hukum korporatis
ini, hubungan ketenagakerjaan diatur melalui jalan legislasi Dalam bentuk peraturan
perundang-undang dengan demikian, Hukum Ketenagakerjaan juga menjadi bagian
dari Hukum Publik. Sebagai Hukum publik, proses pembentukan Hukum
Ketenagakerjaan melibatkan peran negara yang cukup dominan sehingga diharapkan
negara dapat tanggap dan menjadi fasilitator kedua kepentingan kelompok, yaitu antara
pekerja/buruh dan pengusaha/majikan. Pada sisi lain ada yang menilaibahwa Hukum
Ketenagakerjaan ini menjadi alat politik untuk melegitimasi tindakan pemerintah
Dalam merefresi gerakan buruh dan lebih mementingkan kepentingan kelompok
investor.

Saat ini Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia belum mampu menjadi hukum yang
akomodatif, bahkan dengan berbagai perkembangan Dalam era globalisasi telah
menempatkan Hukum Ketenagakerjaan berada dipersimpangan jalan Pembentukan
Peraturan ketenagakerjaan bisa disaksikan antara lain saat disahkannya UU No. 25
Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan, yang diundangkan pada 3 Oktober 1997
dimaksudkan sebagai pengganti UU Ketenagakerjaan No. 14 Tahun 1969, ditandai oleh
penolakan yang cukup besar dari kalangan pekerja/buruh sehingga UU yang telah
disahkan dan masuk Dalam Lembaran Negara No. 73 Tahun 1997 dan dijadwalkan
efektif Oktober 1998, kemudian ditunda, yaitu dengan UU No. 11 Tahun 1998 untuk
jangka waktu 2 tahun, namun kemudian penundaan tersebut diperpanjang dengan
Perpu No. 3 Tahun 2000. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan nasib UU No. 25 Tahun
1997 pada saat itu. Begitu pula saat diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 pada
Februari 2003, walaupun belum ada kepastian tentang penerimaan terhadap RUU
Ketenagakerjaan tersebut4s baik dari kalangan pekerja/buruh maupun
pengusaha/investor, pemerintah tetap bersikukuh untuk memberlakukan RUUtersebut
dan diundangkan sebagai UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Selain persoalan

13 Tamara lothion, Op. Cit, hlm . 1.

Hal 9 dari 24
materi UU yang masih belum disepakati, Dalam pelaksanaannya juga tidak
sepenuhnya bebas dari konflik,sebagai contoh konkrit adalah dikeluarkannya Surat
Edaran menakertran tertanggal 14 Januari 2004 telah dianggap melanggar/bertentangan
dengan UUK itu sendiri, sehingga SE tersebut semakin memperkeruh persoalan di
bidang ketenagakerjaan. Kalangan pengusaha Dalam hal ini Apindo menganjurkan
para pengusaha tidak melaksanakan SE tersebut karena memiliki muatan materi
berbeda dengan UUK apalagi secara hierarki SE lebih rendah dari UU. Terhadap
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI) juga masih diragukan keefektifannya Dalam menuntaskan persoalan
ketenagakerjaan/perburuhan secara efisien dan berkeadilan, karena di sana-sini belum
lengkapnya peraturan yang mengatursecara mendetail, baik tentang proses beperkara
di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) maupun di luar pengadilan. Hal ini jelas akan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang berlaku. Dilema Dalam Hukum
Ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut pembentukan hukum, tetapi juga adanya
inkonsistensi dan ketidaksinkronan antar peraturanperundangan ketenagakerjaan yang
seringkali mengakibatkantumpang tindihnya peraturan, hal ini jelas melanggar prinsip
kepastian hukum. Inkonsistensi dan ketidaksinkronan pengaturan mengenai
ketenagakerjaan antara lain terjadi pada masapemerintahan Soehano mengenai
kebebasan berserikat yang oleh Konstitusi (UUD 1945) dijamin keberadaanya, namun
Dalam pelaksanaannya yang ada adalah peraturan yang membatasi hakberserikat ini.
Ada yang menganggap bahwa hal ini sebagai dualisme Hukum legal dualism) Hukum
Ketenagakerjaan.14 sepenuhnya dirasakan oleh golongan pekerja/buruh. Berbagai
Pekerja/buruh untuk berserikat yang lebih disebabkan oleh tahun 1955 dikeluarkan
Peraturan Menteri perburuhan (PMP) No. 90 mengenai Peraturan Tentang pendaftaran
serikat Buruh, yang secara substansi memberi kemudahan bagi pekerja/buruh untuk
membentuk organisasi/serikat. peraturan yang juga diberlakukan pada masa
pemerintahan soekarno pasca Dekrit yang dikenal dengan era Orde Lama (1959-1966)
disimpangi dengan hanya mengakui SP/SB yang berasal dari Nasakom.

Pada masa pemerintahan selanjutnya di bawah kepemimpinan Presiden Soehano yang


dikenal dengan era Orde Baru kebebasan berserikat masih dibatasi bahkan dipolitisir

14
Naoyuki Sakumoto, Labor Law And Politiq In Indonesia, Dalam Curent Development Of Laws In
Indonesia, Ed. Koesnadi Hardjasoemantri & Naowki

Hal 10 dari 24
dengan mewujudkan satu wadah tunggal yaitu FBSI (Federasi Buruh Seluruh
Indonesia) yang kelak akan menjadi bentuk unitaris dan berganti nama menjadi SPSI
(Serikat pekerja Seluruh Indonesia). Bahkan saat ini pengaruh globalisasi akan
menimbulkan dampak terhadap sistem hukum nasional, di negara Dalam rangka pasar
global harus menyelaraskan hukum nasional-nya dengan peraturan-peraturan yang
berkembang Dalam masyarakat internasional.
"The plienomenon of globalization ias an impact national legal wtem. A country
connected to the global system has to harmonize itself with the rules recognize by
Elie globalthe international community."
Pengaruh internal dan eksternal tersebut diakui oleh mantan menteri Tenaga Kerja
Bomer pasaribu15 membawa perubahan paradigma Dalam bidang ketenagakerjaan :
"Kombinasi dari pengaruh internasional dan Perkembangan politik nasional
membawa perubahan paradigma yang sangat signifikan Dalam bidang
ketenagakerjaan. Para digma bau yang menjadi dasar pembangunan politik
ketenagakerjaan adalah hak berserikat, demokratisasi serikat pekerja, serta
perluasan kesempatan kerja dengan tetap memperhatikan segi gender pekerja."
Menjelang decade sembilan puluhan (masa pemerintahan Soehano) timbul pergeseran
politik ketenagakerjaan seiring Kondisi yang juga dipicu oleh berkembangnya pota
perekonomian dan perdagangan internasionai dengan NAFTA di Amerika Utara, APEC
di Asia Pasifik serta AFTA di Asia Tenggara. Keadaan ini melahirkan kebijakan untuk
memberlakukan standar ketenagakerjaan internasional (International Labor Standan),
yang disyaratkan untuk dimasukkan sebagai social clause oleh negara-negara maju
(terutama Amerika Serikat) Dalam setiap pembuatan perjanjian kerjasama ekonomi dan
perdagangan antar negara. Kebijakan pemberlakuan standar ketenagakerjaan ini
menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan negara-negara industri dan negara
berkembang. Indonesia yang melibatkan diri pada pasar internasional, berani pula harus
tunduk pada aturan-aturan hubungan industrial yang berlaku di negara-negara industri
yang sudahmaju. Serikat buruh dari negara-negara industri tersebut jugamulai bersikap
terhadap perlakuan pemerintah padapekerja/buruh di negara-negara sedang berkembang,
hal manajuga menimbulkan kesadaran politis kaum pekerja/buruh.

15
Bomer Pasaribu, Membangum politik Ketenagakerjaan dari Aspek Hak Asasi Manusia, dalam http:/
ytkna.tripod.com/ham/pendahuluan.htm (diakses pada tgl. 8 Maret 2004).

Hal 11 dari 24
Tumbangnya rezim Orde Baru dan munculnya Reformasi (Periode 1998-sekarang)
dengan membawa angin demokrasi, belum menimbulkan perubahan signifikan terhadap
kondisi perburuhan. Arah kebijakan pemerintah di masa Reformasi ininampak mengikuti
perkembangan perekonomian dan perdagangan global. Dengan demikian pemerintah
tidakmungkin menghindari tuntutan dari persaingan kapitalismeglobal dengan
liberalisasi ekonomi dan perdagangannya yangmenginginkan pemerintah (negara) tidak
terlalu campur tanganterhadap lapangan ekonomi termasuk bidang ketenagakerjaan
karena dapat mendistorsi pasar (market). 16 Kenyataan di masyarakat saat ini
menunjukkan adanya surplus tenaga kerja, hal mana menjadi penyebab
pengangguranyang terus meningkat jumlahnya. Keadaan ini oleh Bomer Pasaribu
disebut sebagai'krisis ketenagakerjaan'.17 Untuk itu politik ketenagakerjaan harus
difokuskan pada kesempatan kerjapenuh (full employment) serta penanganan krisis
dilakukanmelalui reformasi politik ekonomi makro dan mikro sertareformasi politilc
ketenagakerjaan yang didasarkan padaemployment based econow (kegiatan ekonomi
berbasispenggunaan tenaga kerja). Pendekatan ini juga ditujukan untukmenggeser
pendekatan neoliberalis yang selama ini ada.

Perlunya menciptakan peraturan yang sesuai di bidangketenagakerjaan dirasakan sebagai


kebutuhan yang mendesakyang dirasakan oleh lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Olehkarenanya pembentukan kerangka hukum demi terbinanyahubungan industrial yang
adil, efektif dan sanggup membantupenyelesaian perselisihan industrial merupakan tugas
yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 18 Pemerintah telah menetapkan
kebijakan Dalam bidang politik hukum, yaitu guna terciptanya sistem hukum
nasionalyang adil, konsekwen, dan tidak diskriminatif, terjaminnyakonsistensi seluruh
peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan
dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. 19

16
A1oysius Uwiyono (2003), Qlp. Cit., hlm. 45.

17 Bomer Pasaribu, Pembangunan BeJkelanjutan Dalam Perspektif Pembangiman Sumber Daya Manusia
dan Ketenagakerjaan, BPHN, Op. Cit., h\m. 135.

18
Alan J. Boulton, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Masalah dan Tantangan,
Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta, 2002, hlm.10.

19
Merupakan sasaran yang telah ditetapkan pemerintah Dalam PERRES No. 7 Tahun 2005 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RP. 1 2004-2009

Hal 12 dari 24
A. Inkonsistensi peraturan perundangan Kitenaga kerja
Politik hukum yang lebih mementingkan kebijakan pemberlakuan (enactment polio)
dengan mengabaikan kebijakan dasar (basic poliw) menjadi salah satu faktor utama
timbulnya inkonsistensi. Sesungguhnya, politik hukum itu berguna untuk menemukan
hukum yang benar-benar sesuai antara harapan dan kenyataan, antara aturan-aturan
(bunyi pasal) Dalam UU dengan peraturan di bawahnya (peraturan pelaksana), antara
law in book dan law in action.20
Pengertian inkonsistensi adalah ketidaksesuaian yang menyangkut substansi/materi
antar peraturan perundangan ketenagakerjaan yang mengatur suatu hal yang berkaitan,
atau bisa juga disebut sebagai ketidaksinkronan. Dalam black Law Dictionary disebut
sebagai"lacking consistence not compatible with another fact or claim." 21

Dalam RPJMN 2004-2009 disebutkan bahwa masalah politik hukum pada umumnya
menyangkut masalah substansi hukum yang ditandai oleh adanya inkonsistensi
peraturan perundang-undangan : Peraturan perundang-undangan yang ada masih
banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang
sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara
peraturanyang lebih rendah dengan peraturan di atasnya. Selanjutnya, disebutkan pula
bahwa timbulnya inkonsistensi dikarenakan perumusan peraturan perundang-undangan
yang kurang jelas yang menjadikan sulitnya pelaksanaan di lapangan atau
menimbulkan banyak interpretasi dan berakibat terjadinya inkonsistensi. Inkonsistensi
Dalam peraturan perundangan Ketenagakerjaan bisa antara Konstitusi (UUD Negara
RI Tahun1945) dengan peraturan lainnya, maupun antara peraturan perundangan, baik
Dalam derajat yang sama maupun tidak. Peraturan di bidang ketenagakerjaan di
Indonesia belum sampai pada kodifikasi Hukum Ketenagakerjaan/HukumPerburuhan.
Walaupun kodifikasi Hukum Ketenagakerjaan belum ada aspek penting yang harus
diperhatikan adalah perlu dijaganya konsistensi serta sinkronisasi antara pasal yang satu

20 Hikmahanto Juwana dalaln tulisannya memaparkan bahtAra antara peraturan Perundang-undangan


dan perumusan pasal merupakan "jembatan"antara Politik hukum yang ditetapkan dengan
pelaksanaan dari politik hukum tersebut Dalam tahap implementasi peraturan pemndang-undangan.
Dapat dibaca Dalam ,Hikmahanto Juwana, Politia 0p. Cit., (2005), hlm. 28.

21 Black Law Dictionary, O'p. Cit., hlm. 769.

Hal 13 dari 24
dengan yang lain, baik Dalam UU yang sama maupun tidak. Masih ditemukan adanya
aturan-aturan yang tidak dapat diterapkan, dikarenakan adanya inkonsistensi antara lain
mengenai upah minimum, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing.
1. Upah Minimum
Upah merupakan suatu elemen yang esensial Dalam perjanjian kerja. Pengupahan
sering menjadi polemik, karena perbedaan interprestasi Dalam penghitungannya
yang dianggap tidak memenuhi harapan, baik dari pekerja, pengusaha, bahkan
pemerintah yang menjadi wasit Dalam penentuan dan pengawasan pengupahan.
Bagi pekerja, upah merupakan sumberpendapatan yang utama, bahkan kadangkala
sebagai satu-satunya sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhanhidupnya.
Menyangkut pengertian upah, ditemukan adanya kesamaan unsur Dalam peraturan
di bawah ini.
Dalam UU 13 Tahun 2003, pengertian upah terdapat Dalam Pasal 1 angka 30,
yaitu
"Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan Dalam
bentuk uang, sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan."
Dalam UU 3 Tahun 1992 pengertian upah terdapat Dalam Pasal 1 angka 5
Upah adalah suatu penerimaan sebagai lmbalan dari pengusaha kepada
tenaga kerja, untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai Dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu
periani[an, atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas
dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja,
termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya."
Sedangkan Dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
ditemukan pula pengertian upah Dalam Pasal 1 angka 13, yang berbunyi
"Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan Dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang
ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan

Hal 14 dari 24
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan."
Dari ketiga peraturan yang mendefinisikan upah tersebut dapat ditarik adanya
unsur-unsur yang harus terdapat Dalam upah, yaitu :
a) Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah atau
akan dilakukan
b) Dinyatakan Dalam bentuk uang
c) Besarnya ditetapkan Dalam perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan
perundang-undangan
d) Meliputi juga tunjangan-tunjangan lainnya.

Pasa1 88 UU 13 tahun 2003 pada intinya mengatur tentang hak pekerja atas upah
yang layak bagi kemanusiaan, untuk itu pemerintah diharuskan menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja. Kebijakan pemerintah tersebut
mencakup beberapa hal diantaranya upah minimum, upah kerja lembur, upah
karena berhalangan hadir ataupun melakukan kegiatan lain, upah selama
menjalankan hak waktuistirahatnya, bentuk dan cara pembayaran upah, dan lain-
lain.

Polemik mengenai besaran upah minimum saat ini diIndonesia belum teratasi. Pada
hakekatnya, tujuan utama pemerintah menerapkan kebijakan upah minimum adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Namun besaran upah minimum tersebut
telah menyebabkan enggannya investor masuk ke Indonesia.

Bahkan sejak pelaksanaan desentralisasi pada tahun 2001, pemerintah daerah diberi
kewenangan untuk menentukan tingkat upah minimum yang salah satunya
menyebabkan tingkat upah minimum terus meningkat. Menurut kajian ADB,
kenaikanupah minimum yang terus menerus dapat menurunkan tingkat kesempatan
kerja, terutama di sektor formal dan industri, yangdapat menghambat prospek
pertumbuhan Dalam jangka panjang. Selama tahun 1999-2002, ting«at
pertumbuhan Produk Domestik Bruto secara riil mencapai sekitar 4% pertahun,
sementara tingkat produktifitas pekerja hanya meningkat sekitar 3% pertahun.
Tingkat pertumbuhan ini tentunya masih jauh dari yang pernah dicapai pada masa
sebelum krisis.
Hal 15 dari 24
Polemik lainnya menyangkut upah adalah carapenghitungan besaran upah
minimum. Sampai saat ini, penetapan upah minimum masih mengggunakan
komponen Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), padahal UU 13 tahun 2003 telah
mengharuskan p enetapan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak
(KHL). Namun berdasarkan Surat EdaranMenakertrans tertanggal 16 Juli 2004
dikatakan bahwa untuk penetapan upah minimum masih menggunakan Kebutuhan
Hidup Minimum (KHM) belum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL),
dengan demikian perintah undang-undang bahwa upah minimum harus memenuhi
syarat penting, yaitu diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak belum
dapat dilaksanakan (lihat Pasal 89 UU 13 Tahun 2003).
2. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
mengenai pwww menjadi hal yang krusial danmengemuka dewasa ini, padahal
sesungguhnya praktek PKWTtelah lama ada. Dalam UU 13 Tahun 2003
pengaturan mengenai PKWT masih dapat dikatakan belum jelas dan menimbulkan
pengertian ganda. Dalam uu 13 tahun 2003 mendapatkan landasan yuridisnya
Dalam pasal 56 yang intinya berbunyi
"(1). perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud Dalam ayat (1)
didasarkan atas
a). Jangka waktu atau
b). Selesainya suatu pekerjaan tertentu."

Selanjutnya, pasal 59 menetapkan jenis pekerjaan yang dapat di-PKWT, yaitu


menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai Dalam waktu
tertentu, yaitu
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya Dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun
c) Pekerjaan yang bersifat musiman atau

Hal 16 dari 24
d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih Dalam percobaan atau penjajakan. 22
e) PKWT yang tidak memenuhi ketentuan Dalam Pasal 59 ini maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

UU 13 tahun 2003 masih menimbulkan pengertian ganda Dalam merumuskan


pekerjaan kontrak (apakah menurut jangka waktu atau menurut selesainya
pekerjaannya), sebagaimana diatur Dalam Pasal 56 ayat 2 dan Pasa159 ayat 2.
Untuk menghindari multi tafsir maka perlu ditetapkan secara tegas tentang
1. Pekerjaan tetap dan tidak tetap,
2. Pekerjaan inti dan non inti,

Mengenai jangka waktu PKWT juga harus diatur dengan tegas termasuk persoalan
syarat perpanjangan danPembaharuan PKWT, dan sanksi apa yang dapat dijatuhkan
pada Pengusaha apabila melanggar ketentuan. UU melarang seorang pekerja
dipekerjakan secara PKWT lebih dari 3 tahun, namun masih ada celah bagi
pengusaha untuk lebih lama lagi mengikat pekerja dengan sistem kerja PKWT
melalui perpanjangan dan atau pembaharuan PKWT.
a) PKWT dan Pengupahan
Dampak langsung yang dialami pekerja atas status sebagai pekerja kontrak adalah
soal upah. Ada kecenderunganmenurunnya besaran upah saat pekerja beralih
menjadi pekerjakontrak.23 Sehingga, sesungguhnya terjadi diskriminasi upah antara
pekerja tetap dan pekerja kontrak, karena pekerja tetapmasih menerima tunjangan-
tunjangan dan fasilitas lain, seperti premi hadir, tunjangan transport, uang makan,
Jamsostek, dll Padahal jenis pekerjaan yang dilakukan adalah sama. Masalah
PKWT sesungguhnya hanya memerlukan ketegasan pengaturan mengenai syarat-
syarat serta batasanpelaksanaan PKWT. Kalau berdasarkan jangka waktu,
makapenentunya adalah waktu dan bukan selesai atau tidaknya pekerjaan. Dalam
hal ini A. Uwiyono berpendapat :

22 pengaturan ini telah ada dalam permenaker RI No. o6/1993 tentangKesepakatan Kerja Waktu Tertentu,
lihat pada Pasal 4 ayat (4).

Hal 17 dari 24
"Perjanjian Kerja Waktu tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berani tidak
mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak,
ada Pasal lain Dalam UU No. 13/2003 ini yang melarang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan,
apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ketidakpastian hukum Dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul
ke permukaan karena pihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan
pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih
memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan
hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan
perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam situasi demikian, pekerjatidak ada
pilihan lain kecuali menerima tawaran itu." Hal lain yang juga penting Dalam
PKWT adalahmenentukan apa yang disebut sebagai pekerjaan inti (coreactivities)
dan non inti dari perusahaan.
b) PKWT dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, mengenai hak pekerja atas
jaminan sosial diatur Dalam Pasal 3ayat 2 yang berbunyi "Setiap tenaga kerja
berhak atas jaminan sosial tenaga kerja". Dengan demikian, UU ini tidak
mengeksklusifkan status pekerja tertentu saja yang dapat disertakan Dalam
program Jamsostek, termasuklah pekerja kontrak (PKWT).

3. 0utsourcing
Sistem outsourcing bukanlah isu baru, ini telah dikenal Dalam KUH Perdata
tentang perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang diatur Dalam Buku III Bab 7A
KUH Perdata. Outsourcing kemudian menjadi wacana hangat saat UU No. 13
Tahun 2003 memuat tentang pemborongan pekerjaan yaitu Pasal 65 ayat (1) berupa
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
Selengkapnya Pasal 65 ayat (1) berbunyi :
"Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis."

Hal 18 dari 24
Outsourcing dapat dikaitkan dengan beberapa hal Dalam Hukum Ketenagakerjaan
yang pada akhirnya menimbulkan ketidaksinkronan, dapat dilihat di bawah ini
a. Outsourcing dan Masalah Hubungan Kerja
Outsourcing berkaitan dengan masalah penting lainnya yaitu'hubungan kerja'.
Hubungan kerja diatur Dalam Pasal 1 angka 15, yaitu : "Hubungan kerja adalah
hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah."
Sedangkan, Pasal 65 ayat (6) yang mengatur tentang outsourcing menyatakan :
"Hubungan kerja Dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud Dalam
ayat (1) diatur Dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerjatburuh yang dipekerjakannya,"
Dalam hal ini, persoalan hubungan kerja adalah persoalan yang paling penting
karena hubungan kerja akan melahirkan hak dan kewajiban para pihak (pekerja
dan pengusaha). pasal 1angka 15 di atas telah menetapkan unsur-unsur yang
harus ada Dalam suatu hubungan kerja, yaitu
a. Perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja.
b. Perjanjian kerja itu memuat unsur pekerjaan, dan perintah.
dalam sistem outsourcing, apa yang dimaksud sebagai hubungan kerja menjadi
bias/kabur/tidak jetas. Perjanjian kerja Dalam sistem outsourcing dibuat antara
pekerja denganperusahaan jasa tenaga kerja bukan dengan perusahaan
pemberikerja. Sehingga di sini tidak mengandung unsur pekerjaan, perintah,
dan upah. Dapat dikatakan hubungan hukum antarapekerja dengan perusahaan
jasa pengerah tenaga kerja adalah hubungan hukum penempatan.
Alasan pemerintah melegalkan sistem PKWT dan Outsourcing adalah sebagai
usaha untuk menyediakankesempatan kerja yang luas bagi sebanyak mungkin
angkatan kerja yang ada saat ini, sehingga harus dipikirkan perlunyafleksibilitas
dan adaptasi pasar kerja. Pada sisi lain, lemahnya perlindungan atas pekerja saat
pekerjaan disubkontrakkan(Outsourcing), melahirkan persoalan kesetaraan.
Dalam hal ini ILO menilai perlu pendekatan yang seimbang.
b. Outsourcing dan Hak Berserikat
Dalam UU 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/SerikatBuruh ditegaskan
tentang hak pekerjalburuh untuk berserikat sebagaimana diatur Dalam Pasa15
yang berbunyi :
Hal 19 dari 24
1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10
(sepuluhj orang pekerja/buruh. Apabila yang dijalankan pekerja/buruh
dalam hubungan kerja berdasarkan pemborongan kerja (outsourcing)
dimana hubungan kerja bukanlah hubungan kerja permanen, maka kegiatan
berserikat tidak akan tumbuh, disamping kegiatan berserikat tidak akan
menarik untuk dijalankan, juga ada sebablain, yaitu ketakutan pekerja/buruh
berorganisasi karena sewaktu-waktu hubungan kerja dapat berakhir secara
sepihak apabila pengusaha tidak menyukainya.
c. Outsourcing dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek mengenaihak pekerja atas
jaminan sosial diatur Dalam Pasa13 ayat 2 yangberbunyi ; "Setiap tenaga kerja
berhak atas jaminan sosial tenagakerja". Dengan demikian UU ini tidak
mengeksklusifkan status pekerja tertentu saja yang dapat disertakan Dalam
program Jamsostek, termasuklah pekerja kontrak dan ouuource. Namun
kenyataannya tidak 100% responden diikutkan Dalam Jamsostek maupun
bentuk asuransi lainnya. Namun jika dikaitkan dengan Pasa14 ayat 1 dinyatakan
"Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud Dalam Pasa13
wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di Dalam hubungan kerja sesuai dengan UU ini." Akibatnya jelas
bahwa hubungan kerja Dalam system Outsourcing yang bias/kabur tadi
menyebabkan hak pekerja atas jaminan sosial tenaga kerja tidak menjadi
kewajiban pengusahauntuk melaksanakannya.
d. Outsourcing dan UU No. 40 Tahun 2004 (SJSN)
Dalam Pasal 1 UU No. 4o Tahun 2004 dinyatakan bahwa 1). Jaminan sosial
adalah salah satu bentuk perlindunga nsosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem Jaminan Sosial
Nasional adalah suatu tata cafa Penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. Sebagai Asuransi sosial yaitu
suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran
guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa
peserta dan/atau anggota keluarganya. sebenarnya pekerja dengan status apapun
berhak atas jaminan sosial. Untuk itu perlu ada ketegasan untuk mengatur
Hal 20 dari 24
kewajiban pengusaha yang melakukan usaha dengan mempekerjakan
pekerja/buruh untuk memberi perlindungan sosial atas pekerjanya untuk itu
efektifitas dari UU 40 tahun 2004 ini sangat diharapkan. Walaupun demikian,
masih ditemukan adalah Pasal yang tidak efektif Dalam berbagai peraturan,
antara lain hak berserikat dan jaminan sosial tenaga kerja untuk diberlakukan
terhadap pekerja outsource, mengingat hubungan kerja yang terdapat
didalamnya masih bias. Untuk itu perlu adanya pembatasan yang jelas dan tegas
tentang hubungan kerja Dalam outsourcing yang tidak mengabaikan
perlindungan kerja. Namun Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
perusahaan cenderung menggunakan pekerja melalui outsourcing
denganperusahaan pengerah jasa tenaga kerja (dikalangan pekerja/buruh lebih
populer dengan istilah"biro jasa"). Fenomena ini oleh A. Uwiyono dinilai karena
perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh Pasa16 ayat (2a)
yangmenyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus adahubungan kerja
dengan buruh yang ditempatkan padaperusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak
buruh yangdioutsource juga merasa diback up oleh Pasal 1 butir 15
yangmenyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa
pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan adanya
unsur upah, pekerjaan, dan perintah yang hanya ada Dalam hubungannya dengan
perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa pekerja. Kedua Pasal ini
juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh. Banyak
perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya
direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini
berani bahwa melalui Pasa1 6 ayat (2a) UU No. 13/2003,Pemerintah melegalkan
bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk human-traviking.
Suatu pelanggaran hak asasi manusia.24 pada akhir tahun 2003 tepatnya beberapa
bulan setelah diundangkannya UU 13 Tahun 2003 yang memangkeberlakuannya
diwarnai oleh penolakan sebagian besar bekerja/buruh, berlanjut dengan
diajukannya permohonan Fudicial review oleh dua puluh empat orang yang
merupakan bimpinan dari sekitar dua puluh dua organisasi buruh yang telah
tercatat di Indonesia (dikuasakan kepada Assosiasi PenasihatHukum dan HAM

24
Aloysius Uwiyono (http :// www. ui. edu/indonesia/main. php?hlm -berita & id=2006-01-02%2010 :
37 : 40)

Hal 21 dari 24
Indonesia) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). 159 Hal ini menunjukkan bahwa
ada inkonsistensi antara UU 13 tahun 2003 terhadap Konstitusi RI (UUD RI
Tahun 1945) yang perlu untuk diputuskan secara konstitusional.25 Setidak-
tidaknya terdapat Terdiri dari Putusan 96/PUU-XI/2013 9, Putusan 69/PUU-
XI/2013 149, Putusan 100/PUU-X/2012 203, Putusan 82/PUU-X/2012 271,
Putusan 9/PUU-X/2012 297, Putusan 70/PUU-IX/2011 283, Putusan 58/PUU-
IX/2011 431, Putusan 37/PUU-IX/2011 459, Putusan 27/PUU-IX/2011 501,
Putusan 19/PUU-IX/2011 551, Putusan 115/PUU-VII/2009 613, dan Putusan
012/PUU-I/2003 671 yang secara fundamental sebenarnya telah merubah UU
No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

D. SIMPULAN
Karakteristik hubungan kerja di Indonesia masih dalam membentuk hubungan sub
ordinasi antara pengusaha/majikan dengan pekerja/buruh. Posisi tawar pekerja yang
masih belum berimbang, jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan lowongan
kerja, skill/keahlian yang tidak sesuai dengan permintaan, serta tenaga kerja muda yang
terus meningkat merupakan ciri pasar tenaga kerja Indonesia, sehingga system
hubungan kontraktual sebagaimana berlangsung di negara-negara maju belum dapat
diterapkan. Politik Hukum Pancasila Pengelolaan Tenaga Kerja Indonesia masih sangat
dibutuhkan untuk memberi perlindungan terhadap pekerja/buruh sebagai pihak yang
rentanterhadap timbulnya ketidadadilan dalam hubungan kerja sehingga peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan masih dibutuhkan untuk mengatur hubungan
kerja dewasa ini,Pemerintah selaku regulator dituntut untuk bijaksana melahirkan
berbagai kebijakan hukum yang akan diterapkan, mengingat perkembangan lingkungan
internasionalmenghendaki agar hubungan kerja diserahkan pada mekanisme pasar yang
berani dominasi pemerintah harus diminimalisir dan hubungan kerja dilakukan melalui
sistem kontraktual.
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan masih terlalu berpihak kepada
Pengusaha dan minim dalam memberikan perlindungan hukum kepada Pekerja, maka
penolakan dan kerusuhan sosial yang muncul, tidak dapat dihindarkan dan menjadi hal
yang tidak baik bagi kelangsungan suatu negara.

25 ILO Buku Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Uji Materi terhadap beberapa pasal pada
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta, Januari 2014,

Hal 22 dari 24
Dalam hal pembentukan peraturan perundangan bidang ketenagakerjaan politik hukum
sebagai kebijakan pember lakttan(enactment policy) lebih mendominasi, dengan kata
lain politik hukum ketenagakerjaan dipengaruhi oleh orientasi para pemegang
kekuasaan/pemerintah. Dari berbagai pemerintahan yang pernah berlangsung dapat
dilihat adanya perubahan peraturan perundangan yang berlaku, tidak hanya
peraturanyang menyangkut hak politis pekerja/buruh seperti hak berserikat tapi juga
menyang Kut hak ekonomis seperti halnya Pengaturan tentang sistem kerja waktu
tertentu dan outsourcing.
Dalam Pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan masih banyak
ditemukan telah terjadi inkonsistensi dalam pengaturan mengenai upah, sistem kerja
waktu tertentu yang diistilahkan PKWT dan sistem outsourcing dilihat dari konstitusi
dan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini terjadi karena
kebutuhanmendesak untuk meningkatkan perekonomian, menuntaskan persoalan pasar
kerja di Indonesia yang secara keseluruhanmasih dalam situasi tingginya tingkat
pengangguran sedangkan pada sisi lain investasi masih rendah. Arah pembentukan
Hukum Ketenagakerj aan di era globalisasi dipengaruhi oleh kecenderungan pasar yang
ada, dimana hubungan kerja diarahkan pada sistem kerja fleksibel Indikasinya adalah
legalisasi terhadap sistem kerjakontrak/Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan
perjanjian penyerahan sebagian pekerjaan (outsourcing), akan tetapi dalam
penerapannya fleksibilitas ketenagakerjaan masih meniadi polemik di Indonesia. Oleh
karenanya, guna menyeimbangkan politik hukum sebagai basic policy dan sebagai
enactment policy, perlu pendekatan sistem dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan, sehingga dapat tercapai peraturan
Ketenagakerjaan yang akomodatif.

E. SARAN
Inkonsistensi peraturan perundangan ketenagakerjaandisebabkan karena tidak
sinergisnya politik hukum dalam dimensi kebijakan dasar (basic policy) dan kebijakan
pemberlakuan (enactment policy), sebaiknya kebijakan pemberlakuan dalam peraturan
ketenagakerjaan diwujudkan dalam kondisi di mana setiap peraturan pelaksana yang
dibuatoleh lembaga eksekutif maupun legi§latif merupakan penerapan lanjutan dari
Undang-Undang yang ada. Dengan demikian diharapkan akan terselenggara suatu
politik hukum yang konsisten, serta regulasi ketenagakerjaan di era globalisasi
sebaiknya melibatkan peran semua pihak (stakeholders), utamanya serikat
Hal 23 dari 24
pekerja/serikat buruh, dan pengusaha/ assosiasi pengusaha untuk itu perlu dibangun
keseimbangan sosial melalui peningkatan sumberdaya manusia yang memiliki
keterampilan dan keahlian.

F. DAFTAR PUSTAKA
1. Berita Resmi Statistik, No. 45107 / Th.XII. 1 Juli 2010.
2. www.bps.po.id, diakses, 20 April 2013.
3. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan I1mu-11mu Sosial Bagi pengembangan Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung, 1977
4. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,
1982,
5. Sunaryati Hartono, Politik Alumni, Bandung, 1999 ; Menuju satu sistem Hukum
Nasional,
6. Stephen 3. Frenkel dan Daid Peelz, Globalization and Industritrl Relations in
East Asia A Three Country Compari. 9on, Industrial Relations Journal, Vol. 37.
No. 3 (July) 1998, Blackwell Publisher, Calilbmia.
7. Tamara lothion, The Political Consequences of Labor Law Regimes : The
Contractualist and Corporatist Models Compared, Cardozo Law Rexew, Vol.7,
1986
8. Hans Borkent, et. al., indonesian workers and their right to organise,
lndoc,Leiden, Netherlands, 1981,
9. Bomer Pasaribu, Membangum politik Ketenagakerjaan dari Aspek Hak Asasi
Manusia, dalam http:/ ytkna.tripod.com/ham/pendahuluan.htm (diakses pada
tgl. 7-2-2019).
10. ILO Buku Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Uji Materi
terhadap beberapa pasal pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Jakarta, Januari 2014,

Hal 24 dari 24

You might also like