You are on page 1of 10

Helminth

3.1.1.1.Cappilaria sp
a. Signalement Sampel
Jenis Sampel : Feses
Ras/Breed : Ayam Kampung
Asal Sampel : Peternakan di Batu Malang
Tanggal Pengambilan : 15 April 2018
Tanggal Pengujian : 17 April 2018
Media Pengawet : Formalin 10%

b. Morfologi
Cappilaria memiliki bentuk tubuh silinder kecil dengan besar
sama dari anterior sampai posterior. Tubuhnya kapiler dan mmeiliki
mulut sederhana. Anus cacing jantan terletak terminal atau
subterminal. Kadang-kadang cacing ini memiliki sebuah spikulum.
Vulva cacing betina dekat dengan ujung esofagus. Telur cappilaria
berdinding tebal, kedua sisinya datar dan pada ujung anterior sampai
posterior terdapat operkulum (selaput penutup). Ukuran telurnya 30
sampai 40µm, bentuk ujung telur tidak menonjol (Rismawati dkk,
2012).

Telur Cappilaria (dokumentasi pribadi)

c. Hospes dan Predileksi


Hospes dan predileksi dari Cappilaria adalah Usus halus
burung merpati dan unggas lain. Cacing ini membutuhkan inang
antara yaitu cacing tanah, Eisenia foetida, Allobophora caliginosa,
Lumbricus sp, dan Dendrobaena sp (Rismawati dkk, 2012).

d. Siklus Hidup
Telur yang tidak berembrio keluar bersama feses dan
berkembang menjadi larva tahap pertama dalam 0 sampai 14 hari.
Pada siklus langsung, telur yang tertelan menetas dalam usus dan
berkembang menjadi cacing dewasa tanpa migrasi dalam inang.
Adapun pada siklus tidak langsung, telur ditelan oleh cacing tanah dan
berkembang menjadi tahapan infektif dalam 14-21 hari dan burung
terinfeksi jika menelan cacing tanah tersebut. Masa prepaten untuk
Cappilaria spp adalah sekitar 3 minggu (Kurniawan dkk, 2010).

e. Gejala Klinis
Unggas yang menderita infeksi Cappilaria dapat
menunjukkan gejala emasiasi, diare dan enteritis hemoragik sebelum
mengalami kematian. Lesi pada saluran pencernaan dapat
menyebabkan gangguan digesti, penyerapan pakan dan kinerja yang
rendah dari unggas yang menderita penyakit tersebut (Tabbu, 2002).

f. Patogenesis
Cacing tersebut menggali mukosa tembolok sehingga
mengakibatkan penebalan dinding agen tersebut dan pembesaran
kelenjar mukosa. Disamping itu, terlihat juga adanya reaksi
peradangan pada dinding tembolok dan esofagus. Pada infeksi yang
berat, bagian tembolok akan menebal, kasar dan tertutup oleh suatu
massa yang mengandung cacing dan jaringan yang mengalami
deskuamasi (Tabbu, 2002).
g. Pencegahan dan Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi Cappilaria sp dapat dilakukan
dengan beberapa jenis obat anti cacing, yaitu kumafos, higromisin
(12g/ton pakan selama 12 minggu) dan tiabendazol. Obat lain yang
dapat digunakan untuk menanggulangi infeksi ccaing ini adalah
pyrantel tartat, fenbendazol dan mebendazol. Pemberian obat anti
cacing tersebut jika diberikan pada ayam hendaknya memperhatikan
waktu henti obat dan dapat mempengaruhi produksi telur. Disamping
pengobatan dengan obat anti cacing, dianjurkan juga untuk
memberikan vitamin A, kelompok vitamin B atau vitamin lainnya
yang dapat membantu pembentukan sel darah baru (Tabbu, 2002).
Pencegahan yang dapat dilakukan menurut Faddilah dkk
(2004) ialah :
1. Lingkungan disekitar kandang harus selalu kering
2. Binatang seperti siput dan cacing tanah harus
dimusnahkan karena bisa menjadi induk semang
3. Litter pada kandang ayam harus dalam keadaan bersih
dan kering
4. Sanitasi dan desinfeksi untuk mmeutus siklus hidup
cacing tersebut

3.1.1.2.Eurytema Pancreatikum
a. Signalement Sampel
Jenis Sampel : Feses Sapi
Ras/breed :
Asal Sampel : Peternakan Sapi di Batu
Tanggal Pengambilan : 15 April 2018
Tanggal Pengujian : 17 April 2018
Media Pengawet : Formalin 10%
b. Morfologi
Secara morfologis, panjang dan lebar tubuh E. pancreaticum
lebih besar daripada Eurytrema sp. lainnya. Batil isap mulut lebih
besar daripada batil isap perut. Memiliki ukuran 8-16 x 5-8,5mm
berwarna kemerahan dan bentuknya agak oval. Ccaing ini ujung
anteriornya tumpul dan bulat serta mmeiliki bentukan seperti lidah
pendek pada ujung posterior. Tubuh tebal dan bersenjata dengan duri
yang akan hilang setelah dewasa. Ccaing ini memiliki oral sucker yang
lebih besar daripada ventral sucker, faring kecil dan oesophagus
pendek. Testis horizontal, sedikit posterior dari ventral sucker. Genital
pore membuka tepat di belakang bifurkasio dari usus. Telurnya kecil
berukuran 40-50x23-34 mikron dan berwarna coklat (Soulsby, 1982).

Telur Eurytrema pancreaticum (dokumentasi pribadi)

c. Hospes dan Predileksi


Hospes
Inang Definitive : Sapi, kerbau, kambing, domba dan manusia
Inang Perantara I : Siput tanah Bradybaena simillaris, Cathaica
ravida siboldtiana
Inang Perantara II : Belalang Conocephalus maculatus
Predileksi : Saluran pancreas, kadang-kadang sel empedu dan
duodenum.
d. Siklus Hidup
Telur cacing keluar bersama tinja saat hewaan penderita
defekasi. Kemudian telur termakan hospes intermediet pertama yaitu
Siput tanah Bradybaena simillaris, Cathaica ravida siboldtiana. Pada
tubuh siput, miracidium akan keluar dari telur. Miracidium
selanjutnya akan berkembang menjadi sporokista yang memperbanyak
diri dengan membentuk gelendong-gelendong, masing-masing
gelendong membentuk anak sporokista. Dalam waktu kira-kira 5
bulan, anak sporokista keluar dari siput dan mencari rumput. Rumput
yang tercemar kemudian termakan Belalang Conocephalus maculatus
sebagai hospes intermediet ke dua. Dalam tubuh belalang, anak
sporokista akan berkembang menjadi cercaria dan selanjutnya menjadi
metacercaria infektif yang terjadi dalam waktu 3 minggu sejak
belalang terinfeksi. Hospes definitif dapat terinfeksi karena memakan
belalang yang mengandung metacercaria (Mirza dkk, 2002)

e. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada hewan penderita adalah
kelemahan, berat badan turun secara nyata, gangguan sistem
pencernaan yang mengakibatkan diare atau konstipasi (Solusby, 1982).

f. Patogenesis
Dicrocoelium tidak membuat ilang-ilang di dalam parenkima
hati, tetapi langsung masuk ke dalam saluran empedu lalu berjalan-
jalan di dalamnya sejauh batas kemampuannya. Cacing ini lebih kecil
daripada Fasciola dan menyebabkan kerusakan lebih sedikit. Mukosa
saluran empedu kadang-kadang menebal mengalami proliforasi dan
terjadi fibriosis tetapi hanya pada infeksi yang sangat hebat saja
terdapat gejala-gejala anemia, edema dan kekurusan (Solusby, 1982).
g. Pencegahan dan Pengobatan
Infeksi cacing ini dapat dicegah dengan cara menghindari
terjadinya kelembaban padang rumput sebagai tempat hidupnya siput.
Daerah sekitar kolam harus diberi pagar, dan sapi, domba atau
kambing jangan dibiarkan makan rumput disekitar daerah kolam.
Penyemprotan dengan molusisida dapat bermanfaat pada kasus-kasus
semacam ini (Mirza dkk, 2002).

3.1.1.3.Nematodirus
a. Signalement Sampel
Jenis Sampel : Feses Sapi
Ras/breed :
Asal Sampel : RPH Pegirian
Tanggal Pengambilan : 18 April 2018
Tanggal Pengujian : 18 April 2018
Media Pengawet : Formalin 10%

b. Morfologi
Telur bulat dan berukuran 70-120 x130-230 mikrometer, yang
terbesar di antara cacing gelang pada pencernaan ruminansia. Telur
Nematodirus sp memiliki dinding tebal dan mengandung 4 sampai 8 sel
(blastomer) (gambar 6), berbeda dengan sebagian besar cacing gelang
gastrointestinal lain yang mengandung 16 atau lebih sel. Telur dari
Nematodirus sp memiliki warna kecoklatan (Janquera, 2014).
Morfologi cacing Nematodirus sp jantan memiliki panjang 12 mm dan
betina memiliki panjang 18-25 mm. Bentuk tubuh Nematodirus
melengkung 18 striations longitudinal dengan anterior yang
mengembang dan esofagus dorsal terlihat (Nurthjahyani, 2008).
Telur Nematodirus sp (dokumentasi pribadi)

c. Hospes dan Predileksi


Hospes dari Nematodirus sp adalah sapi dan ruminansia lain.
Sedangkan predileksinya terdapat di usus halus ((Nurthjahyani, 2008).

d. Siklus Hidup
Telur terdapat dalam tinja dan biasanya menetas di tanah. Larva
stadium pertama (LI) menetas dari telur dan hidup dari mikroorganisme
yang terdapat dalam tinja, LI berkembang menjadi larva stadium dua
(L2) yang masih hidup dari mikroorganisme dan kemudian menjadi
larva stadium tiga (L3) yang terselubung dalam kutikula. Larva stadium
tiga (L3) bersifat infektif, berpindah menuju tumbuhan atau rumput dan
dapat menginfeksi inang melalui tertelannya L3 saat inang merumput.
L3 yang tertelan menuju saluran pencernaan inang kemudian
melepaskan selubung kutikulanya dan berkembang menjadi larva
stadium empat (L4) hingga menjadi cacing dewasa (Levine, 1978).
Dalam siklus hidupnya mengalami dua fase penting, yaitu
1. Fase pre-parasitik
Fase pre-parasitik dalam perkembangan cacing Nematodirus
merupakan perkembangan keseluruhan larva stadium bebas (free-
living). Telur keluar bersama tinja dari inang yang terinfeksi. Telur
yang berisi embrio menetas pada suhu dan kelembaban optimum (22—
26°C dan kelembapan mendekati 100%) dan berkembang menjadi L1,
akan berkembang menjadi L2, keduanya mendapatkan makanan dari
mikroorganisme dalam tinja termasuk bakteri tanah, kemudian
berkembang menjadi L3 yang tidak makan lagi dan hanya
menggunakan cadangan energi dalam tubuhnya karena terselubung
kutikula. Sardjono (2000) mengemukakan bahwa L3 mempertahankan
diri dengan menggunakan nutrisi siap pakai yang disimpan dari hasil
aktifitas makan pada tahap L1 dan L2. Perkembangan keseluruhan fase
pre-parasitik dari telur menjadi L3 dipengaruhi oleh temperatur dan
kelembaban. Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimal tingkat
perkembangannya akan lebih cepat, metabolisme meningkat, cadangan
nutrisi L3 akan cepat habis dan menyebabkan kematian larva, kecuali
bila L3 yang bersifat infektif segera menemukan dan menginfeksi
inang. Sebaliknya pada suhu rendah, perkembangan telur sampai L3
akan lambat dan aktifitas metabolisme menurun. Pada temperatur di
bawah 10° C perkembangan larva, pergerakan dan metabolisme
menjadi minimal (Sardjono, 2000). Dunn (1978) menyatakan bahwa
pada suhu di bawah 5°C larva sangat rendah mobilitasnya, penggunaan
energi lebih efisien, cadangan nutrisi sedikit sekali yang dimetabolisme
sehingga larva dapat bertahan hidup lebih lama. Sifat ini yang sering
digunakan dalam preservasi larva di Laboratorium.
2. Fase parasitik
Stadium infektif adalah L3 yang masih terselubung kutikula. L3
masuk ke saluran pencernaan inang melalui tertelannya L3 saat ternak
merumput. Setelah dalam saluran pencernaan, L3 melakukan pelepasan
selubung kutikula (exsheathment). Tempat melakukan pelepasan
selubung dapat berbeda-beda antar spesies, biasanya terjadi pada bagian
proksimal tempat predileksi. Nematodirus sp., tempat predileksinya di
usus halus dan melepaskan selubung kutikula di abomasum. Setelah
pelepasan selubung kutikula maka L3 bergerak menuju tempat
predileksi menginfeksi inang hingga menjadi dewasa (L3—L4 dewasa).
Dalam siklus seksualnya, cacing betina dewasa akan bertelur pada ±
2—3 minggu setelah infeksi. Periode waktu dan terjadinya infeksi
hingga menjadi dewasa dan mengeluarkan telur disebut periode
prepaten (prepaten period).

e. Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditunjukan oleh sapi ketika terinfeksi
Nematodirus sp yaitu diare dan anoreksia, biasanya Nematodirus akan
berkembang secara seksual pada minggu ketiga sebelum menjadi
cacing yang matang. Infeksi klinis Nematodirus dapat terlihat juga pada
anak sapi yang berumur 6 minggu dan seterusnya (Nurthjahyani, 2008).

f. Patogenesis
Infeksi yang berat pada beberapa hewan disebabkan karena
pertumbuhan terhambat, emasiasi dan berakibat kematian. Larva dapat
menyebabkan kerusakan epitel usus.

g. Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan yang dapat dilakukan terhadap telur cacing seperti
menjaga sanitasi kandang dan lingkungan, dengan upaya yang dapat
dilakukan diantaranya menjaga drainase kandang dan lingkungan
disekitarnya sehingga tidak lembab dan becek serta menghindari
adanya kubangan-kubangan air pada tanah. Serta melakukan desinfeksi
terhadap kandang secara rutin menggunakan antisep, dan neo antisep.
Sedangkan untuk pemberantasan dapat dilakukan dengan menggunakan
anthelminthika, program pemberian anthelminthika sebaiknya
dilakukan sejak sapi baru berumur 7 hari dan diulang secara berkala
setiap 3-4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas. Pemberian
anthelminthika yang dilaporkan telah terbukti baik untuk menangani
kasus ini Ivermectin dengan dosis 3 mg/kg berat badan secara suntikan
sub kutan (Nurthjahyani, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Dunn. 1978. Veterinary Helminthology. Willian Heinemann Medical Books.


London.
Fadilah Roni, Agustina Polana. 2004. Aneka Penyaki pada Ayam dan Cara
Mengatasinya. PT Agromedia Pustaka. Depok
Kurniawan M.C, Suzana E, dan Retnani E.B. 2010. Inventariasi Cacing Parasitik
Saluran Pencernaan Pada Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stressman,
1924) dan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus Gmelin, 1788) di Habitat
Eksitu. Media Konservasi Vol.15 (3) : 120-125
Levine. 1978. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Mirza Iskandar, dan Kurniasih. 2000. Identifikasi Ccaing Eurytrema sp Pada
Ternak Sapi Berdasarkan Ciri-Ciri Morfologis. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Universitas Gadjah Mada.
Nurthjahyani. 2008. Prevalensi Infeksi Telur Cacing Nematoda pada Feses Sapi
Potong (Bos sp) Dengan Metode Whitlock. Departement Biologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Alam. Universitas PGRI Ronggolawe.
Rismawati, Yusfiati, Mahatma Radith. 2012. Endoparasit pada Usus Aayam
Kampung (Gallus domesticus) di Pasar Tradisional Pekanbaru. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Riau.
Sardjono. 2000. Helminthologi Kedokteran dan Veteriner. UB Press. Malang
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated
Animlas. London : Bailliere Tindall
Tabbu C.R. 2002. Penyakit Asal Parasit, Noninfeksius dan Etiologi Kompleks.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

You might also like